3 | boyfriend rent
KATA para pengguna aplikasi burung biru, boyfriend rent adalah sebuah jasa sewa pacar yang biasanya fakir asmara gunakan untuk mengisi waktu luang, atau sekadar menunjang gengsi saat menghadiri undangan. Datang ke acara-acara besar, tentu lebih baik jika memiliki gandengan, 'kan?
Umumnya, para penyedia jasa boyfriend rent adalah para mahasiswa yang belum memiliki pekerjaan, tapi membutuhkan uang tambahan. Alih-alih bekerja paruh waktu di restoran, banyak dari mereka yang berwajah tampan memilih untuk membuka jasa sewa pacar.
Kalau dihitung-hitung, memang lebih menguntungkan dan lebih mudah dijalankan. Tidak begitu membuat lelah dan tidak juga terikat dengan perusahaan. Tidak banyak aturan, justru mereka yang menciptakan sendiri apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Hanya satu yang paling penting, ketampanannya diakui banyak orang.
Ales, atau lengkapnya Alessandro Tedja adalah salah satunya. Pria berusia dua puluh satu ini adalah seorang penyedia jasa boyfriend rent. Terhitung sudah hampir satu tahun ia menjalani bisnis ini.
"Roy! Lo udah beli bunga, belum? Kok enggak balik-balik sih? Gue mau berangkat, nanti klien nunggu kelamaan nih!"
"Santai, Bos! Udah gue beli, tapi gue buru-buru, jadi nanti bunga diantar ke rumah dari floristnya."
"Lo mau ke mana?"
"Gue juga ada klien lah, Bos! Dah, gue lagi on date!"
"Roy? Roy! Eh, si monyet! Dia nge-date bawa kartu ATM gue dong?!"
Panggilan itu terputus, meninggalkan pria yang sudah rapi dengan celana bahan dan kemeja hitam itu dalam kekesalan. Lantaran, teman satu rumahnya itu pergi dengan membawa kartu debitnya. Sialan!
"Kan?! Emang dasar anak onta enggak tau diri. Diminta tolong beli bunga malah colong-colong kesempatan ATM gue dibawa. Dasar an—"
Ding ... Dong ...
Seketika, Ales gagal mengumpat di belakang temannya. Suara bel yang ditekan membuat ia langsung berhenti bicara dan menoleh dengan sebal.
"Siapa yang datang coba?!"
Dengan menghentak kesal, Ales berjalan keluar. Rumah cluster yang tidak memiliki gerbang, membuat tamu yang datang dapat langsung berdiri di depan pintu rumah dan menekan bel di sana.
Lantas, tatkala pintu itu akhirnya dibuka, menampakkan seseorang yang tak ia ketahui laki-laki atau perempuan, berdiri di depan rumahnya. Bagaimana ia bisa tahu? Kalau nyaris setengah badannya tertutup buket raksasa berwarna merah muda yang ia bawa.
"Cari siapa, ya?" tanya Ales.
"Oh! Saya dari Fleur Teapot mau antar bunga, Kak. Benar ini Blok L, nomor satu?" tanya tamu tak diundang itu yang ternyata adalah laki-laki. Meski suaranya tak berat sama sekali, dan cenderung terdengar manis, Ales tau itu bukan suara seorang perempuan. Hanya laki-laki dengan tipikal gaya bicara menggemaskan.
"Benar," sahut Ales.
"Ah, syukurlah! Kalau gitu, bunganya boleh langsung diambil aja, Kak! Berat, hehe ...."
Lantas, ia sebagai penghuni alamat rumah yang disebut oleh kurir di hadapannya, langsung mengambil alih bunga yang diantar. Tampaknya, buket raksasa itu terlalu sulit dibawa oleh seorang kurir yang ternyata hanya setinggi bahunya.
"Ini tadi pesanan bunga atas nama Royn—eh? Lo ...."
Ales tiba-tiba memotong ucapannya sendiri, tatkala melihat wajah laki-laki bertopi hitam yang mengantarkan bunganya. Rasanya, seperti pernah ia lihat.
Kurir itu lantas mendongak, dan melihat ke arah pelanggannya yang kini memeluk bunga.
