46 | leave, before you regret all of this
FLEUR TEAPOT dinyatakan tutup untuk sementara waktu. Entah sampai kapan itu, pemiliknya pun tak tahu. Meski begitu, Bigel tetap menyelesaikan beberapa pesanan yang sudah dalam proses, khususnya pesanan yang harus segera dikirim. Ia dibantu Elio, Roy, dan Ales membereskan seluruh pesanan sekaligus merapikan toko sebelum ia tinggal.
"Oke, kita hampir selesai. Elio, gimana?"
Elio, si paruh waktu yang sangat sibuk itu, menyahut setelah mengelap keringat di dahinya dengan punggung tangan. Lelah ia setelah bekerja keras dengan tenaga ekstra. "PO hari ini udah clear, Kak. Pesanan yang diantar besok, besok, dan besok udah aku hubungin customernya, dan mereka setuju buat refund dana. Tinggal tunggu Ce Al ... eh? Kak Bigel deng! Kak Bigel 'kan yang transfer mereka?"
Bigel mengangguk dan tersenyum pahit. Muak sekali ia mendengar nama itu. "Tolong nomor rekeningnya ya, El."
"Siap!" Elio memberikan gestur hormat. Meski lelah, ia tetap tersenyum dan semangat membantu Bigel. Tak peduli tangannya pegal karena memunguti sampah, menyapu, dan bantu merangkai bunga, Elio tetap bekerja semaksimal yang ia bisa. Ia bahkan sampai tak sadar, entah sejak kapan puncak kepalanya berhamburan beberapa kelopak bunga.
Dan Roy yang memungutinya satu persatu dari helai-helai rambut Elio.
"Gue masih enggak nyangka ini toko punya Bigel." Roy tiba-tiba bersuara. "Kalau dari pagi enggak ngobrol kayaknya gue enggak bakal tau."
"Sama, Kak! Apalagi aku! Aku kaget bangeeeeet, soalnya kupikir Kak Bigel cuma mantannya Bara anak Pak Adam. Ternyata, Bara cuma anak sambung dan Kak Bigel yang anak kandungnya!"
Bigel menanggapi itu hanya dengan kekehan saja. Cerita itu bukan hal yang penting untuk diketahui banyak orang, menurut Bigel. Lagipula, pernah ia percaya bahkan hanya kepada satu orang saja, tapi malah berakhir dikhianati.
Sudahlah.
Sementara mereka menyelesaikan pembersihan di dalam toko, Ales berada di luar. Ia menata buket-buket bunga di dalam mobil pick-up empat pintu milik Fleur Teapot, sendirian. Ales memang bisa tersenyum saat memeluk Bigel untuk mengucapkan selamat tinggal, tapi tingkahnya tak bisa bohong sama sekali, Ales terlihat sangat menghindari keramaian.
Dan Bigel menyadari hal itu.
Dari balik kaca jendela Fleur Teapot, Bigel mengamati Ales. Ketika Elio kembali sibuk menyapu dan Roy mengangkat kursi-kursi kafe teh ke atas meja, Bigel hanya berdiri dan memandangi mantan kekasih sewaannya. Ales tampak sibuk sendiri di luar sana, dan ketika ia sudah selesai dengan urusan buket di mobil pick-up, ia menyandarkan diri dan membakar sebatang sigaret. Bahkan hingga detik itu, Ales masih tak sadar bahwa Bigel belum melepas tatapannya.
"Galau tuh, Gel, mau ditinggal sama lo." Roy meledek, tentu saja. Mendengarnya membuat Bigel sadar bahwa mungkin sejak tadi ia diperhatikan oleh Roy.
"Cih, galau apanya."
Roy tertawa, meski dalam hati ia merasa paham akan perasaan Ales sekarang. Roy menghampiri Bigel, dan berdiri di sebelahnya, turut memandangi Ales.
"So ... semua udah beres, Roy?"
"Beres, Gel. Elio juga udah selesai, tinggal tutup toko."
"Thanks, ya."
"Santai. Tapi by the way, lo mau ke mana?"
"Entah."
"Entah?"
