28 | they're connected
SEPASANG kekasih palsu itu menantang angin malam di sebuah pondokan. Si gadis hanya mengandalkan hoodie kekasihnya yang menutupi hingga ke paha. Celana pendek itu bahkan tak lebih panjang dari hoodienya. Sementara si pria, ia memilih mengganti kutangnya dengan baju lengan panjang. Ia tak mau mengambil risiko masuk angin karena duduk di luar malam-malam begini hanya demi memakan jagung bakar. Sedih-sedih, ia kubur niatnya untuk terlihat keren dengan kaus berlogo band yang melegenda.
"Les," panggil Bigel, membuat Ales yang sedang menggigit jagung langsung menoleh ke arahnya. "Kalau yang tadi pagi itu ... siapa?"
"Sia—oh? Bang Opik?"
Bigel mengangguk, "Bang Opik itu penjaga villa?"
"Iya, Bos Bi, lebih ke apa ya ...." Ales berpikir sendiri. "Dia yang ngurus villa villa punya temen gue gitu lah, yang di Tidung sama di Pari. Ada sih, penjaga yang lain, tapi dia kayak bosnya mereka gitu."
Bigel membulatkan mulut sembari manggut-mangut. "Berarti, dia tinggal di sini? Maksud gue, di Tidung?"
"Yup." Ales mengangguk dengan mulut yang sibuk mengunyah jagung.
"Kalau gitu, dia tau dong di mana beli minum? Secara, dia tinggal di sini, Les."
"Huh?" Ales menelan jagungnya keras, "B-Bos Bi masih mau minum juga?"
"Kalau ada."
"Maksud Bos Bi, minta kasih tau Bang Opik yang jual di mana?"
"Kalau bisa, dia yang beliin aja. Gue enggak mau keluar lagi, dan gue enggak mau lo pergi juga. Gue enggak mau sendirian di sini. Jadi, kalau bisa, dia yang beliin aja. Nanti gue bayar ongkos belinya."
"..."
"Kalau ada dan kalau bisa aja, Les. Gue enggak maksa."
"B-Bukan gitu Bos Bi." Ales menyorotkan kekhawatiran yang tidak Bigel mengerti. "Masalahnya, di sini agak enggak mungkin ada Jager."
Bigel mengerjap, benar juga, tapi ... "Gue kan mintanya bir, Les."
Ales menggeleng, "Enggak yakin. Susah carinya. Bos Bi kalau bir sukanya apa, sih? Paling minim Heineken, 'kan? Atau Corona? Guinness? Smirnoff? Gitu-gitu, 'kan? Di sini mah gue ragu ada, Bos. Paling-paling yah ... amer."
"Amer?"
"Anggur merah, Bos Bi. Itu lho, yang warung biasa jual. Itu pun bukan bir."
"Wine?"
Ales ingin menggeleng tapi ragu, mengangguk juga ia tak yakin. "Yah ... bukan wine kayak yang Bos Bi maksud, sih. Ini lokal punya, Bos. Duh, gimana jelasinnya, ya?"
"Beralkohol?"
Ales mengangguk.
"Lho? Warung jual minuman begitu?" bingung Bigel.
"Lah?" Ales mengerjap heran, "Bos Bi enggak tau?"
Malu-malu, Bigel menggelengkan kepalanya. Ia tak pernah tahu rasa anggur merah yang dijual di warung, yang disebut oleh Ales. Selama dirinya hidup dan legal meminum alkohol, deretan merek bir yang disebutkan Ales lah yang pernah melewati tenggorokannya. Selain itu, tidak. Paling hebat, liquor yang bertahan menempati posisi tertinggi dalam daftar minuman kesukaan Bigel. Itupun hanya berlaku untuk satu merek, Jägermeister.
"Tuh 'kan ... jangan deh, Bos. Sepengalaman gue kenal sama orang yang pertama kali minum amer, ya, gampang jackpot." Ales bergidik dan menggeleng jijik membayangkannya, ia mual setiap kali melihat orang muntah.
