32 | we need a break

"EH!" Seruan Alin terdengar penuh rasa bahagia ketika ia keluar dari ruang belakang dan mendapati Ales sedang duduk di kafe teh. "Ales! Ya ampun, udah pulang? Udah selesai staycation-nya? Seru, enggak? Bigel mana?"

Rentetan pertanyaan dari Alin masih tak mengubah suasana hati Ales yang sedang sendu. Sebuah senyum kecil yang Ales berikan kepada Alin seketika membuat Alin terheran dengan pria yang ia lihat sekarang. Benarkah ini Ales? Mengapa lagaknya seperti kucing lemas yang belum makan seharian?

"Gimana staycation-nya, Les? Tidung asik, 'kan?" Alin masih berusaha bertanya, kali ini dengan memposisikan diri duduk di hadapan Ales.

Diam-diam dari belakang meja bar, Bigel mendengarkan. Meski matanya fokus melihat teh yang sedang ia aduk dengan bunga-bunga kamomil, telinganya terpasang dengan baik untuk menguping. Ia juga ingin tahu apa yang Ales rasakan selama pergi bersamanya.

"Asik, Ce Alin." Ales menjawabnya tak bertenaga.

"Asik 'kan! Haha! Udah gue bilang, Tidung tuh asik! Lo ngapain aja di sana? Naik banana boat, enggak? Snorkeling juga? Oh iya, kalian keliling pulau jalan kaki atau sewa sepeda? Cerita dong! Eh tapi, tunggu sebentar. Tunggu Elio balik, ya! Dia lagi ke ...."

Ting! "Ce Alin, boba red velvetnya enggak ad—" Pemuda manis andalan Fleur Teapot itu kembali. Ia baru saja datang setelah pergi membeli dua minuman manis di toko sebelah, tapi seketika langkahnya terhenti untuk masuk lebih dalam ke Fleur Teapot ketika matanya menangkap sosok Ales sudah kembali dari pulau. Yang mana berarti, Bigel pun sudah berada di sini lagi. Senior yang kemarin berkata ingin memecatnya.

"K-Kak Ales?" Elio celingak-celinguk takut, mencari di mana keberadaan Bigel, karena hanya mendapati Ales bersama Alin.

"Elio! Sini-sini, duduk buruan! Ales mau cerita tentang dia sama Bigel di Tidung!"

"Enggak usah kepo sama urusan orang, Ce." Bigel tiba-tiba datang, duduk dengan teh kamomil di tangan, mengambil posisi di antara Ales dan Alin yang berhadapan.

Lalu matanya yang semula menunduk, beralih menatap lurus ke depan, melihat ke arah seorang pria kecil nan manis yang membawa minuman tak kalah manis.

"Duduk, Elio." Bigel memerintahkannya.

Dengan segera, meski sedikit takut-takut mengingat ucapan Bigel di telepon malam lalu, Elio bergabung bersama mereka dan duduk di satu kursi tersisa di meja yang sama.

"K-Kak Bigel, hai."

"Sorry kemarin bikin lo takut." Seolah bisa membaca pikiran dan ketakutan Elio, Bigel melanjutkan, "Gue enggak maksud beneran mecat lo. Tapi serius, jangan diulangin lagi kata-kata sampah kayak gitu, El."

Ales mendengar suara tenang Bigel, dan melihat tatapan gadis itu lurus nan teduh kepada Elio meski sarat akan sebuah kekesalan yang belum sepenuhnya teredam. Ales mengingat sedikit, dan ingatannya langsung terputar sempurna. Ini tentang mulut besar Elio yang 'bercanda' menyuruh Ales untuk tak lupa mengenakan kondom saat bermalam dengan Bigel kemarin.

Dan Elio mengangguk penuh rasa bersalah, "Maaf ya, Kak. Aku ... bener-bener nyesel. Aku masih mau di sini, boleh ya, Kak?"

Di antara empat orang di satu meja yang sama, hanya Alin yang tak mengerti apa yang sedang terjadi di sini. Ia bolak balik melirik Elio dan Bigel yang saling menatap satu sama lain dengan sorot kekesalan dan sorot ketakutan penuh penyesalan dari masing-masing bola mata mereka.

"Emm ... ini ada apa, ya?"

Tak ada yang menjawab Alin. Elio fokus kepada Bigel, dan Bigel enggan menanggapi lagi topik pembicaraan ini setelah menjawab pertanyaan Elio sebelumnya dengan anggukan kepala.

