35 | her
"KYAAAAAA, BOS BIIIII!"
"Apa sih, Les?!"
Sesuai dugaan, Ales sudah mengira dirinya tak akan bisa tenang ketika berbelanja dengan Bigel. Gaya hidup gadis itu ... duh, membayangkan uang keluar dari dompetnya membuat Ales ingin melarikan diri saja.
"Oke, gue tau batik di sini itu bagus, berkualitas, dan jelas mahal. Tapi, gue enggak sampai ngira kalau harganya TIGA JU—"
"Shhh." Bigel membekap mulut si bawel itu. "Berisik!"
Ales meringis. Bahunya turun, lemas seketika setelah Bigel menanggapi dengan sebegitu santainya. Mengeluarkan uang tiga juta hanya untuk sepotong baju batik semudah mengeluarkan uang tiga ratus ribu. Ales sudah tak habis pikir. Ia sudah tak tahu lagi harus bagaimana.
Menolaknya? Tidak mungkin. Bigel akan marah dan menganggap Ales tidak menghargai usahanya. Terlebih lagi, ini masalah terlihat tampan di depan mantannya.
Membayarnya sendiri? Mustahil. Ales tidak akan sanggup bertahan sebulan hanya dengan selai kacang dan roti yang selalu dibeli Roy, karena menghabiskan uangnya di toko batik ini.
"Bos Bi ...."
"Apa lagi?"
"At least, kita beli yang sejutaan aja gimana, Bos? Atau dibawah itu lebih oke."
Bigel menghela napas, "Lo yang tadi bilang suka batik ini, Les."
Memang. Memang benar Ales yang menyatakan dirinya jatuh cinta dengan batik itu. Lagipula, siapa yang tidak akan? Batik dengan bahan sutra yang ditenun itu sangat memanjakan mata. Warna abu dan hitamnya pun berpadu sempurna. Dalam satu kedipan mata, Ales memang jatuh cinta dengan batik itu.
Namun, belajar dari hari-hari belakangan ini, tak segala hal yang ia sukai harus jadi miliknya 'kan?
Ales tau bagaimana caranya merelakan. Ia tahu diri. Ia tahu seberapa kecil kesempatannya untuk memiliki. Ales tak mau menjadi serakah dengan memaksa segala hal yang indah nan membuat jatuh cinta harus dicap atas kepemilikannya.
"Gapapa, bukan jodohnya, Bos. Cari yang lebih murah aja, ya? Ah! Gimana kalau yang itu?" Ales menunjuk asal ke arah batik lainnya.
"Itu?"
Ales manggut-manggut. Semangat mengajak Bigel ke jajaran batik lainnya. Namun, melirik jam di tangan, sayang sekali Bigel tampaknya keberatan.
"Udah sore banget, kita harus balik, Les. Ce Alin sama Elio kasian kita tinggal. Dan gue harus ke Pak Uwi buat make sure orderan Mbak Mega, biar besok pas gue pick-up udah beres semua.
Jadi sorry, kayaknya kita beli yang ini aja. Enggak ada waktu buat milih lagi. Lo suka 'kan?"
"... suka sih, Bos."
"Okey, kita beli ini ya."
"Bos Bi, ini kemahalan enggak sih?"
Bigel merengut, "Bukannya memang harga batik segini?"
"Heh?!" Ales nyaris melompat ketika mendengarnya. Kalau Bigel mewajarkan harga batik yang berada di atas satu juta, bagaimana jika gadis itu mengetahui fakta bahwa batik-batik di lemari Ales hanya seharga tiga ratus ribuan?!
Ales terlalu terperangah, hingga ia tak menyadari Bigel mengabaikannya lagi. Gadis itu menghampiri pegawai di sana untuk membantunya melakukan pembayaran. Dalam waktu singkat itu, dia juga mengambil satu dress batik untuk dirinya yang memiliki warna senada dengan Ales. Tak lama, Bigel langsung membayarnya. Sementara Ales masih kesulitan menerima fakta ini.
"Les?"
Bocah bodoh itu malah melamun.
"Les!"
"Eh! Bos Bi!"
"Ayo balik. Gue harus ke Pak Uwi."
"Heuh? B-batiknya, Bos?"
"Nih."
Tas belanja itu diserahkannya kepada Ales. Tangan besar dari pria yang planga-plongo itu jelas terlihat gemetar. Ales serasa sedang menerima harta karun saja.
"B-Bos Bi ...."
"Ayo pulang, Les."
"T-thanks?"
Bigel mendengkus dan tersenyum, "Ya."
"Thanks, Bos Bi."
