39 | the betrayals
Waktunya pun tiba.
Pukul satu siang, Ales mengabarkan kepada Bigel bahwa ia akan menjemputnya. Bigel menerima pesan itu, ia terpaku di depan meja rias dan berulang kali membaca pesan dari Ales, takut-takut ia salah memahami pesannya.
Namun, mau seribu kalipun ia baca, hasilnya akan tetap sama. Dan Ales memperkuat pesannya dengan mengirimkan foto bahwa ia sudah di jalan, ia berada di dalam mobil, dengan entah siapa yang menyetir di sampingnya.
"Bi? Kamu enggak turun? Ayah nunggu."
Dan di tengah-tengah kebingungannya itu, Bara tiba-tiba muncul di ambang pintu. Mentang-mentang pintunya setengah terbuka, Bara masuk begitu saja.
"Batik baru? Kakak baru lihat."
Pantulan Bara muncul di cermin rias Bigel. Muak sekali melihat wajahnya di sana. Hingga rasanya Bigel ingin meninju cermin itu, alih-alih meninju Bara langsung.
"Duluan. Aku jalan sama pacarku."
"Oh? Kamu dijemput?"
"Iya."
"Naik Vespa putih itu? Tapi kamu udah pakai dress gini, Bi. Ikut semobil aja sama Kakak, ya?"
"Bara?" Suara seorang wanita terdengar dari ambang pintu kamar Bigel, sontak membuat dua muda-mudi itu menoleh. Seseorang datang menginterupsi obrolan singkat mereka. "Ayah udah nunggu di bawah, ayo jalan."
"Sebentar, Ma. Bara lagi nunggu Bi—"
"Jalan, Kak. Sana pergi."
"Bigel, gapapa Kakak tungguin daripada kamu naik motor."
"Motor?" Wanita itu ikut membeo. "Bigel, kamu naik motor sama siapa?"
"Pacarnya, Ma." Bara yang menjawab.
"Bigel, memang kamu tau rumahnya? Kenapa pergi sendiri?"
"Entahlah, entah sejak kapan kamu jadi keras kepala gini, Bi," imbuh Bara.
"Bara, turun kamu. Kamu juga dibilanginnya susah, harus berapa kali Mama bilang kalau Ayah nunggu?"
Kalau ibu negara sudah hampir naik pitam, Bara hanya bisa pasrah. Ia penurut sekali jika itu berhubungan dengan ibunya. Usiran Bigel tak mempan kepada Bara, tapi begitu ibunya yang melakukan, hanya dalam hitungan detik Bara pergi meninggalkan kamar Bigel.
Sementara itu, alih-alih ikut pergi, ibu sambung itu malah masuk ke dalam kamar. Ia berdiri di belakang Bigel yang duduk di hadapan cermin, mengambil posisi yang sama seperti Bara sebelumnya. Ibu dan anak memang kadang memiliki sikap yang sama.
"Bigel," ia memegang kedua bahu Bigel, "Mama ngerti perasaan kamu. Sulit pasti, ya, lihat orang yang kita sayang menikah dengan orang lain? Mama pernah ada di posisi itu."
Sontak, Bigel melonjak terkejut. Selama ini, tak ada satu pun kepala di rumah yang mengetahui bagaimana hubungan ia dan Bara. Namun, tiba-tiba saja ...?
"Mama minta maaf, Bara mungkin berbuat terlalu jauh sama kamu. Dan dengar kamu mau berangkat sama pacarmu, Mama senang, kamu akhirnya punya pacar lagi yang mungkin bisa bikin kamu jauh lebih bahagia daripada anak Mama."
Lagi? Daripada anak Mama? Perasaan Bigel semakin tak enak. Usapan lembut di bahunya terasa sama sekali tak nyaman.
"Tapi, Bigel ... Mama benar-benar khawatir, Mama takut ...."
Setelah mengucapkan itu, sang ibu diam. Tak melanjutkan kata-katanya seolah tercekat di tenggorokan, sementara Bigel masih menunggu apa ketakutan dari ibunya itu. Namun sayang, beliau malah mengalihkannya begitu saja.
"Kalau memang kamu seenggak mau itu pergi bareng sama kita, gapapa, Sayang. Tapi ... kuat-kuat, yah? Mama percaya sama kamu, kamu jauh lebih kuat daripada yang Mama tau. Kamu boleh tarik Mama jauh-jauh, dan nangis sepuas kamu, kalau memang nanti kamu butuh Mama ya, Bi? Mama ... Mama benar-benar minta maaf."
