48 | let her go, alone
BARA TANUWIDJAJA. Nama itu tertera jelas di profil akun sosial media yang memenuhi layar ponsel Bigel saat ini. Ia sedang beristirahat sejenak, memutuskan untuk membeli minuman dingin untuk menyegarkan kepala setelah berkeliling melakukan pengantaran bunga. Yang kini berarti, ia sudah tak punya tujuan lagi. Ia enggan pulang, ia masih tak sudi menginjak rumah yang berisi para pembohong besar. Adam, Ambar, dan Bara hanya akan mencabik-cabiknya dengan setiap kata yang mereka jadikan alasan untuk membenarkan tindakan mereka yang telah menutup-nutupi siapa calon ibu dari Tanuwidjaja kecil.
Dan, di sinilah Bigel sekarang. Beristirahat di sebuah toko kelontong pinggir jalan, meneguk minuman dingin sembari mengamati profil sosial media mantan kekasihnya. Ia masih belum menimbun rasa penasarannya juga. Ia masih ingin tahu sedang apa Bara sekarang, sedang di mana dia, dan sedang bersama siapa. Barangkali, Bigel akan menemukan wanita berambut pirang di sosial media Bara, wanita yang sungguh pernah ia percaya.
Namun, nihil. Tak ada rekaman aktivitas terkini dari mantan kekasihnya. Berpindah ke akun si wanita pun tak membuahkan hasil apa-apa. Akun keduanya terlihat begitu kosong untuk ukuran orang yang baru kemarin merayakan pesta pertunangan.
Pengamatannya terhadap setiap akun sosial media mereka pun berhenti ketika sebuah panggilan lagi-lagi masuk ke ponselnya dengan tak sopan. Nama Ayah, Mama, Bara, bahkan Erik, bergantian menghubungi Bigel untuk kali yang tak ia perhitungkan. Bigel selalu menolak panggilan-panggilan itu, termasuk kali ini ketika giliran Erik yang sudah jelas ditugaskan untuk menghubunginya. Muak karena mereka tak kunjung mengerti kata berhenti, Bigel lantas memblokir keluarga-nya satu persatu. Dimulai dari Erik (yang sebenarnya bukan keluarga tapi sudah dianggap begitu sejak ayahnya bekerja untuk Keluarga Ananta), karena ia yang paling sering menelepon. Lalu nama Bara, Mama, dan yang terakhir, Ayah, ia blokir semuanya. Bigel tak mau dihubungi, Bigel ingin pergi, Bigel butuh menyendiri.
Ke mana pun itu, ia tak peduli.
Ia hanya tak ingin melihat wajah-wajah pendusta, orang-orang yang sudah menipunya, orang-orang yang ia anggap sebagai keluarga. Ia telah dikhianati oleh mereka semua.
Namun kadang, patah hati mampu membuat seseorang menjadi bodoh. Memanglah benar Bigel telah memblokir nama-nama yang mengganggunya lewat telepon. Tapi ia lupa, ia bahkan tak terpikirkan, untuk memblokir si wanita pirang dari kontaknya.
Lantas ini adalah sebuah kejutan, Alin muncul di hadapan Bigel tanpa mengganggu lewat sebuah panggilan.
Mereka terbatas oleh kaca toko kelontong yang besar, tapi mampu menembus raut khawatir dari wajah wanita di luar. Sementara Bigel yang berada di dalam, duduk dengan sebotol minuman, mendadak beku di tempat tanpa tahu harus berbuat apa sekarang. Pikirannya buyar begitu melihat presensi Alin di sini.
Dari mana dia tahu?
Pertanyaan itu membuncah di kepalanya, ia butuh jawaban dari wanita pirang di luar. Ingin ia hampiri wanita itu, tapi tepat sebelum kakinya menyentuh lantai untuk turun dari kursi, Alin sudah lebih dulu melangkah untuk masuk dan menghampiri.
"Bigel," sapa Alin, suaranya serak seperti habis karena menangis atau menjerit.
"Mau apa ke sini?"
Bigel menatap nanar, berlagak kuat, berusaha tegar di depan wanita yang tak pernah disangkanya merupakan seorang pembohong besar. Selama ini Bigel percaya, Bigel meyakini bahwa hanyalah Alin yang tak akan menilai buruk atau memandang sebelah mata hubungannya dengan Bara. Namun rupa-rupanya, Alin tak lebih daripada ular berkepala dua. Tindak tanduknya terlalu baik dan ramah, hingga Bigel luluh dan menyandarkan segala cerita tentang Bara hanya kepada Alin. Tapi kini Bigel tak tahu, kepada siapa Alin sebenarnya berpihak. Pun ia tak tahu, sejak kapan dirinya terlihat bodoh di mata Alin karena mencintai Bara yang ia tak tahu entah kapan mulai berhubungan dengan Alin hingga membuat benih Bara kecil.
Detik berlalu, hanya ada keheningan di antara mereka dan tatap yang saling menyorotkan emosi dalam jiwa. Yang satu bersedih, kecewa, dan ingin memaki dunia. Yang satu ketakutan menghadapi seorang gadis muda dengan amarah memenuhi kepalanya. Tak ada yang mengucap sepatah kata.
"Lin? Udah dibilang tunggu aja di mobil, kenapa malah turun?"
Bigel tak pernah merasa lemas lebih daripada hari ini. Suara Bara terdengar lagi, suara yang pernah ia inginkan menusuk telinganya dan mengoyak perasaan dalam dada. Dunianya terasa runtuh, melihat Bara berdampingan dengan Alin sungguh terasa seperti malapetaka. Tapi tak hanya Bigel, Bara pun tampak tak percaya dengan apa yang ia lihat sekarang. Adiknya—ralat—mantan kekasihnya yang tengah dicari-cari keluarga, menginjak lantai toko kelontong yang sama dengan dirinya.
"Bigel?"
Ingin muntah Bigel mendengarnya. Rasanya ia anti mendengar suara Bara lagi. Maka, sudah tak ada alasan bagi Bigel untuk tetap mengistirahatkan diri di sini. Tanpa sedikit pun keraguan, Bigel pergi meninggalkan toko kelontong. Melewati mereka begitu saja tanpa peduli sama sekali. Masuk ke dalam mobil pick-up kesayangannya, dan tanpa menunggu apa-apa, ia pergi.
Tak tahu tempat apa yang kini harus ia tuju. Tak ada bunga lagi yang harus di antar. Tak mungkin juga Bigel kembali ke toko yang sudah ia tutup hari ini. Sengaja Bigel menutupnya untuk menghapus kenangan manis bersama Alin. Bunuh diri namanya kalau ia kembali ke sana, dan menyiksa jiwanya dengan kenangan-kenangan yang mulai berubah menjadi trauma.
Bigel tak punya tujuan, bahkan sekadar menangis pun sulit ketika ia sekarang benar-benar ingin. Bara bukan lagi mematahkan hatinya, tapi ia telah membuatnya mati.
Lantas ia membiarkan Kaonashi membawanya ke mana pun ia ingin pergi.
Bigel hanya mengemudi, dan biarlah mobil ini yang memilih.
Ia tak keberatan pergi ke belahan dunia mana pun, asal tak ada lagi bayang-bayang para pembohong besar. Para penipu, para pengkhianat, para manusia egois yang telah berhasil membuatnya ingin mengakhiri kehidupan ini.
♡
to be continue ....
Xadara Goe
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top