38 | error: chance not found
THE DAY.
"ROOOOOY!!!!"
Berkali-kali Ales menggedor pintu kamar Roy, teman setianya itu tak kunjung membuka. Jam baru menunjukkan pukul delapan pagi, tapi Ales sudah berisik di rumah yang begitu tenang. Roy pun pasti masih tidur, sialnya memang pria itu kadang-kadang mengunci pintu.
"ROY!!! BANGUN, WOY!"
Masih tak menyerah, Ales terus menggedor pintu seolah dikejar-dikejar waktu.
"ROY!!! OY! ANAK BAB—"
"Ha?"
Roy membuka pintu, akhirnya. Tapi matanya itu masih menyipit, belum sepenuhnya mengizinkan cahaya masuk. Ia melihat Ales samar-samar, tapi kaos oblong yang sudah belel di hadapannya itu cukup menunjukkan bahwa Ales pun baru bangun tidur. Karena Ales hanya mengenakan kaos yang sudah pantas menjadi lap kaki itu untuk tidur. Kalau sudah mandi, tidak mungkin begitu pakaiannya. Roy tahu betul. Ia hidup nyaris empat tahun bersama Ales di rumah ini.
"Aduh, weh ayo ikut gue ke rumah Haga!"
"Ha?"
"Ha! Ho! Ha! Ho! Buka mata lo, ikut gue ke rumah Haga!" oceh Ales, menampar-nampar kedua pipi Roy dengan dua tangannya.
"Argh!" Roy menepisnya. "Ngapain?"
"Udah ikut aja dulu. Mau duit enggak?"
Mendengar uang, kedua mata Roy seketika terbuka. Ya, siapa yang akan menolak kalau ditawarkan uang begitu.
"Duit?"
"Dua ratus, gimana?"
"Bentar-bentar," jeda Roy, "lo sedekah apa gimana nih?"
"Ganti baju lo. Serah deh mau mandi apa enggak, pokoknya ikut gue ke rumah Haga."
"Jing? Ngaca. Lo yang lebih HARUS ganti baju."
Tak salah, sih. Ales memang terlihat lebih ... menyedihkan? Daripada Roy. Untungnya, Ales tahu diri, tak marah dibilang begitu oleh temannya sendiri. Segera, ia mandi dengan cepat, sementara Roy mengumpulkan nyawa terlebih dahulu di dapur.
Setengah jam, semua beres. Ales pergi menuju rumah Haga bersama Roy yang terus-terusan bertanya sepanjang jalan.
"Ngapain sih? Haga temen lo di Nyx itu 'kan? Pagi-pagi ganggu orang aja lo."
Meski suaranya rada-rada terbawa angin karena Ales berkendara secepat angin, telinga Ales cukup jernih untuk mendengar ocehan Roy.
"Minjem mobil!"
"Hah?"
"Minjem mobil, conge!"
"Eh, sialan! Gue juga denger. Maksud gue, ngapain? Kok? Minjem mobil? Lo bawa aja kagak bisa, Les!"
"Ya makanya gue bawa lo!"
"Hah? Oh ... bajingan, LO MAU JADIIN GUE SUPIR KE ACARA SI BIGEL?!"
Cerdas. Roy cepat tanggap sekali, Ales suka! Ia terkekeh kecil tanpa bisa Roy lihat wajah menyebalkannya.
"Brengseeeeekkk, Alessandro Tedja!"
"Nanti gue kasih dua ratus ribuuu!!!"
Begitulah akhir percakapan mereka di jalan, sebelum hening menemani perjalanan mereka menuju rumah Haga. Dan awal mulanya, ini karena semalam Ales berpikir keras tentang hari lamaran Bara.
Bigel memang sudah menyatakan kalau ia akan menjemput dan Ales tak perlu khawatir. Namun, Ales yang-lumayan-tahu-diri ini merasa tak enak jika segala hal Bigel yang mengaturnya. Ia bepikir, masa iya perkara menjemput saja tak bisa?
Pusing, bingung, buntu, adalah Ales di malam minggu itu. Sepulangnya ia berpacaran dengan Bigel, ia mulai memikirkan acara esok hari. Jemput ... jemput ... jemput ... Bigel adalah seorang putri yang harus ia jemput dari istananya, bukan malah dia yang mengendarai kereta kencana untuk menjemput kroconya.
