43 | think twice, ales

SEMALAM, Ales urung menceritakan keganjalan di hatinya kepada Roy. Pasca Bara menelepon, Ales memilih untuk menyimpan kegelisahannya sendiri. Ia enggan berbagi beban dengan seorang teman. Ia mulai menyimpan rahasia sendirian.

Tak pernah ia sangka, hubungan yang hanya terjalin dalam hitungan hari akan membawanya kepada urusan panjang seperti ini. Tak pernah pula ia duga, ia akan berdiri lagi di depan pintu kaca Grha Batara dan kali ini untuk menghadap salah satu petingginya. Bara Tanuwidjaja. Ales datang untuk memenuhi invitasinya.

Mungkin ia telah gila. Sebelum berdiri di sini, pagi tadi ia telah meninggalkan rumah dengan penghuni dan tamu yang masih terlelap pulas, lalu pergi tanpa berpamitan. Ia memilih untuk sarapan di luar, di toko kelontong tempat ia biasa membelikan hotang untuk Bigel, sebelum ia datang ke Grha Batara.

Dan di sinilah ia sekarang, di gedung milik keluarga mantan kekasih palsunya.

"Selamat pagi. Mau ke mana, Pak?"

Suara seorang security menghentikan lamunan Ales di depan pintu Grha Batara.

"A-ah, iya. Saya mau ke kantor Batara Dharmawisata. Ada janji dengan Pak Bara Tanuwidjaja."

"O-oh?" Security itu tertegun untuk alasan yang bisa Ales ketahui. Yah, paling-paling ia terkejut karena Ales hendak bertemu langsung dengan pimpinan perusahaan yang Ales sebutkan.

"Les!"

Kebetulan, entah kebetulan macam apa lagi sekarang, seseorang memanggil nama Ales dari arah belakang. Haga di sana, berlari kecil menghampiri Ales yang sedang bersama seorang security.

"Haga?"

"Lo ngapain di sini?" tanya Haga.

"Ketemu partner lo."

"Eh? Bara?"

Ales mengangguk. "Gue ada janji. By the way, thank you banget buat mobil lo kemarin ya, Ga. Sorry semalam gue langsung cabut, capek banget jadi enggak sempat cerita apa-apa."

"No worries, Les. Lo udah makan siang? Mau makan dulu bareng gue? Kebetulan gue juga mau ketemu Bara, tapi janjinya masih jam dua nanti."

Ales menggeleng, ia memang belum makan siang, dan hanya sarapan ala kadarnya di toko kelontong.

"Oke, makan di kafetaria sini aja, ya."

Ales setuju-setuju saja. Sembari menunggu Bara menghubunginya lagi, tak ada salahnya ia makan siang bersama Haga. Toh makan siangnya masih di gedung yang sama, ia tak akan ke mana-mana, Bara tak akan kelimpungan mencarinya dan Ales dapat segera menghadap Bara tanpa membuang banyak waktu sibuk pria itu.

Haga yang memesan, Ales hanya memperhatikan dan menunggu. Haga tampak sudah akrab sekali dengan tempat ini, Ales sedikit merasa bangga, pelanggan setianya ternyata bisa melepas kehidupan foya-foyanya. Haga terlihat sangat berbeda dari Haga di tahun sebelumnya yang ia kenal hobi bolak-balik bar setiap malam.

"Lama-lama kantor lo kayak di sini, Ga." Ales membuka obrolan, setelah Haga selesai memesan dan duduk menunggu makanannya diantar bersama Ales.

Haga terkekeh sebelum menjawabnya. "Ya begitulah, masih banyak yang perlu gue urus sama Bara soal resort. Lo sendiri? Kok bisa punya janji sama dia?"

"Ya, urusan gue gitu-gitu aja, Ga. Apalagi kalau bukan duit."

Haga tertawa terbahak-bahak. "Masih enggak berubah lo ya."

Ales menaik-turunkan bahu, pertanda ia pun tak tahu mengapa ia begitu. Namun biasanya, jika berurusan soal uang, Ales akan tersenyum lebar. Entah kenapa, kali ini tidak. Dan berat bagi Ales rasanya untuk sekadar tersenyum saja.

"Bara janjiin apa?" tanya Haga dengan nada bicara yang berubah seketika, ada inti keseriusan di sana.

Ales bergidik tak tahu, "Dia cuma bilang dia punya imbalan."

"So? Apa yang dia minta dari lo?"

"Jagain Bigel."

Haga merengut bingung. Ales tak menambahkan lagi kata-katanya, ia merasa sudah cukup sampai disitu. Toh, inti dari permintaan Bara seperti itu 'kan? Mencegah Bigel untuk buka suara tentang hubungan mereka sebelumnya, memastikan Bigel tak membenci Bara, dan memastikan Bigel hadir di acara pernikahan nanti. Ales menarik kesimpulan bahwa ia harus menjaga Bigel dan berada di sisinya sampai hari pernikahan tiba, Ales harus memastikan semuanya berjalan sesuai kemauan Bara.

"Jagain Bigel?"

"Uh-hum."

Dan Haga pun menghela napas panjang.