"Iya, Ales. My pleasure. Jadi, ayo sekarang pulang."
Mata Ales berbinar senang. Senyuman Bigel jelas membuatnya sedikit merasa tenang, tak lebih gelisah daripada sebelumnya. Ia pun ikut tersenyum, mengikuti Bigel yang mengukir senyum tulus. Hingga rasanya, ia ingin memberikan segala yang ia punya hanya untuk gadis di hadapannya.
"As you wish, Bos!"
♡
Bukannya Bigel tak mau tetap bersama Ales hingga malam, tapi jadwalnya hari ini memang agak padat dan sudah waktunya untuk ia memfokuskan perhatian pada pesanan Mega. Bunga-bunga yang dipesan untuk hari lamaran Bara itu harus tepat jumlah dan jenisnya, Bigel tak mau ada kesalahan sedikitpun. Maka satu hari sebelum ia melakukan pengiriman, ia mengecek segala hal ke tempat asalnya bunga-bunga itu—Pak Uwi—tepat setelah ia selesai berbelanja dengan Ales.
"Bos Bi yakin enggak mau diantar?" tanya Ales, ketika mereka masih di perjalanan.
"Nope. Ke toko aja, nanti gue ke Pak Uwi sama Ce Alin. Biar dia ikut crosscheck juga."
"Oh, gitu ... oke."
Ales tak mau banyak memikirkan hal buruk. Carina Lia Effendi pun belum tentu Ce Alin yang ia kenal. Mana tau, itu hanyalah sebuah kesamaan nama saja. Ales berusaha untuk mengesampingkan pikiran buruknya, meski ia selalu dihantui asumsinya sendiri. Ia sungguh khawatir Bigel mungkin akan merasakan kecewa luar biasa yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Lantas begitu mereka sampai di Fleur Teapot, Ales duduk menghampiri Roy yang rupanya masih berada di sana. Sementara Bigel langsung menghampiri Alin yang sibuk di balik meja kasir. Dari kejauhan, Ales terus memperhatikannya. Ia tak melepas pandangannya dari Alin dan Bigel, hingga mengabaikan Roy yang terperangah dengan belanjaan Ales dan Elio yang datang membawakan es hibiscus tea.
"Whoah! Gilak! Lo beli batik, Les?! Idih, idih, elit nih!" kata Roy, kagum dengan batik yang Ales beli. Ia dengan begitu penasarannya mengintip isi tas belanja Ales, tapi Ales tak peduli. Tatapannya lurus dan tajam ke arah Bigel dan Alin.
"Wah, Kak Ales belanja batik ya?" Mata Elio tak kalah berbinar kagum melihat batik yang dikeluarkan Roy. "Cantik banget batiknya! Buat acara hari minggu, kah?"
Ales tak menjawab. Padahal, dua temannya itu sedang menunggu jawabannya seperti patung. Lima detik, tak ada jawabannya apa-apa. Roy yang kesabarannya setipis tisu dibelah dua, lantas mengoceh di detik kesepuluh.
"Heh, tapir!" Tak lupa, diiringi geplakan di belakang kepala Ales.
"Ah! Apaan, sih?!"
Mempan juga. Akhirnya, Ales berhasil melepas fokus dari Bigel dan Alin. Ia beralih kepada Elio dan Roy sepenuhnya.
"Ditanya juga sama Elio! Ini batik buat acara hari minggu atau apa?"
"Iya. Buat lamaran Bara nanti. By the way, Elio, lo ikut juga 'kan?"
Elio mengangguk, "Iya, kita satu toko diundang sama Pak Adam."
"Satu toko?" Ales mengernyit. "Coba duduk sini, ceritain. Kok Bisa satu toko yang diundang?"
Memang dasarnya anak baik dan penurut, Elio duduk di hadapan Ales, dan Roy berada di sisi samping mereka. Tak ada kerjaan juga, Elio merasa tak masalah untuk duduk dan mengobrol dengan Ales.
"Hmm ya bisa aja, Kak. Pak Adam itu ayahnya Bara, dan beliau yang punya toko bunga ini. Walaupun katanya toko ini milik anaknya, sih. Tapi sejauh yang aku tau dari Ce Alin tentang Fleur Teapot ya ... toko ini punya Pak Adam. Dan Pak Adam ngundang staff tokonya buat hadir di acara lamaran anaknya, gitu."
Ah, Ales merasa ada yang janggal di sini. Lantas, ia langsung bertanya tentang hal yang mengganggunya.
"Jadi, Bara itu anak Pak Adam dan Pak Adam yang ngundang staff-nya untuk dateng ke lamaran Bara?"
Elio mengangguk.
"El ...."
