29 | now hush little baby don't you cry

MALAM di villa bambu itu hangat dengan obrolan-obrolan singkat dan teh manis panas yang sang kuncen buat. Seiring malam menjadi larut, mereka tak lagi berbincang seputar Haga ataupun Batara Darmawisata. Yang ada hanya canda dan tawa dari Opik, Bigel, dan Ales. Ketiganya tampak akrab untuk ukuran orang yang hubungannya tak saling dekat. Teh manis mungkin telah menjadi penghubung yang baik, pun mampu membuat Bigel lupa akan keinginannya meneguk alkohol. Tak ada kopi, tak ada camilan, hanya ada teh manis hangat dan tiga bungkus rokok. Begitulah malam itu mereka lewati bersama. Sampai Opik lelah setelah banyak bekerja dan bicara, ia memutuskan untuk beristirahat lebih awal, sekaligus memberikan ruang untuk Ales dan kekasihnya. Bagi orang dewasa seperti Opik, ia jelas mengerti Ales dan Bigel butuh waktu berdua dan tak semestinya ia bersama mereka sepanjang malam. Ales bersyukur atas kepekaan Opik yang satu ini, membuat ia melepas kepergian Opik ke mes dengan senyuman lebar.

"Kita mau istirahat juga, Bos?" tanya Ales..

"Lo mau tidur?"

Ales mengangguk, "Udah jam sebelas, besok kita pulang pagi 'kan? Takut Bos Bi kurang istirahat."

"Gue sebatang lagi. Lo duluan aja, Les." Bigel menjepit satu lagi batang sigaret putih itu di bibir, membakarnya secepat ia memberikan isapan pertama. Sementara, Ales melirik sekilas ke arah kotak rokok yang tergeletak. Kosong. Bigel menghabiskan sebungkus rokok satu hari ini. Bagi Ales yang hanya merokok di waktu tertentu, atau katakanlah satu bungkus bisa untuk dua sampai tiga hari, Ales merasa ini bukan hal yang wajar. Lantas diam-diam ia mengambil kotak rokok miliknya, memasukkan ke dalam saku celana, guna menghindari kesempatan Bigel untuk meminta rokoknya. Bukan karena Ales pelit, bukan. Ales hanya tak mau gadis itu terus memasukkan nikotin ke dalam tubuh, tanpa kenal kata berhenti.

"Enggak masuk?" tanya Bigel, bingung melihat Ales diam di pondokan, dan memandang ia yang sedang bersantai dengan sebatang sigaret.

Ales menggeleng, "Nungguin Bos Bi."

Bigel berdecih tipis. "Kenapa?" tanya Bigel. "Masuk aja duluan, gapapa, Les. Enggak usah nunggu gue."

Ales kukuh menggelengkan kepalanya. "Maunya masuk sama Bos Bi."

"Les ...."

Fokus dua insan itu terpecah begitu suara dering tiba-tiba terdengar. Mengganggu, memang. Namun, keduanya batal kesal setelah si gadis melihat ke layar dan si pria bertanya siapa yang menghubunginya. "Ah, Elio," kata Bigel.

"Halo, kenapa E—"

'KAK BIGEL! AAAAA MANA KAK ALESNYA?!'

Meski malam sudah larut, energi Elio tak akan pernah habis jika untuk menghadapi sepasang kekasih ini. Wajahnya malam itu begitu berseri, meski hanya bisa mereka lihat dari layar ponsel pintar. Ini sudah kedua kalinya, Elio mengganggu kencan mereka dengan sebuah panggilan video.

"Ada, ini Ales." Bigel menggeser posisi, mendekatkan diri kepada Ales sekaligus mengarahkan layar ponselnya ke wajah pria tampan yang dicari-cari si pekerja paruh waktu.

"Hai, El—"

'Kak Ales! Haaaaaaai! Aku dengar dari Ce Alin, katanya Kak Ales lagi honeymoon ya sama Kak Bigel? Cieeeeeee!'

"Eh? B-bukan honeymoon, El!"

'Ah, masa?! Orang kata Ce Alin kalian cuma berdua kok, hihi! Pasti mau mesra-mesraan ya? Ah, maaf nih aku jadi ganggu, aku cuma mau ingetin Kak Ales buat jangan lupa pakai kond—'

"Elio, diam atau gue pecat lo hari ini?" tegas Bigel, menanggapi ledekan tak senonoh dari pekerja paruh waktunya.