Ales yang kini turut mendapat pertanyaan dari Alin lewat ekspresi wajahnya yang menuntut jawaban, pula enggan membahas persoalan ini. Lantaran ia tahu, Bigel tak akan suka sama sekali. Kemudian datang di tengah keheningan dan suara Bigel yang menyeruput teh kamomil, klakson sang penyelamat terdengar berbunyi tiga kali bersamaan dengan sorot lampu depan yang menembus kaca Fleur Teapot.

Jemputannya datang, Roy.

"Bos, see you tomorrow."

"Take a rest."

Ales berhenti bergerak. Mulanya, ia hendak langsung meninggalkan kursi kafe teh ini setelah berpamitan dengan Bigel. Namun, ia berhenti setelah mendengar balasan dari bosnya. Take a rest.

"Maksudnya?"

"Besok kita enggak usah ketemu. Istirahat, lo juga pasti capek pulang dari pulau. Jadi, sampai ketemu hari Sabtu, Les."

"Tanggal sembilan?"

"Tanggal sembilan."

"H min satu sebelum hari-H?"

Bigel mengangguk, dan menyeruput tehnya lagi tanpa menatap ke arah Ales seolah keputusannya tak mau diganggu. Tak perlu begitu pun Ales sudah bisa paham. Dari pengalamannya sebagai pekerja di usia muda, Ales tahu perintah dan tahu apa yang harus dilakukan. Hanya ada satu, patuhi perintah itu. Lantas jika Bigel mengatakan untuk tidak bertemu, maka Ales tak akan menemuinya. Ales dapat mengerti hal itu dengan baik. Hanya saja, satu yang membuatnya sedikit terkejut. Ia tak sadar waktunya tinggal sebentar untuk menuju hari final. Kontrak akan segera berakhir.

Waktunya bersama Bigel tak akan lama lagi.

Kencannya tinggal satu hari, dan satu hari setelahnya adalah puncak sandiwara. Hari Minggu nanti menjadi tugas terakhirnya mendampingi Bigel sebagai kekasih di acara lamaran Bara Tanuwidjaja, kakak sekaligus mantan kekasih bosnya. Ales tentu tak masalah, itu memang sudah menjadi tugasnya, tertera dalam klausul kontrak mereka. Namun, sedikit ia ragu di dalam hati, apakah chemistry-nya dengan Bigel sudah terbangun dengan baik?

"Jangan banyak pikiran. Pulang dan istirahat, Ales. Kontrak kita akan selesai dengan baik."

"Y-ya, sampai ketemu hari Sabtu, Bos. Selamat beristirahat."

"Hati-hati di jalan."

Ales menundukkan kepala, berpamitan sekali lagi kepada Bigel sebelum benar-benar meninggalkan Fleur Teapot bersama temannya. Hingga saat motor Vespa bernama Ocong itu hilang dari area parkir Fleur Teapot, Bigel tak sekali pun melirik ke arah jendela. Ia enggan menoleh dan menyaksikan kepergian Ales dari toko bunganya. Mungkin ini biasa saja bagi mereka yang tak mengenal Bigel dengan baik, tapi bagi Alin, Bigel terlalu dingin di siang yang hangat ini. Ia sadar, sesuatu telah terjadi.

"Elio, boleh tolong cek pengiriman hari ini? Kalau udah, tolong bawa bunganya ke mobil dan sekalian panasin mobil, ya."

"Siap, Ce."

Elio pun meninggalkan meja kafe teh. Tersisa Alin yang digandrungi rasa ingin tahu yang tinggi, dan Bigel yang hanya menatap ke arah teh kamomil. Alin merasa dirinya harus mengetahui apa yang telah terjadi pada Bigel dan Ales setelah mereka kembali dari pulau. Bukankah, seharusnya hubungan mereka semakin erat? Tapi mengapa tak terlihat begitu di mata Alin?

"Bisa-bisanya orang yang cinta sama laut, segini enggak bahagianya setelah temu kangen. Ada apa, Gel?"

"Nothing."

"Ceritalah, hubungan kalian enggak berjalan lancar? PDKT-nya gagal? Or ... ada something yang bikin lo ilfeel sama Ales? Emang sih anak itu kadang super narsis, Elio juga bilang gitu, tapi ... bukannya dia cowok baik, Gel? Atau, Ce Alin salah nilai dia?"

"Enggak ada apa-apa. Apa yang mau diharapin dari hubungan kontrak sepuluh hari, Ce. Semua baik-baik aja."

"Kalau gitu kenapa murung? Apa jangan-jangan ...."