"KAK ALES?!"
Ales membelo, "Nah, kan! Lo kenal gue! Adik tingkat gue bukan sih?" tanya Ales, ia sedikit lupa dengan laki-laki di hadapannya, tapi wajah itu cukup familiar.
"Iya, betul! Elio, Kak! Hospar semester satu! Aku masih maba, ehe ...."
"Ah, iya! Elio!"
Keduanya terkekeh kecil kala menyadari bahwa dunia sesempit ini. Elio bahkan tak menyangka, kalau hari ini ia mengantar bunga ke rumah kakak tingkatnya. Hal yang lebih mengejutkan Elio adalah Ales yang ternyata juga mengenalinya.
"Aku kira Kak Ales enggak kenal aku!"
"Siapa yang enggak kenal cowok tergemes sejurusan sih? Lo famous banget waktu ospek, El. Gue malah heran lo kenal gue."
"Lah? Justru siapa coba yang enggak kenal sama Kak Ales si boyfriend ...,"
Tunggu ... Elio baru saja menyadari sesuatu.
"Boyfriend ... apa?"
"BOYFRIEND RENT! OMG! Kak Ales lagi open slot enggak?! Please, please, I need your help! Fee Kak Ales berapa? Terms and condition-nya juga gimana? Boleh ada special request juga, enggak?"
Lantas, Ales seketika mengernyit dan mengerjap heran. Oke, tak apa jika Elio mengenalnya sebagai boyfriend rent, karena itu memang pekerjaannya.
Namun, Elio yang tiba-tiba bertanya tentang slot dan harga, bahkan sampai ke permintaan khusus, hal itu sungguh tak Ales duga. Ditambah, Elio bertanya dengan sangat menggebu-gebu, seolah anak itu antusias sekali untuk menyewanya.
"Eh? Umm ... gue lagi ada klien sih. Ini kebetulan bunga buat dia, gue ada acara siang ini. Well ... gue lagi enggak open slot, El. Sorry, ya?"
Elio pun mengembuskan napas kecewa, "Yah ... ya udah deh kapan-kapan aja. Thanks infonya, Kak! Oh ya, by the way tanda tangan bukti terima dulu ya, Kak! Tunggu sebentar."
Selagi Elio merogoh tas pinggangnya, Ales pun mengangguk. Namun, ia masih sedikit merinding mendengar kata kapan-kapan. Lantas, Ales merasa harus meluruskan.
"Umm El, lagipula ... gue open buat cewek aja. Boys are not allowed. I am really sorry."
Elio yang sudah menggenggam nota dan pena pun menjawab, "Nah, nah!" ia menggeleng cepat, "bukan buat aku, tapi buat seniorku di tempat kerja, Kak. Dia butuh seseorang buat nemenin dia datang ke undangan. And I thought you'll suit for her. Tapi sayang, Kak Alesnya lagi unavailable. Jadi ... ya udah deh. Oh ya, ini aku minta tanda tangan Kak Ales ya!"
Ah syukurlah, Ales ternyata hanya salah paham saja. Ia pun tersenyum lega, dan menerima pena yang Elio sodorkan. Setelahnya, ia langsung membubuhkan tanda tangan di sudut halaman yang Elio tunjuk.
"Done! Thank you, Kak Ales! Have a nice day!"
"Have a nice day, Elio!"
Adik tingkatnya pun pergi dengan senyum yang tak pudar. Anak itu memang ramah, Ales mengenal wajahnya dari beberapa teman yang suka membicarakan Elio. Well, mereka yang mengatakan bahwa Elio sangat menggemaskan memang tak salah. Ales pun mengakuinya, meski Elio bukanlah tipe orang yang akan ia ajak kencan. Lantaran, Ales masih suka perempuan.
Kring! Kring!
Tepat sebelum pergi, Elio menderingkan bel sepedanya. Sambil tersenyum, Ales pun membalasnya dengan lambaian tangan.
Kini, tinggal ia sendiri. Bunga sudah sampai, dan tinggal menunggu waktu untuk berangkat menuju lokasi gadis yang menyewanya.