"Bintang? Enggak ada, Les? Orang-orang pulau minumnya tuh apa, sih?"
Ales bergidik tak tahu.
Bigel pun menghela napas pasrah. Padahal, ia sedang ingin sedikit membiarkan pikirannya melayang, daripada terus-terusan teringat tentang Bara dan hari lamarannya. Jagung bakar dan kopi tak cukup membuat Bigel lupa dengan sedikit banyaknya kenangan ia bersama Bara di pulau. Kenangan yang setengah-setengah. Setengah sedih, setengah bahagia. Bigel tak mungkin bisa lupa, bahwa di masa itu ia banyak menghabiskan hari dengan Mama, sementara Bara sibuk berbincang dengan Papa dan Alin soal operasional toko bunga. Senang Mama bisa diajak berbincang tentang bintang laut, tapi disela-sela kebahagiaan itu ia juga sedih karena waktunya dengan Bara tersita. Kalau Bigel pikir-pikir sekarang, hari itu mungkin akan lebih menyenangkan jika Elio sudah bergabung dengan tim mereka. Mengajak Alin untuk menemaninya ternyata tak begitu berguna. Wanita itu malah sibuk bicara dengan Bara dan Adam tentang toko bunga. Sekiranya, begitu yang Bigel dengar ketika iseng melewati mereka waktu berbincang. Nama Fleur Teapot selalu disebut oleh ketiganya. Kadang Bigel sebal, jalan-jalan keluarga saja mereka masih sempat-sempatnya membahas bisnis dan uang. Malam itu mungkin tak akan damai, dan Bigel bisa marah besar kepada Bara karena sedikit waktu yang dihabiskan bersama, kalau-kalau si pria tak memberi kejutan dengan datang ke kamarnya sembari membawa dua botol Jägermeister. Bigel urung marah kepada Bara hanya karena minuman yang pria itu bawa. Kadang, Bigel juga sebal dengan dirinya. Ia begitu mudah melupakan amarah, kalau segala halnya sudah berkaitan dengan Bara Tanuwidjaja.
"Oy, Alessandro!"
Lamunan Bigel buyar, Ales yang sedang mengigit biji-biji terakhir dari jagung bakar itu pun tersentak kaget. Bang Opik memang memiliki suara lantang, kencang, dan berhasil membuat Ales nyaris melompat dari pondokan.
"Kaget, hih! Biasa aja dong, Bang!"
Opik tertawa seraya memarkirkan sepedanya.
"Ngapain ke sini?" tanya Ales, penasaran.
"Tidur lah, ngapain lagi?"
"Lah?"
"Lah, loh, lah, loh! Gue 'kan tinggal di sini, bajingan."
"Lah?! T-terus gue sama Bos Bi gimana?!"
Dahi Opik mengerut bingung, "Bos Bi ...?"
"Cewek gue. Gue sama cewek gue gimana, Bang, kalau lo tidur di sini juga? Astaga, ini si Haga tau enggak sih malam gue diganggu nyamuk pulau begini?"
Mau marah, Ales adalah pelanggannya. Mau kesal, Ales adalah titipan bosnya. Mau memaki, ia tak mungkin sampai hati. Mau menggerutu, takut Ales mengadu. Opik serba salah karena sebutan nyamuk pulau itu nyaris membuatnya naik darah. Padahal jelas-jelas, ini adalah habitatnya.
Maka dari itu, sabar adalah pilihan paling tepat. Walau rasa hati ingin sekali Opik menjitak Ales.
"Oh, Bang Opik tinggal di rumah yang itu, ya?" Bigel yang buka suara. Lirik matanya tertuju kepada sebuah bangunan kotak seperti rumah kontrakan sepetak yang terletak di sudut area villa.
Bak mendapat berkah dan keselamatan, Opik menyalakan tatap penuh kemenangan dan berseru girang. "Betul! Haha! Akhirnya ada orang yang pinter juga di sini! Bener Neng, itu rumah Abang. Ya, bukan rumah sih, ya. Apa namanya? Kost? Ah, bukan kost kan ini mah gratis dari Bang Haga."
