22 | but, maybe we did at the villa?
SEHARUSNYA, agenda kencan hari ini adalah bar-date, kalau ingin mengacu pada daftar yang sudah pernah Ales buat. Namun, kejadian semalam rasanya sudah cukup membuat Ales kapok untuk tidak membawa Bigel ke bar. Kalau saja ia tahu minuman gadis itu adalah liquor, Ales tidak akan memasukkan bar-date ke dalam daftar kencan mereka. Buang-buang uang!
"Les, pinjem Ocong dong!"
Ales menoleh, Roy yang baru memasuki dapur dan langsung meminta kunci motor kesayangannya, membuat Ales kesal dengan seketika.
Ales itu sedang melamun, memikirkan apa yang akan ia lakukan hari ini bersama Bigel, sembari menikmati roti menteganya. Omong-omong, ia belum membeli lagi selai kacang yang kemarin akhirnya Roy buang.
"Les? Pinjem Ocong, dih. Kuncinya mana?"
"Lo tuh ya, tunggu kek, gue lagi ngelamun!"
"Ngelamunin apaan, si? Buru, ah. Gue mau ke kampus. Lagian lo udah jam segini masih nyender aja, enggak ngampus lo?"
Mengingat semalam ia menjalani hari yang panjang, melewati stres yang bukan kepalang, Ales memilih untuk mengistirahatkan otak khusus hari ini.
"Bolos lah," balas Ales.
"Idih, tumben. Padahal matkul favorit lo ni hari. Apa udah ilang tuh cita-cita kerja di kapal pesiar?"
Ales terkekeh, kecil tapi terdengar perih. Bagi Ales, cita-cita itu terlalu tinggi untuk ia yang bukan siapa-siapa. Apalagi, tak memiliki koneksi. Walau sebenarnya, ia sangat mau meracik minuman sambil berlayar. Alias, menjadi bartender di sebuah kapal pesiar.
"Gue istirahat dulu, capek."
Mendengar kata capek terdengar dari bilah bibir Ales, tentu membuat Roy terperangah. Ini bukan Ales yang biasanya. Bukan Ales yang ia kenal tak memiliki kata lelah dalam kamusnya.
"Lo kenapa?" tanya Roy, yang akhirnya mengambil posisi duduk, menemani Ales yang sedang menyantap roti mentega tanpa gula. Hambar pasti rasanya.
"Gapapa."
Roy berpikir cepat, mencari hal-hal yang terjadi belakangan dan membuat Ales tampak begitu banyak pikiran. Lima detik, Roy langsung menemukan jawabannya. Tak jauh-jauh dari uang, pasti.
"Semalam gimana? Lo bayar Jager sama Soju mereka?"
Ales menggeleng, "Bos Bi yang bayar."
"Lah? Bagus dong! Terus kenapa lo loyo begini?"
Ales bergidik tak tahu, ia hanya lelah saja tanpa tahu apa alasan pastinya.
"Lo ... enggak sakit 'kan?"
"Enggak."
"Ya terus kenapa, anjeng."
"Habis ini, gue sama Bos Bi ngapain lagi, ya? Sekarang tanggal berapa?"
"Lima."
"Tuh, masih ada lima hari lagi ke tanggal sepuluh. Gue mau ngapain lagi, ya?"
"Ya, nge—" Belum rampung Roy mengatakannya, Ales sudah memberikan sorotan tajam. Agaknya, ia tahu ke mana arah ucapan Roy.
"Mending lo diem deh. Gue butuh saran, bukan hasutan."
Roy tertawa, "Santai, Les. Maksud gue tuh, lo 'kan bingung nih mau ngapain lagi. Nah, gue saranin buat staycation. Gitu lho maksudnya. Staycation, Les, staycation. Sleepover date, hihiw!"
"Staycation? Tiba-tiba aja, gitu?"
"Ya ... kenapa enggak? Enggak usah jauh-jauh, sekitaran Jakarta aja. Pulau Seribu noh, ada. Tinggal pilih lo mau ke pulau mana."
"Anjeng, budged, Roy."
"Lah? Date begini emang lo yang bayar? Klien lo lah. Lo tuh pacar-pacaran, Les, bukan pacar beneran. Enggak mesti laki yang bayar kalau begini kasusnya."