"Ya?"
"Memang seberapa dekat hubungan kalian sama Pak Adam, sampai-sampai kalian diundang ke acara lamaran anaknya? Ini lamaran, El, bukan pernikahan."
Elio terdiam sejenak. "Cukup dekat, Kak. Kita bahkan jalan-jalan bareng. Dan sebetulnya semua ini berkat Kak Bigel, karena Kak Bigel dulu pacaran sama anaknya Pak Adam. Jadi Bapak baik banget sama kita."
Ales mendenguskan tawa tak percaya. Sebatas itukah pengetahuan Elio tentang Bigel? Cetek sekali pemahaman Elio tentang rekan kerjanya. Dan hal ini membuat satu pikiran kembali tercuat di kepala Ales.
"Hmm, jadi, besok kalian dateng bareng ke sana atau gimana?" tanya Ales.
"Aku bareng Ce Alin, Kak. Kak Bigel 'kan sama Kakak."
"Oh, I see ...."
"Iya, Kak Ales. Kenapa sih nanya-nanya?"
"Gapapa. By the way, lo kenal Ce Alin dan Bigel udah berapa lama, El?"
"Umm ... masih baru. Ya sejak aku kerja di sini. Berarti sekitar satu atau dua bulan?"
Kini Ales mengerti mengapa satu toko ini tampak biasa saja mendapat undangan pesta lamaran itu. Agaknya, tak ada yang mengenal siapa Alin sebenarnya. Namun, Ales masih harus memastikan dugaan ini.
"Ah, iya-iya. Namanya Ce Alin siapa sih, El? Gue mau temenan di sosmed nih. Sama lo 'kan udah, sama Bos Bi juga udah, tinggal Ce Alin aja."
"Oh! Bentar!"
Elio mengeluarkan gawainya dari saku apron. Membuka sosial media burung biru dan kamera gradasi ungu untuk melihat username Alin.
"Usernamenya 'alineff', Kak! Insta dan Twitter sama aja."
"Okai, thanks!"
Ales pun membuka sosial media, mencari akun itu sembari membatin dalam hati, 'alineff, huh?'
Haha. Ales tersenyum miris melihat sosial media si wanita berambut pirang. Tak ada nama lengkapnya, hanya ada nama 'Alin' di sana. Tampaknya Alin bukan tipikal yang suka memajang nama lengkap di sosial media. Kecurigaan Ales lantas menguat. Tak tahan lagi, ia pun bertanya langsung ke inti kepada Elio.
"El, kalau nama lengkap Ce Alin, siapa?"
"Heuh? Umm ... aku enggak tau, deh. Enggak pernah nanya."
"Jadi, taunya cuma nama dia Alin aja gitu, ya?"
Elio mengangguk. Roy sedari tadi diam bukan berarti ia tak ada di sana. Ia ada, duduk dengan baik dan menyimak segala pertanyaan Ales kepada Elio. Apalagi, ini ada hubungannya dengan Alin, wanita yang ia sukai.
"Hmm okelah," tutup Ales.
Selesai. Pembicaraan tentang Alin seharusnya selesai di sana. Namun Roy tampak belum ingin mengakhirinya, dan tiba-tiba menimbrung begitu saja.
"Lo apaan si, Les? Perasaan tadi siang udah denger nama lengkapnya si Alin. Kok masih nanya-nanya aja? Jangan-jangan lo sukanya sama Alin, bukan Bigel?!"
"Sembarangan! Siapa juga yang suka sama Alin!"
"Lah itu nanya-nanya namanya!"
"Ya emang enggak boleh?!"
"Ya aneh! Kan lo udah tau namanya jelas-jelas Carina Lia Effendi! Emangnya lo sepelupa itu sampe nama yang baru siang tadi lo denger sekarang udah lupa?!"
Elio semulanya tertawa melihat dua sahabat itu saling beradu mulut. Namun, seketika senyuman itu runtuh perlahan ketika mendengar sebuah nama yang Roy sebutkan. Karena jelas, Elio pernah mendengar nama itu meski ia lupa di mana ia mendengarnya.
Ales yang awalnya beradu mulut pun seketika terdiam, ia melihat perubahan ekspresi Elio dan mendengar suara tawanya yang berhenti tiba-tiba. Dan sejak itu Ales tahu, Elio pasti merasakan sesuatu.
"Kenapa, El?"
"Uh? Umm ... enggak, Kak. A-aku tinggal ke belakang dulu ya, Kak. Enjoy your tea! Hehe."