"Gue enggak begitu paham sesuatu yang ngambang begini. Tapi apa pun yang Bara minta dari lo, dan apa pun imbalannya, better lo tolak dari sekarang. Berurusan sama 'keluarga itu' bukan hal main-main, Les. Mending lo lepas tangan dan lupain semuanya, sebelum segala hal jadi bumerang buat lo."

Ales mendengar baik-baik saran sekilas dari Haga di tengah jam makan siang mereka. Ia tak menanggapinya dengan jawaban apa-apa, makanan sudah keburu datang dan harus segera disantap sebelum Bara menghubunginya untuk melaksanakan pertemuan.

"Entah ini gue aja yang merasa aneh, atau emang lo yang aneh. Tumben lo enggak banyak omong."

"Makan dulu, Ga."

"Enggak usah terlalu mikirin Bara, Les."

Haga mengatakannya dengan tulus. Ia benar-benar menginginkan Ales untuk tak terlalu memikirkan Bara. Tapi tampaknya, Ales tak bisa terima.

"Dia janjiin gue kerjaan bagus, kayaknya. Dan kalau bener, mana mungkin gue tolak. Kan lo juga tau sendiri hubungan gue sama Bigel udah selesai, kita udah enggak ada apa-apa, kenapa harus gue tolak tawarannya Bara? Gue udah enggak ada ikatan juga sama Bigel. Harusnya enggak ada masalah 'kan? Keberuntungan enggak datang setiap hari, Ga. Dan lo mungkin enggak ngerti posisi gue karena ya lo sendiri lahir dari keluarga kaya. Boro-boro mikirin kerja apa nanti, kuliah aja lo ngaret-ngaretan. Sekalipun telat lulus, kerjaan lo juga masih bagus. Duit lo masih oke. Lah gue?"

"Whoah, whoah, santai, Les."

Haga saja tak menyangka Ales bisa sebegininya. Haga tahu dan kenal betul Ales seperti apa, ia jelas mengerti Ales menyukai uang. Ia pun tahu pekerjaan sampingan yang Ales lakukan, menyewakan diri menjadi pacar-pacaran. Tapi Haga tak tahu manusia paling santai yang ia kenal itu tiba-tiba menjelma menjadi ia yang paling memikirkan karir dan masa depan. Dan sejak kapan, Ales jadi sensitif begini? Heran Haga dibuatnya.

"S-sorry, Ga."

"Ada sesuatu yang salah sama lo."

"Sorry. Gue lagi pusing aja, sorry banget."

"Lo berat di Bigel?"

"Enggak. Udah enggak ada urusan."

"Enggak tapi lo merengut padahal mau buat 'kontrak' baru sama Bara."

"Enggak, lo enggak ngerti, Ga."

Haga yang di mata Ales tak memahami masalahnya saat ini, berdecih dan membuat Ales semakin merasa salah karena telah menganggap Haga remeh. Ditambah lagi, Haga meludahinya dengan kata-kata tajam, menusuk lurus ke lubuk hatinya yang paling dalam.

"Persetan tawaran Bara dan perasaan lo yang gue enggak tau gimana, tapi lo macam orang enggak punya koneksi selain seorang Bara Tanuwidjaja, Les."

Ales kali ini diam, memberikan waktu bagi Haga mencaci makinya jika memang hal itu diperlukan.

"Si-anak-yang-terlahir-kaya ini, lo pikir enggak bisa kasih lo kerjaan bagus? Buka mata lo, Alessandro, bisnis gue juga relate di industri pariwisata. Jadiin lo head bar di resort Jakarta atau Bali dengan gaji lebih dari Nyx? Kecil bagi gue, Les."

Ales total terdiam. Haga tepat membolak-balikkan perasaannya saat ini. Dirinya terguncang bukan main.

Lagi dan lagi, Ales tak tahu harus berbuat apa. Memanglah benar bahwa sebetulnya ia tak ingin mengkhianati Bigel, tapi di sisi lain ia pun belum tahu apa yang akan Bara berikan kepadanya. Pun memanglah benar bahwa ia lupa mengenai Haga yang memiliki kemungkinan untuk memberikannya pekerjaan, jelas hal ini membuat perasaan Ales semakin tak enak terhadap Haga. Seolah ia telah melupakan teman baiknya.

"Abaikan tawaran Bara, pikirin akibatnya di diri lo. Itupun kalau lo masih punya otak."

Selepas itu, makan siang mereka diiringi keheningan semata. Haga tak banyak bicara lagi, Ales pun sama. Bahkan setelah mereka selesai, Haga pamit lebih dulu dan meninggalkan Ales sendiri di kafetaria. Ales tak menahannya sama sekali, ia tahu, ia mungkin telah mengecewakan temannya yang satu itu.

Dan seolah semesta ini tengah bermain-main dengannya, panggilan dari Bara muncul setelah ia selesai dengan Haga.

"Halo?" Ales menyapa lebih dulu.

'Saya di ruangan. Minta resepsionis untuk akses ke kantor saya, ya.'

"Baik, Pak."

' Saya tunggu, Ales.'



to be continue ...- Xadara Goe -

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top