41 | october rain

Hujan turun begitu deras.

Langitnya begitu gelap, dingin pun menyelimuti rumah yang kehilangan kehangatannya. Gemuruh langit dan halilintar yang menggelegar pun meredam suara di dalam. Begitu sunyi dan sepi, dingin dan menusuk, semuanya terasa begitu kosong. Seperti tak ada satu pun manusia yang hidup jiwanya di dalam rumah kecil ini, meski pada kenyataannya empat raga tengah berada di bawah atap yang sama.

Ales, Bigel, Roy, dan Elio.

Semuanya dalam keheningan masing-masing. Bahkan hingga hari berganti malam, hujan pun masih setia menemani mereka. Dan tak satu pun di antaranya saling berbicara.

Bisu.

Sengaja membisukan diri. Sengaja tak peduli. Namun, ada yang tak sengaja menyakiti satu sama lain. Dua pria yang lebih seperti dua bersaudara itu tak bertukar sapa sejak menginjakkan kaki di rumah mereka. Sementara si gadis yang tengah patah hati memilih untuk tak peduli dengan siapa ia di sini, atau sedang di mana ia sekarang, ia hanya ingin melamun dan merenungkan nasib sial yang menimpanya. Tersisa hanya satu yang masih waras di antara mereka. Elio.

"Aku lapar, ada yang mau order makanan?"

Duar!!!

Tanpa perlu Ales, Bigel, atau Roy tanggapi, petir sudah menjawab pertanyaan Elio.

"Okey, hujan ... sorry. Umm, kalau gitu, Kak Roy punya mie enggak? Atau telur? Atau sosis? Nugget? Aku bisa masak kok. Kalian juga pasti lapar 'kan? Kita belum makan dari siang dan kita enggak mungkin keluar juga, di luar hujan angin."

"Hujan angin ...."

Sontak, Elio menoleh ke arah Bigel yang sedari tadi terus-terusan menatap ke luar jendela. Sejak mereka sampai hingga detik ini, baru sekaranglah suara Bigel akhirnya terdengar.

"Hujan angin, Elio."

"Ah, iya ... hujan angin, Kak Bigel. Kenapa, Kak? Kakak mau makan di luar, ya?"

"Acaranya ... bunganya ...."

Elio mengernyit untuk beberapa detik, sebelum akhirnya ia sadar ke mana arah bicara Bigel. "Kak, Kak Bigel lapar enggak? Atau mau aku temenin ngerokok di depan? Kita duduk di teras, yuk?"

Ales dapat mendengar bagaimana Elio berusaha membuat hati Bigel tenang, ia pun berada di ruang yang sama. Begitu pula dengan Roy, meski keadaannya sedang tak baik dengan Ales, ia masih mementingkan perasaan perempuan di sini. Jadi, mereka semua berkumpul di satu ruang yang sama, meski hanya diselimuti keheningan sejak mereka datang. Ruang tamu Roy yang kecil ini sebetulnya membuat ia pribadi merasa tak nyaman, tapi tampaknya Bigel tak keberatan sama sekali. Gadis itu tak terdengar mengeluh sedikit pun. Entah ke mana pikirannya sekarang.

"Kak Bigel? Ayo, Kak." Elio pun masih terus berusaha.

"El."

"Ya?"

"Di luar hujan."

"Ah, iya sih. Nanti malah kedinginan ya, Kak, kalau merokok di depan? Hmmm, apa mau pinjam jaket Kak Ales?"

"Di luar hujan, Elio."

"Iya, terus aku harus gimana, Kak? Kak Bigel enggak mau merokok? Atau mau merokok di sini? Memangnya boleh sama Kak Roy kalau merokok di dalam ruang—"

"Bara ... acaranya Bara gimana, El?"

"Huh?"

"Di luar hujan, tamu-tamu ayah gimana? Bunga yang gue kerjain sama Ales ... gimana nasibnya? Apa acaranya Bara ... berantakan?"

"Kak Bigel, ini bukan waktunya mikirin acara mereka. Well, mungkin ini karma?"

"Karma?"

"Yup, karma! Jadi, Kak Bigel enggak usah mikirin mereka, okey? Sini peluk aku aja!"