"Tenang aja, Ma. Bigel baik-baik aja."
Ibu Bara tersenyum, "Alamatnya Mama kirim, ya? Atau ... pacarmu kita tungguin aja, biar kalian ngikutin dari belakang, gimana?"
"Enggak perlu, kemarin Bigel udah ke sana kirim bunga."
"H-hah? Siapa yang suruh kamu ke san—"
Riiiiing!!!
Nama Ales muncul di layar ponsel Bigel yang tergeletak. Dengan cepat, Bigel mengambilnya dan mengangkat panggilan tersebut.
"Ales! Udah di mana?"
'Sudah sampai, Tuan Putri. Ayo turun, kita berangkat, hehe.'
"I-ini kita serius naik ...."
'Palisade? Iya. Jadi ayo cepat kita jalan, Bos Bi sayangku cintaaaa.'
Jika Ales bisa melihat wajah Bigel yang mengerjap tak percaya, ia pasti akan tertawa. Bigel tiba-tiba kehabisan kata-kata, tak tahu lagi ia harus menjawab apa selain 'iya' dengan gagap, hingga panggilan diakhiri oleh Ales. Secepat kilat, Bigel menyambar tas dan langsung berlari turun demi memastikan kehadiran dan ucapan Ales. Ia meninggalkan ibu sambungnya begitu saja, segera membuat si ibu pun ikut berlari mengejar Bigel sambil terus meneriakkan Bigel untuk berhati-hati karena gadis itu mengenakan sepatu hak tinggi.
"Mama! Kenapa lari-larian?" Bara menegur ketika ibunya nyaris melewati ia dan ayahnya di ruang tamu.
"Itu, Bigel tiba-tiba lari!"
"Oh, paling dia mau nemuin pacarnya di depan."
"Pacar?" Adam membeo. "Bigel punya pacar, Bar?"
Bara mengangguk, "Dia bilang dia mau jalan sama pacarnya, Yah. Dia enggak ikut di mobil Bara."
"Ya sudah, ayo jalan. Keluarga Alin pasti sudah nunggu kita. Biar Bigel ikutin di belakang kalau memang maunya dia begitu," kata Adam.
♡
Bigel masih tak bisa menyangka, Ales benar-benar menjemputnya dengan mobil, ditambah lagi ada seseorang yang juga bersedia menjadi supir. Bigel duduk di belakang bersama Ales, seorang teman yang Bigel ketahui bernama Roy itu duduk di depan sendiri, benar-benar tampak seperti sedang menyupiri sepasang bos di belakangnya.
"Bos, kita ikutin mobil di depan aja? Atau mau mencar jalannya?"
"Ikutin aja."
"Oke, Bos. Roy, ikut mobil depan, ya!"
"Siap, Tuan Muda."
Ales senyam senyum, Roy juga terkikik sendiri setelah membuat panggilan baru untuk temannya itu. Tapi untuk Ales, senyum itu tak benar. Ia hanya berusaha untuk tersenyum, lebih tepatnya. Karena Ales masih tak bisa lupa akan ucapan Haga, tentang siapa Abigail Ananta yang duduk di sebelahnya dan mengenakan batik senada dengan dirinya.
Lebih daripada itu, Ales terus mempersiapkan diri, menguatkan mentalnya untuk nanti menghadapi Bigel yang kemungkinan besar akan mengamuk setelah tahu siapa wanita yang akan dilamar Bara hari ini. Sepanjang mengenal Bigel, kurang lebih Ales sudah cukup mengerti sifat Bigel. Gadis itu pemarah dan ada indikasi mudah mengamuk, menurut Ales.
Lantas begitu mobil mulai masuk ke wilayah perumahan, Ales mulai berdebar, lebih kencang daripada sebelumnya. Sesekali Ales mencuri-curi lirik, penasaran seperti apa ekspresi Bigel sekarang, dan yang ia dapati hanyalah wajah tenang dengan sorot pandang lurus ke depan. Jauh di dalam hatinya, Ales benar-benar takut. Entah apa yang akan terjadi setelah ini. Sementara Ales berusaha membuat dirinya tenang, Roy bersenandung senang mendampingi perjalanan mereka hari ini.