"Ya kost lah berarti. Kost gratis, gitu aja. Emang apaan lagi? Asrama?" timpal Ales, masih kesal sedikit. Karena walaupun mereka akan berada di bangunan yang berbeda, Ales sedikit banyaknya sudah tahu Opik seperti apa. Jika larut malam nanti ada suara ketukan pintu misterius, percayalah itu bukan setan yang melakukannya. Tapi Opik, si manusia yang justru mengajak ke jalan setan.
"Oh, bukan kost. Mess ya, Bang?" balas Bigel.
"Nah, iya! Mess! Ah elu, Les, emang dasar blo'on! Untung cewek lo pinter. Hadeh!"
Terlepas dari pujian Opik kepada Ales yang tak bisa ditampik, Ales mendapati satu hal janggal dari kekasihnya sekarang.
Bigel tersenyum.
Dengan ramah.
Kepada seseorang yang bahkan belum ada sehari bertemu dengannya.
Ini jauh berbeda. Sangat berbeda dengan bagaimana Bigel menyikapinya di hari pertama mereka. Ales masih ingat, bagaimana ia terpikat oleh tatapan tajam dan sinis dari bosnya. Namun daripada itu, ia baru saja mengetahui, bahwa Bigel dengan senyum ramah yang menyambut baik kehadiran Opik dan membuatnya sedikit iri tak mendapatkan itu saat pertama kali. Bohong kalau Ales tak merasakan setitik cemburu di dalam hati.
"Bos."
"Ya?"
"Masuk, yuk. Udah malam, dingin. Jagungnya juga udah habis, 'kan?"
Bigel mengangguk, "Udah kok. Tapi gue masih mau di sini, Les. Lo mau masuk? Duluan aja. Selamat istirahat, ya."
Eh? Duh, Bukan begini maksudnya!
"Nah, cakep. Masuk sono lu! Nyamuk pulau mau beraksi."
Cih. Ales pun berdecih sebal. Terpaksa, ia tak beranjak dari pondokan dan tetap berada di sisi kekasihnya. Lebih baik ia di sini, bertiga dengan si nyamuk pulau, daripada harus membiarkan Bigel berduaan dengan lelaki macam Bang Opik yang memiliki hobi seperti bosnya sendiri—main perempuan.
Pun dirasa, malam mereka akan panjang. Pasalnya, alih-alih langsung masuk ke kamar mess, Opik malah mengambil duduk di tepi pondokan dan membakar sebatang sigaret. Kalau begini caranya, Ales sudah tahu, urusan pasti panjang.
"Idih rokok enggak ganti-ganti tuh," ledek Ales, sembari ikut-ikutan membakar rokoknya sendiri.
"Super is the best, Les. Emang elo, rokok kok rokok putih. Idih!"
"Lah?" Ales tersulut emosinya, "Emang kenapa?"
"Nah, ya udah, kalo rokok gua Super mulu juga mang ngapa?!"
"Baunya nempel, Bang. Gitu aja enggak ngerti, hih!"
"Lah? Kagak ada yang bakal nyium gua juga. Lagian, emang bau Super kenape, Les? Mati lu nyium bau Super? Kagak 'kan? Udeh deh diem lo." Opik mengembuskan asap, menyatu dengan udara pulau malam itu. "Neng Bos Bi, pacaran sama Ales udah lama? Kok mau sih sama dia? Banyak bacot gini anaknya."
"Heh!" Ales semakin sebal saja. "Neng Bos Bi, Neng Bos Bi ... Bigel! Namanya tuh Bigel! Bukan Bos Bi!" kesal Ales, panggilan kesayangannya direbut Opik tanpa Opik tahu seberapa besar nilainya bagi Ales.
Bigel tertawa, Ales dengan ambek kecilnya memang tak pernah gagal membuat gemas.
"Lah, lu bilang tadi 'Bos Bi'. Salah gua, gitu?"
"Itu khusus buat gue aja, Nyamuk Pulau. Lo ya panggilnya Bigel!"