Elio bangkit detik itu juga dari hadapan Ales. Ia pergi dengan tergesa menuju pintu ruang belakang, ruang staff di mana Ales menemukan undangan. Elio berjalan tanpa menaruh atensi kepada Alin dan Bigel yang ia lewati begitu saja. Mata Ales bergerak mengikuti pergerakan Elio hingga pria kecil itu masuk dan menutup kembali pintunya, lalu suara obrolan Bigel dan Alin mengalihkan perhatian Ales. Seperti semula, Ales kembali mengamati Bigel dan Alin.
"Kita jalan sekarang?" tanya Alin. Ales diam-diam sedang menguping pembicaraan mereka, sembari memperhatikan pergerakan keduanya.
"Iya. Takut Pak Uwi keburu tutup. Bantu crosscheck aja sih, Ce, karena bunganya banyak. Takut gue ada miss sesuatu, dan barangkali lo paham detailnya karena lo yang lebih banyak ngobrol sama Mbak Mega."
"Okay! Tunggu bentar, gue taruh apron dulu. Lo ke mobil duluan aja. Gue sekalian mau bilang ke Elio kalau kita pergi."
"Oke."
Ales masih terus mengamati. Bigel sudah berjalan keluar dari toko dan menyalakan mobil pick-up-nya. Sementara Alin keluar dari meja kasir dan melepas apron sembari berjalan ke ruang belakang.
Dan yang Ales lakukan sekarang hanyalah menunggu. Menunggu Elio dan Alin keluar, sembari ia menyesap teh hibiscus yang menyegarkan. Ia perlu menjaga pikirannya tetap dingin, dan teh hibiscus ini agaknya cukup membantu. Sementara itu, Roy sibuk sendiri dengan gawainya, berselancar di akun sosial media Alin setelah mengetahuinya dari Elio.
Ales tak tahu apa yang Elio lakukan di sana. Namun yang jelas, Ales tahu Elio berjalan dengan tergesa bukan tanpa alasan. Ia akan kembali bertanya tentang kegelisahan Elio barusan, dan dengan sabar ia menunggu Elio keluar dari ruang belakang. Ia ingin mengetahui apa sekiranya hal yang membuat Elio begitu tergesa pergi ke ruang belakang yang Ales yakini nama Carina Lia Effendi-lah yang menjadi penyebab awalnya.
Ales sabar dan sabar menunggu, hingga ....
BRAK!!!
Pintu ruang belakang itu dibuka dengan kasar hingga membentur dinding di sampingnya. Ales sontak bangkit, pun sama dengan Roy yang tak kalah kaget. Keduanya lantas meninggalkan meja dan berjalan ke ruang belakang, tempat di mana suara itu berasal.
Dan betapa terkejutnya mereka, kala melihat Elio dengan mata memerah penuh amarah, menggenggam secarik undangan berwarna merah muda, dan mengintimidasi Alin yang berjalan mundur dengan gemetar.
"Jadi, perempuan ini ... Ce Alin?"
Ales pun terperangah. Belum pernah ia lihat Elio yang baik hati itu berubah menjadi seperti ini. Nyaris seperti monster yang ingin menghabisi musuhnya. Tatapan Elio begitu tajam, tangannya kuat menggenggam, yang lantas membuat Alin bergerak mundur dalam ketakutan.
"Jadi ... Carina Lia Effendi ini ... Ce Alin?"
Elio mendenguskan tawa. Ia tampak jelas mengejek permainan Alin selama ini. Meski saat itu Alin tak mampu menjawab apa-apa, tak membenarkan ataupun menyalahkan dugaan Elio, tangannya yang gemetar sudah cukup membuat Elio yakin bahwa Alinlah pemilik acara yang akan dihadiri Bigel nanti.
"Ce Alin ...."
"Elio!"
Tiba-tiba Elio melemas. Pria kecil itu nyaris jatuh jika Ales tak sigap mengambil langkah dan menumpu tubuhnya. Ales memastikan kesadaran pria kecil itu, dan syukurlah Elio masih dalam keadaan sadar. Hanya saja, ia lemas seperti tak bertenaga.
"Kak Ales, Ce Alin ...."
"E-Elio ... m-maaf."
Jantung Ales nyaris berhenti berdetak. Ia terpaku di tempat. Telinganya tak salah mendengar, bahwa Alin mengucap permohonan maaf kepada Elio yang sudah menduganya. Lantas ia mendapat jawaban dari asumsinya selama ini. Bahwa benar, Alinlah orangnya.
"Ce, kenapa Ce Alin? Kenapa?" Elio berujar, nyaris menangis.
Alin bergeming. Tangannya bergetar, kakinya pun sama. Ia menguat-nguatkan diri untuk berdiri, tapi ia tak sanggup untuk sekadar menjawab.