Ales mengerjap, benar juga, batinnya. Sejatinya, Ales itu disewa dari ujung kepala hingga ujung kaki. Ales disewa tubuhnya, dipinjam bujuk rayu manisnya, untuk dijadikan kekasih hati. Semestinya, urusan pengeluaran kencan begini, menjadi tanggungjawab kliennya. Ales hanya menyewakan diri, tidak all-in-one dengan biaya kencan. Mengapa juga, ia harus pusing?
Ah, tapi, tetap saja. Ales tidak bisa. Ia masih memiliki hutang kepada Bigel soal hotel semalam. Uangnya tak akan cukup untuk berpergian.
"Enggak ada yang lain selain staycation, gitu?"
"Enggak. Itu udah paling pas. Sekaligus lo mengakrabkan diri deh tuh berdua. Cocok! Udeh, mana kunci si Ocong?"
Ales menghela napas, "Di kamar. Di kantong jaket yang semalam gue pake."
"Alright! Lo yakin enggak ngampus nih?"
Ales menggeleng.
"Ya udah, Ocong gue bawa nih, ya. Lo enggak ke mana-mana?"
Ales menggeleng lagi.
"Hadeh, aneh lihat lo kayak gini. Ya udah, gue pinjem ye si Ocong." Roy memastikan lagi, khawatir Ales akan kecarian Ocong nantinya. Karena Ales tampak menanggapi segala ucapan Roy dengan setengah sadar.
"Gue jalan, ya. Nanti selesai ngampus, langsung balik gue sama Ocong."
"Iya, hati-hati."
"Iye, tapir. Tenang aja. Dah, ya. Gue jalan."
Ales membalasnya dengan anggukan kepala. Pagi ini, ia sedikit lesu, banyak melamun, lantaran memikirkan Bigel dan kencan mereka yang tidak tahu mau dibawa ke mana. Pagi ini pula Ales sadar, bahwa sepuluh hari adalah waktu yang lama untuk sebuah kencan bohongan. Buktinya sekarang, ia sudah kehabisan ide. Pun nyaris kehabisan uang, karena hari ini, ia berencana untuk memberikan uang patungannya kepada Bigel soal hotel semalam.
Tidak, ini tidak bisa dibiarkan. Kepusingan ini tak boleh membuat kepalanya terus berputar.
Lantas, demi memangkas satu persatu kepusingan di kepalanya, Ales beranjak mengambil ponsel dan menghubungi Bigel. Hal pertama yang akan ia selesaikan: membayar hutang hotel.
bos bi <3
Good morning bosbi! |
Read 09.10 |
| morning les
| 09.11
Bosbi masih di hotel? Atau udah di rumah? Atau di toko? |
Read 09.11 |
| fleur, gue ud checkout
| 09.15
Hmm gitu |
Btw bos, semalam berapa hotelnya? |
Read 09.16 |
| ??? bukannya ud gue kasih tau?
| 09.16
Ah iya ya, lupa |
Kalau gitu, boleh minta norek bosbi? |
Sekalian nominalnya ya bos hihi |
Read 09.17 |
| ??? buat apa?
| 09.20
Ya mau ganti uang bosbi |
Kan janjinya kita patungan buat hotel |
Semalam kan belum gue kasih, jadi yaa sekarang |
Read 09.21 |
| mending lo skrg ke toko deh
| drpd tf gue, bagus lo bantuin gue
| gue sendirian les, ce alin blm dtg, elio nggak masuk
| orderan banyak nih. buru
| 09.30
Eh gimana bos? |
Read 09.30 |
| ke toko, sekarang.
| 09.30
Oke siap meluncur! |
Tunggu bos! |
Mau dibawain hottang nggak bos? |
Atau bosbi mau ricebowl lagi? |
Read 09.31 |
| ricebowl boleh lah
| titip samil
| thanks
| 09.32
Sungguh Ales bersyukur memiliki kekasih seperti Bigel yang isi pikirannya tak melulu soal uang. Ia menjerit senang, senyum pun merekah sempurna, karena tampaknya lagi-lagi pundi rupiah dalam rekening Ales yang tak seberapa, kembali terselamatkan. Bigel tak meminta ganti atas hotel semalam.