Ia melamun memikirkan tentang bagaimana hari esok sambil memandangi fotonya bersama Bigel saat di Pulau Tidung. Saat mereka sedang jajan jagung bakar, saat mereka bersantai di saung villa, saat mereka iseng berfoto di dapur villa. Atau saat mereka merokok bersama di ruang tamu villa. Dan segala hal menyenangkan yang Ales lakukan bersama Bigel di villa gratis yang dipinjamkan oleh Haga.
Haga.
Haga?
Haga!
Malam itu, bak mendapat sebuah hidayah, Ales tiba-tiba berbinar cerah. Tak ada masalah yang tak memiliki solusi, pun tak ada hasil jika tak berusaha. Lebih daripada itu, tampaknya Haga memiliki solusi untuk masalah yang menimpa Ales. Dan Ales akan berusaha sedemikian hingga untuk mendapat hasilnya!
Maka setelahnya, ia menghubungi Haga. Kebetulan, malam-malam begini teleponnya langsung diangkat, mungkin karena pria itu sedang tidak sibuk. Untuk poin yang satu ini saja Ales sudah sangat bersyukur. Lalu tanpa banyak basa basi, Ales langsung menembak ke tujuan utama. Ia merayu Haga dengan menjanjikan Heineken gratis selama satu minggu penuh di Nyx.
Dan siapa sangka? Haga setuju. Pria itu lantas dipuja Ales bak malaikat penyelamatnya.
Haga menetapkan minggu pagi ini adalah waktu yang tepat untuk Ales mengambil mobil di rumah. Pukul sembilan pas. Ales yang kepalang bahagia bahkan sudah sampai di depan rumah Haga pukul setengah sembilan. Ia berdiri dengan grogi, menunggu Haga membuka gerbang, sementara Roy bertumpu dagu di setang si Ocong dan bergeleng kepala melihat usaha Ales yang sebegininya hanya demi seorang klien.
Demi tak terlihat memalukan di depan keluarga Bigel, Ales menurunkan harga diri di hadapan Haga. Kalau itu Roy yang berada di posisi Ales, Roy tak akan sebegitunya sampai meminjam mobil ke orang lain. Gila saja.
"Les."
"Ga! Wih, pagi-pagi udah ganteng aja lo."
Ah, si empunya rumah keluar juga.
"Gue mau jalan sama Hanna, makanya lo gue suruh ke sini pagi. Eh malah kepagian datengnya."
"Gapapa lah, biar enggak buang-buang waktu lo. By the way, sorry ya, ngerepotin."
"Santai. Masuk dulu."
"Ah, iya. Thank you, Ga."
Pertama, villa. Kedua, mobil. Ales sungguh bersyukur memiliki pelanggan setia seperti Haga yang menjelma menjadi temannya. Haga keren bukan main, Ales mengakui hal itu.
"Ini kuncinya." Haga meletakkan kunci mobil yang akan dipinjam Ales di atas meja ruang tamu. Ia kemudian duduk di hadapan Ales dan Roy yang duduk berduaan di sofa panjang. "Hari ini gue pergi sama Hanna. Kalau sekiranya gue enggak ada di rumah pas lo mau balikin, telfon Heira. Dia seharian di rumah."
"Siap, siap. Thanks, Ga. Apalagi nih?"
"Ya udah, itu aja."
"Oke, aman. Gue pinjem ya, Ga, malam ini juga gue balikin."
Haga mengangguk. "Ayo gue anter ke garasi, langsung bawa aja, soalnya gue juga mau langsung pergi."
"Oh, iya. Ayo."
Roy yang tiba-tiba diberikan kunci mobil oleh Ales hanya menghela napas sabar dan membuntuti temannya. Ia sempat mendengar tentang Haga, dan ia tahu bahwa pria itu adalah anak pengusaha. Tapi ia tak tahu kalau Haga sebaik ini kepada Ales. Menurut Roy, orang-orang kaya memang aneh. Ia yang sudah hidup bertahun-tahun dengan Ales saja enggan sekadar membayarkan laundry temannya. Tapi si pria bernama Haga ini malah dengan mudahnya meminjamkan mobil. Tak peduli mobil mahal atau murah, tapi tetap saja itu mob ... "HAAA!" Roy tiba-tiba nyaris berhenti bernapas ketika melihat garasi mobil Haga. Satu mobil hitam sangat mencolok di sana.
