36 | fleur teapot's saturday
Sabtu pagi, di Fleur Teapot.
Elio libur hari ini. Seharusnya. Seharusnya, ia libur dan bersantai di rumah, memanjakan diri dengan masker atau lulur yang ia suka. Fleur Teapot hanya diurus oleh Alin dan Bigel sejak membalik tanda 'tutup' menjadi 'buka'. Suasananya juga semula baik-baik saja, tak ada yang aneh dengan Alin ataupun Bigel. Alin sibuk sendiri dengan data penjualan, karena ia harus mencatat rekapitulasi penjualan mingguan. Sementara Bigel sibuk menyortir bunga sesuai dengan pesanan buket yang akan ia buat. Semula, semuanya tenang seperti itu saja. Namun, seketika berubah ketika bel berdenting dan seorang pria kecil masuk dengan menenteng sebuah plastik belanja pagi-pagi begini.
"Eh? Elio?" Bigel menyadari kehadirannya. Tentu tidak dengan Alin yang sibuk di ruang belakang.
"Kak Bigel! Good morning, hehe!"
"Morning. Lo bukannya off?"
"Hu um! Tapi aku bawain ini buat Kak Bigel. Set rice bowl yang biasa Kak Ales beli, lengkap sama hotang, dan satu bungkus Samporna Mild!"
"Huh?"
Elio mengangkat plastik itu hingga sebatas wajahnya, lalu ia berikan senyum manis nan ceria di pagi itu untuk Bigel seorang diiringi dengan kekehan-kekehan kecil khas Elio.
"Tumben? Biasanya setiap pagi bawa bubur buat sarapan bareng Ce Alin."
Bigel tak bermaksud sarkas atau bagaimana, tapi memang kenyataannya begitu. Sayang, wajahnya yang datar saat mengatakannya membuat Elio salah kaprah. Pikirnya, Bigel sedang mengejek.
"Ih, apa sih! Orang dateng ke sini buat kasih ini ke Kak Bigel, malah bawa-bawa Ce Alin!"
"Heh? Ya udah santai, kenapa jadi galak? Taruh itu di meja."
Elio cemberut, tapi menurut. Ia meletakkan makanan yang sudah ia beli untuk Bigel di salah satu meja kafe teh. Lalu ia duduk di kursinya.
"Kak Bigel sarapan dulu."
"Nanti," sahut Bigel. Tangannya sibuk memegang tangkai-tangkai bunga yang sedang ia pilah.
"Nanti pusing lho, ayo sarapan dulu, Kak."
Elio bawel. Bigel tak suka diganggu ketika sedang bekerja. Alhasil, ia lepas seluruh tangkai bunganya di atas meja perangkai, dan menatap Elio dengan tajam. "Kenapa? Lo disuruh Ales?"
"Hah? Enggak. Aku tulus lho cuma mau pastiin Kak Bigel sarapan aja."
"Cih?"
"Omong-omong soal Kak Ales, dia enggak datang hari ini?"
"Datang, sore nanti."
"Oh ...." Elio manggut-manggut.
Melihat ketidakjelasan Elio yang pagi-pagi datang dan membawakan makanan, membuat Bigel malas meladeninya. Motifnya tidak jelas, tiba-tiba membawa sarapan untuknya itu aneh jika melihat kepribadian Elio dan sikapnya yang selama ini tak akur dengan dirinya. Bigel lantas kembali menyibukkan diri dengan bunga-bunga, tak menggubris Elio yang duduk sendirian di kafe teh Fleur Teapot.
"Heeeeeh!!!!!"
"Argggh! Apa sih, Elio?!"
"Sarapan, Kak Bigel! Kenapa jadi pegang bunga lagi?! Aku marah nih!"
Bigel terheran, Elio jelas menunjukkan sifatnya yang menyebalkan di mata Bigel. Argh, anak manja itu!
"Gel, ada ap—"
Suaranya berhenti terdengar, terpotong dengan sendirinya. Elio melihat siapa yang tiba-tiba muncul dari arah ruang belakang, menampakkan diri di hadapan Bigel yang sibuk di meja perangkai, dan di hadapan Elio yang menunggu Bigel untuk sarapan. Elio yakin, Alin cukup terperangah melihat kehadiran Elio hari ini, dan masih tidak bisa melupakan kejadian kemarin.
"Ah, enggak ada apa-apa. Lo lanjut aja."
"Elio? K-kok di sini? Bukannya off?"
"Suka-suka aku lah. Hari ini aku datang sebagai customer emang enggak boleh? Ekhem-ekhem, Ce Aliiiin, pesan satu ice jasmine tea no sugar, ya. Thank you."