Bigel pun mengangkat wajah dari bunga-bunga kamomil di dalam cangkir tehnya, dan menoleh ke arah Alin yang ekspresinya seperti sedang menduga sebuah hal besar terjadi kepada Bigel saat ini.

"Jangan-jangan?"

"Jangan-jangan lo malah galau gara-gara kontraknya udah mau habis?! Astaga, Bigel!"

Daripada terkejut, Bigel malah berdecih diiringi sebuah tawa remeh. "Orang enggak semudah itu jatuh cinta, Ce Alin."

Alin pun membalasnya dengan sebuah tawa kecil, tidak meremehkan, tapi hanya ingin membalas keangkuhan Bigel di hadapannya. "Aku bahkan enggak bilang lo jatuh cinta, Bigel."

Dan Bigel membeku, menatap lurus kedua mata Alin yang melengkungkan garis senyum. Alin lantas mengambil ini sebagai kesempatan untuk meracuni isi kepala Bigel yang diyakininya sedang berkecamuk karena memiliki prinsip yang tak sejalan dengan hati kecil seorang Abigail Ananta. Lagipula, ia tak akan menyia-nyiakan kesempatan emas ini untuk membuat Bigel lepas dari belenggu masa lalunya. Ia tak akan tega melihat Bigel setiap hari dalam keadaan sendu dan tak bisa menerima kenyataan bahwa hubungannya dengan Bara sudah berakhir berbulan-bulan lalu. Kalau Alin tak salah ingat, sudah lima bulan mereka berpisah. Maka bukankah, ini sudah waktunya bagi Bigel untuk memulai hubungan baru?

"Jangan sok tau. Sendiri lebih baik buat sekarang-sekarang ini."

"Bigel ... Bigel ... pertama, gue enggak bilang lo jatuh cinta. Kedua, gue enggak nyuruh lo buat pacaran sama Ales. Tapi kok respons lo gini? Lo nih beneran ya suka sama Ales? Enggak apa-apa lho, Ales anaknya baik. Jujur aja sama perasaan lo, Gel."

"Enggak ada yang jatuh cinta, dan enggak ada yang berniat pacaran. Daripada ngurusin hal ini, mending Ce Alin urus pesanan Mbak Mega. Lamaran Bara udah tinggal sebentar lagi, selama gue liburan ke pulau, semua di-handle Ce Alin, 'kan? Termasuk, pesanan Mbak Mega. Apa udah beres semuanya?"

"Ah itu, tenang aja. Beres kok. Enggak usah khawatir, kita tinggal atur pengiriman sama Pak Uwi. Balik lagi ke Ales, jadi ... besok kalian enggak ketemu?"

Bigel menggeleng, "Perlu istirahat. Dia pasti capek."

"Aaaaaa! Udah mulai perhatian ya sama Ales!"

"Bukan begitu."

"Terus?"

"Gue juga capek. Jadi, boleh tinggalin gue sendiri dulu, Ce Alin?"

Untuk pertama kalinya, Alin merasa tertusuk. Untuk pertama kalinya, Alin merasa telah dicampakkan oleh Bigel. Untuk pertama kalinya, Alin merasa dirinya tak dibutuhkan lagi, dan fungsi sebagai 'human-diary' pun hilang begitu saja. Bigel tak membutuhkannya.

Namun Alin bukan orang yang mudah menyerah untuk membuat Bigel cerita. Biar bagaimanapun, dia adalah 'human-diary'-nga. Sudah semestinya, sepemahaman Alin, Bigel menceritakan segala hal kepadanya tanpa sedikit pun ada rahasia. Maka setelah diusir dengan keramahan Bigel, Alin tak langsung pergi begitu saja dan hendak melancarkan pendekatan lebih halus kepada Bigel untuk membuat gadis itu bercerita.

Sayangnya, Bigel dapat merasakan niatan itu. Ia mengenal Alin lebih dari siapa pun di toko bunga ini. Lantas, niat yang tercium oleh Bigel segera dihentikannya detik itu juga. Bukan dengan mengusir Alin dengan metode lain, tapi ia yang bangkit dan meninggalkan kursi kafe teh Fleur Teapot, meninggalkan Alin dalam niat yang tak terealisasikan.

"Gue bilang, gue butuh sendiri, Ce Alin. Jadi tolong, jangan ganggu sampai gue yang lebih dulu buka suara. Thank you."

Dan Alin pun terdiam di meja kafe dengan hati yang terasa berat karena pertanyaan yang terus mengganggu di kepala. Sebenarnya, Bigel kenapa?

Ia tak dapat mengerti situasi ini.


hi? long time no see, hehe. are you guys still here? 

Xadara Goe

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top