"Pergi aja. Enggak perlu tujuan pasti buat melarikan diri, 'kan?"
Tidak salah, tapi tidak bisa Roy benarkan juga. Sedikit khawatir pasti ada, tak terkecuali bagi seorang Roy yang baru mengenal Bigel. Karena sejak awal sudah jelas niatannya, melarikan diri. Belum lagi, tak ada tujuan pasti. Siapa yang tidak akan khawatir?
Namun dalam keheningan, Roy berpikir dua kali. Bigel adalah sosok perempuan yang mampu membayar Ales dua kali lipat dari harga biasanya. Bigel adalah sosok putri yang memiliki segalanya. Ditambah, ia adalah anak orang kaya, agaknya mustahil bagi Roy jika kepergian Bigel tak dicari-cari oleh keluarganya. Pun mustahil keluarganya tak mampu mencari bantuan untuk menemukan Bigel suatu hari nanti. Maka setelah berpikir ini itu, Roy menarik kesimpulan bahwa tak ada yang perlu dikhawatirkan dari gadis itu. Tak mungkin ia tak bisa makan dan mencari tempat singgah dalam pelarian. Tak mungkin ia tak pulang ketika sudah kehabisan uang. Tapi tunggu, apakah uangnya dapat habis dalam waktu dekat? Ah, Roy tidak merasa begitu. Apa pun itu, Roy merasa ia tak perlu mengkhawatirkan apa-apa.
Sekilas ia lihat Ales di luar sana, merokok sembari menyandarkan diri di mobil pick-up. Dilihatnya wajah lelah di tubuh yang besar itu. Tubuh yang terlihat kokoh tapi ringkih di sisi yang hanya terlihat oleh matanya. Aleslah yang seharusnya lebih ia khawatirkan lebih dari siapa pun di dunia. Bukan Bigel.
"Gue bakal baik-baik aja." Bigel mengatakannya seolah ia mampu membaca raut wajah Roy.
"A-ah, iya. Yang penting hati-hati di jalan ya, Gel. Kapan-kapan kita ketemu lagi kalau lo ada waktu. Atau kalau toko ini udah buka lagi, gue pasti main buat ngeteh di sini, atau beliin bunga lagi buat klien Ales, hahaha!"
Bigel tertawa. Renyah sekali terdengarnya. "Sorry gue telat banget sadar kalau itu lo. Si buket bunga dua juta. Kalau tadi pagi lo enggak cerita, kayaknya gue juga enggak bakal sadar, Roy."
"Ah, santai! Enggak penting juga lo inget muka gue. Cuma kalau dipikir-pikir ya lucu aja ya, Gel. Ales lost dua juta karena gue, tapi dia jadi ketemu lo dan dapet lima juta. Coba aja waktu itu gue enggak ke sini buat beli bunga ...."
"Pasti gue enggak akan ketemu Ales."
"Pasti lo enggak akan ketemu manusia random, nyeleneh, nyusahin, dan cuma modal tampang, tapi clingy kayak anak anjing."
Dua-duanya lantas tertawa kencang. Roy bisa melihat betapa lepasnya tawa Bigel, sedikit membuat Roy berpikir mungkin masa-masa kencan gadis ini dan Ales cukup menyenangkan hingga mampu membuatnya tertawa puas seperti sekarang. Atau mungkin karena semua yang Roy katakan adalah benar, bahwa Ales clingy seperti anak anjing. Kalau begitu justru lebih bagus bagi Roy, karena berarti Ales menunjukkan sisi aslinya di hadapan gadis ini.
"So ... thanks?"
"Thanks?"
"Ya, karena secara enggak sengaja udah bikin gue ketemu Ales. Manusia paling ringan hidupnya yang pernah gue temuin. Dan itu hal yang bagus, dia ... menyenangkan."
Lagi-lagi Roy tertawa, tapi kali ini hanya sekilas saja. Karena setelahnya, ia segera menimpali pernyataan Bigel tentang Ales.