Bigel merinding mendengarnya. Sikap menyebalkan macam apa itu?
Sementara Alin bergeming, hanya tangannya yang diam-diam bergerak mengepal kuat hingga gemetar. Ia tahu, Elio sedang bermain-main dengannya. Pun ia sadar, mungkin Elio sudah mulai membencinya. Namun, Alin adalah Alin, Alin adalah wanita yang ramah kepada seluruh pelanggan Fleur Teapot. Oleh karenanya, ia tersenyum menanggapi Elio yang jelas sedang mempermainkannya. Dan senyuman itu malah membuat Elio semakin jengkel.
"Sure. Tunggu sebentar ya, Elio," kata Alin, tersenyum, yang lantas melangkah menuju bar teh-tehan.
"Cih!"
"Cih?" Bigel mengulangnya dengan nada sedikit marah. "Sopan dikit, Elio. Dia paling tua di sini."
"Ya, ya, ya, udah sini sarapan Kak Bigel, ih! Iklan mulu dari tadi!"
Bigel masih tak beranjak, dan malah menatap Elio dengan tatapan penuh curiga.
"Kenapa, sih? Orang lagi baik malah disangka yang enggak-enggak. Sini buruan makan! Kalau Kak Bigel udah makan, baru aku pulang!"
Baiklah, baiklah. Bigel menghela napas panjang sebelum bangkit dan menuruti kemauan anak itu.
"Puas?"
"Aaaaaa, akhirnya! Enjoy your breakfast, Kak Bigel! Diem, ya, sini aku foto dulu. Ayo senyum yang cantik! Satu ... dua ... ti—"
"Apa sih?"
Cekrek!
♡
Riiiiing! Riiiiiing!
"Halo?"
Ales pagi itu baru selesai mandi. Ia mengangkat teleponnya dengan handuk yang masih melilit dari perut ke lutut, dan tangan kanannya yang sibuk mengeringkat rambut dengan handuk.
"Les, roti selai kacang?" Roy menawarkannya ketika melihat Ales lewat, dan Ales menjawabnya dengan anggukan kepala. Ia masih dengan panggilannya.
'Morning, Kak Ales. Cek WA, ya!'
"Morning, El. Oke."
'Jangan lupa, annual pass Dufan aku! Kak Ales janji beliin 'kan? Enggak bohong 'kan? Aku udah rela-relain ke toko di hari libur gini, pagi-pagi, cuma buat nurutin suruhan Kak Ales!'
"Ck! Iya, bawel. Tapi jangan lupa juga, jaga yang kemarin tetap jadi rahasia kita. Jangan kasih tau Bigel lebih awal, biar nanti itu urusan gue. Paham?"
'Got it!'
"Awas keceplosan!"
'Enggak akan! Hehe, ya udah ya, aku masih di toko. Mau bantuin Kak Bigel deh, mumpung di sini.'
"Oke. Baik-baik di sana. Jangan nyusahin!"
'Bawel!'
Setelah itu, panggilannya berakhir. Ales yang duduk di meja makan, menunggu roti panggang selai kacangnya dibuatkan oleh Roy, lantas membuka pesan sesuai yang disebutkan.
Seulas senyum tiba-tiba melengkung dari bibir Ales. Matanya tak lepas dari layar ponsel yang menampilkan wajah gadis pujaannya sedang duduk di hadapan makanan-makanan itu. Wajahnya kesal, seperti biasa. Ales jadi tertawa kecil, membayangkan Bigel mengocehi Elio setelah adik tingkatnya itu mengambil foto. Atau mungkin, bahkan sebelum itu Elio sudah diocehi? Ah, entahlah, Ales jadi tertawa sendiri membayangkannya.
Roy yang sibuk dengan pemanggang roti pun bergidik ngeri melihat Ales cengar-cengir dan terkekeh-kekeh kecil ketika melihat layar ponselnya.
"Heh, kenapa lo? Bigel?"
Ales menjawabnya dengan anggukan, matanya masih enggan melepas pandangan dari foto lucu Bigel.
"Dasar gila. Bau bucin lo, idih!"
Ales cengar-cengir saja, tak peduli Roy mau memakinya seperti apa. Toh, memang kenyataannya dia menyukai Bigel. Tak salah 'kan? Ales tahu batasannya, yang tak boleh itu jatuh cinta.
"Les, sore nanti lo jadi jalan sama Bigel?"
Ales mengangguk.
Roy menghela napasnya, "Gue enggak nyangka si Alin ...."
Kali ini, Roy berhasil memutus pandangan Ales dari layar ponsel.
