37 | kaonashi
"Griyanuansa, blok C, nomor sepuluh."
Ales bolak-balik melihat ponsel dan rumah-rumah yang mereka lewati perlahan. Ia sedang mencocokkan alamat yang diberikan Bigel dengan rumah tujuannya.
"Nah, ini, Bos Bi!"
Mobil berhenti. Tepat di depan sebuah rumah besar yang tampak sepi. Gerbang tinggi adalah hal yang pertama Ales lihat, mirip dengan rumah Bigel, tapi yang satu ini lebih mengusung desain minimalis dibanding mewah nan megah bak istana.
"Whoah ...."
Lagi-lagi, Ales terperangah. Maklum saja, ya, ia hanya tinggal di sebuah rumah cluster kecil. Itupun milik Roy.
Sementara Ales terpaku melihat rumah itu dari jendela, Bigel turun dengan segera. Ia dengan cepat menghubungi Mega yang bertanggungjawab atas acara di rumah ini. Sebelum matahari terbenam, tadinya Bigel ingin semua pekerjaannya selesai. Ia tak mau berlama-lama di rumah kekasihnya Bara. Namun, benar kata Ales, jalanan yang mereka lewati itu cukup macet. Sekarang jam sudah menunjukkan pukul lima, dan Bigel yakin tak cukup satu jam untuk mendekor area acara lamaran di rumah ini. Terlebih, Bigel belum tau seluas apa di dalam.
Sejujurnya, ia belum siap untuk berhadapan dengan kekasih Bara. Ia belum siap melihat rupa gadis yang sedang mengandung si Tanuwidjaja kecil.
"Wah, wah, wah ... orang-orang kerja apa ya, bisa punya rumah begini?" celoteh Ales tatkala keluar dari mobil, dan tanpa sengaja terdengar oleh Bigel yang bersandar di kap depan.
"Oy."
"Eh? Ya, Bos Bi?"
"Bantu angkutin bunga. Orang WO Mbak Mega cuma tiga."
"Oh siap, Bos!"
"Wah, Kak Bigel! Ayo, langsung masuk aja. Kita dekor di halaman belakang mereka."
Mega muncul dari balik gerbang tinggi itu, menyapa Bigel dengan ramahnya, dan disambut senyum manis dari Bigel dan Ales. Tanpa berlama-lama, Bigel kembali masuk ke mobil, memarkirkan mobilnya di halaman depan rumah itu, lalu turut membantu Ales menurunkan bunga-bunga. Tak hanya diam dan menonton, Mega juga ikut membantu Bigel, Ales, dan tiga anak buahnya.
Mereka berjalan dengan posisi berbaris, melewati area samping rumah yang menembus ke halaman belakang. Jadi, mereka masuk tanpa perlu melewati pintu utamanya. Dan Ales tak henti-henti terperangah melihat luasnya rumah ini. Jika dibandingkan dengan rumah Roy, perkiraan Ales luas tanah rumah ini adalah lima sampai tujuh kali lipatnya. Apalagi, rumah ini ada di posisi hook.
"Nah, besok acara pestanya di sini. Kalau lamaran, mereka sih di ruang keluarga. Tapi enggak perlu dekorasi apa-apa, nanti aku cukup taruh beberapa bunga di sana. Jadi, Kak Bigel sama rekannya cukup bantu dekor di halaman ini aja. Aku sih pengen ada standing flower dari pintu di sana," Alin menunjuk arah pintu belakang yang terhubung ke rumah, "dan berjejer sampai ke area taman. Sisanya, biar orang-orangku yang urus. Tata letak meja dan lainnya mereka udah paham, jadi Kak Bigel sama rekannya cukup bantu set dekorasi bunga aja. Sorry ya, aku ngerepotin. Nanti bill untuk dekorasinya kirim aja, ya."
Bigel mengangguk paham, "Oke. Nanti dikirim."
"Thanks. Kalau gitu, aku mulai dekor di ruang keluarga dulu ya. Selamat bekerja, Kak Bigel!"
