23 | a day for prepare
"Bos Bi! Bos Bi! Bos Bi!"
Ales berlari menghampiri Bigel dengan segelas chamomile tea dingin untuk menemani jam makan siang mereka. Omong-omong, Ales tidak jadi beli nasi padang. Ia memutuskan untuk makan siang dengan satu cup mie instan—makanan yang kebetulan distok oleh manajer Fleur Teapot.
"Pelan, Les," sahut Bigel yang sudah duduk lebih dulu di sudut kafe teh, dengan rice bowl dan mie milik Ales.
"Ehehe, sorry! Ini Bos Bi, chamomile tea-nya!" Ales meletakkan teh dingin itu di atas meja, lalu duduk di hadapan Bigel yang baru sempat menyantap rice bowl dari Ales.
Bigel menjawabnya hanya dengan anggukan kepala.
"Bos Bi! Ini gue nemu paket travel murah buat ke Pulau Seribu! Lihat deh, menurut Bos Bi gimana?" Ales menyerahkan ponselnya kepada Bigel, ia ingin memberitahukan informasi penting yang sudah ia cari berjam-jam, bahkan sampai saat ia menyeduh teh kamomil.
Bigel melirik ke arah ponsel Ales, tak begitu tertarik, tapi tetap ia lirik demi menghargai jerih payah Ales yang ia ketahui sedari tadi fokus mencari. Sejak mereka masih merangkai bunga, membersihkan chiller bunga, hingga saat Ales menyeduh teh kamomil untuk Bigel, Ales fokus dengan ponsel.
"Hmm, bagus."
"Bagus 'kan?! Emang deh pilihan Ales enggak pernah salah. Mau gue booking sekarang enggak, Bos?"
"Coba contact aja dulu."
"Oke!"
Bigel ingin memberikan kesempatan kepada Ales untuk menghubungi pihak travel itu. Pasalnya, Ales tampak begitu bersemangat, dan Bigel tak ingin mematahkan senyumannya yang terukir lebar. Walau pada akhirnya nanti, Bigel ingin perjalanan ini bergerak atas kendali dari dirinya sendiri.
"Yah ...," Belum lama, langsung terdengar suara kecewa dan wajah yang ditekuk lesu dari Ales. "Enggak bisa booking buat besok, Bos."
"Oh, ya? Kenapa?" tanya Bigel, yang kemudian menyeruput es teh kamomilnya.
"Katanya, mereka ready per pax-nya itu buat hari Sabtu. Kalau buat besok banget, enggak bisa, Bos, full katanya."
"Full di weekday? Ini masih Selasa 'kan, Les?"
Ales mengangguk, "Biasalah, paket murah mah rame terus Bos Bi. Mungkin pengangguran yang jalan."
"Emang itu berapa per pax?"
"Tiga ratus ribu, Bos. Udah sama penginapan, tiket kapal pulang pergi, makan tiga kali, dan—"
"Tiga ratus ribu?" Bigel mengernyit, merasa heran dengan harga yang Ales sebutkan. "Kita naik kapal apa? Nginepnya di mana? Lo yang benar aja, Les."
"Eh? A-anu ... kapal apa itu namanya ya, Bos? Yang kayu itu lho, tapi pake mesin juga kok kapalnya! Jadi cepat, hehe."
"Feri? Feri tradisional?"
"Nah! Itu! Feri, Bos! Feri yang kayu-kayu tradisional. Jadi, kalau enggak full sih harusnya kita ramai-ramai juga sama penumpang lain. Seru pasti!"
Untuk yang satu ini, Bigel tak setuju, dan Bigel tak mau. Sejak awal, ia memang ingin mengatur sendiri kapal apa yang akan ia pakai, penginapan apa yang akan ia sewa, dan pulau apa yang akan mereka tuju. Karena sedikit banyaknya ia tahu, beginilah kalau ia menyerahkan semua kepada Ales. Pria itu akan mencari harga termurah, demi memangkas pengeluaran tapi tetap dapat mencapai kebahagiaan.
Bagus memang, tapi bukan ini yang Bigel inginkan. Bigel ingin perjalanannya lebih nyaman dari yang Ales tawarkan.
"Oh, begitu ... tapi, itu enggak bisa di-booking 'kan?" Untuk ini, sesungguhnya Bigel bersyukur dalam hati.
"Sayangnya, enggak bisa, Bos. Sedih banget, ya? Tapi, Bos Bi jangan khawatir! Gue bakal cari yang lebih oke lag—"
"Ekhem!" Bigel memotongnya dengan cepat, "gini aja, Les. Biar gue yang atur urusan kita pergi ke pulau, oke?"
"Eh? Enggak bisa gitu dong!" Ales tak setuju, dan menolaknya mentah-mentah. Sontak, membuat Bigel terkejut dan mengerjap heran. "Masa Bos Bi yang urus? Gue juga mau ikut urus perjalanan kita, Bos!"
"Oh?"