Semangkuk nasi dari toko kelontong, dan sebungkus rokok favoritnya, terdengar jauh lebih baik daripada harus mengganti sekian persen dari harga hotel bintang empat.
Segera, Ales bangkit dari meja makan. Menghabiskan roti mentega tanpa gula dalam satu suapan. Lalu dalam seketika, energinya seperti telah kembali. Ales siap menghadapi hari Selasa ini!
"Oke! Mari kita mandi dan ajak Ocong ke ... eh?"
Ales mengerjap, sadar dan teringat akan konversasinya dengan Roy beberapa menit lalu. Buru-buru, Ales berlari ke luar rumah. Mengecek halaman depan, dan ... benar saja, Ocong sudah tak berada di sana.
"Haduh ... gimana dong ke Bos Bi-nya?"
Mungkin kali ini, Ales memang harus mengeluarkan lebih banyak uang sebagai effort-nya menjadi seorang kekasih, meskipun palsu.
"Naik ojol, gitu?" monolognya.
♡
Sebelum pergi ke Fleur Teapot, Ales benar-benar mampir ke toko kelontong langganan Bigel untuk membeli rice bowl dan sebungkus sigaret. Ia turun dari motor, memberikan helm berwarna hijau ke empunya, dan mewanti-wanti sang pengendara untuk menunggu selama ia berbelanja di dalam.
"Sebentar ya, Bang. Nanti saya beliin kopi!"
Ales bergegas, ia tak ingin ojeknya menunggu lama. Begitu masuk ke toko kelontong dengan dominasi warna biru putih, Ales langsung beralih ke jajaran nasi mangkuk yang tersedia pagi itu.
Menunya itu-itu saja, hampir semuanya memiliki ayam sebagai lauk di dalam mangkuk. Ales mengamati lagi, dan ... ralat, bukan hampir, tapi memang semuanya hanya berlaukkan ayam. Sudahlah, Ales tak mau menghabiskan waktu untuk memilih. Apa saja yang dimatanya terlihat enak, ia mengambilnya untuk Bigel.
Sekilas, ia melihat onigiri juga dipajang tak jauh dari jajaran rice bowl. Ales lapar, lantaran hanya sarapan roti mentega tanpa gula, dan onigiri itu terlihat ... menggoda.
Ales mendekat, bukan untuk langsung mengambil onigiri itu, tapi jelas untuk mengecek label harganya lebih dulu.
"Anjing? Delapan belas ribu, sama kayak hottang? Mending nasi padang aja lah nanti siang."
Apakah Ales jadi membeli? Oh, tentu tidak. Ia meninggalkan rak onigiri itu dengan setengah hati, dan langsung beralih mengambil kopi botol untuk ojol yang tengah menanti.
Rice bowl dapat, kopi pun dapat, tinggal rokok yang belum berada di tangannya. Segera setelah itu, Ales pergi ke kasir. Ia membayar semua belanjaannya, tak lupa juga meminta rice bowl-nya untuk dipanaskan. Selesai, Ales kembali menghampiri ojeknya di depan.
"Nih, Bang," katanya sembari menyodorkan sebotol kopi dingin.
"Wuih, makasih ya, Mas. Lanjut nih?"
"Lanjut lah, masa saya di-drop di sini?"
"Ehehehe yok lah gas!"
Usai membeli sarapan untuk Bigel, Ales dan ojeknya melanjutkan perjalanan ke Fleur Teapot yang tak sampai satu kilometer.
"Nah, sampe, Mas! Di sini, 'kan?"
Ales turun, "Iya, di sini. Tadi saya udah bayar, ya. Makasih, Bang."
"Yo, sama-sama, Mas. Makasih juga ini kopinya. Saya jalan, ya, mari!"
Ales membalasnya dengan anggukan kepala, dan ojek itu pergi dengan mengulas senyum padanya. Melihat ojek itu, membuat Ales berpikir ... mungkin memang mudah mencuri hati seseorang. Pasalnya, ojek itu terus tersenyum sampai ia benar-benar hilang dari pandangan.
Ales nyaris mengira, driver itu jatuh cinta padanya.
Namun, ia baru saja sadar, bahwa kuncinya adalah berikan hal yang membuatnya senang. Ojek itu mungkin tak begitu membutuhkan kopi, tapi ia senang diberikan kopi sebagai ekstra dari pelanggannya. Ales sekilas bepikir, apakah ia harus begitu kepada Bigel? Haruskah ia memberikan hal yang membuatnya senang? Tapi, apa juga yang harus ia berikan?