Namun, kala tanpa sengaja matanya menangkap kendaraan yang terparkir di halaman rumah, otak Ales membeku sejenak. Ia mengerjap, memandangi bunga dan motornya secara bergantian.
"Kalau buketnya segede ini ... mana bisa gue bawa naik Ocong?!"
Satu-satunya kendaraan yang Ales miliki adalah motor Vespa matic berwarna putih yang kini terparkir di halaman rumah. Ocong, namanya. Tak ada alasan khusus mengapa Ales menamainya begitu, selain karena motornya berwarna putih seperti ... yah, kau tahu.
Ocong.
"Yah, Cong! Gimana ini?! Masa gue pegangin sepanjang jalan?"
Ales berpikir sendiri, memaksa otaknya yang tak seberapa pintar itu untuk menemukan sebuah solusi. Ales bahkan butuh beberapa detik untuk mencerna bagaimana Elio membawa buket sebesar ini hanya dengan mengendarai sepeda mini?
"Diikat kah? Atau taruh di depan? Atau suruh Roy pegangin di belakang? Eh, dia kan lagi on date ...," Ales semakin frustrasi, "ah! Udahlah, bodoamat! Gue ikat aja! Daripada naik taksi!"
Lantas, Ales pun masuk ke dalam untuk mengambil tali, dan keluar lagi untuk mengikat buket bunganya di jok belakang.
Ales itu bukannya pelit, ia hanya orang yang sangat-sangat hemat. Hidup di ibukota hanya dengan bermodalkan Roy yang ia kenal dan memberi tumpangan tempat tinggal, tentu tak bisa membuatnya bergerak bebas dalam menghamburkan uang. Belum lagi, jatah uang bulanan dari kedua orang tuanya setiap bulan pasti selalu habis untuk cicilan.
Demi menunjang penampilan dan gaya hidup ala mahasiswa ibukota, Ales mengambil kredit motor Vespa dengan bermodalkan jatah uang bulanan dari orang tuanya. Sengaja ia tak meminta uang tambahan, karena sang ayah pasti akan meminta rincian pemakaian. Tamat riwayat hidup Ales jika ayahnya tahu anak bungsunya itu memiliki cicilan motor. Lantaran, Ales datang dari keluarga biasa-biasa saja. Tidak kaya raya, tapi tidak juga kekurangan. Namun, kalau Ales ketahuan memiliki cicilan, ia bisa digantung di tali jemuran.
Jangan salah paham, ayahnya tak setega itu untuk menggantung anak sendiri. Hiperbola saja. Paling mentok ya dicaci maki.
Kalau yang ini, serius. Ia sudah mengambil pelajaran dari cerita lama kakaknya. Dulu, kakak Ales mengambil langkah yang sama—mencicil motor diam-diam saat masih kuliah—dan berakhir ketahuan karena angsuran yang mandek di tengah jalan. Akhirnya, habis sudah sang kakak dicaci maki ayahnya, karena ujung-ujungnya ayahnya juga yang melunasi cicilan tersebut.
Ales tentu tak mau mengalami hal yang sama. Dibanding telinganya panas, lebih baik Ales cari uang mati-matian di tengah masa kuliah.
Maka dari itu, Ales membuka jasa boyfriend rent. Katanya, lumayan untuk menambah uang jajan.
Padahal jika saja ia tak mengambil cicilan Vespa, mungkin ia tak akan kekurangan uang.
Namun, mau bagaimana lagi? Anak muda banyak gaya memang julukan yang tepat untuk seorang Alessandro Tedja.
"Nah, ayo Cong kita berangkat! Duh, udah ganteng banget ini kita!" serunya setelah berhasil mengikat buket besar itu di jok belakang.
•
♡
•
Ales pun pergi, menuju lokasi wisuda kliennya. Menit dan detik berselang, di sinilah kegunaan Ales sekarang. Ia datang membawa buket bunga layaknya seorang kekasih sungguhan, dan menunggu hingga acara wisuda selesai.
"Hai!"
Ales menoleh. Gadis itu setengah berlari ke arahnya, "Maaf ya aku agak lama."