"Oh." Opik membulatkan mulutnya, mengerti maksud Ales dan tak akan ia ulangi juga panggilan sayang itu keluar dari mulutnya. "Oke, ulang ya. Bigel pacaran sama Ales udah lama?"
Kali ini, Bigel menjawab setelah banyak diam dan mengamati dua pria ini—si tinggi besar yang ambekan, dan si kurus gondrong yang hobi menanggapi kekesalan Ales.
"Hmm, baru kok, Bang. Belum ada seminggu, ya enggak, Les?"
Ales menghela napas pasrah. Padahal, kalau Bigel ingin sedikit berbohong dan mengatakan hubungan mereka sudah berjalan sekian bulan juga Ales tak masalah. Justru, jadi masalah jika Bigel mengatakan hubungannya baru sekian hari, bahkan belum menyentuh satu minggu. Karena jelas, si kurus gondrong itu akan menggoda Ales habis-habisan.
"Ciaaaaa! Baru seminggu, nih? Idih-idih, dapet keberanian dari mana lo langsung ngajak cewek ke pulau? Berdua lagi! Haha! Diajarin Bang Haga lo ya?"
Ales berdecih saja, mengembuskan asap rokoknya dengan sebal ke arah Opik. Ia tak mau menanggapi, tapi sayang sekali ia tak tahu bahwa setelah ini Opik juga akan menggoda gadisnya.
"Neng, nih Abang kasih tau, ya. Si Ales mah tampang doang cakep, badan doang gede tinggi, tapi urusan cewek mah ...," Opik mengambil satu tarikan dari sigaret, sebelum melanjutkan dengan asap yang mengepul di depan wajahnya. "Cemen!"
"Set, Bang Opik! Udah kek, gue di-roasting mulu!" kesal Ales. "Orang ke sini mau pacaran, malah direcokin dedemit macam lo, ah!"
"Oalah, cemen? Cemen gimana tuh, Bang?"
Sial. Ales menoleh dan mengerjap penuh heran kepada Bigel yang-entah-dari-mana mendapat keberanian untuk bertanya seperti itu. Sementara si kurus gondrong tersenyum lebar, ia senang Bigel terpancing omongannya. Ia jadi memiliki peluang lebih besar untuk mengolok-olok Ales, tanpa harus terlihat begitu niat mengejek. Dalihnya, ia menjawab pertanyaan Bigel.
"Cemen, Neng. Deketin cewek? Kagak pernah. Bawa cewek ke mari? Apalagi. Itu Neng, waktu si Ales sama Bang Haga ke sini 'kan rame tuh. Beuh, pada bawa cewek. Nah, ini si kunyuk satu ini malah bawa lakik! Hadah, bayangin, Neng. Ampe ketar-ketir Abang takut dia belok. Eh, rupa-rupanya itu si Roy, bestie-nya."
Ales tepok jidat. Tidak secara harfiah, tapi begitulah Ales sekarang. Pasrah dirinya diolok-olok meski lelah mendengarkannya. Ales ingin mengelak, tapi Bigel tampak terlalu seru mendengarkan. Ia jadi enggan menghancurkan rasa penasaran gadis itu. Biarkanlah, sekali-sekali. Kiranya begitu kata hati Ales.
"Oh ya? Enggak pernah deketin cewek?" tanya Bigel. Persis seperti dugaan Ales, gadis itu penasaran. "Masa sih, Bang?"
"Hadah, kagak percaya. Kan udah gua kata, Neng, si Ales ini cakep doang. Nyali pacarannya mah kagak ada!" balas Opik, menggebu-gebu ia lambaikan tangannya di depan wajah dengan raut meledek.
"Banyak ngomong amat si, Bang." Ales—masih—kesal.
"Biarin sih, Les, gue 'kan mau dengar tentang lo."
"Huh?" Dahi Ales mengerut, walau tak bisa ditampik hatinya mulai ingin menuruti apa kata gadis itu. Ia ingin Bigel mendengar hal-hal tentangnya. Ia juga ingin Bigel memasang telinga baik-baik ketika ia bercerita. Namun, khayalan itu sirna seiring suara si kurus gondrong kembali memenuhi telinga.