"Lo pakai yang ini, Les." Haga menunjuk mobil itu, dan Roy semakin ternganga saja.
"P-PALISADE?!" Roy tak percaya ini.
Ada tiga mobil di dalam garasi itu. Dan mobil dengan badan paling besar inilah yang Haga pinjamkan kepada Ales. Mobil yang paling mencolok dibanding dua mobil lain di sana.
Ales yang tak mengerti mobil pun manggut-manggut saja, mobil apa pun ia terima dengan tangan terbuka.
Tapi tidak dengan Roy. Jika ia bandingkan dengan dua mobil lainnya, Palisade terlalu berlebihan untuk dipinjamkan. Honda City itu menurut Roy sudah cukup untuk dipinjamkan kepada Ales. Kenapa bisa-bisanya, Palisade?!
"Hati-hati bawanya, ini punya bokap."
"Hah? P-Punya bokap? Ga, kenapa enggak yang punya lo aja?"
Si Civic putih, maksud Ales.
"Kan gue udah bilang gue mau jalan sama Hanna."
"Kalau gitu, kenapa enggak yang dipojok itu aja?"
"Itu? City? Punya Heira, masih baru, disayang-sayang banget sama dia. Enggak ada mobil lagi, sisa Palisade ini, jadi lo pake ini aja."
"Wah gila, Les! Ayo gas langsung nggak pake fafifu!"
Daripada Ales, Roy yang tampak lebih bersemangat ketika dapat kesempatan mengendarai mobil ini. Ya, maksudnya, kapan lagi ia bisa membelah jalanan dengan Palisade? Berhubung sejak awal Haga juga sudah mengatakan untuk langsung pergi, maka Roy dengan semangatnya membuka kunci mobil itu dan mulai memanaskan mesin.
Sementara itu, Haga menyadari ada raut khawatir dari wajah Ales. Ales tidak bergerak ketika Roy memasuki mobil. Haga mengerti, mungkin ini karena ia meminjamkan mobil ayahnya. Ales pasti jadi segan.
"Enggak usah mikirin apa-apa, Les. Mobil bokap juga mobil gue, santai aja."
"Gue enggak enak, Ga."
"Mending lo pergi sekarang, karena gue juga mau cabut."
Ales masih sulit menerimanya. Ia menghela napas dalam dan mengembuskannya dengan berat.
"Oh ya, Les ...."
"Apa?"
"Sorry kalau ini nyinggung privasi lo. Boleh lo jawab, boleh engga, gue cuma penasaran aja."
"Apa, Ga?"
"Soal cewek lo yang kemarin ke Tidung, lo ... pacaran sama anak bos Batara?"
Ales mengernyit bingung, "Maksud lo?"
"Abigail Ananta."
Ales terdiam. Ia bingung untuk sejenak. Dari mana Haga mengetahuinya? Ales membingungkan hal itu.
Lantas sebelum melanjutkan dengan kata-kata, Haga terlebih dulu mengeluarkan ponselnya, dan menunjukkan swafoto Bang Opik, Ales, dan Bigel saat di Tidung bersama. Melihat foto itu Ales seketika teringat, itu waktu dimana Bang Opik mengajak mereka selfie-selfie yang katanya untuk kenang-kenangan. Rupanya foto itu sampai ke tangan Haga.
"Ini Abigail Ananta 'kan? Anak tunggal Adam Ananta? Jangan bilang gue salah lihat, Ales."
"B-Bos Bi ...."
Dwinetranya bergetar, seiring dengan debum-debum keras di dadanya ketika mendengar satu hal baru tentang siapa Bigel dari sudut pandang Haga.
"Dulu, dia adik tingkat gue di Atlas. Dengar Les, gue enggak peduli soal Heineken yang lo janjiin di telfon semalam. Kalau emang lo pacaran sama anak bos Batara, enggak peduli hubungan lo asli atau sebatas kerjaan aja, gue harap mobil itu bisa sedikit membantu, ya. Hari ini acara lamaran Bara 'kan? Lo pinjam mobil karena mau ke sana, right? Lo ada baju bagus, Les? Butuh lihat-lihat lemari gue dulu sebelum gue pergi? Sepatu gimana? Jam tangan? Lo udah siapin semuanya, atau perlu kita masuk dulu sebentar? Gue masih ada waktu sebelum pergi jemput Hanna."