Dengan senyum yang begitu manis, Ales mengelus puncak kepala sang gadis yang saat ini menjadi kekasihnya. "Kenapa minta maaf? Kamu enggak salah, akunya yang kecepetan! Eh, tapi ... cantiknya aku tambah cantik aja hari ini!"
Sang gadis terkekeh gemas, "Bisa aja!"
"Ehehe, bisa lah! Nih, buat kamu," ujar Ales seraya menyerahkan buket bunga yang ia bawa kepada gadisnya hari ini, "bunga yang cantik untuk orang paling cantik sedunia!"
"Aaaah, makasi ya!!"
Ales ini totalitas, begitu tangannya sudah kosong, ia langsung beralih merangkul bahu gadis itu. Seolah ia sangat bangga dan sayang terhadap gadis di sampingnya.
"Sayang habis ini mau ke mana?" tanya Ales, "mau makan dulu, atau kita mau ke cafe, atau ke mana maunya?"
"Umm ... kayaknya enak kalau ke—eh? Sebentar ...."
Kala sedang berpikir untuk menentukan ke mana mereka akan pergi setelah acara wisuda ini selesai, sang gadis menyadari satu hal yang cukup menonjol dari buket bunga yang Ales berikan.
Sebuah tanda merek dan pita yang bertuliskan Fleur Teapot pada buket bunganya.
"Kenapa, Sayang?"
"Kamu beliin aku bunga di Fleur Teapot? Serius, Ales?!"
Kedua alis Ales bertautan. Kini ia bingung, pasalnya bukan ia yang membelikan bunga itu, tapi temannya—Roy.
Masalahnya adalah, jika ia berkata bahwa ia membeli buket bunga nan indah ini di Fleur Teapot seperti yang sang gadis sebutkan, Ales tak tahu apakah itu sebuah hal yang baik atau buruk. Ia takut mengecewakan, karena sang gadis terlihat begitu terkejut.
"Ales, kamu beneran beliin aku bunga di Fleur Teapot?" tanyanya lagi.
"I-iya," Ales terpaksa mengakuinya. Mau bagaimana lagi, di buket bunga itu tertera jelas merek dagang mereka.
"Kenapa? Salah, ya? Kamu enggak suka?"
"Suka!" katanya.
Ales lantas menghela napas lega, setidaknya ia tak jadi mencaci maki Roy seperti yang sudah ia niatkan dalam hati sebelumnya.
"Fleur Teapot 'kan florist yang terkenal lumayan mahal, kamu baik banget sih Les beliin aku buket bunga dari sana. Enggak nyesel deh aku sewa kamu, balik modal kalau gini caranya sih!"
Tunggu. Ales tak mengerti, apa maksudnya ini?
"B-balik modal?"
Gadis itu mengangguk, "Buket ini aja bisa aku taksir harganya mungkin sekitar ... satu juta? Sementara dua hari aku sewa kamu aja cuma lim—"
"SATU JUTA?!" Ales refleks memekik, dan nyaris membuat jantung gadis itu jatuh seketika.
"Eh? I-iya, Ales. Emang range harga di Fleur Teapot segitu. K-kenapa? Bukan kamu yang beli ya bunganya?"
"Eh? B-bukan gitu maksud aku, By," Ales sadar dirinya kelepasan.
Ia lantas menggaruk tengkuknya yang tak gatal, "Jelas aku yang beli lah bunganya. Itu aku kaget aja, kok murah banget? Padahal aku beli yang besar gini, hehe. Maklum, aku jarang engehin harga sih. Asal cantik dan cocok buat kamu, aku beli deh!"
Ales tersenyum—memaksakan diri untuk tersenyum lebih tepatnya. Padahal dalam hati, ia sedang mengutuk Roy atas kerugiannya ini. Sial, bukannya untung malah buntung!
Buket bunga seharga satu juta? Haha, Ales tertawa miris dalam hati. Roy, lihat saja nanti setelah ini.
•
♡
•
"ROYNALDO MALIK!"
Malamnya, Ales pulang. Dengan kemarahan yang sudah berjam-jam ia pendam, Ales langsung memekik penuh murka begitu memasuki kamar Roy, sepulang dari pekerjaannya.