"Iya! Jadi, Bos Bi tinggal tunggu aja, gue yang cari agen travelnya, oke? Ok—"
"No," Bigel memotongnya lagi, "gini, dengar gue, Ales. Kalau lo mau ikut urus perjalanan, kita bagi dua."
Ales mengernyit bingung, "Bagi dua?"
"Antara kapal dan penginapan, lo mau urus yang mana?" Bigel bertanya, tapi setelahnya ia sadar baru beberapa detik lalu Ales terlihat baik-baik saja dengan kapal feri tradisional, Bigel lantas menjawab pertanyaannya sendiri. "Gue urus kapal, deh!"
"Oh, jadi mau bagi-bagi ya, Bos, urusnya?"
Bigel mengangguk cepat. "Gue kapal, pokoknya."
"Berarti gue penginapan?"
"Right. Atau mau gue aja sekalian?"
"Eh? Jangan dong! Gue aja, Bos! Kan Bos Bi udah kapal!"
"Oke, kalau gitu, habis makan siang mulai hubungi villa di sana ya, Les. Kalau udah dapat kabarin aja, nanti biar gue transfer uang booking—"
"Gue aja, Bos Bi."
Raut wajah Bigel tampak sedikit meragukan Ales, "Yakin?"
Ales tersenyum dan mengangguk, "Yakin."
"Hmm, oke. Kalau butuh apa-apa, bilang ya."
Ales terdiam, memandang lurus ke arah Bigel yang kemudian menyeruput teh kamomilnya. Gadis itu begitu tenang, mengatakannya tanpa terlihat ada sedikit pun beban. Sekilas, membuat Ales tersenyum sekaligus iri kepada Bigel—gadis itu tampak tak pernah kesulitan soal uang. Ales pun ingin hidup dengan semudah Bigel, segala hal dapat diatur sesuai keinginannya. Namun, lebih daripada itu, Ales menyadari satu hal. Ia adalah seorang pria. Meski posisinya hanyalah kekasih yang disewa, biar bagaimanapun ialah yang semestinya memanjakan sang wanita. Bukankah, sudah semestinya pria begitu? Memperlakukan wanita layaknya ratu? Tak peduli ia adalah kekasih asli atau palsu.
"Harusnya, gue enggak sih yang bilang gitu ke Bos Bi?"
"...."
"Maaf ya, Bos, belum jadi pacar yang bisa kasih apa-apa."
Bigel masih diam, menyeruput teh kamomilnya dengan menatap lurus kepada Ales yang mulai kembali bicara tak masuk akal.
"Tapi, tenang aja, Bos Bi. Bakal gue usahain kita dapat tempat penginapan yang oke dan asik! Bos Bi enggak usah bayar, biar kali ini Alessandro Tedja yang bayarin Bos Bi! Oke? Oke."
"Bisa diam dan makan siang dulu enggak, sih, Les?"
"Eh? I-iya, maaf, Bos," jawab Ales, yang kemudian baru melirik mie instan yang sedari tadi ia diamkan. "Yah ... melar, Bos."
Lantas, tak ada yang bisa Bigel lakukan selain menghela napas panjang dan bergeleng acuh.
Dengan setengah hati, Ales menyantap mie instan yang sudah melar. Ia tak suka mie yang seperti ini, tapi ia merasa tak enak kepada Bigel untuk meminta satu cup lagi. Kalau dipikir-pikir juga, sayang jika mie ini dibuang. Ales tak pernah tega dengan makanan. Di mata Ales, mereka seperti memohon untuk dimakan, jadi ... Ales bisa apa?
♡
"Les, lo mau ke pulau apa?" tanya Bigel, sembari sibuk mengetikkan sesuatu di ponselnya.
Makan siang mereka telah selesai, dan Bigel tampak langsung mengurus kapal seperti yang sudah mereka bicarakan. Sementara itu, Ales belum bergerak mencari penginapan, ia masih sibuk bergelut dengan sampah tangkai bunga yang baru sempat ia rapikan.
"Wih, ada yang mau liburan nih!" kata seorang wanita yang baru datang ke toko setelah jam makan siang. Alasannya, dia baru saja kembali setelah pergi ke pasar bunga sejak pagi. Kira-kira, sudah sepuluh menit ia datang dan duduk di balik meja perangkai bunga.
"Iya dong, Ce. Mau ikut?" tawar Ales, bodoh.
Bigel lantas menimpali saat itu juga, "Les? Kan mau berdua?"
"Eh? Iya, ya. Lupa, Bos. Hehe," jawab Ales.
"Berdua lah, Les, orang pacaran masa gue ikut? Ada-ada aja," Alin terkekeh, menertawakan kebodohan Ales. "Udah pada mutusin mau ke pulau apa? Dan berapa hari? Biar gue bisa cari orang buat bantu di sini, kalau emang Bigel perginya lama."