"Yah ... Neng, pacaran belum ada seminggu mah pendekatan aja dulu, saling kenal satu sama lain. Enggak usahlah yang aneh-aneh. Kalau si kunyuk ini ngajak yang enggak-enggak di mari, langsung lapor Abang. Biar Abang kemplang palanya! Oke?"
Bigel terkekeh kecil sebelum mengangguk—mengiyakan saja apa kata Opik—dan mulai membakar sebatang sigaret. Bergabung dengan Ales dan Opik yang sudah merokok lebih dulu, dan membiarkan asap-asap itu mengepul ketika mereka saling mengobrol. Tak begitu banyak yang dibicarakan selain tentang keseharian Opik yang menjaga villa, membersihkan, juga mengatur jadwal kesediaan villa untuk disewa.
"Asik dong, setiap hari bisa santai di pulau," ucap Bigel, merujuk pada kehidupan Opik sehari-hari.
"Idih! Neng, Neng, santai dari mananya? Abang nih capek aslinya, Neng. Apalagi semenjak villa dipegang sama Bang Haga, haduh, Abang kerjanya kudu ekstra!"
"Kenapa gitu?" tanya Bigel.
"Villa rame terus, Neng. Beda lah waktu masih dipegang sama bapak-bapak, kagak se—apa, ya? Se ... se ...? Duh, bantuin kek, Les!"
Ales yang sedang tenang lagi-lagi diseret ke masalah Opik. Kesal-kesal ia menyahuti, "Apaan, si? Se—apaan? Sesepi dulu?"
"Ah, iya! Sesepi dulu!" seru Opik yang akhirnya menemukan kata itu. "Jadi, dulu mah Neng, mungkin efek Bapak udah tua juga ya, beliau kagak begitu ngurus villa di pulau. Urusannya tuh selalu resort, resort, dan resort. Ya, proyek besarnya dia lah. Yang sewa-sewa villa gini mah jarang, paling ada ya pas weekend aja. Itu pun kagak selalu ada. Makanya dulu mah Abang kerja nyantai. Nah tiba-tiba nih, kagak ada angin kagak ada ujan di mari, Bang Haga ambil alih. Waktu itu sih Abang santai aja, ya pikir Abang mah wajar lah ini aset turun ke anaknya Bapak. Eh tapi, beda bener Neng cara kerjanya. Sejak dipegang Bang Haga, auk gimana bisa, tau-tau villa rame terus aja tuh. Hadah, gempor juga Abang lama-lama di mari."
Ales mendengarkan, Bigel pun sama. Kehadiran Opik agaknya mampu sedikit membuat suasana lebih nyaman, terbukti dengan tidak adanya canggung yang menguar dari Ales ataupun Bigel. Keduanya menerima dan menanggapi cerita Opik dengan baik. Malam itu, di pondokan villa milik Haga, topik obrolan mereka bertiga didominasi oleh Opik yang seolah menjadi sorotan utama.
"Ya bagus lah, Bang. Berarti si Haga enggak sia-sia kuliah sarjana enam tahun," timpal Ales.
Opik tertawa terbahak-bahak. Sudah bukan rahasia lagi kalau bosnya yang sekarang itu memang sedikit terlambat lulus dari waktu yang semestinya. Sementara itu, lain dengan Ales yang menimpali Opik dengan candaan, Bigel menanggapi kesulitan Opik dengan serius.
"Emang enggak ada yang bantu, Bang? Kalau punya villa gini biasanya kerja sama juga sama agen travel gitu. Bosnya Bang Opik jalan sendiri kah? Enggak ada partnership sama agen travel?"
Seolah tepat sasaran, Opik tiba-tiba menjentikkan jari. Pertanyaan Bigel cukup bagus untuk ia jawab sekarang, sesuai dengan topik yang hendak ia perbincangkan selanjutnya. Partnership.
