49 | she's fine
ENTAH bagaimana bisa, Bigel berakhir di sini.
Matahari sudah hampir tenggelam ketika ia menginjakkan kaki di depan rumah peristirahatan abadi ibundanya. Tak ada yang bisa diajak bicara, tapi Bigel rasanya ingin mengadu kepada ibu yang mungkin akan membelai lembut rambutnya jika ia masih bernapas di dunia ini. Bigel berdiri mematung, memandang lurus ke arah pusara yang mengukir nama paling cantik di dunianya. Nama wanita yang tak pernah berbohong kepada dirinya, tak pernah menyakitinya, pula tak pernah sekali pun mengkhianatinya. Wanita yang perangainya ketika hidup begitu ceria, selalu tersenyum, dan begitu mencintai bunga. Untuk kali pertama, Bigel merasa bersalah bukan main karena telah menutup toko yang mungkin membuat ibundanya tersenyum di kedamaian sana.
"Maaf, Bunda ...."
Lidahnya kelu, tenggorokannya terasa begitu tercekat, seolah ia tak mampu berkata apa-apa di sini, dan hatinya terasa begitu sakit. Ia ingin mengadu tentang segalanya kepada sang ibunda, tapi di saat yang sama ia tak sanggup mengulang cerita. Lantas, jatuhlah Bigel di sana. Kakinya tak lagi mampu menumpu tubuh, bebannya terlalu berat dipikul, ia jatuh berlutut di depan makam sang ibunda tercinta. Air mata yang sebelumnya tak mampu sekadar menetes, kini mengalir deras tanpa bisa Bigel hentikan. Ia menutup wajah dengan kedua tangan. Rasanya malu jika ibundanya melihat ia serapuh tangkai yang mudah patah, tak lagi sekuat batang pohon yang mustahil tumbang.
Tangis dan jeritan itu pecah di bawah langit yang perlahan menggelap. Jingga sisa-sisa cahaya dari matahari mulai hilang ditelan bulan yang mulai meninggi. Hangatnya pun perlahan hilang berganti dengan desiran angin dingin, membelai lembut kulitnya seolah sang ibunda sedang berusaha memeluknya. Ia rindu pelukan ibunya, ia ingin menangis bersandar di dadanya, ia mungkin sudah gila ketika mulai berpikir apakah ia harus pergi menyusul ibunya saja.
Daripada hidup di sini tapi dikelilingi orang-orang yang bahkan tak mampu membahagiakan, hanya merobek dan mengoyak luka tanpa perasaan.
Ia total kacau balau. Wajahnya merah padam, basah oleh lautan kepedihan, matanya pun memerah seperti ingin menangis darah.
Adalah konyol ketika ia sedang sebegini buruk rupa keadaannya, ketika ia sedang berusaha mengatur gejolak napasnya, sebuah denting kecil terdengar dan menunjukkan sebuah pesan.
Bos Bi baik-baik aja?
Dan ia sungguh ingin tertawa dalam hati. Betapa konyolnya dunia ini, mendatangkan orang asing yang justru tampak lebih memedulikan dan mengkhawatirkannya daripada orang-orang yang ia kenal selama ini.
Alessandro Tedja, nama itu tak lama muncul di layar ponselnya tepat setelah Bigel membaca pesan yang dikirimkan. Sebuah panggilan video, seolah Ales butuh melihat dan memastikan bahwa Bigel benar-benar dalam keadaan terbaiknya walau patah hati tengah menghancurkan dunianya. Yang tentu, panggilan itu Bigel tolak dengan membalas lewat pesan singkat—
I'm fine.
Sebelum ia kembali menangis dalam keheningan di bawah cahaya kelam bulan.
♡
to be continue ...
Xadara Goe
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top