Layaknya seorang manajer, Alin tetap memikirkan tenaga kerja di tokonya sebelum Bigel pergi meninggalkan Fleur Teapot untuk berlibur dengan Ales.
"Sehari aja sih kayaknya, Ce. Iya, enggak, Bos Bi?" tanya Ales, menoleh pada Bigel yang berdiri di balik meja POS kasir dan masih sibuk berkutik dengan ponselnya.
Bigel mengangguk membenarkan, sebelum akhirnya ponsel di genggaman itu berdering dan Bigel angkat panggilannya dengan segera. "Halo, Rik. Thanks langsung nelfon. Sorry ganggu, lagi sibuk, enggak?"
Kalimat pembuka dari Bigel sontak membuat Alin dan Ales saling lirik, mengunci mulut untuk diam, dan keduanya sama-sama memberikan waktu untuk Bigel bicara dengan seseorang.
Meski sudah begitu, tampaknya Bigel tak mau pembicaraannya didengar kekasih dan manajernya. Ia lantas keluar dari meja kasir, dan pergi ke ruang belakang untuk bicara dengan lebih bebas dan sendirian.
Ales dan Alin pun tak lagi diam dan membuka gembok tak terlihat di bibir mereka.
"Bos Bi kalau nelfon emang gitu, ya? Enggak bisa nelfon di sini aja, apa?" tanya Ales.
Alin yang mendengar curhatan Ales, lantas menyunggingkan senyum dan menggoda kekasih dari pegawainya itu. "Cie, cemburu, ya?" ledek Alin.
"Dih?" Ales berdecih, "siapa yang cemburu. Gue kepo doang, Ce, soalnya waktu VC sama Elio aja di depan mata gue kok."
Alin lantas mengernyit, "VC sama Elio? Kapan tuh?"
Ales mengingat-ingat sejenak, "Kemarin? Atau kemarinnya lagi, ya? Ah, pokoknya hari itu lah, yang waktu gue sama Bos Bi nganter bunga berdua."
"Oalah," Alin ingat hari itu. "Ngobrolin apa?"
"Ah, enggak banyak. Eh, Ce, ada rekomendasi ke pulau apa, enggak? Bingung nih gue."
Alih-alih menanggapi pertanyaan Alin dengan rinci, Ales memilih untuk mengalihkannya. Meski terlihat gurat keraguan dari wajah Alin atas jawaban Ales, wanita itu tampak tetap berusaha biasa menanggapi kekasih dari pegawai kesayangannya.
"Hmm pulau, ya? Gue jarang ke pulau sih, enggak begitu suka laut. Tapi ...," Alin diam sejenak, matanya menerawang ke atas, dan tiba-tiba tersenyum sendiri membuat Ales sedikit ngeri.
"Heh! Ce?"
"Eh?!"
"Jangan senyam-senyum gitu dong, takut gue ah."
Alin tertawa, "Sorry. Apa tadi? Pulau, ya? Gue enggak gitu suka laut, Les. Jadi, gue enggak bisa kasih banyak opsi atau rekomendasi. Tapi, gue pernah ke satu pulau ...," Alin tersenyum lagi, "Tidung namanya."
"Tidung? Ah, klise," kata Ales.
"KLISE?!"
Entah apa alasannya, Alin tampak sangat tak terima. Ales bahkan sampai nyaris melompat, karena pertama kalinya mendengar Alin berteriak. Ia benar-benar terlihat sebal kepada Ales, untuk pertama kalinya.
"Les," Bigel tiba-tiba keluar dari ruang belakang di waktu yang tak tepat. Mendengar namanya disebut, Ales lantas menoleh dan mengalihkan pandangannya dari Alin yang sedang murka. "Y-ya, Bos Bi?"
Dengan ponsel yang ia jauhkan dari telinga, Bigel bertanya pelan kepada Ales, "Kita mau ke pulau apa?"
Pertanyaan yang sebenarnya tak salah, wajar untuk ditanyakan, tapi sayang sekali Ales sedang dalam ketakutan untuk menjawab sesuai dengan preferensinya sendiri. Pasalnya, beberapa detik lalu, ia telah membuat wanita di sebelahnya kesal. Ia lantas tak berani untuk menyebut nama pulau yang lain.
Maka, dengan setengah hati Ales menjawab, "T-Tidung, Bos Bi?"
"Tidung? Oke," jawab Bigel, singkat. Setelahnya, ia kembali bicara dengan seseorang di telepon, "Ya, Rik, kita ke Tidung. Bisa?"
Selagi Bigel sibuk dengan urusannya dan kembali ke ruang belakang, Ales dan Alin akhirnya saling menatap lagi. Tatapan tajam itu bertemu dengan tatapan memohon seperti anak anjing.
"Ehehe, e-enggak klise kok, Ce Alin. Tuh, buktinya gue bilang ke Bos Bi kita ke Tidung aja, hehe."
Alin yang masih tajam menatap Ales pun menjawab, "Halah, paling karena ngerasa enggak enak aja lo sama gue."