"Bisa gitu, ya? Temennya sendiri, gila. Terus itu sampai sekarang Bigel belum tau, Les? Dan besok gimana?"
"Belum. Besok ... gue enggak bakal ninggalin Bigel, sedetik pun."
"Kasian. Dosa apa tuh cewek di kehidupan sebelumnya, ya?"
"Dih? Sembarangan! Kenapa jadi Bos Bi gue? Si Bara noh hasil reinkarnasi kucing kali kawin sembarangan!"
Roy terkikik mendengarnya. Ales mengerucutkan bibir, berdecih sebal, dan kembali fokus ke layar ponsel. Hingga tak terasa, roti panggang selai kacang kesukaannya sudah siap. Roy pun membawanya dari dapur, dan duduk bersama Ales.
"Eh by the way, besok kontrak lo habis. Lo open boyfriend rent lagi?"
"Entah. Kenapa?"
"Nope. Nanya aja. Barangkali lo money hunter banget, baru dapet lima juta mau langsung gas lagi."
"Yeh, lima juta juga udah buat nutupin kekosongan rekening gue gara-gara lo beli buket dua juta ya, anjing. Belum lagi gue bayar cicilan Ocong. Terus juga kemarin gue ke pulau. Belum buat hidup sebulan ke depan!"
"Ya, ya, jadi kesimpulannya lo open boyfriend rent lagi habis ini?"
Ales terdiam sejenak.
"Soalnya gue kira lo beneran suka sama si Bigel, dan berencana berhenti jadi boyfriend rent. Agak beda sih lo sama dia. Mungkin karena masa sewanya yang juga lebih lama kali, ya?"
"Cih." Ales tak percaya mendengar ocehan Roy, ia pun menyambar selembar roti dan mengunyahnya.
"Lah? Cih?" Roy tertawa terbahak-bahak. "Ada yang denial sobaaaat."
"Denial, denial, aneh lo."
"Suka mah suka aja, Les. Kalau mau berhenti jadi boyfriend rent dan memperjuangkan cinta Bigel juga oke kok. Lumayan tuh, kayaknya tuh cewek kaya bisa nafkahin lo."
Entah apa alasannya, tapi Ales geram mendengar bercandaan Roy. Bukankah itu sedikit kelewatan? Ales tidak serendah itu untuk memanfaatkan harta perempuan. Selama ini yang ia lakukan, ia lakukan sesuai kontrak. Ales sama sekali tak ada niatan untuk mencuri perhatian Bigel demi mendapat keuntungan. Segalanya yang ia lakukan, hanyalah sebatas menjadi seorang pacar yang telah dibayar.
"Bro? S-sorry, lo okay, 'kan?" Roy sadar Ales menyorotnya dengan tatapan tak biasa.
Tak digubris. Ales menghabiskan sarapan tanpa meladeni Roy yang ia sadari terus memperhatikannya. Ia tak ingin ribut, agaknya memang lebih baik ia diam demi menjaga hubungan pertemanan. Meski rasanya ia malas sekali melihat wajah Roy yang sudah membuatnya kesal bukan main.
♡
Sabtu sore, di Fleur Teapot.
Deru suara Ocong yang memasuki area parkir hanya membuat Bigel melirik sekilas sebelum kembali fokus mempersiapkan mobil pick-up. Ales memarkirkan motornya, melepas helm, dan turun menghampiri Bigel.
"Hai, Bos Bi!"
"Cih? Lo beneran mau ikut gue kerja?"
Ales mengangguk semangat. Ia sangat siap untuk pergi membantu Bigel mengantar bunga ke kediaman calonnya Bara. Ia juga ingin tahu, apa yang akan terjadi di sana nanti.
"Gue bisa bantu apa, Bos? Ada barang yang mau dibawa dari sini? Biar gue bantu angkutin. Apapun bisa Ales bantu, selain nyetir mobil ya, Bos, hehe."
Bigel pikir, Ales tak serius kemarin. Rupa-rupa si keras kepala ini tetap datang untuk membantunya bekerja. Ini namanya rejeki, ada tambahan tenaga kerja tak boleh ditolak.
"Ayo."
"Ayo?"
"Ya, ayo. Katanya mau ikut?"
"S-sekarang, Bos? Langsung?"
Ales celingak-celinguk. Ia tak melihat ada tumpukan bunga yang harus dibawa.
"Ya emang mau ngapain lagi, Les? Ayo buruan, kita pick up ke Pak Uwi dulu. Dia lagi banyak order jadi enggak bisa nganter ke sini."
"Ah, oke-oke!"
"Ce Alin! Elio! Gue berangkat!" seru Bigel. Berpamitan sekilas sebelum masuk ke dalam mobil dengan Ales. Persetan didengar atau tidak, ia merasa yang penting sudah berpamitan.