Bigel tersenyum sebelum Mega pergi meninggalkannya di halaman belakang rumah ini. Halaman yang progres dekorasinya belum mencapai lima puluh persen. Meja-meja yang diletakkan di halaman belum ditutup kain, vas-vas bunga juga belum terisi air dan masih tergeletak dalam satu dus. Kursi-kursi masih mereka angkut dan ditata di halaman yang akan menjadi area duduk tamu undangan. Semuanya sibuk, dan Bigel mengamati mereka semua. Kecuali, Ales yang masih mengedarkan pandangan ke seluruh area halaman rumah ini.
"Wah ...."
Dan Bigel mulai geram mendengar wah, wah, wah, wah Ales yang belum berhenti juga.
"Les, cepat isi vas-vas itu pakai air. Ayo kerja! Katanya mau bantuin!"
"E-eh? S-sorry, Bos, jadi bengong soalnya halaman rumahnya luas banget! Halaman rumah Bos Bi juga seluas ini? Apa jangan-jangan, lebih luas lagi?!"
Bigel memutar bola matanya, "Cepat isi vas!"
"Ah iya, siap, Bos!"
Ales bergegas mengambil dus penyimpanan vas-vas bunga. Dengan bertanya-tanya kepada orang WO Mega, pekerjaan Ales cukup terbantu. Seperti di mana ia bisa mengambil air, berapa vas yang harus ia isi, sampai di mana ia harus meletakkan vas yang sudah terisi air. Sementara itu, Bigel bekerja dengan salah satu orang WO Mega. Ketika pegawai itu mendirikan flower stand, Bigel memasang bunganya. Dan terus melakukan hal yang sama hingga menyentuh flower stand terakhir.
Setelah selesai dengan mengisi air di vas, Ales pun memasukkan beberapa tangkai bunga ke masing-masingnya. Ketika pekerjaan itu pun sudah selesai, Ales membantu orang-orang WO Mega untuk memasang meja dan kursi, serta kain penutupnya. Pekerjaan itu Ales selesaikan dengan baik, bahkan ia juga menata vas bunga di setiap meja. Progres yang semula belum menyentuh lima puluh persen, dengan bantuan Bigel dan Ales kini sudah terlihat delapan puluh persen. Sentuhan terakhirnya, biar orang-orang WO Mega yang bertanggungjawab. Pekerjaan Bigel dan Ales pun selesai. Dan benar, mereka melakukannya hingga matahari berganti bulan.
Bigel mendengar embusan napas berat Ales ketika duduk mengistirahatkan diri di sebelahnya.
"Capek, ya?"
"Eh?" Ales langsung berlagak menegakkan duduk. "Mana ada! Seru gini, hihi!"
"Habis ini mau ngopi dulu?"
"Umm, boleh!"
"Eh, lo enggak kerja?"
Ales menggeleng, "Udah izin buat off sampai minggu. Kan mau pacaran sama Bos Bi."
"Halah." Bigel berdecih, sedikit salah tingkah, tapi ia enggan menunjukkannya dengan jelas.
Sekarang, mereka sedang istirahat sejenak. Mengumpulkan tenaga lagi untuk pulang. Mega juga sudah menyajikannya es jeruk, tak enak kalau mereka tinggal begitu saja. Orang-orang WO juga masih berada di sana.
"Bos, ngomong-ngomong, dari tadi enggak kelihatan ya yang punya rumah?"
"Orang-orang macam mereka mah terima bersih, Les. Semua dilimpahin ke orang-orang yang bantu. Calonnya Bara juga lo bisa lihat sendiri, kelihatannya orang berada 'kan?"
Ales mengangguk, membenarkan ucapan Bigel meski ia tahu alasan pemilik rumah ini tak muncul di hadapan mereka yang bekerja. Ales tahu, orang-orang di rumah ini ingin membuat kejutan untuk Bigel esok hari. Kasihannya Bigel, ia tak tahu bahwa halaman yang ia hias indah dengan bunga-bunga adalah rumah orang terdekatnya.
"Berarti, besok keluarga Bos Bi semua ke sini ya, Bos?"
"Yap," jawabnya, yang kemudian meneguk es jeruk.
"Bos Bi besok rencananya gimana? Jalan sama keluarga Bos Bi, atau sama gue?"