"Eh?!" Sial, Ales ketahuan. "Enggak gitu, Ce."
"Halah, bodo ah! Have fun!" ucapnya, kesal. Alin kemudian pergi, meninggalkan Ales di meja perangkai bunga, dan beralih ke kafe teh sendirian.
Melihat perangainya, Ales hanya bisa menghela napas. Tentu, sebelum akhirnya ia menggerutu. "Dasar, perempuan. Sensitif amat sih. Lagian, Tidung emang klise keleus. Udah berapa kali gue ke Tidung, anjrit. Masa Tidung mulu?!"
"Les? Lo sebenarnya mau ke Tidung atau enggak, sih?"
Suara itu kembali menembus rungu Ales, Bigel kali ini sudah benar-benar keluar dari ruang belakang, tidak lagi dengan ponsel dalam genggaman.
"Lo kalau enggak mau ke Tidung, kenapa tadi bilang Tidung?!" omel Bigel.
Pusing sudah kepala Ales kalau begini caranya. Niat awal menjaga emosi Alin, malah berimbas ledak kemarahan kekasihnya sendiri.
"Mau, Bos Bi ... mau kok." Ales sudah pasrah. Sulit juga menghadapi emosi dua wanita di sini. "Kita ke Tidung, ya, Bos Bi sayang ... udah, jangan marah-marah lagi, please?"
Bigel bergeming, mengerjap kikuk mendengar permohonan Ales barusan. Tak elak, kata sayang itu juga cukup mengacaukan isi kepala Bigel sekarang. Sungguh sangat tidak terbiasa ia mendengar Ales menyebutnya seperti itu.
Ah, tidak. Bigel tak boleh tertegun terlalu lama.
"Ekhm, udah dicari belum villa-nya?" tanya Bigel, mengalihkan permohonan Ales. Omong-omong, nada bicara Bigel juga sudah tak meninggi.
Ales menggeleng lemas, "Sore ini gue cari, ya, Bos Bi. Gue rapiin dulu sampah-sampah bunganya Bos Bi."
Melihat Ales berdiri dengan plastik di tangan, dan memunguti sampah-sampah tangkai bunga juga dedaunan dan sisa potongan kertas di meja, Bigel sedikit merasa iba. Perlahan dirinya sadar, Ales adalah kekasihnya, dan sudah seharusnya ia perlakukan sebagai kekasih. Bukan lebih seperti pembantu di toko bunganya.
"Gue aja. Lo cari villa sana," kata Bigel, merebut dengan cepat plastik di tangan Ales.
"Eh? Gapapa Bos Bi, gue aja."
"Les ...." Bigel mulai memberikan tatapan tajamnya, tak terima akan protes dari Ales.
"S-siap, Bos Bi! Gue cari villa sekarang!"
"Good. Udah, sana. Jangan ganggu gue."
"Siap, Bos!"
Ales langsung balik badan, mengambil posisi duduk di kafe teh Fleur Teapot—tentunya, dengan menjaga jarak dari Alin—dan mulai mencari villa untuk vakansinya besok.
Samar-samar, Bigel tersenyum melihat Ales. Sebelum akhirnya, ia kembali membereskan sampah di meja perangkai bunga. Kadang, Bigel sempat mencuri-curi pandang kepada Ales dan melihat keseriusan wajah kekasihnya kala mencari villa. Tak sekali dua kali, Ales bertopang dagu, seperti bosan menunggu balasan dari villa-villa yang sudah dihubunginya.
Lantas, ketika Bigel sudah selesai dengan urusan sampah, ia menghampiri Ales.
"Gimana?"
"Belum ada yang balas, Bos Bi."
Bigel mengangguk, "Lo emang enggak ada kenalan? Dengar dari ocehan lo tadi, katanya lo udah berkali-kali ke Tidung."
Ales diam sejenak. Berkat ucapan Bigel, perlahan kesadarannya bangkit setelah melakukan sebuah kebodohan yang tak bernilai. Untuk apa ia susah-susah mencari villa di aplikasi, kalau ia sendiri memiliki teman yang properti ayahnya ada di mana-mana. Sial, Ales nyaris melupakan dia kalau Bigel tak menyadarkannya begini.
"Bos Bi!"
"Ha?"
"Bos Bi, Bos Bi, gue boleh izin pergi sebentar?"
"Mau ke mana, Les?"
"Ke ... uhm ... ke rumah temen gue!"
Bigel mengernyit, "Tiba-tiba banget?"
"Well, urusan kayak gini harus ditemuin langsung orangnya, Bos. Soalnya, dia agak anjing kalau bales chat tuh lelet. Biasalah, sok sibuk."
"Emang temen lo udah pasti di rumah?"
"Eh?"
Ah, iya ... bodoh memang Ales ini. Ia hendak pergi begitu saja, tanpa mencari tahu lebih dulu keberadaan teman yang sok sibuk itu. Bodohnya lagi, Ales baru ingat ia tak membawa Ocong hari ini.