'Ih?' Elio tampak tak takut sama sekali. 'Siapa Kak Bigel berani pecat-pecat aku? Hey, Kak Bigel tuh cuma mantannya Pak Bara, ya. Cuma eks calon mantunya Pak Adam. Mana bisa main pecat-pecat aku?! Pecat aja kalau berani! Paling Kak Bigel yang dipecat habis itu.'

Bigel memutar bola matanya, sedangkan Ales melirik sekilas ke arah kekasihnya. Beberapa hari kenal dengan si gadis, membuat Ales kurang lebih tau raut bercanda dan serius dari gadis itu. Dan kali ini, ucapan Bigel tampak tak main-main.

"Ekhm."

Maka dari itu, Ales akan mengaburkan fokus kekasihnya. Demi si adik tingkat tidak benar-benar dipecat.

"Bos Bi, rokoknya ngerokok sendiri tuh. Udah mau habis pula. Sekarang kita istirahat, yuk."

'Kak Ales! Cieee, udah mau istirahat aja! Nanti dong, jam dua belas teng. Biasanya juga jam segini masih ngebar, kok tumben udah mau 'bobo' aj—'

"Elio, lo bener-bener, ya." Bigel geram. Tak suka ia dengan candaan semacam itu. "Mulai besok enggak usah datang lagi ke toko. Ambil fee lo sama Alin, makasih buat bantuannya selama ini."

Panggilan terputus. Bigel mematikannya tanpa memberi waktu bagi Elio untuk menimpali dengan sebuah protes. Bigel tahu, anak itu tak akan terima, sebab Fleur Teapot adalah tempat pelarian Elio dari rumah yang terkutuk. Sedikit banyaknya, Bigel tahu mengapa Elio tak betah berada di rumah, tapi ia juga mengerti mengapa orang tua Elio selalu menekan anaknya. Sepasang paruh baya itu tak ingin anak laki-lakinya lemah gemulai, tapi sayang Elio nyaman melakukan segala hal yang kebanyakan dilakukan perempuan.

"B-Bos Bi ... Bos Bi beneran cut-off Eli—"

"Ayo istirahat, Les. Gue capek," kata Bigel yang tiba-tiba kehilangan mood. Ada sepercik rasa bersalah setelah ia memecat Elio, tapi Bigel tak ingin membenarkan perasaannya.

Gadis itu lantas turun dari pondokan, meninggalkan bungkus rokok kosong dan asbak dengan abu yang berhamburan di sekitarnya. Ia masuk ke dalam villa, dan Ales mengikuti di belakang dengan tergesa. Bigel berjalan dengan cepat, hentakannya kasar, dan jelas sekali menunjukkan bahwa ia sedang marah.

Oleh karenanya Ales mengekor di belakang dalam diam. Tak lupa pelan-pelan menutup pintu masuk villa begitu mereka sudah berada di dalamnya. Ia tak ingin menimbulkan suara, ia tak ingin membuat Bigel semakin marah. Sementara itu, ponsel Bigel tiba-tiba kembali berdering kencang. Jangankan Bigel, Ales saja sebal mendengarnya. Pun bisa Ales duga, itu adalah panggilan masuk dari orang yang baru saja Bigel pecat tiba-tiba.

Dan benar sesuai apa yang Ales kira, Bigel akan marah mendengar bising yang menggelegar.

Gadis itu tanpa basa basi langsung mematikan panggilan masuk, pun bisa Ales lihat Bigel juga mematikan ponselnya begitu saja. Bigel marah bukanlah hal yang bisa Ales kendalikan. Tubuh tinggi besarnya seketika ciut, Ales tak berani mengomentari apa-apa.

Hingga sampai Bigel masuk kamar dengan membanting pintu, Ales menghela napas dalam-dalam. Ia mendudukkan dirinya di sofa ruang tamu, lalu membakar sebatang rokok di dekat jendela yang terbuka. Ia juga berusaha membuka pikirannya dan mencari solusi untuk meredam amarah Bigel. Kepalanya sakit melihat Bigel tak bisa menerima candaan Elio yang menurutnya sangat biasa. Atau mungkin agak kurang ajar untuk mengatakannya kepada sepasang kekasih palsu? Ales memikirkan hal itu.

Memang dasarnya kedua insan itu hanyalah orang asing yang dipertemukan dengan sengaja lewat sebuah kontrak jasa sewa pacar, Ales tidak benar-benar mengenal Bigel seperti apa. Ales tak tahu bahwa di dalam kamar Bigel sedang merenung sendirian. Ales tak tahu bahwa di sana Bigel sedang bergelut dengan pikirannya. Pun Ales tak tahu, bahwa ucapan Elio cukup membuat Bigel kembali mengingat masa lalunya yang kini ia benci setengah mati.

