31 | tan marina line
TAN MARINA LINE membelah laut kala matahari sedang hangat-hangatnya pagi ini. Ales berdiri di dek kapal, membakar sigaret kelimanya setelah yang pertama, kedua, ketiga, dan keempatnya ia isap bersama Opik di villa. Omong-omong, mereka berpisah dengan baik, Opik menitip salam untuk Haga jika nantinya Ales bertemu dengan si pemilik villa. Sekarang, sudah waktunya untuk pulang. Pulang dalam keadaan perang dingin dengan bosnya, Bigel.
"Den Ales, teh panas, Den," kata salah seorang anak buah kapal. Ia menghampiri Ales dengan secangkir teh kamomil yang entah diseduh oleh siapa.
Ales tersenyum tipis, "Terima kasih, ya." Tapi ia tak menerimanya.
"Boleh dikasih ke Bigel aja, Mas? Dia suka teh kamomil. Kalau saya enggak terlalu, pahit soalnya."
"Maaf, Den. Saya disuruh Non Bigel kasih ke Den Ales. Non Bigel sendiri sudah ada tehnya."
"Oh?" Ales tak bisa berbuat apa-apa kalau begini caranya. "Y-Ya udah deh, makasih ya." Akhirnya, ia menerima secangkir teh itu.
Sang anak buah kapal hendaknya langsung berbalik kembali bersama dua anak buah kapal lainnya. Namun, belum sepenuhnya ia berbalik badan, Ales memanggil dan menahannya pergi.
"M-Mas!"
"Ya, Den?"
"Sorry, tapi ... bisa temenin saya di sini, enggak?"
Katakanlah Ales tak memiliki harga diri, ia tak ada malu-malunya meminta ditemani oleh orang asing yang bahkan tak pernah ia kenal sebelumnya. Anak buah kapal itu tentu terkejut, mata belonya mengerjap kikuk, baru kali ini ia menerima perintah untuk menemani seseorang yang bisa ia sebut majikan di sini. Aneh rasanya. Namun, tetap tak bisa ia tolak. Mengingat Ales adalah kekasih Bigel. Ia takut karirnya bermasalah jika tak meladeni pria yang tampak kesepian sejak menaiki kapal.
"Boleh, Den."
Ales pun tersenyum lebar, ia senang akhirnya mendapat teman yang sekiranya bisa diajak berbincang. Ales tak tahan diam sepanjang jalan, apalagi saat ini Bigel sedang tak bicara sama sekali kepada dirinya. Ales juga tak berkenan menghadapi Bigel sekarang.
Lantas demikian, si anak buah kapal berdiri di samping Ales yang menyendiri di dek kapal.
"Rokok?" Ales menawarkan sebungkus di tangannya.
Laki-laki yang dari penampilannya tampak seusia dengan Ales itu menolak dengan sopan. "Maaf saya enggak merokok, Den."
"Oh? Sorry. Kalau gitu ... teh?" Ales menawarkan kembali teh kamomil yang belum ia sesap sedikit pun.
"Ah, enggak-enggak. Enggak sopan saya minum teh punya Den Ales. Gapapa Den, saya nemenin aja di sini."
"Halah, enggak apa-apa. Nih, minum. Teh kamomil, udah pernah coba?"
"Enggak perlu repot-repot, Den. Saya enggak apa-apa, kok."
Ales berdecak sebal, "Ayolah, masa saya ngerokok juga ngeteh juga, tapi masnya cuma berdiri aja? Daripada makan angin, ini cobain teh kamomilnya. Siapa yang buat tadi?"
"Non Bigel, Den."
"Eh?"
Seketika, Ales berhenti rewel di hadapan anak buah kapal itu. Ia memandang teh dengan bunga kamomil yang telinga cangkirnya ia genggam, dan kini rasanya berat bagi Ales memberikan teh itu kepada anak buah kapal di hadapannya.
"Saya enggak apa-apa, Den. Enggak mungkin juga saya minum teh buatan pacarnya Den Ales."
"S-sorry, duh, saya jadi enggak enak."