"Ales!"
Ales menoleh, Bigel meneriakkan namanya dari pintu masuk Fleur Teapot.
"Bos Bi!" sapanya, yang kemudian berlari menghampiri Bigel dengan kantung belanja yang ia bawa.
"Lama banget? Ke mana aja sih?"
"Ehehe, maaf, Bos. Kan mandi dulu, ke Lawson dulu, baru deh ke sini. Nih! Rice bowl-nya!" Ales menyodorkan plastik belanja itu kepada Bigel, dan diterima oleh gadis itu dengan tangan kanannya.
"Ocong mana?" tanya Bigel, tak melihat Ocong ada di sekitar tokonya.
"Ocong dibawa Roy, ngampus. Jadi, gue naik ojol deh, hehe."
"Roy? Ngampus?"
Ales mengangguk, "Roy, temen gue, Bos Bi."
"No, no. Ngampus? Lo harusnya ada kelas juga 'kan hari ini? Astaga, gue lupa. Sorry, sorry, malah nyuruh lo ke sini. Kalau lo mau berangkat, berangkat aja gapapa deh. Gue bisa sendirian."
"Hmm, iya sih, ada. Tapi, enggak mau kelas, ah." Ales mengambil satu langkah maju mendekati Bigel, sedikit membungkuk hingga wajahnya tepat berada di depan wajah kekasihnya. "Mau bolos aja. Mau main sama Bos Bi aja hari ini. Mumpung di toko enggak ada orang, kita bisa pacaran 'kan?"
Alih-alih salah tingkah karena didekati Ales, Bigel malah berdecih, "Siapa juga yang mau pacaran? Kerjaan gue banyak, Les. Udah, ayo masuk."
Ales cemberut, tapi tak peduli sebanyak apa pekerjaan Bigel di dalam toko bunga merah muda ini, ia tetap akan mengajak gadis itu untuk menghabiskan waktu dengan berpacaran. Selagi merangkai bunga, bisa diselipkan dengan modus-modus kecil, 'kan? Berlagak tertusuk duri hingga berdarah, misalnya. Bagus-bagus, Bigel mau mengobati luka Ales nanti. Ah, ia jadi terpikirkan untuk mencoba ide gila itu!
Seperti yang sudah ia kira, Bigel langsung duduk di balik meja perangkai bunga untuk melanjutkan pekerjaannya. Ales tentu mengikuti langkah Bigel, membawa satu kursi dari kafe teh, dan duduk tepat di sebelah kekasihnya.
"Jadi, kita bikin apa hari ini, Bos?"
"Buket."
"Lagi?" Ales menghela napas, "bosen, Bos Bi."
"Ya 'kan emang kerjaannya gitu-gitu aja. Nih, bantu potongin tangkai-tangkainya, ya."
Cocok! Bigel baru saja menyerahkan puluhan tangkai mawar merah kepada Ales. Duri-durinya terlihat nyata, duri yang akan Ales jadikan sebagai kambing hitam atas modusnya. Berlagak tertusuk.
"Potongnya segini, Bos?" tanya Ales, memastikan ukuran tangkai yang perlu ia buang.
"Kepanjangan, Les."
Tanpa diduga, Bigel beralih menggenggam tangan Ales, mengarahkannya untuk memendekkan panjang tangkai yang perlu dia buang. Seketika, malah membuat Ales merasa tertekan. Ia merasakan sesuatu yang tak nyaman dari Bigel yang jaraknya hanya sejengkal. Terlebih, saat Bigel menoleh, gadis itu berhasil membuat pandangan mereka akhirnya bertemu dan saling membeku.
Ales belum melancarkan aksinya, tapi sudah kacau duluan karena Bigel yang bertindak di luar dugaan. Sial.
Ting!
"Permisi?"
Pelanggan datang. Ales dan Bigel sontak menoleh ke arah pintu merah muda yang baru saja dibuka. Pelanggan itu berdiri kikuk, sudah bisa dipastikan karena ia melihat Ales dan Bigel yang tampak sedang bermesraan dengan jarak dekat dan tangan si gadis yang menggenggam sang pria.