Lantas setelahnya, mobil pick-up Fleur Teapot meninggalkan area parkir. Seperti hari-hari lalu, Bigel yang menyetir dan Ales duduk manis di sebelahnya. Demi menghilangkan keheningan, Bigel sengaja memutar lagu. Meski sebenarnya ia tak terlalu suka berisik, tapi ia yakin Ales akan bosan jika tak mendengar apa-apa.
Namun, memang dasar dikasih hati minta jantung. Ales yang diberi lagu malah tiba-tiba meminta Bigel bernyanyi dengannya sepanjang jalan. Ah, Ales, yang benar saja!
"Bos Bi! Ayo nyanyi!" Ales merengek lagi seperti waktu itu. "You know I'll do anything you asked me to! But oh my God, I think I'm in love with you! Standin' here alone now, think that we could drive around, I just wanna say how I love you with your hair down. Baby, you don't got to fight, I'll be here till the end of time, wishing that you were mine, pull you in it's alright ... ayo Bos, nyanyiiii!"
Bigel berdecak sebal. Ales berisik sekali. Suaranya menistakan suara merdu Clairo saat bernyanyi lagu Sofia. Tapi Ales memang tak pernah mau peduli, ia tetap saja bernyanyi sesuka hatinya dan malah meninggikan volume!
"I THINK WE COULD DO IT IF WE TRIED. IF ONLY TO SAY, YOU'RE MINE! SOF—"
"Ck! Kecilin, Les!"
"Ah, Bos Bi!" Ales menggerutu, tangannya dengan berat mengecilkan volume lagu. Namun, semangatnya untuk bernyanyi masih membara tinggi. Ia siap-siap menarik napasnya lagi, tapi sayang sekali Bigel menyadarinya dengan cepat.
Gadis itu buru-buru menekan tombol next, dan lagu yang semangat dinyanyikan Ales seketika terganti.
Sialnya, malah lagu Reckless dari Madison Beer yang kemudian terputar otomatis.
Keduanya hening tiba-tiba. Bigel menelan salivanya ketika mendengar suara lembut Madison Beer yang mulai menyanyikan bait pertama. Sementara itu, Ales diam. Ales tahu lagu ini, pun ia tahu seluruh lirik lagunya. Menyedihkan.
"B-Bos Bi ... mau diganti lagunya?"
"Biarin."
"Tapi, Bos?"
"Biarin, Les. Sedikit lagi kita sampe, tolong tenang jangan berisik."
"Ah, iya. Siap, Bos Bi."
Dan setelah itu Ales diam. Sampai lagu itu berhenti berputar dan tepat waktu mobil mereka sampai di pasar bunga, mereka berdua pun turun dari mobil untuk mulai mengangkut pesanan dari kios Pak Uwi.
Bigel memegang selembar kertas, mengabsen setiap bunga yang diangkut oleh pegawai-pengawai Pak Uwi, sementara Ales membantu mereka melakukan peletakkan di box mobil. Segalanya berlangsung cepat, berkat Ales tak banyak bicara dan mengobrolkan hal yang tak penting. Pegawai-pegawai Pak Uwi juga gesit, mengingat mereka juga memiliki banyak bunga yang harus diurus selain milik Bigel.
"Pak, makasih ya. Saya jalan dulu."
"Sama-sama Non Bigel. Bilang si ayang itu hati-hati nyetirnya, ya."
"Saya yang nyetir, Pak."
"Eh? Lho, kok?"
"Mati saya, Pak, kalau dia yang nyetir."
"BOS BI! AYO BERANGKAT, UDAH SIAP SEMUA, BOS!"
Yang dibicarakan berteriak dari jarak sekitar tiga kios, Ales siap untuk bekerja lagi. Meski begitu, Bigel menghela napas melihat tingkah Ales yang sibuk sendiri, lelah melihatnya. Lain dengan Pal Uwi yang terkekeh melihat semangat Ales, tampak lucu di matanya.
"Anak muda memang beda."
"Bukan beda lagi, dia emang agak lain, Pak."
"Hahahaha, aduh Non! Jangan gitu ah sama pacar sendiri."
Bigel berdecih dan bergumam, "Pacar apanya."
Pacar sewaan, iya.
"Ya udah, Pak, saya jalan ya."
"Siap. Berkabar kalau WO-nya lanjut sampai nikahan, Non."
"Siap, Pak Uwi."
"BOS BI, AYOOOOO! NANTI MACET LHO JALANANNYA!"
"Iya, berisik!!!"
to be continue ...
♡ Xadara Goe
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top