Alih-alih kecewa, anak buah kapal itu justru tersenyum, "Wah, Den, pasti hubungannya sukses betul, ya? Den Alesnya menghargai Non Bigel, Non Bigelnya juga perhatian sama Den Ales. Syukurlah."
Mendengar penuturan itu, Ales diam dan bibirnya perlahan tersenyum miris. Sukses, apanya?! Pagi ini saja mereka sudah mengibarkan bendera perang yang entah sampai kapan akan berlangsung, Ales tak tahu. Yang jelas, ia dan Bigel mulai menjaga jarak sejak insiden di laut belakang villa.
"Non Bigel pasti sayang banget sama Den Ales. Dia sampai diam-diam bawa kapal kakaknya buat kencan sama Den Ales di pulau. Haduh, kapan coba ya saya juga bisa diberkati kemewahan-kemewahan begini?"
"H-Huh?" Ales kali ini berharap pendengarannya salah, atau minimal memang sedikit rusak karena belum pernah dibawa ke dokter THT. Ia tak bisa menerima fakta bahwa ini ... "K-Kapal kakaknya?"
Anak buah kapal itu mengangguk ringan, "Den Ales enggak tau?"
Ales awalnya hendak menggeleng polos. Namun, ia sadar, ia adalah seorang kekasih gadis yang bersantai di dalam kapal ini. Jika si anak buah kapal mengatakan bahwa kapal ini milik kakak kekasihnya, maka berarti Bigel adalah orang yang berpengaruh. Ales lantas berlagak tahu segala hal, demi sedikit menjaga harga dirinya sebagai kekasih Bigel. Ia tak boleh terlihat bodoh di sini.
"Oalah, tau kok saya. Itu tadi saya kaget aja kalau dia bawa kapal kakaknya diam-diam. Saya kira dia udah izin." Sandiwara Ales dimulai. Si paling tahu tentang Bigel ini mengatakannya dengan penuh percaya diri, tanpa ada beban kebohongan, hingga anak buah kapal yang berdiri di sampingnya pun percaya saja dengan apa yang Ales katakan.
Si anak buah kapal pun dengan tersenyum ia menjelaskan. "Ini rahasia di antara kita ya, Den. Jadi, Non Bigel diam-diam bawa kapal Pak Bara tanpa Pak Bara tau! Hahahaha, ini gila, tapi Pak Erik juga manut aja sama Non Bigel."
Tanpa butuh waktu yang lama, Ales sudah merasa semakin bodoh. Ia baru saja kembali disadarkan fakta bahwa ia tak tahu apa-apa tentang kekasihnya sendiri. Namun, ia tetap tak boleh memasang tampang planga-plongo-nya.
"S-sorry, jadi maksud masnya, Bara enggak tau kalau kapalnya dibawa Bigel?"
Yang ditanya menjawab dengan anggukan kepala. "Sebetulnya, nanti juga pasti Pak Bara bakal tau, Den. Karena riwayat perjalanan kapal pasti dicatat sama kapten kita, dan dilaporkan ke Pak Erik."
"Hmmm," Ales berpikir sejenak, "tapi aman lah ya kalau Erik enggak lapor ke Bara?" Sungguh sebetulnya Ales pun tak tahu siapa pria bernama Erik yang ia sebut dengan sedikit kecanggungan.
Anak buah kapal itu pun mendenguskan tawa, "Mustahil, Den. Rekan kerja yang udah kayak sohib gitu mana mungkin enggak laporan. Toh, ini kapal perusahaan juga, pasti dimonitor sama Pak Bara."
"Oh, kalau gitu ... nanti saya minta maaf deh sama Bara, soal kapalnya dipakai diam-diam."
Mendengar ide Ales, si anak buah kapal mengangguk setuju saja. Lagipula, ia tak tahu bagaimana hubungan asli antara Ales dan Bigel. Boro-boro meminta maaf kepada Bara, Ales saja tak pernah diperkenalkan kepada pria itu dengan pantas.
"By the way, masnya lumayan tau banyak, ya?"