Jantung Ales terus berdebar tak karuan, tapi semua ini karena sebuah ketakutan. Sungguh ia takut Bigel mengamuk di acara itu, dan ia takut dirinya tak bisa apa-apa di sana. Masalahnya, raut wajah Bigel tampak sudah siap sekali untuk marah dan menghancurkan seluruh bunga yang sudah ia tata cantik. Semua itu sebatas ketakutan-ketakutan Ales yang belum tentu terjadi, hingga akhirnya ... sampailah mereka di kediaman kekasih Bara.
Mereka sampai. Dan Bigel turun dari mobil masih dengan begitu tenang. Ia bahkan melingkarkan tangannya di lengan Ales, tersenyum cerah, seolah ia adalah perempuan yang paling bahagia di sini melebihi si pemilik acara itu sendiri. Ketika Bara melihatnya, Bigel langsung membuang muka. Tak mau peduli, meski jauh di dalam lubuk hatinya masih terasa perih.
Dan Ales masih ketakutan setengah mati, ia terus memikirkan bagaimana jadinya jika Bigel dan Alin saling berhadapan hari ini.
"KAK BIGEL!"
Ales yang tersentak, sementara Bigel menoleh dengan tenang. Elio berlari menghampiri keduanya, sendirian.
"El."
"Ih cocok banget bajunya!"
"Thanks. Lo juga beda pakai kemeja begini. Ganteng."
"Heuh? Padahal lebih berharap dibilang cute, udah pakai warna sky blue gini."
Bigel mendenguskan tawa, Elio memang berbeda dibanding laki-laki yang pernah ia kenal. Ia memang agak sedikit menggemaskan, tak salah opini orang-orang tentang dirinya.
"Iya, cute, okey. Tapi kok, siang-siang gini udah datang? Pestanya kan baru sore nanti? Sekarang lamaran aja belum dimulai, El."
Elio melirik Ales sekilas, keduanya saling bertukar tatap dan diam-diam panik. Namun untungnya, mereka pandai menutupi kepanikannya untuk sementara. Elio mengalihkan pandang dari Ales, dan kembali menatap Bigel sembari berujar dengan ceria ala Elio biasanya.
"Huh! Itu dia! Aku 'kan harusnya jalan sama Ce Alin, tapi dia bilang enggak bisa jemput aku jadi aku jalan sendiri deh. Terus juga aku tanya Kak Ales kapan berangkat, dia bilang siang ini, jadi okey aku ikut siang aja datangnya hehe!"
Semua baik-baik saja sampai detik itu. Namun ketika akhirnya Bara, Adam, dan sang ibu tiri menghampiri mereka bertiga, Bigel sudah merasa inilah waktunya. Inilah waktunya ia menghadapi perempuan yang kini tengah mengandung anak Bara. Perempuan yang entah secara sengaja atau tidak, memutus hubungannya dengan Bara yang ia cinta.
Maka saat itu, Bigel mengeratkan pegangannya pada Ales, meyakinkan diri bahwa ia akan baik-baik aja setelah melewati hari ini. Bigel akan menganggap ini sebagai sebuah latihan, sebelum melihat Bara berada di altar untuk sebuah pernikahan. Lantas ia mengulas senyum cantiknya, berjalan dengan langkah yang menahan gemetar, mengikuti Bara, ayah, dan ibu sambungnya masuk ke kediaman wanitanya Bara. Ales tak lepas berada di sisinya, dan Elio mengekor di belakang mereka, turut menjaga dan memastikan kondisi akan aman-aman saja. Diam-diam juga Elio berdoa dalam hati, semoga tidak ada keributan di sini.
Hingga, sampailah mereka pada sebuah ruang keluarga. Sebuah ruang di mana wanitanya Bara duduk menunggu prianya, bersama ibu dan ayahnya di sana. Wanita berambut pirang itu duduk tertunduk, dan Bigel mengamatinya, sementara para orang tua saling menyambut. Saat itu, Ales memberikan sedikit rasa aman untuk Bigel ketika ia mengusap-usap punggung tangan Bigel yang melingkar di lengannya.
"Everything is fine, Bos Bi. Everything is fine."
Ales kira, setelah ia memberikan bisikan lembutnya, Bigel akan semakin kuat. Pikirnya, Bigel akan tetap kokoh berdiri di sampingnya dan tak akan melepas genggamannya. Namun, semua perkiraan itu salah.
Tangan Bigel perlahan melepas genggamannya pada Ales. Kakinya tak lagi berdiri kokoh di samping kekasihnya, tapi mulai mengambil langkah dengan gemetar mendekati wanitanya Bara. Tangannya mengepal, terlihat kuat tapi lemah di saat yang sama. Seluruh pasang mata pun mulai tertuju ke arahnya, ke arah gadis yang mengenakan dress batik berwarna abu-abu gelap di tengah mereka semua yang cerah meriah.