Alih-alih Ales, malah Elio yang berusaha sedemikian rupa untuk membuat Bigel melupakan tentang hari ini. Ia memeluk Bigel dari samping, tak peduli meskipun Bigel tak membalas pelukannya sama sekali. Gadis itu tetap menatap lurus ke arah jendela, mengamati bagaimana hujan turun dengan begitu derasnya malam itu.

Tak hanya Bigel yang sendu di sini. Bahkan Roy yang tak begitu mengenalnya dapat merasakan kesedihan Bigel. Dikhianati bukanlah perkara sepele di dunia ini. Dan melihat Elio memeluk Bigel yang kosong, sedikit membuat Roy tak tahan, ia lemah terhadap hal-hal yang sentimental.

Lantas Roy bangkit dari duduknya, pergi ke dapur, memilih untuk memasak apapun yang ia punya. Hari sudah malam, dan benar kata Elio, mereka semua belum makan apa-apa sejak siang. Roy mengalah terhadap egonya, dan kembali menjadi Roy yang peduli kepada teman-temannya.

Sementara Ales masih merasa kacau. Ia benar-benar merasa tak berguna sekarang. Mulai dari dirinya yang tak memiliki apa-apa, pun tak bisa berbuat apa-apa untuk Bigel, ditambah dengan ucapan Roy yang menyakiti hatinya. Ia benar-benar merasa seperti sampah yang tak berguna.

"Les."

Ales menoleh, suara itu menghempaskan lamunannya. Roy kembali, ia menghampiri Ales yang melamun sendirian. Roy datang dengan secangkir teh manis panas, berhubung malam ini hujan dan Roy merasa teh panas cukup untuk menghangatkan suasana.

"Minum dulu, gue lagi masak nasi."

"Thanks."

"Sorry buat yang tadi siang. Gue enggak bermaksud begitu."

Ales hanya mengangguk, wajahnya datar, perasaannya masih mengganjal. Ia tak marah, tapi tak juga bisa semudah itu untuk menerima ucapan Roy. Ada sedikit sakit di hatinya.

"Sorry, Les. Kalau enggak ada lo pun, gue enggak tau gimana hidup gue sekarang."

Ales diam. Roy membawanya ke memori masa lampau, masa di mana mereka belum hidup bersama, masa di mana mereka masih sama-sama kesulitan dengan hidup mereka. Masa di mana Roy ingin mengakhiri hidup, tepat ketika Ales sedang memikirkan bagaimana cara melanjutkan hidupnya di tengah ibukota.

"I mean, gue hutang nyawa sama lo. Gue mungkin enggak bakal tau enaknya selai kacang yang paling lo suka itu, atau minuman-minuman racikan lo di Nyx, dan bahkan mungkin gue enggak bakal kenal Ocong yang setia sama kita. Gue juga mungkin enggak bakal tau rasanya hidup bareng teman, kalau lo enggak narik gue dari tepian rooftop kampus waktu itu. Lo inget 'kan, Les? Itu semester pertama kita kuliah, dan kita lagi kusut-kusutnya."

Mana mungkin Ales lupa akan kejadian itu.

"Dan gue sekarang sangat bersyukur lo di sini sama gue, Les. So please, forgive me? Gue enggak mau sendirian lagi."

Ales ingat, di masa itu Roy tak memiliki siapa-siapa untuk diajak bicara. Roy yang masih berusia delapan belas itu tak tahu hidupnya harus dibawa ke mana, ia berpikir lebih baik mati daripada menghadapi kesendirian di dunia ini. Tapi Ales datang, Ales berada tepat di belakang Roy yang tak menyadari keberadaan Ales di rooftop itu. Mulanya ia hanya ingin merokok sembari memikirkan solusi untuk hidup di kota ini setidaknya sampai ia lulus kuliah. Tapi yang ia dapati adalah seorang pemuda yang ingin mengakhiri hidupnya. Ia tak berniat menjadi pahlawan, tapi sekiranya Roy di masa itu telah menganggap Ales sebagai penyelamatnya.

"Les, maaf?"

Ales menghela napas. "Oke."

"Cool! So, kita aman 'kan?"

"Aman."