"Ales itu keliatannya aja begitu, Gel. Aslinya ya ... setiap orang punya beban yang dipikul masing-masing, kok. Dan enggak seringan itu juga, meski mungkin keliatannya ringan buat lo. Karena ringan buat lo 'kan belum tentu ringan buat Ales. Lo bisa spend lima juta cuma buat nyewa dia. Dia? Uang lima juta dari lo juga diawet-awet, Gel."
"Diawet-awet?"
"Yap. Hahaha, kaget, ya?"
"Kenapa gitu? Kenapa diawet-awet?"
"Kan kayak yang gue bilang tadi pagi, dia itu punya cicilan motor, itu si Ocong. Ocong tuh sumber kemelaratan dia, tapi entahlah dia malah sayang banget. Cinta emang buta ya, hahahahaha!"
Tak ada respons apa-apa dari Bigel selain sebuah tawa kecil. Ia tak ingin bertanya lebih jauh tentang Ales dan kondisi finansialnya. Ia tak mau tahu lebih jauh, ia tak mau lebih mengenal Ales daripada hari ini. Entah kenapa, hatinya mengatakan ia harus begitu.
Namun, di saat yang sama, Bigel juga tak bisa menghentikan Roy yang banyak bicara.
"Lo tau enggak, Gel, kalau Ales itu pengen kerja di kapal?"
"Kapal?"
"Pesiar, cita-citanya. Cuma karena dia pengen banyak uang dengan jadi bartender. Dia capek hidup pas-pasan kayaknya. Dia bilang, kalau dia sampai beneran berlayar, Ocong buat gue. Gue ketawa banget pas denger itu, Gel, kayak ... dia tuh sayang banget sama Ocong, tapi cuma-cuma mau dia kasih ke gue kalau dia bisa berlayar."
"Ales money oriented sekali, ya?"
Roy mengangguk membenarkan pertanyaan Bigel. "Karena enggak terbiasa hidup dengan banyak uang kayak lo, Gel. Dan gue rasa, apapun yang menguntungkan buat dia, pasti bakal dia terima."
"Apa pun resikonya?"
"Apa pun resikonya."
"Wah ...."
"Well yeah ... sisi gelap Ales. Orang ganteng juga bisa enggak sempurna, Gel. Ales bahaya kalau udah diikat uang."
"Tapi, bukannya memang semua orang begitu?"
Respons Bigel cukup mengejutkan Roy. Pikirnya, Bigel akan kehilangan ketertarikan ketika ia menyebutkan tentang sisi lain Ales. Namun, tampaknya Bigel malah melihat itu sebagai hal yang wajar.
"G-gimana, Gel?"
"Gue enggak membenarkan karakter Ales. Tapi, semua orang memang bisa gila kalau berurusan sama uang, Roy. Enggak cuma Ales, dan enggak cuma orang dengan kondisi keuangan yang kurang. Mereka yang 'berlebih' pun masih bisa gila kalau udah kena uang."
"Kak Bigel! Aaaah, akhirnya beres juga semua!"
Dan Elio datang, menghancurkan percakapan yang Roy bangun dengan Bigel. Kehadiran Elio juga menjadi akhir bagi topik 'uang' yang sebelumnya mereka bicarakan. Sontak pembicaraan berubah arah, Bigel lantas menanggapi Elio yang menghampirinya dengan masih berbalut apron Fleur Teapot.
"Thanks ya, El. Sana simpan apronnya di belakang, habis itu langsung kunci pintu backroom, kita pergi dari sini."
Meski Elio senang membantu, tapi khusus hari ini hatinya terasa begitu berat. Ia dipaksa meninggalkan toko bunga yang ia cintai, toko bunga yang sudah dianggapnya seperti rumah kedua. Ia dipaksa melepaskan Bigel yang sudah dianggapnya seperti kakak untuk pergi meninggalkannya. Tentu ini tak mudah bagi Elio. Bahkan untuk sekadar berbalik badan dan menyimpan apron di ruang belakang saja rasanya sulit. Tapi mau tak mau, tetap harus ia lakukan, ini perintah dari pemilik Fleur Teapot.
Dan tepat setelah ini, ia harus mengucapkan selamat tinggal.
•
♡
to be continue ...
♡ Xadara Goe
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top