Roy yang sedang bersantai di kasurnya dan menonton drama komedi hingga tertawa, sejenak meredakan suaranya lantaran terkesiap akan kedatangan Ales. Gawai yang ia genggam hampir jatuh menimpa batang hidungnya yang tinggi. Beruntung, ia memiliki refleks yang baik.
"LO PAKAI UANG GUE SATU JUTA CUMA BUAT BUKET BUNGA?! SERIUS, ROY?!"
Kedua tangan Ales bertolak pinggang, dan ia berdiri tepat di samping ranjang temannya penuh dengan kemarahan. Uang satu juta rupiah tidak kecil bagi Ales untuk diberikan begitu saja kepada orang asing. Terlebih lagi, untuk kliennya.
Roy mengernyit dan membalas dengan protes, "Y-ya kan lo nyuruh gue beli bunga. Gimana, sih?"
"Ya enggak satu juta juga Roynaldo Malik. Aduh, capek gue berteman sama lo."
"Lho?! Satu juta?!"
"Iya, satu juta bajingaaaaan!"
Roy mengernyit, detik setelahnya ia baru menyadari satu hal, "Oh iya ya! Tadi gue enggak nanya harga! Ah, struknya juga enggak gue minta! Aduh, beneran satu juta, Les? C-coba gue lihat mutasinya."
Mutasi?
Ah, benar juga. Sejak tadi Ales sudah kepalang emosi, sampai-sampai ia belum mengecek mutasi. Seharusnya, ia tak langsung percaya begitu saja dengan klien itu. Lantas setelahnya, ia mengeluarkan ponsel dan langsung mengecek mutasinya detik itu juga, di hadapan temannya yang masih ia tetapkan sebagai tersangka.
"Lo belum cek?" tanya Roy.
Ales tak menjawab, ia fokus menunggu mobile banking-nya memuat dengan harap-harap cemas.
Melihat Ales yang tak bersuara sedikit pun, lantas membuat Roy ikut merasakan kecemasannya. Mampus saja kalau benar ia menghabiskan satu juta rupiah hanya untuk sebuket bunga. Lantaran ia tahu kondisi keuangan Ales seperti apa.
"ROY?!" Kedua mata Ales terbelalak kala mutasi rekening itu akhirnya terbuka, "B-BUKAN SATU, TAPI DUA JUTA?! DUA JUTA BUAT BUKET BUNGA? ANJING?!"
Roy terbelalak, tubuhnya nyaris lompat dari tempat tidurnya, "D-DUA JUTA?!"
Ales mendengus kesal, meremas rambutnya yang kini berantakan, lalu ia mendudukkan diri dengan kasar di pinggir ranjang.
"S-sorry, Les. Sumpah gue enggak sengaja, gue lupa banget nanya harga, dan struknya juga enggak gue minta. T-terus gimana, Les? Masa gue minta refund ke toko bunganya?"
"Emang bisa?" Ales bertanya dengan penuh rasa penasaran.
"Enggak tau, sih. Mau coba gue tanya ke sana?"
"Ya mana bisa, Roynaldo Malik. Apanya yang mau di-refund? Itu bunga aja udah diambil klien gue. Dodol!"
Roy lantas menghela napas, ia tahu Ales marah. Namun, mau bagaimana lagi? Uangnya pun sudah masuk ke toko bunga itu sebesar dua juta rupiah.
Akhirnya, ia hanya bisa ikut termenung bersama Ales yang sedang melamun menatap karpet berbulu lembut. Setidaknya, jika ia tak bisa mengganti kerugian Ales, ia harus ikut berpartisipasi akan kesedihannya. Itu prinsip seorang Roynaldo Malik.
Dengan tatapan kosong Ales berujar, "Awal bulan gue jatuh tempo cicilan Ocong. Duit gue udah hilang dua juta. Sekarang ... gimana? Tinggal dua ratus ribu."
Lalu hanya satu solusi yang terbesit di otak Roy saat itu, "Ya ... open BF rent lagi aja, Les?"
•
♡
•
to be continue ...
♡ Xadara Goe
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top