"Haha! Alright! Gue tinggal masak dulu."

"Ya, ya, okey."

"Ah, iya!"

"Apalagi? Udah gue maafin, Roy. Sana ah, gue butuh sendiri dulu bentar. Nanti gue ke dapur."

"Enggak, enggak. Bukan itu. Maksud gue, Bigel. Coba reach dia, Les, gue sedih liatnya. Hari belum berganti, dan lo masih pacarnya Bigel. So, jangan biarin dia sedih sendirian kalau emang lo BF rent yang profesional."

Roy pun pergi dan menutup pembicaraannya dengan seulas senyuman. Ales lagi-lagi harus menghela napas dalam-dalam. BF rent profesional, katanya.

Memiliki rasa suka lebih daripada seharusnya saja sudah membuat ia tidak profesional. Dan Ales sepenuhnya sadar akan hal itu. Ales telah kehilangan profesionalitasnya.

Ia menyukai Bigel lebih daripada seharusnya.

Dan ia merasa bingung harus bagaimana sekarang.

Agaknya ucapan Haga belum cukup menampar Ales. Bigel yang sedih membuat Ales lupa akan siapa dirinya di sini. Mendadak ia ingin memberikan segala hal yang ia punya hanya kepada gadis bernama Abigail Ananta. Mendadak ia ingin hubungannya lebih daripada kontrak yang menghubungkan mereka. Mendadak ia ingin memeluk Bigel sebagaimana seorang kekasih sejati. Mendadak ia bangkit dari kursi, perlahan melepas Elio dari tubuh gadis yang ia panggil Bos Bi, dan menggantikan pelukan itu dengan pelukan hangat miliknya. Ales menarik Bigel bersandar di dadanya, dipeluknya gadis itu sembari terus mengusap-usap puncak kepalanya.

Elio mundur, ia memberi ruang untuk Ales dan Bigel saling menghangatkan di sofa yang tak begitu besar.

"Ales?"

"Hm?" Ales tak melepas pelukannya. Getar suara Bigel terasa menembus ke dalam dada.

"Ales ...."

Suaranya semakin bergetar, mungkin tangis akan segera pecah setelah mati-matian ia tahan dalam diam.

"A-Ales ...."

Ales tak tahan lagi mendengar gemetar suara gadis dalam pelukannya.

"Shh, shh, semua baik-baik aja, Bos Bi. Semua baik-baik aja. Gue ada di sini, right?"

Dalam pelukan itu, Bigel mengangguk pelan. Pelukan yang tak ia berikan kepada Elio, ia berikan kepada Ales dengan begitu erat. Bigel memeluknya, mencari kenyamanan dan rasa aman di sana. Lama kelamaan, Ales dapat merasakan napas Bigel mulai tersengal, meski tak terdengar isak tangis sama sekali. Dan detik itu juga, Ales mengeratkan pelukannya. Diam-diam berjanji dalam hati, kalau suatu saat nanti ia akan dipertemukan kembali sebagai sepasang kekasih setelah hari ini, ia bersumpah akan menjaga air mata kekasihnya agar tak tumpah. Ales sesak melihat Bigel sebegini menderitanya karena sebuah cinta.

"A-Ales ...."

"Shh, gue di sini, Bos Bi. Gue di sini."

Pelukan itu semakin tak bisa Ales lepas. Usapan-usapan di puncak kepala Bigel mulai berubah menjadi kecupan-kecupan yang penuh akan obat penenang. "Semua baik-baik aja, Bos Bi. Semua akan baik-baik aja."

Dan Elio menyaksikan itu semua dengan rasa sesak yang memenuhi dada. Ia bersama dengan Roy yang begitu sentimental, terpaku melihat bagaimana sepasang kekasih palsu itu berpelukan dalam sebuah duka mendalam. Tak ada yang menyangka, hari terakhir hubungan mereka ditutup oleh sebuah pelukan yang terlalu bermakna. Pada akhirnya, mereka pun khawatir pelukan ini hanya akan membawa luka di hari-hari setelahnya.

Ales sudah kehilangan akal, dan Bigel tak mampu lagi mengendalikan


to be continue ...

♡ Xadara Goe ♡

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top