"Eh!" Bigel sontak melepas pegangannya pada Ales. Gerakannya terlalu cepat, membuat Ales kaget dan refleks menggerakkan tangannya dengan asal. Sialnya, ia jadi benar-benar tertusuk duri mawar.
"Argh!"
"Eh, Les? Gapapa?"
"Eng-enggak apa-apa, Bos." Ales meringis kecil, tapi sebisa mungkin rasa perihnya ia sembunyikan.
Kedua mata Ales menangkap pandangan seorang pelanggan yang berdiri kikuk, menunggu untuk dilayani oleh seseorang di toko bunga ini. Sontak, membuat Alws yang semula meringis, tiba-tiba menyapa secara otomatis, "Hai, Kak! Welcome to Fleur Teapot!"
"H-Hai, a-aku mau order buket, bisa?" tanyanya, canggung.
"Bisa! Dibantu Bos Bi, ya, Kak. Soalnya, saya lagi luka nih, hehe."
"Les, lo gapapa? Serius?" Bigel memastikan lagi, Ales terlalu banyak bicara untuk ukuran orang yang sedang terluka.
"Gapapa, Bos. Kotak P3-nya ada di mana? Gue beresin sendiri aja," kata Ales.
"Di backroom. Lo duduk dulu aja, nanti gue bantu. Gue handle customer dulu, ya. Tunggu, Les."
Ales tersenyum dan mengangguk. Meski tangannya perih, hatinya hangat mendengar khawatirnya Bos Bi.
Bigel pun membalas senyuman Ales, menepuk bahu kekasihnya dua kali, baru setelah itu ia tinggalkan untuk melayani pelanggan. Tatkala Bigel sedang berbincang tentang bunga dan harga, Ales diam-diam pergi ke ruang belakang. Ia tentu akan senang jika Bigel membantu mengobati lukanya, tapi sebelum itu, setidaknya ia perlu mencuci setitik darah yang keluar karena luka tusukan duri mawar. Tak seberapa, memang, tapi lama-lama rasanya perih dan pegal juga.
"Shh, nggak lagi-lagi mau modus pake alibi ketusuk duri. Sakit ternyata, anjrit!" ocehnya, sembari mengalirkan air keran ke ujung jari yang tertusuk duri.
"Ah ... akhirnya," monolog Ales setelah selesai mencuci tangan.
Ales mendudukkan diri di kursi, dengan meja yang cukup ramai dengan barang-barang. Kotak tisu, gelas bekas minum, dan tas kecil yang berada di atasnya dapat Ales asumsikan adalah milik Bigel. Melihat barangnya saja, Ales tiba-tiba tersenyum entah kenapa. Tasnya kecil, Ales baru melihatnya hari ini, terlihat lucu dan menggemaskan apalagi jika Bigel yang mengenakan.
Ia tiba-tiba terkekeh seperti orang gila. Lupa dengan lukanya.
Hingga, kekehan itu perlahan memudar ketika ia mulai mendapati sebuah amplop merah muda yang diselipkan di kotak tisu meja. Tampak seperti sengaja disembunyikan, tapi tak juga semata-mata untuk dilupakan. Lantas, Ales mengambil amplop merah muda itu.
Penasaran, Ales pun membukanya. Ia sedikit terkejut ketika membaca bahwa kertas kaku nan kecil yang sedang ia genggam adalah sebuah surat undangan. Acara dan pesta lamaran tampaknya akan segera diselenggarakan atas pasangan bernama Bara Tanuwidjaja dan Carina Lia Effendi. Mantan kekasih Bigel, dan nama asing yang baru ia ketahui.
"Les?"
"Eh?" Ales menoleh, "Bos Bi!"
Mungkin Ales terlalu serius membaca sepucuk surat merah muda itu, hingga dirinya tak sadar, Bigel sudah membuka pintu ruang belakang.
"Udah diobatin lukanya?" tanya Bigel, mendekati Ales.
"Belum, Bos. Baru dibersihin aja."
"Oh, oke, tunggu." Bigel berjalan menuju kotak P3K, mengambil obat tetes dan plester untuk Ales.