"Lupa, ya? Pelan-pelan aja, Les, hubungin dulu temen lo, baru pergi kalau posisinya udah pasti. Dia di rumah, atau enggak."
Ales lantas mengangguk patuh, dan kembali berkutik dengan ponselnya sendiri. Ibu jarinya menggulir nama kontak di sana, dan berhenti saat jejeran nama berinisial H mulai telihat di layar. Tanpa berlama-lama, Ales langsung menghubungi teman satu barnya.
Satu kali panggilan, tak terjawab.
Dua kali panggilan, tak terjawab.
Hingga lima kali panggilan, masih juga Ales tak mendapat jawaban.
Lantas, ia menghela napas panjang. Temannya itu memang jadi sulit dihubungi begini semenjak jabatannya lengser sebagai mahasiswa abadi.
"Enggak dijawab, Bos."
"So? Mau nekat ke rumahnya tanpa tau dia di mana?"
Ales merenung lagi. Menerobos ke rumahnya pun, belum tentu temannya ada di rumah. Terlebih lagi, Ales tidak bawa kendaraan. Ales memikirkan betapa borosnya ongkos dari toko bunga Fleur Teapot menuju lokasi rumah sang teman, jika kehadirannya sia-sia.
"Coba hubungin orang rumahnya dulu. Biar kalaupun dia enggak ada, nanti mereka bisa sampein ke temen lo kalau lo nyari dia."
Hingga, lagi-lagi Bigel yang memberinya pencerahan.
"Ah, Your Majesty!"
"Huh?" Bigel tak mengerti mengapa Ales tiba-tiba berteriak seolah melihat ratunya di sini. Namun yang pasti, setelah itu Ales langsung menggulir layar ponsel dan kembali menghubungi seseorang yang tak Bigel ketahui siapa.
Dan untuk panggilan kali ini, hanya dalam tiga dering pertama, seseorang di seberang sana langsung menjawab panggilan Ales.
"Heira!" serunya, "sorry, sorry, abang lo ada di rumah, enggak? Gue hubungin enggak diangkat-angkat, Ra."
Hening terjadi sejenak, Ales sedang menerima informasi dari Your Majesty-nya.
"Oh? Sibuk ya dia sekarang. Terus, kira-kira selesai meeting jam berapa, Ra? Atau, kira-kira dia udah di rumah jam berapa?"
'Mana gue tau! Dia tuh pulang kerja ya nyamperin Hanna dulu, kalau udah selesai 'urusannya' baru dia pulang. Tapi biasanya, jam dua belas udah di rumah sih."
"Anjing?! Jam dua belas malem?!"
"Ya iyalah!"
"Aduh, lo bisa bantu gue eng—eh?" Ales menjauhkan ponselnya, lantaran merasa ada getar saat ia sedang bertelepon dengan Heira. "EH?! Ini abang lo nelfon, Ra. Udah dulu, ya, thanks!"
Sesaat kemudian, Ales langsung menjawab panggilan Haga diwaktu yang sama ia mematikan sambungan teleponnya dengan Heira.
"Good afternoon, Brodi! Gimana, gimana, apa kabar ex mahasiswa abadi yang sibuk ini?"
Jangankan orang di seberang sana, Bigel yang ada di hadapan Ales saja bergeleng kepala mendengar basa-basi manusia ini.
'To the point aja, kenapa nelfon?'
"Lo balik kapan? Gue ke rumah lo aja biar enak ngobrolnya."
'Entah, midnight.'
"Hmm, ya udah gini aja, lo sekarang di mana? Gue ke sana."
'Grha Batara.'
"HEUH?!"
'Grha Batara, Les.'
Ales mengerjap, sekilas ia melirik kepada Bigel yang mengangkat kedua alisnya seolah bertanya, kenapa?
Sebenarnya, bukan apa-apa. Ales hanya jadi teringat akan hari di mana ia pergi ke gedung itu bersama Bigel untuk mengantar bunga. Sedikit ia membatin dalam hati, ternyata Haga benar di sana. Ini bukan sebuah kesalahan teknis saat pengiriman, seperti yang sempat Ales duga.
'Halo? Gue masih ada perlu, gue tutup dulu telfonnya.'
"Eh? O-oke, gue nanti ke sana. Gue chat lo kalau gue udah otw. Thanks, Ga."
"Oke."
Tepat setelah panggilan itu selesai, Bigel bertanya pada Ales, "Gimana? Temen lo bisa ditemuin?"
Ales mengangguk pelan, "Tapi dia enggak di rumah, Bos."
"Oh, jadi dia di ...?"
"Grha Batara."
Rupanya tak hanya Ales, tapi Bigel juga ikut terkejut mendengarnya. Dwinetranya itu membola, pun pertanyaan-pertanyaan membuncah dari kepalanya. Siapa teman Ales?