"Nah! Mungkin ini juga kehebatan seorang lulusan sarjana enam tahun ya, Neng," kata Opik, masih membawa-bawa waktu kelulusan Haga yang mengundang tawa Ales kembali meledak di sana. "Bang Haga baru info tadi pagi ke Abang, pas infoin si Ales mau ke mari. Katanya, bulan depan Abang udah bisa agak santai gitu lah, soalnya Bang Haga udah teken kontrak sama anu ... aduh, gua lupa lagi namanya."
Opik garuk-garuk kepala, sembari mengingat-ingat kembali nama perusahaan yang Haga sebutkan pagi tadi. Sial, ia harusnya mengingat nama itu, nama perusahaan yang kemungkinan besar orang-orangnya akan datang dan perlu ia sambut suatu hari nanti.
"Ah, anjing. Lupa gua. Apa sih namanya, aduh. Ba ... Ba ...?" Opik berusaha mengingat-ingat. "Duh, faktor U apa gimana sih ini gua yak? Tapi kagak mungkin juga sih, masa belom kepala tiga udah pikun gue."
"Ya tapi nyatanya gitu, sih," balas Ales, "pikun."
"Halah, gua lupa, Les. Maaf Neng, Abang lupa namanya. Pokoknya si Bang Haga udah kerja sama gitu dah sama perusahaan. Itu perusahaan yang ngurus travel, semuanya diurus sama dia. Jadi, kita mah terima jadi aja. Abang kagak perlu nganter-nganter wisatawan juga, mereka udah sediain tour guide-nya. Bagus dah pokoknya, sayang amat ya gua lupa namanya apaan. Kalo kagak salah inget, ya, ada darmawisata-nya gitu dah namanya. Cuma gua lupa apaan nama depannya."
Bigel mengernyit, sementara Ales tak ambil pusing. Ia hanya mendengarkan dan menerima seluruh ucapan Opik tanpa mencerna. Selagi Bigel turut memikirkan nama depan perusahaan yang Opik maksud, Ales membakar sebatang sigaret lagi. Ia masih merasa santai dan tenang, sampai ....
"Batara Darmawisata bukan, Bang?" Bigel bertanya—sekaligus memastikan—kepada Opik tentang perusahaan yang dimaksudnya.
Dan sebuah kejutan pun terdengar, "Nah! Itu dia! Batara Darmawisata!" Sontak membuat Ales menegakkan punggung yang semula bersandar di pondokan.
"Batara? Batara Group?! Haga partnership sama Batara Group?!"
"Batara Group apaan, Les? Batara Darmawisata namanya woy!"
Setelahnya, tak ada yang menanggapi lagi kebodohan kecil Opik. Memang tak semua tahu bahwa Batara Darmawisata merupakan anak perusahaan yang berada dibawah kendali Batara Group, sama seperti Yayasan Pendidikan Batara yang melahirkan Universitas Batara—kampus Ales. Namun, bagi mereka yang sedikit banyak mengerti bisnis, agaknya mereka sudah bisa mengetahui bahwa segala hal yang menggunakan nama merek itu adalah bagian dari Batara Group.
Jelas, Ales terkejut mendengar hal ini. Tak disangkanya si alumni mahasiswa abadi benar-benar bekerja dengan Batara Group. Lantas, kini ia tak heran lagi mengapa hari itu sebuah buket bunga mendarat di Grha Batara dengan nama penerima: Haga.
Lalu Bigel dalam keheningannya mencerna segala cerita dan akhir yang mengejutkan dari Opik, sempat terbesitkan pertanyaan di dalam hati dan pikiran yang cukup mengganggu.
Mengapa dunia sesempit itu?
Ales—kekasihnya—pria yang ia sewa selama sepuluh hari untuk menjadi teman kencan, rupanya berteman dengan seorang pria pemilik tahta villa dan resort dari keluarga, yang ternyata bekerja sama dengan perusahaan pimpinan Bara. Batara Darmawisata.
Dalam sedikit kesempatan, Bigel berdecih dengan pikiran yang bergumul sendiri. Agaknya ia heran, mengapa semesta mengaturnya begini?
•
♡
•
to be continue ...
♡ Xadara Goe
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top