Tak sampai setengah menit, ia kembali mendekati Ales dengan obat dan plester di tangannya. Disaat yang sama, ia mendapati Ales sedang menggenggam amplop merah muda. Tampaknya, Ales baru saja ingin memasukkan kembali surat undangan itu ke kotak tisu.
"Ngapain?" tanya Bigel.
"Ah, enggak, Bos. Habis baca ini. Undangan dari mantannya Bos Bi, ya?"
"Oh, itu. Iya," sahut Bigel, tak tertarik. "Mana sini tangan lo?"
Ales buru-buru meletakkan kembali surat undangan itu persis seperti semula. Baru setelahnya, ia memberikan tangannya yang terluka kepada Bigel.
Seolah bekerja seperti seorang profesional, Bigel mengobati luka Ales dengan piawai. Mulai dari tetesan obat yang ia ratakan, hingga plester yang menutup luka dengan sempurna.
"Clear," katanya.
"Thanks, Bos."
"By the way, Les ...," Bigel terhenti sejenak, matanya menyorot ke arah amplop merah muda di kotak tisu yang sudah Ales kembalikan seperti semula. "Agenda kita hari ini apa?"
Mungkin Bigel ingin pendekatannya berjalan lebih cepat.
"Eh?"
"Hari ini kita ngapain dan ke mana?"
"Eh, aduh, emm ... Bos Bi, sebenarnya buat hari ini dan besok-besok gue belum tau mau ngapain," kata Ales, takut-takut, dan diikuti garukkan kikuk di tengkuk lehernya.
"Hah?"
"B-Belum tau mau ke man—"
"Bukannya hari ini bar date, kalau gue enggak salah?"
"A-ah, iya. Bar date. Tapi, kan semalam udah minum, Bos, masa minum lagi? Hehe."
"Jadi?"
Ales bergidik tak tahu. Wajahnya seperti anak anjing yang polos tak berdosa, ia benar-benar buntu untuk kencan selanjutnya. Bigel lantas menghela napas panjang. Tak ada gunanya terus bertanya kepada Ales, jika pria itu memang tak memiliki jawaban.
"Balik kerja aja kalau gitu, gue tunggu di depan," kata Bigel sebelum pergi meninggalkan Ales duduk sendiri di ruang belakang Fleur Teapot.
"Siap, Bos Bi ...," sahut Ales, dengan nada lemas. Sedikit kecewa dengan dirinya sendiri yang entah bagaimana bisa, tiba-tiba buntu begini. Ales benar-benar kehabisan ide untuk mengajak Bigel kencan. Padahal sebelumnya, ia tak pernah begini, ia tak pernah seperti ini. Ales mendadak bodoh, atau cenderung terlalu pemilih ketika mempertimbangkan tempat dan agenda kencan selanjutnya yang akan ia lakukan bersama Bigel.
Entah bagaimana mulanya, Ales ingin memberikan kesan kencan terbaik untuk Bos Bi-nya.
Entah ini perkara bayaran dua kali lipat yang Bigel berikan, atau Ales yang sudah diam-diam menyukai kliennya sendiri. Ales tak tahu yang mana yang pasti. Namun, yang jelas, Ales tak ingin mengecewakan Bigel. Ia sadar, ia sudah sedikit banyak menyusahkan.
♡
Ales kembali ke depan, keluar dari ruang belakang, dan mendapati Bigel sedang duduk di balik meja perangkai bunga. Dengan teliti dan telaten, gadis itu membalut bunga yang sudah terikat menjadi satu dengan kertas cellophane. Mewah, elegan, dan mahal, adalah kesan yang jelas ditonjolkan dari buket-buket bunga Fleur Teapot. Ales bergerak mendekati Bigel yang sedang sibuk, kembali duduk di sebelahnya, dan berinisiatif untuk membantu.
"Bos Bi, mau dibantu apa?"
"Hmm, sebenarnya banyak. Ada yang perlu diantar juga hari ini. Tapi nanti deh, tunggu Ce Alin datang, soalnya enggak ada yang jaga toko kalau kita pergi."
"Emang Ce Alin ke mana, Bos? Elio ... enggak masuk?" tanya Ales, yang kemudian tangannya bergerak meraih alat selotip. Lalu seperti biasa, ia memotong selotip itu, membuat banyak stok di jari jemarinya, sehingga memudahkan Bigel untuk tinggal mencabut saja.