"K-Kak Bigel ...."
"El." Ales menghadang Elio. Anak kecil yang sesungguhnya hanya berbeda tiga atau empat tahun dari Ales, hendak mencegah Kak Bigel-nya untuk menghadapi wanita jahat di sini. Wanita jahat, Elio menganggapnya begitu.
"T-tapi Kak Ales, gimana kalau Kak Bigel ...."
"Dia bakal baik-baik aja."
"Kak ...."
"Dia cuma butuh tau kebenarannya, Elio."
Bahu Elio seketika lemas, sementara Bara mulai terlihat tegang. Lain lagi dengan para orang tua yang seolah tak peduli dengan anak-anak mereka, mereka bercengkerama di tengah ketegangan anak-anaknya. Suara tawa dari para ibu yang mengenakan perhiasan mahal dan riasan wajah yang begitu totalitas, juga suara tawa-tawa formalitas dari para bapak yang obrolannya menyinggung bisnis mereka, Ales tak menyangka akan seperti ini keadaannya. Mereka tampak tak peduli sama sekali dengan Bigel yang sudah mendudukkan diri di sofa, berhadapan dengan Alin yang masih menundukkan kepala. Malah yang ada, para orang tua meninggalkan area keluarga dan mulai asik sendiri-sendiri sebelum acara lamaran benar-benar berlangsung. Tapi tepat sebelum itu, Ales bisa melihat lirikan khawatir dari ibu tiri Bigel sebelum ia pergi bersama ibu Alin.
Kini, tinggal mereka yang muda yang mengerti permasalahannya, yang juga sama-sama sedang tak tenang.
"So ... what's now?" gumam Elio, pelan, tepat terdengar di telinga Ales yang berdiri di sebelahnya.
"Shh, diam."
Sedetik kemudian, suara Bigel barulah terdengar. Ia memanggil satu nama yang mereka kenal baik, satu nama yang mereka ketahui sebagai teman terbaik Bigel selama menjalankan toko bunga bersama-sama.
"Ce Alin."
Wanita itu tak menyahut, ia tertunduk di hadapan Bigel. Bigel mengira, Alin mungkin sedang menanggung malu, tapi entahlah ia juga tak tahu mengapa Alin tertunduk lesu di hari lamarannya sendiri.
"Ce Alin."
"Bigel ...."
"Congrats?"
Suara Bigel pelan, ucapan selamat yang terdengar tak ada sedikit pun aura bahagianya di sana berhasil membuat Alin akhirnya mengangkat kepala. Ia memandang lurus ke arah Bigel yang menatapnya dengan sok tegar, padahal ia bisa melihat sendiri bahwa kedua tangan Bigel mengepal kuat hingga gemetar. Tapi Bigel tak menangis.
"Well," Bigel menarik napas dalam-dalam, menguatkan diri sebelum melanjutkan bicara, "lega rasanya kalau ternyata cewek itu adalah Ce Alin. So, gue enggak perlu khawatir soal Bara 'kan?"
"Bigel ...." Alin hendak bergerak maju dan memeluk, tapi buru-buru Bigel hentikan dengan membuat gestur memundurkan tubuh menjauhi jangkauan Alin.
"Thanks, Ce. Selamat, dan semoga semuanya lancar, ya."
"T-thanks, Bigel?"
"Gue pamit."
"Bigel!"
Gadis itu pergi, dan Bara tentu mengejarnya. Seolah ia ingin memberikan penjelasan yang sudah sangat amat terlambat dan tak lagi dibutuhkan. Maka di saat yang sama, Elio turut mengejar Bigel, memberikan perlindungan kepada perangkai bunga kesayangannya dari sentuhan dan kata-kata Bara. Pun Ales tak tinggal diam, ialah yang menghadang Bara sebelum berhasil mengejar Bigel lebih jauh lagi. Bahunya ia cengkeram, meski Ales merasa tak pantas melakukan ini, tapi ia harus melakukannya demi Bigel.
"Cukup, Bro."
Napas Bara tersengal, bukan karena lelah, tapi karena jantungnya berdebar kencang. Ia baru merasakan kesalahannya yang fatal. Ia baru sadar sebegini sakitnya melihat Bigel mengetahui kenyataan ini.