"Sama lo lah. Gue enggak mau semobil sama Bara."
"Tapi ... naik Ocong, gapapa? Bos Bi enggak malu?"
"Gue yang bawa mobil."
"Eh?"
"Gue yang jemput lo besok. Lo tunggu aja di rumah, nanti share-loc ke gue. Jangan lupa dipake batiknya, ya!"
"B-Bos Bi yang jemput ...?"
"Habis mau gimana? Lo 'kan enggak bisa bawa mobil. Lagipula, katanya cuma punya Ocong aj—"
Wajah Ales lesu seketika. Ah, Bigel jadi tak enak hati.
"S-sorry, Les. Maksud gue, lo enggak perlu khawatir soal besok, gue yang handle. Oke?"
Ales sedih mendengarnya. Bukan karena Bigel yang tanpa sengaja menyebut bahwa ia hanya memiliki Ocong, tapi karena ketidakmampuan ia menjadi sosok 'pria' untuk Bigel. Sekadar menjemputnya untuk ke pesta saja ia tak bisa.
Ales yang diam menatap kosong ke arah gelas es jeruknya, membuat Bigel akhirnya mulai tak betah. Ia jadi tak suka suasana hening begini. Lantas secepat kilat Bigel memutar otak. Ia meletakkan gelas es jeruknya, menarik tangan Ales dan dipaksanya untuk bangkit. Sontak membuat Ales juga meninggalkan es jeruknya di meja. Bigel menggandengnya entah ke mana.
"B-Bos Bi! Mau ke mana? Kita belum pamitan!"
"Jalan-jalan. Katanya lo off buat pacaran?"
"M-maksudnya?"
"Ayo pacaran, Les. Kita jalan-jalan, cari jajanan, atau beli apapun yang lo mau sama Kaonashi. Okey?"
"K-Kaonashi? Siapa?"
Langkah mereka terhenti ketika akhirnya sampai di halaman depan. Mobil pick-up hitam mengilap milik Bigel masih bertengger di sana, menunggu pemiliknya membawa ia berkeliling kota. Dan sebelum Bigel menjawab pertanyaan Ales, ia menunjuk mobil itu.
"Kaonashi. Si hitam temannya Ocong. Lo tau Spirited Away, Les?"
Ales mengernyit, nama itu tak asing di telinganya. Butuh sampai lima belas detik Ales diam, sebelum akhirnya ingatan ia tentang Kaonashi muncul dengan sempurna. Dan di detik itu, Ales tiba-tiba mengulas senyum sumringah. Begitu cerah di bawah gelapnya langit malam. Betapa ia senang mendengar Ocong memiliki teman, Kaonashi si hantu dari anime Spirited Away.
Lantas tiba-tiba Ales tertawa. Entah ide dari mana, mengapa tiba-tiba Bigel menyebut mobil pick-up hitam itu dengan nama hantu hitam dari anime. Cara penamaan kendaraan macam apa ini? Ales tertawa tak habis pikir dengan Bigel.
Bigel pun ikut tersenyum, hingga akhirnya tertawa karena melihat tawa Ales. Ia yang tak pernah tahu bagaimana cara menghibur Ales, sungguh merasa lega melihat Ales tertawa hanya karena—entah bagaimana bisa—ia menyebut mobilnya dengan nama hantu sebagaimana Ales menamakan motor Vespa putihnya.
"Bos Bi, kenapa sih? Hahahahaha!"
"Lho? Jangan mandang gue aneh, ngaca Alessandro Tedja!"
"Ocong dan Kaonashi? Hahahaha! Kok bisa sama-sama nama hantu gitu!"
Entahlah, Bigel juga tak tahu. Ia bahkan tak mengerti mengapa dirinya tiba-tiba memiliki ide begini. Ini kali pertamanya ia menyebut mobil pick-up itu sebagai 'Kaonashi'. Ia tak pernah memiliki pikiran untuk memberi nama kepada kendaraan, tapi malam ini ... ia melakukannya.
Dan Ales tertawa bahagia.
Bigel tersenyum lembut, turut senang melihat kekasihnya.
to be continue ...
♡ Xadara Goe
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top