"Ce, jawab!" Elio murka.
"Elio! Stop!" Ales akhirnya mengambil alih kekacauan ini. Elio pun berhenti bicara, dan mulai mengatur napasnya yang tak beraturan. Ales melakukan hal yang sama. Ia menarik napasnya dalam-dalam sebelum akhirnya menatap mata Alin dan berkata, "Pergi, Ce Alin. Lo harus periksa sendiri seluruh kebutuhan bunga di acara lamaran lo nanti. Tolong jangan bebanin Bigel lebih banyak lagi."
Lantas, Alin mundur dari hadapan mereka. Dengan menahan rasa sesak di dada, Alin berjalan cepat keluar dari Fleur Teapot untuk pergi bersama Bigel. Ia pergi dengan meninggalkan rasa kecewa yang begitu besar dalam diri Elio, juga Ales yang mengenalnya sebagai wanita baik-baik.
"Ayo, El. Kita minum teh sama-sama. Jangan marah-marah lagi, ya."
"Kak Ales ... Kak Bigel gimana?"
"Jangan khawatir, Bigel akan baik-baik aja, Elio." Ales terdiam sejenak, ia butuh memantapkan hati sebelum akhirnya menjawab. "G-gue ... gue yang jamin. Oke?"
Elio menghela napasnya dalam-dalam. Bukan ia tak mau percaya kepada Ales, tapi bukankah hal ini terlalu menyakitkan untuk Bigel ketahui?
"Semoga Kak Bigel baik-baik aja."
"Bigel pasti baik-baik aja, Elio."
"Kak Ales enggak bisa jamin."
Ales terkekeh, "Bisa. Perlu gue jadiin Ocong buat jadi jaminan?"
"Heuh? Apa sih! Udah, minggir! Jangan rangkul-rangkul!"
Gelak tawa pun kembali terdengar. Tawa seorang pria garing yang Elio kenal sebagai si tampan penyedia jasa sewa pacar. Tawa seorang teman manja yang Roy kenal sebagai si pemuja wanita yang memanfaatkan ketampanannya untuk mencari uang. Lebih daripada itu, mereka sama-sama mengenal Ales sebagai pria baik yang mampu memberi kenyamanan untuk setiap orang. Tak pandang apakah mereka laki-laki atau perempuan, apakah mereka memiliki atau tidak memiliki uang, Ales adalah juaranya memberikan rangkulan kepada siapa saja yang membutuhkannya.
Roy tersenyum kecil melihat kekacauan di hadapannya ini. Pun agaknya ia tak menyangka, ia telah menyukai seorang pengkhianat dalam lingkaran pertemanan.
"Oy, Roy! Enggak mau ikut minum teh? Sini! Kita minum di luar sambil sebat! Bigel sama Alin udah berangkat!"
"Eh? Iya! Tunggu, Les!"
"Buruan, tapir!"
"Heh bangsat! Lo yang tapir, sialan!"
Dan hari itu, mereka habiskan hingga malam dengan obrolan-obrolan tak penting di teras depan Fleur Teapot. Ditemani sigaret dan teh buatan Elio, mereka bercengkerama bersama. Sesekali, nama Bigel, Alin, dan Bara pun muncul dalam obrolan mereka. Tak ada satu pun yang menyangka, bahwa Alin adalah perempuan di balik semua ini. Alin yang begitu baik kepada Bigel hingga menganggapnya seperti adik sendiri. Alin yang begitu peduli dengan keadaan Bigel hingga menawarkan diri untuk mengurus segala pesanan dari WO yang disewa Bara. Alin yang begitu ingin menyembuhkan Bigel dari luka lama, hingga menyarankan untuk menggunakan jasa sewa pacar. Tapi dengan begitu, kini semuanya terlihat jelas di mata Elio dan Ales. Alasan-alasan mengapa Alin melakukan segalanya. Bukankah, semua ini dilakukan demi dirinya sendiri?
♡
to be continue ...
♡ Xadara Goe
.
Hai!
Wah, udah lama banget aku ga interact gini sama kalian. Maaf ya, huhu.
By the way, aku mau kasih info kalau book ini akan tamat di bulan Maret, ya! Sekarang udah pertengahan Februari, so yeeaaaah bulan depan kita tamat!
Setelah itu, mungkin aku akan hiatus untuk beberapa saat. Dan tentunya akan kembali dengan membawa cerita baru!
Thank you buat semuanya yang udah dukung aku sampai aku ada di titik ini. 7k reads IIEFILA, dan 153k reads Stolen Sweetheart, I love you guys so much!
See ya! XOXO
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top