"Gue enggak nyangka, Bos, temen gue kayaknya beneran kerja di Batara. Kira-kira, dia jadi apa, ya? Perasaan tuh bapaknya pebisnis juga, kenapa dia malah kerja bukannya ngurusin bisnis bapaknya coba?"
"Temen lo siapa?"
"Itu, si Haga. Inget enggak, Bos? Haga Sanders, nama penerima buket yang kita antar ke Grha Batara waktu itu, dia temen gue."
Bigel ingat, tapi hal itu masih tidak menjawab pertanyaan di kepala Bigel tentang siapa teman Ales sebenarnya. Kalau memang hanya karyawan biasa di Grha Batara, Bigel tak begitu ingin tahu. Namun, lantaran Ales sudah menjelaskan lebih awal tentang sedikit latar belakang temannya yang merupakan anak pebisnis, membuat Bigel cukup bertanya-tanya.
"Jadi, lo sekarang mau ke sana?"
"Ya, gitu sih kayaknya, Bos. Gue perlu ngobrol sama dia, enggak enak aja kalau lewat telfon atau chat. Tapi masih nanti kok, Bos, gue nunggu Ocong pulang dulu."
Tadinya, Ales memang sempat terpikirkan untuk naik ojek online. Namun, mengingat dirinya harus pintar-pintar menghemat pengeluaran, Ales lebih baik menunggu Ocong saja. Maka setelah itu, ia mengetikkan pesan kepada Roy untuk datang ke Fleur Teapot.
"Sama gue aja," kata Bigel dengan tiba-tiba, dan membuat ibu jari Ales berhenti bergerak.
"Gimana, Bos?"
"Sama gue aja. Gapapa 'kan naik pick-up?"
"Eh? Ya gapapa sih, tapi Bos Bi emang enggak sibuk? Biar gue sendiri aja gapapa, Bos."
"Gapapa, ada Ce Alin ini. Gue sekalian mau keluar, bosen."
"Oh, gitu?"
Bigel mengangguk, dan setelah itu ia beralih menoleh ke arah Alin yang sedang asik dengan ponsel dan es tehnya. "Ce, gue pergi."
Alin sontak mengangkat kepalanya dari layar yang sedang menampilkan beranda Instagram, "Mau ke mana?"
"Jalan aja, sama Ales."
"Oh? Mau pacaran, ya?" Alin tertawa menggoda, "ya udah gih sana! Have fun!"
Khusus untuk urusan pacaran-nya Bigel dan Ales, Alin tak pernah mau mengganggu. Pikirnya, itu adalah jalan terbaik untuk Bigel bisa memulai hidup baru tanpa bayang-bayang masa lalu. Dan Ales adalah tapak pertama Bigel untuk bisa menuju jalan yang mungkin jauh lebih baik. Setidaknya, itu yang ada di pikiran Alin ketika melihat dua muda mudi itu mulai keluar dari toko bunga, dan bersama-sama memasuki mobil pick up yang kian lama kian terlihat seperti kendaraan kencan mereka selain Vespa.
♡
"Bos Bi, mau ikut ketemu temen gue?" tanya Ales, begitu mereka sampai dan Bigel berhenti tepat di depan lobi seperti hari lalu.
"Lo lama?"
"Kayaknya gitu." Meski sebenarnya Ales malu jika Bigel melihatnya bernegosiasi atas sebuah permintaan tolong kepada seorang teman, ia tetap tak tega jika Bigel sendirian. Apalagi, gadis itu sudah mengantarnya sampai di gedung ini.
"Hmm, gue kayaknya mau ke Lawson dulu beli makanan bentar. Nanti gue ke sini lagi," jawab Bigel.
"Oh? Oke! See you, Bos Bi!"
Bigel tersenyum sebelum Ales akhirnya turun dari mobil, "See ya."
Untuk kedua kali, Bigel mengawasi dari mobil ketika Ales melangkah masuk ke Grha Batara. Ia akan turun dan pasang badan jika Ales dihadang oleh satpam di depan. Baru beberapa detik Bigel mengawasi, benar saja, Ales dicegah oleh seorang satpam. Namun, ketika Bigel hendak segera membantu kekasihnya itu, seorang pria tampan datang menghampiri Ales dari dalam Grha Batara. Tak lama setelah itu, Ales lolos masuk ke Grha Batara bersama pria yang tak lebih tinggi darinya. Dirasa kondisi sudah aman, Bigel lantas meninggalkan lobi gedung itu.
Alih-alih berbelok ke kanan dan keluar dari gedung, Bigel malah berbelok kiri menuju area parkir basement.
Ia berbohong soal membeli makan di toko kelontong.
Bigel keluar dari mobil, pergi menuju lift dengan berjalan kaki, sembari menghubungi seseorang. Ponsel itu menempel lagi di telinganya seperti siang tadi di Fleur Teapot. Pun, ia menghubungi orang yang sama. Erik.
"Rik, lagi free?" katanya. "Gue ke atas sekarang. Bara di mana?" tanyanya. "Oke. See ya."