Ales tak memiliki sepatah kata pun untuk menjawab segala pertanyaan dan kekhawatiran Haga. Ia hanya bisa menggumamkan nama kekasihnya, kekasih palsunya.
"Bos Bi ... B-Bos Bi ...?"
Dan Haga menghela napas, iba melihat Ales yang tampaknya baru mengetahui siapa gadis yang ia kencani.
"Gue kenal dia, Les. Meski gue enggak yakin dia kenal gue juga atau enggak, tapi gue tau dia sejak kita masih kuliah. Dan sekarang, resort bokap gue jalin partnership sama perusahaannya Bara, anak sambung Adam Ananta, kakaknya Abigail. Waktu kita kemarin ketemuan di Grha Batara, gue lagi meeting sama Bara, dan gue diundang untuk acara lamarannya. Pak Adam ayahnya Abigail dan Bara, dia itu temen sekolah bokap gue, Les."
"Anjiiiiing?"
Ales lemas seketika. Padam begitu saja semangat pagi yang semula membara. Ia tahu Bigel itu banyak uang, tinggal di rumah besar, yang pastinya menjelaskan kalau gadis itu adalah seorang putri kaya raya. Namun, tak pernah disangkanya bahwa Bigel berasal dari keluarga pemilik Batara? Keluarga pemilik kampusnya? Keluarga pemilik gedung itu? Grha Batara milik keluarga Bigel?
Sakit kepala Ales memikirkannya.
"Les?"
"Gue enggak tau harus ngomong apa."
"Gue ngerti. Sorry gue bikin lo kaget. Gue cuma pengen lo tau, lo bisa lihat, orang kayak gue pun enggak mungkin bersanding sama Abigail. Gue cuma enggak mau lo ... sakit hati, Les."
Lagi-lagi, Ales terdiam untuk kesekian kali. Entah ia harus berterima kasih telah diperingati, atau mungkin meninju Haga karena terlanjur membuat hatinya sakit. Ales merasa benar-benar tidak berguna. Ia sama sekali bukan orang yang berguna untuk Bigel. Ales mengisi pikirannya seperti itu, tepat setelah Haga memperingatinya secara tak langsung.
"Tapi, kalau gue enggak salah ingat, dia klien lo 'kan? Kayaknya kita sempat sebut soal 'pacar asli' atau 'pacar palsu' waktu kita ketemuan buat villa?"
Ah ... iya juga. Ales mungkin terlalu memikirkannya sampai sakit kepala. Padahal, setelah hari ini selesai pun hubungan mereka selesai. Fakta baru tentang Bigel yang Haga sampaikan di detik-detik terakhir juga tak akan mengubah apa-apa. Seharusnya, Ales tak perlu merasa sepusing ini 'kan?
"Les?"
"Ah, iya. S-sorry gue bengong."
Haga tersenyum tipis, ada sepercik raut khawatir di senyumannya.
"Apa tadi? Klien, ya? Iya, dia klien gue. Kontrak kita selesai hari ini, Ga. But thanks, udah kasih tau gue soal Bigel. Gue aware kok sama posisi gue." Ales mengatakannya dengan tulus, tidak ada maksud menyinggung ucapan Haga sama sekali. Ia benar-benar tahu diri, dan ia benar-benar berterima kasih.
"Sorry ya, Les?"
Ales menggeleng, "It's fine. Ah iya, lo mau jemput Hanna 'kan, ya? Kalau gitu, gue cabut, Ga. Udah dipinjemin mobil gini, gue enggak mau ganggu jadwal lo juga. Gue jalan, ya."
"Hati-hati, Les."
"Yo."
"Oh ya, Les ...."
"Yep?" Ales berbalik sebelum ia membuka pintu mobil Haga.
"Hmm, enggak. Ini cuma sekadar tips dari gue, jangan banyak ngobrol sama tamu-tamu di acara nanti. Karena lo datang sebagai pacar Bigel ... you know what I mean. Dia tokoh utamanya di sana, dia anak tunggal Adam Ananta, dia calon ratu di Grha Batara. Dan kita ... kita harus paham posisi kita, Les."
Dia calon ratu di Grha Batara.
Dan Ales?
Tanpa perlu dijawab secara gamblang, ia sudah tau posisinya seperti apa.
"Semoga lo ngerti. See ya, just call me if you need some help, Ales."
♡
to be continue ...
♡ Xadara Goe ♡
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top