"Better pikirin perasaan Ce Alin aja, Bro. Bos Bi ... biar saya yang urus."
Mendengar ucapan Ales, Bara menoleh ke belakang, melihat Alin yang duduk di sofanya tanpa sedikit pun ada ekspresi bahagia di sana. Dan hati Bara melunak seketika.
"Saya kejar Bigel, kalau masih ada waktu untuk join pestanya, saya usahain Bigel untuk ikut. Saya ngerti kok ini acara keluarga. Tapi sekarang, mungkin Bigel butuh sendiri dulu."
"Oke. Thanks, Les."
Ales tersenyum kepada Bara, dengan tulus untuk pertama kalinya, walau rasanya ia seperti mengkhianati Bigel dengan bersikap baik seperti ini kepada Bara.
"A-Ales, tunggu." Bara menghentikannya, tepat ketika Ales ingin mengejar Bigel.
"Ya?"
"Saya tau saya jahat, saya juga tau saya enggak berhak memohon gini sama kamu. Tapi kalau kamu memang betul pacarnya Bigel, saya minta satu hal, Ales."
Ales mengernyit, segala hal mulai membuatnya bingung. Ales bukan pacar Bigel, Ales adalah orang yang disewa, dan wanita pirang di belakang sana tahu betul tentang hal itu. Ales tak mengerti, bukankah seharusnya Alin berbagi cerita kepada Bara soal dirinya? Tapi di sini Bara tampak benar-benar mengira Ales adalah kekasih adiknya.
Sekilas Ales melirik ke arah Alin yang menunduk di belakang sana, dan untuk sekejap saja Ales bisa mengerti, Alin tak ingin ikut campur lebih dalam lagi tentang perkara Bigel-Bara ini. Alin mengusap-usap perutnya, dan Ales tahu ... ia hanya memikirkan tentang bayi Bara di dalam perut itu.
"Ales, saya mohon satu hal sama kamu."
"Y-ya?"
"Tolong pastiin Bigel enggak benci saya, ya?"
"W-what?"
"Tolong pastiin Bigel enggak buka mulut ke siapa pun tentang hubungan saya dan dia, ya, Les? Saya tau kamu sudah tau tentang ini, dan saya harap kamu bisa jaga rahasia dengan baik."
"P-Pak?"
"Dan tolong pastikan juga Bigel hadir di acara pernikahan saya nanti. Enggak masalah kalau dia hari ini pergi, ini cuma lamaran antar keluarga, saya bisa bicara ke orang tua saya dan Alin. Tapi tolong penuhi permintaan saya, Ales, dan saya punya imbalan yang bagus untuk kamu, oke?"
Ales menelan salivanya. Ini sungguh gila, ini kegilaan yang luar biasa. Berada di pihak Bara sama saja ia mengkhianati Bigel. Tapi berada di pihak Bigel pun jelas tak akan membuahkan hasil apa-apa, ia sepenuhnya sadar tentang siapa dirinya dan siapa Bigel. Seperti apa yang seorang teman bilang sebelumnya, ia harus tahu posisinya seperti apa.
"Sekarang, kejar Bigel. Pastikan dia baik-baik aja. Thanks, Ales."
Dan kini Ales tak tahu harus bagaimana. Haruskah ia menerima tawaran Bara yang mana berarti melanjutkan hubungannya dengan Bigel hingga hari pernikahan nanti? Atau berhenti sampai di hari ini, hari di mana kontrak mereka selesai dan mengakhiri semuanya. Ales tak tahu, ia tak tahu harus bagaimana.
Yang ia lakukan hanyalah berlari, berlari mencari kekasihnya yang pergi karena merasa dikhianati temannya sendiri. Ales benar-benar dirundung bingung, haruskah ia menjadi Alin yang kedua? Haruskah ia mengkhianati Bigel juga? Tapi yang lebih penting daripada itu, ia benar-benar tak mengerti, sebenarnya ia melakukan semua ini demi apa? Demi siapa? Untuk apa? Apa yang sesungguhnya Ales kejar sekarang, Bigel atau uang?
Dan pikiran Ales pun kacau, tepat di hari orang-orang berbahagia atas sebuah ikatan baru antara dua keluarga.
♡
to be continue ....
♡ Xadara Goe ♡
A/N :
Hey, how are you guys?
Ummm, I'm just a bit curious. Are you guys wishing for a happy ending or not?
And what do you think about Ales' character?
Or if you have something to ask about them, feel free to ask me! I'll reply on the comment section, thank you!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top