♡
"Jadi, lo tuh mau apa sampai nemuin gue di sini?"
Haga bertanya langsung pada intinya. Di tengah kafe menengah atas yang berada di dalam gedung Grha Batara, ia duduk berhadapan dengan Ales dan dua gelas ice americano. Ales tahu mungkin Haga memang sesibuk itu, sehingga ia pun memilih untuk langsung mengutarakan tujuannya, demi tak membuang waktu teman kaya rayanya itu.
"Gini, Ga. Besok gue mau ke pulau sama cewek gu—"
"Cewek lo? Atau cewek yang nyewa lo?"
Ales mendengkus, "Sama aja, nyet. Cewek yang nyewa gue ya cewek gue."
"Ya, cewek bohongan. Palsu, fana, enggak asli, enggak selamanya."
"Eh, kok lo jadi banyak bacot sih, Ga?"
"...."
Sadar dirinya juga telah bersikap menyebalkan nan tak sopan untuk ukuran orang yang ingin meminta bantuan, Ales mengembalikan topik obrolan kepada intinya.
"Ekhm," mulainya, "sorry."
"Nevermind. Lanjut, gue cuma punya lima belas menit."
"Oke. Jadi, intinya, gue boleh enggak minjem villa lo?"
"Minjem?"
"Sewa! Sewa, Ga, maksud gue." Ales segera meralatnya. Walau dalam hati, ia sedikit berharap Haga bisa meminjamkannya dengan cuma-cuma, sih.
"Oh, villa yang di Tidung? Atau di mana? Lo ke pulau apa?"
"Iya, betul, Tidung. Bisa?"
"Kosong, sih. Pake aja. Berapa orang?"
"Beneran? Oke! Gue berdua doang sih, berapa fee-nya, Ga?"
Haga bergidik tak tahu, dan dengan santai menyesap americano-nya ketika Ales mengernyit kebingungan.
"Berapa fee-nya? Bisa dicicil, enggak? Sistem sewa-menyewanya gimana, nih?"
Haga masih tak merespons, ia tampak sangat menikmati americano-nya tanpa ingin diganggu sama sekali. Ales pun diam, menunggu temannya itu selesai hingga meletakkan kembali gelas yang isinya sudah setengah habis ke atas meja.
"Jadi ... berapa?" tanya Ales.
Haga menggeleng, "Pake aja. Lo masih ingat nama villanya 'kan?"
Ales cengegesan, "Enggak inget, Ga. Lupa. Eh, tapi, ini serius gue pake aja?"
Haga mengangguk sebelum memberi penjelasan lebih lanjut, "Sandville Inn. Langsung temuin Bang Opik yang jaga villa di sana. Yah, ke gue enggak usah ada fee apa-apa. Paling lo kasih Bang Opik aja, buat rokok sama kopi."
"Serius ini, Ga?" Ales masih menahan rasa bahagianya.
"Gue kelihatan main-main?"
Ales lantas tersenyum lebar, ia senang bukan main. Memang tak sia-sia memiliki teman seorang anak orang kaya. "Thank you!" kata Ales, dengan penuh rasa syukur nan bahagia.
Haga mengangguk saja, pun memberikan sedikit senyum yang membalas cengiran Ales.
"Lo emang the best, sih! Gue doain lo langgeng terus sama Hanna!"
"Aamiin. Anggep aja ini permintaan maaf gue, ya. Setulus-tulusnya."
Baru saja Ales dibuat bahagia, secepat kilat ia dibuat bingung lagi oleh Haga. Ales lantas mengernyitkan dahi, "Maaf untuk?"
"Soal nonjok lo waktu itu. Gue salah paham. Heira, Jimmy, Hanna semuanya udah kasih penjelasan. Dan gue rasa, gue belum benar-benar minta maaf sama lo. So yeah, anggap aja ini permintaan maaf gue. Oke?"
Ales kembali tersenyum lebar, "Oke! Thanks!"
"Anytime, Les. Good luck!"
"Good luck?"
"Pacarannya."
"Oh? Hehe, thanks. Lusa ke Nyx, Ga, Heineken gratis buat lo."
♡
Di sisi lain Grha Batara, seorang pria diam-diam menemui gadis muda di sebuah ruang yang lebih besar dari ruang atasannya sendiri. Ia duduk di sebuah sofa, menghadap seorang gadis muda yang juga duduk di sofa seberangnya—mengabaikan kursi tunggal yang tampak seperti singgasana dibalik sebuah meja dengan nama Adam Ananta di atasnya.
"Udah clear soal kapal yang gue minta, Rik?" tanya Bigel.
Dengan tak menghilangkan rasa hormat sedikit pun kepada anak dari pemilik perusahaan ini, Erik sang sekretaris menjawab, "Udah, Gel."
"Schedule-nya gimana? Jam berapa kapal stand-by di Marina?"