Bigel tak pernah mau mengingat hal itu lagi. Namun, Elio menyebut beberapa kata yang membuat ia kembali mengingat adegan-adegan seperti potongan film dokumenter di memori otaknya.

Kondom, kata yang tak rampung Elio sebut, tapi Bigel yakini itulah maksudnya.

Bobo, kata umum yang digunakan banyak orang untuk menggantikan kata tidur tapi dalam konteks sedikit lebih menggemaskan.

Bigel memejamkan mata, memiringkan tubuhnya dan memeluk kedua lutut. Kedua alisnya pun saling bertaut, sekuat mungkin ia berusaha menghapus memori yang pernah indah pada masanya, tapi cukup pahit untuk disimpan selamanya.

Namun ingatan itu tak kunjung hilang. Semakin ia memejamkan mata, semakin dahinya mengerut saat kedua alisnya bertaut, semakin kencang ia memeluk lulut, potongan-potongan adegan malah semakin terlihat jelas dalam bayang-bayangnya.

"Kak Bara, Kakak yakin?" Suara itu bahkan masih bisa ia ingat, ia tahu persis bagaimana gemetar suaranya saat memiliki setengah keyakinan untuk mengizinkan Bara berbagi desah bersama.

"Kita main aman, Bi. I got this," kata Bara kala itu. Ia membuka sebuah bungkusan kecil persegi dengan menggigit dan menarik ujungnya. Yang mana sial, malah terlihat menggairahkan di mata polos Abigail Ananta. "Kita ada kondom, kamu tenang aja."

Tenang, adalah apa yang Bara katakan kepada Bigel. Maka saat itu, Bigel berusaha melakukannya. Tenang. Ia merilekskan diri, berusaha untuk tak tegang, dan menganggap semua akan baik-baik aja selama ia bersama Bara.

Dan benar, kenikmatan itu Bigel terima untuk pertama kalinya dari sang kakak. Cinta adalah yang mendasarinya, dan kondom adalah penghubungnya. Hubungan mereka—dalam konteks menjadi sepasang kekasih—awet untuk tiga tahun lamanya hingga sampai Bara berkhianat dengan menanam benih di tubuh perempuan lain. Mungkin, Bara lupa bahwa kondom seharusnya tak hanya ia gunakan ketika bersama adiknya.

Dulu, Bigel kerap kali senyum-senyum sendiri setiap ia mengingat malam-malam bersama Bara yang begitu hangat dan tenang. "Selamat bobo, Bi. Thank you for tonight, ya." Begitu kata Bara setiap kali mereka selesai dengan aktivitas malamnya, dan ditutup dengan sebuah kecup. Bohong kalau Bigel mengatakan ia tak berbunga di masa-masa itu. Senang bukan main, rasanya seperti disayang setengah mati, tapi sekarang ia malah benci. Ia benci bagaimana ia begitu percaya cinta hingga mengesampingkan aturan keluarga, tapi rupanya Bara malah mengkhianatinya.

Sesak dada Bigel mengingat memori-memori itu. Pejaman mata yang berusaha melupakan dan menghapus segalanya, malah berbuah air mata karena memori yang terputar dengan begitu brutal. Tak henti-henti, isi kepalanya menampilkan cuplikan malam-malam yang Bigel lalui dengan desah dan sampah karet sialan yang hampir selalu ada.

Agaknya, Bigel kali ini tak begitu pandai menyembunyikan isak tangis. Dadanya terlalu sakit. Kini ia membayangkan bagaimana Bara melakukan hal yang sama kepada perempuan lain. Ia membayangkan bagaimana Bara melepaskannya dalam lenguh nama perempuan lain. Tak pernah sekali pun ada pria dalam fantasi erotis seorang Abigail Ananta, kecuali Bara Tanuwidjaja. Namun, tampaknya Bigel terlalu bodoh untuk percaya bahwa Bara memiliki cinta yang sama sepertinya. Karena nyatanya, pria itu berkhianat hingga sebentar lagi mendatangkan Tanuwidjaja kecil dari seorang perempuan lain.

"Bos Bi?"

Suara ketukan pintu terdengar, beriringan dengan suara kekasihnya yang memanggil dari luar. Bigel tak tuli, Bigel mendengarnya, tapi ia memilih untuk bergeming dan tetap memeluk lutut sembari menangis. Yang kali ini, sedikit ia redam suara tangisnya. Kedatangan Ales di depan pintu ia yakini karena isak tangis itu terdengar sampai ke luar.