"Ah, anu ... Pak Erik lumayan akrab sama orang-orang kapal soalnya, Den. Senang juga saya bisa kenal sama sekretaris Pak Bara."
Ales lantas tersenyum, terjawab sudah siapa Erik dan perannya di samping Bara. Lebih daripada itu, sungguh Ales penasaran tentang seberapa besar lini usaha keluarga Bigel hingga mereka memiliki kapal cepat nan mewah seperti ini. Namun, disaat yang sama pun Ales akhirnya benar-benar sadar, ia bahkan bukan siapa-siapa untuk sekadar berharap eksistensinya dianggap oleh seorang Abigail Ananta.
Gadis itu bagai langit yang tak akan bisa terjamah oleh tangannya, meski cinta yang diberikan sudah seluas lautan. Mustahil Ales bisa benar-benar mengencani gadis yang satu ini. Lantas sebelum terlalu jauh, agaknya perang dingin ini bagus mereka lakukan untuk membangun dinding pembatas yang baru.
Ales tak boleh terbawa perasaan. Cinta dengan tipikal harta yang menjadi penghalangnya hanya akan membawa luka, dan malu.
Maka sudah Ales putuskan, tak akan ada hubungan yang berlanjut setelah kontrak mereka berakhir pada 10 Oktober nanti. Selesai, dan Ales akan melupakan hari-hari menyenangkan bersama Bigel. Lantaran, tak ada alasan untuk tetap mengingatnya. Memori seperti itu tak akan membawa senyum bahagia. Cinta tak sampai, cinra tak terbalaskan, cinta, cinta, cinta, ah ... membayangkannya saja Ales sudah mual.
Ia tak pernah percaya tentang kisah cinta si miskin dan si kaya.
♡
SATU setengah jam kemudian, mereka tiba di Dermaga Marina Ancol. Kapal sandar tepat waktu, pukul dua belas tepat Ales dan Bigel turun dari dermaga. Polanya berubah, Ales tak lagi membawa dua ransel di bahu dan tangannya, dan Bigel tak lagi membawa dua tas jinjing seperti sedia kala. Kini keduanya membawa barang masing-masing, ransel masing-masing, dan tas jinjing yang sudah kosong itu disimpan di tas masing-masing. Mereka bahkan berjalan sendiri-sendiri sepanjang keluar dari Dermaga Marina Ancol hingga ke halte tempat menunggu taksi online. Ales tidak berjalan beriringan dengan Bigel, ia memilih berjalan di belakangnya seperti pengawal dengan jarak tak kurang dari dua meter. Pun hingga detik itu, mereka masih saling berdiam tanpa ada yang berusaha membuka pembicaraan. Bahkan ketika sedang sama-sama menunggu taksi yang sudah Bigel pesan, mereka masih menjaga jarak dengan duduk di ujung-ujung bangku yang berjauhan.
Kali ini, bukan Ales yang tak betah melihat dan merasakan suasana aneh di antara mereka. Tapi, Bigel. Kepala gadis itu sedang memuat tanda tanya besar tentang apa yang menyebabkan mereka saling berdiam seperti ini. Mengapa juga ia enggan sekali rasanya bertanya 'ada apa?' kepada kekasihnya sendiri. Walau sedikit di dalam hatinya ia tahu, mungkin Ales merasa sakit hati dengan ucapannya saat di laut. Namun, logika Bigel mengatakan seharusnya hal itu sudah selesai dengan usahanya membuat teh kamomil hangat untuk Ales saat di perjalanan pulang, waktu Ales menyendiri di dek kapal.
Bolak-balik Bigel melihat layar ponselnya yang menampilkan titik di mana supir taksinya berada sekarang. Estimasi waktu pun menyebutkan masih sekitar sepuluh menit lagi mereka menunggu karena supir tersebut harus menurunkan penumpang terdahulu. Sial, Bigel bingung setengah mati harus bagaimana dengan Ales saat ini. Ia menolehkan pandangan, melihat Ales di ujung bangku yang diam menatap lurus ke depan. Ales bahkan tampak tak menunjukkan ketertarikan sama sekali ketika Bigel diam memandangnya lebih dari satu menit.