"Dari malam kapal udah stand-by. Untuk jam keberangkatan, pagi jam delapan. ABK stand-by dari jam enam."
"Oke, nice. Soal parkir kapal di Tidung, gimana?"
"Aman. Kita memang rutin bayar untuk itu, udah masuk beban pengeluaran kita, Gel."
Bigel lantas tersenyum miring, "Bara andal juga ya ngurus anak perusahaan yang satu ini."
Erik pun ikut tersenyum, "Pastinya, Pak Bara selalu berusaha sebaik mungkin untuk Batara Darmawisata. Baru-baru ini juga Pak Bara jalin partnership sama resort di Kepulauan Seribu."
PT Batara Darmawisata, anak perusahaan yang bergerak di bidang pariwisata dan di bawah naungan Batara Group. Sebuah perusahaan yang saat ini memiliki pemimpin bernama Bara Tanuwidjaja.
"Oh?" Bigel tak tahu soal ini. Jujur saja, ia belum ada andil sama sekali dengan urusan perusahaan. "Resort apa?"
"Sundae Resort Jakarta Bay, punya Anthoni Sanders. Rencananya, Pak Bara juga mau expand Batara Darmawisata ke Bali, dan kayaknya bakal kerjasama dengan resort punya Pak Anthoni juga, Sundae Resort Bali namanya."
"Anthoni Sanders?"
Mendengar Bigel mengulang nama itu dengan kerutan di dahi, Erik jadi tertawa kecil. "Enggak asing sama namanya, ya? Beliau ayahnya Haga Sanders, Gel, kakak tingkat Bigel di Atlas dulu."
"Oh, ya?" Bigel mengerjap. Kata Ales, Haga Sanders adalah temannya. Namun sekarang, kata Erik, Haga adalah kakak tingkatnya di Atlas sekaligus rekan bisnis mantan kekasihnya. "Wah ...."
"Iya, dan hari ini setelah selesai urusannya sama Pak Adam, Pak Bara ada pertemuan sama Pak Haga."
"Kok bisa?" tanya Bigel, spontan.
"Kok bisa, maksudnya?"
"Eh, enggak. Thanks, Rik, besok gue ke Marina jam tujuh. Ingat, ya, kalau Bara nanya-nanya soal kapal yang gue pake, jawab seperlunya aja."
"Siap, Bu Bos."
Bigel yang hendak berdiri, sejenak terhenti. "Oh, satu lagi, stop panggil gue bos."
"Lho, kenapa?"
Bigel menggeleng sebagai penolakan atas panggilan itu, sebelum ia memberi sebuah alasan yang bagi Erik masih membingungkan.
"Karena cuma boleh satu orang yang manggil gitu. Paham?"
Yah, bagi seorang dengan kendali tangan orang lain, Erik pun hanya bisa menjawab, "Siap, Gel."
"Gue cabut dulu," kata Bigel yang kemudian bangkit dari sofa di ruangan ayahnya.
Selisih beberapa detik, Erik ikut bangkit. "Hati-hati di jalan. Have fun liburannya!"
"Thank you!" sahut Bigel dengan senyum terbaiknya kepada Erik, senyum yang juga membuat Erik tersenyum. Lantaran baru kali ini, ia melihat anak dari bos besar Grha Batara tersenyum lagi setelah lama mendengar kabar gadis itu selalu murung di toko bunganya sendiri.
Sama seperti Alin, Erik juga ingin melihat Bigel kembali tersenyum bahagia seperti saat gadis itu masih menjalani hari-harinya bersama pria yang dicinta, atasannya—Bara Tanuwidjaja. Namun, lebih daripada itu, Erik tahu ... sejahat apa orang-orang dewasa kepada seorang gadis muda yang berusia tak lebih dari dua puluh dua, dan baru mencintai satu pria dari milyaran yang ada di dunia. Erik adalah saksi, melihat bagaimana atasannya mengakhiri hubungan di tengah derasnya hujan, dari balik kaca mobil di kursi depan. Seolah tanpa tega, tanpa iba, Bara membiarkan gadis itu berdiri diguyur ribuan tetes air dan berhadapan dengannya hanya demi memohon sebuah alasan atas berakhirnya hubungan. Jika mengingat hal itu, hati Erik selalu perih. Ia merasa tak tega kepada putri kecil sang presdir yang juga teman mainnya saat orang tua Erik masih menjadi penjaga di rumah bak istana milik Keluarga Ananta.
Namun, melihat gadis itu tersenyum lagi di hari ini, hati Erik menghangat, dan diam-diam mengharap kebahagiaan paling indah untuk gadis bernama Abigail yang ia kenal sebagai periang sejak masih dalam usia anak-anak.
Semoga saja, senyum itu terus mengembang dan terukir dengan indah setiap harinya, tanpa ada lagi setetes air mata yang bercampur tumpahan hujan di tengah kota.
Erik mengharapkan hal itu.
♡
•
•
•
to be continue ...
♡ Xadara Goe
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top