Berkali-kali Ales memanggil, Bigel masih diam. Hingga akhirnya respons nihil mengikis kesabaran Ales dan membuat pria itu membuka pintu. Sesungguhnya Ales khawatir, ia takut Bigel kenapa-kenapa karena ia mendengar suara tangisan beberapa saat lalu.

Namun, kala pintu itu terbuka, Ales tak mendapati suara apa-apa. Hanya ada Bigel yang begitu hening meringkuk di atas ranjang dan membelakangi pintu.

"Bos Bi?" Ales memastikannya, "udah tidur?"

Dan tak ada jawaban. Pikirnya, Bigel sudah benar-benar terlelap.

Meski begitu, Ales tetap bergerak mendekat perlahan tanpa menimbulkan suara berisik dari langkahnya. Ia hanya ingin menyelimuti gadis itu, lantaran Ales tak tega melihatnya meringkuk seperti orang kedinginan.

Dengan pergerakan yang begitu halus, tanpa sedikit pun mengganggu, Ales melebarkan selimut dan menutupi tubuh kekasihnya hingga hanya leher dan kepala saja yang terlihat. Ia sedikit mengintip, dan mendapati Bigel sudah terpejam. Entah kenapa, Ales merasa damai melihat gadis itu terlelap, hingga mampu membuat bibirnya menyunggingkan senyum dengan mudah.

Spontan, tangannya tiba-tiba bergerak mengusap lembut puncak kepala Bigel yang tiga detik kemudian ia sadari ia telah bergerak tanpa izin. Buru-buru, Ales tarik kembali tangannya dan hendak pergi meninggalkan kamar Bigel dengan segera. Namun, tangan dingin yang bergerak cepat menggenggam tangan Ales, membuat sang empunya otomatis bergeming di tempat.

Bigel menarik tangan yang ia genggam. Ia menarik tangan Ales dan mengembalikannya ke puncak kepalanya. Ales bingung demi Neptunus, mengapa tiba-tiba Bigel bersikap seperti ini. Seolah ia tak boleh pergi.

"B-Bos Bi ...."

"Stay here, Les."

"E-eh?"

"Hug me."

"B-Bos?"

Semuanya terlihat dan terasa begitu cepat bagi Ales, secepat Bigel yang tiba-tiba membalikkan tubuh dan kini menatap matanya dengan mata sedikit sembap. "Peluk, sambil usap-usap lagi kepala gue, boleh?" pintanya, memohon.

Seketika Ales khawatir, ia tak pernah tahu kantung mata yang tajam itu bisa membengkak dan membuat Bigel terlihat lebih sipit dari biasanya. Gadis itu menangis, setidaknya Ales tahu penyebab mata sembap itu.

"Les?"

"Bos Bi, kenapa?"

"Boleh?"

Ales diam sejenak, memandang penuh khawatir kepada tatapan memohon yang baru kali ini ia temui dari kekasihnya yang satu ini.

"Les—"

"Anything for you, Bos." Ales memberi jawaban begitu cepat dan tepat seolah tak ingin melihat mata sembap itu lagi. Menyakitkan, jujur saja. Ales tak bisa membiarkan Bigel terus memohon padanya dengan keadaan yang jelas Ales ketahui—gadis itu sedang jauh dari kata baik-baik saja.

Dan Bigel tersenyum tipis, kemudian gadis itu kembali memiringkan tubuh dan membelakangi kekasihnya.

Dengan sisa sisi kasur yang tersisa, Ales mengambil posisi di sana. Ia membaringkan tubuhnya dengan tak nyaman, tapi berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan pelukan paling nyaman untuk kekasihnya sekarang. Pun sesuai permintaan, Ales memeluk dengan tangan yang membelai lembut kepala gadis itu.

Dalam hening, Bigel ingin menangis lagi. Diam-diam ia menitikkan air mata, sembari berharap Ales tak menyadarinya. Sampai pada saat tetesan-tetesan air mata pun kering seiring melemahnya belaian tangan Ales di kepala Bigel, sepasang kekasih itu akhirnya terlelap bersama. Bigel pulas dalam pelukan Ales. Hebatnya peluk dan belaian itu mampu mengusir segala bayang-bayang Bara yang semula menghantuinya. Entah karena keadaan dan situasi yang mendukung, atau memang Ales adalah seorang pemeluk ulung, yang jelas Bigel nyaman dalam pelukan kekasihnya hingga tertidur.




to be continue ....

♡ Xadara  

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top