Cukup. Bigel sudah muak sekarang.
"Lo kenapa, Les?"
Siapa sangka, Ales meresponsnya dengan cepat meski hanya memberi sebuah gelengan kepala.
"Marah?"
Ales seperti orang bisu. Ia diam begitu saja, dan lagi-lagi hanya menggelengkan kepalanya. Bigel lantas pening melihat tingkahnya yang seperti anak kecil.
"Ngomong, Les. Gue ada salah?"
"Enggak, Bos," jawab Ales tanpa menoleh ke arah kekasihnya.
"Lo capek?"
"Iya."
Baiklah kalau memang itu jawabannya, Bigel terima. Walau sebetulnya, Bigel sedikit tak yakin kata lelah itu memiliki arti harfiah. Tampaknya, Ales hanya sedang malas bicara dengan dirinya. Lantaran sejauh ini, sejauh Bigel mengenal Ales dan pribadinya, agak tak mungkin pria itu mudah lelah hanya karena sebuah trip singkat di pulau yang bahkan masih berada dalam wilayah DKI Jakarta. Namun, Bigel tetap menerima jawaban Ales tanpa protes.
"Oke kalau gitu kita langsung pulang hari ini. Lo istirahat yang cukup, besok kita ketemu lagi."
Kali ini Ales membalasnya dengan mengangguk tipis. Anggukan lemah itu lantas membuat Bigel akhirnya percaya bahwa Ales sedang benar-benar lelah. Baiknya, ia tak mengganggu Ales untuk saat ini dan biarkan Ales mengisi kembali energinya yang mungkin terkuras habis.
Mereka pun menunggu. Menunggu dan menunggu kapan taksi online itu datang dan memecah keheningan ini. Bigel sempat berharap, setidaknya mungkin saat di dalam mobil Ales akan banyak bicara dan protes tentang segala hal yang mengganggunya. Namun kenyataannya, tidak. Ales benar-benar tak banyak bicara selain mengucap salam kepada Pak Supir yang menyambut mereka. Setelah itu, hening kembali terjadi sejak mobil meninggalkan Dermaga Marina Ancol hingga rodanya berhenti berputar di Toko Bunga Fleur Teapot.
Bigel sengaja memilih titik pengantaran di tokonya sendiri. Lantaran sejak awal ia sudah terlanjur segan untuk bertanya kepada Ales ke manakah mobil harus mengantar mereka setelah meninggalkan dermaga. Tak ada tujuan, tak ada komunikasi, maka terpaksa Bigel memilih toko bunga ini.
"Ayo masuk, Les. Duduk dulu sebelum pulang. Nanti gue pesenin taksi."
Ales menolak lembut tawaran Bigel atas taksi itu, tapi ia setuju untuk masuk sebentar dan duduk sembari menunggu Roy yang sudah ia kirimkan pesan saat diperjalanan. Ales memintanya untuk menjemput sejak setengah jam lalu, dan Ales baru mengatakan kepada Bigel sekarang.
Entah bagaimana ceritanya, tapi penolakan itu berhasil membuat senyum Bigel mendadak luntur. Ia membalas penolakan dan penjelasan singkat Ales dengan sebuah 'oh' yang sarat akan kecewa, dan meninggalkan Ales di kafe teh dengan senyum tipis yang dipaksakan. Sementara Ales duduk dan menunggu temannya, Bigel pergi ke belakang meja bar untuk menyeduh teh kamomil lagi. Agaknya, ia membutuhkan penenang. Ia juga tak mengerti mengapa ia membutuhkan ini. Namun satu yang pasti, tatapan Bigel tak luput dari Ales kala menyeduh teh itu dengan isi pikiran yang berkecamuk. Tentang apa yang terjadi pada Ales saat ini, Bigel tak paham. Tapi Bigel dengan jelas dapat merasakannya. Bigel tahu, pun Bigel peka, bahwa Ales telah berubah secara tiba-tiba.
to be continue
Xadara Goe ♡
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top