"Enggak tau. Elio off," sahut Bigel, singkat. "By the way, Les, lo bener-bener enggak ada ide ngedate? Lamaran udah tinggal lima hari, jangan sampe kita kelihatan enggak kayak orang pacaran di acara Bara nanti. Gue masih butuh build up chemistry sama lo."
Mendengar nama Bara disebut, sekilas mengingatkan Ales tentang kejadian semalam. Ketika ia hendak melayani Bara, tapi pria itu malah menodongnya untuk bercerita. Cerita tentang hubungan Ales dan Bigel, gadis yang disebutnya sebagai adik. Sejujurnya Ales hendak bertanya, sedikitnya ia penasaran, tapi ia menahan mulutnya untuk tak banyak ikut campur urusan pribadi klien. Setengah mati ia tahan rasa penasarannya.
"Les?"
"E-Eh, iya, Bos?"
"Enggak ada ide apa-apa? Lo kan boyfriend rent, masa enggak tau mau ngajak pacaran ke mana?"
Ales menghela napas panjang, "Sebenarnya, ada saran sih, Bos. Dari teman yang boyfriend rent juga."
Roy, maksudnya.
"Oh, ya? Apa?"
"Staycation."
"Staycation?"
Melihat respons Bigel, Ales sudah tahu jawabannya, "Tuh 'kan, Bos Bi aja heran. Udah, enggak usah dipikirin, Bos. Emang teman gue suka rada-rada ngasih idenya. Masa kita baru kenal udah ngajak stayca—"
"Ayo."
"Heuh?" Ales mengerjap, taku-takut indra pendengarannya salah menangkap. "A-ayo?"
"Ya ... ayo. Ke mana?" tanya Bigel, dengan santainya, bahkan tanpa melepaskan pandangan dari bunga yang sedang ia rangkai.
"B-Bos Bi mau staycation? S-Staycation tuh nginep, lho, Bos?"
Bigel memutar bola matanya, "Tau. Ya, why not, Les?"
"I-ini Bos Bi s-serius enggak, sih?"
Kini Bigel menghela napas panjang, ia lelah mendengar Ales yang gagap.
"S-Serius, Bos? N-Nginep bareng?" tanya Ales.
"Lo b-bisa b-berhenti g-gagap enggak, sih?" Bigel lama-lama kesal juga.
Ales mengerjap, menelan salivanya karena Bigel menatap dengan begitu tajam. Kekasihnya tampak benar-benar sebal mendengar Ales yang gagap bicara, karena terperangah dengan segala kemudahan yang diberikan.
"E-Ekhem!" Ales akhirnya berusaha mengembalikan suaranya seperti semula. Biasa, tanpa terbata, tanpa gagap yang membuat Bigel naik darah. "Jadi, Bos Bi mau staycation?" tanyanya, dengan jelas, dengan begitu gentle.
"Mau."
"Kok mau?"
"Random aja sih, kalau emang lo bingung mau ngedate di mana. Kebetulan gue suka pantai, Les."
"Oh?" Ales tampaknya mendapat sedikit pencerahan untuk ke mana arah kencannya akan ia bawa. "Pantai, Bos? Staycation di sekitar pantai?"
Bigel mengangguk, "Sebenarnya, gue suka laut."
"Laut? Sama dong! Gue punya cita-cita mau kerja di kapal pesiar lho, Bos!"
"Oh, ya?" Bigel cukup terpukau mendengarnya, seperti seorang kakak yang antusias mendengar cita-cita adiknya. "Keren dong."
Ales terkekeh, "Keren lah, Ales!"
Ales yang membanggakan diri adalah Ales yang terlihat lucu dan begitu apa adanya di mata Bigel. Pria itu tampak tak pernah bohong, baik kepada dirinya sendiri, maupun kepada orang lain. Jauh berbeda dengan dirinya, yang setiap hari membohongi perasaannya sendiri. Kadang kala, melihat Ales yang seperti ini adanya, membuat Bigel ingin mengubah pribadinya seperti Ales. Hidup suka-suka, tanpa perlu ada kebohongan di mana-mana, dan yang jelas bisa tertawa setiap harinya. Hal-hal itu membuat Bigel sedikit iri kepada Ales yang setiap hari datang dengan senyum dan kesenangan.
"Kalau gitu, Bos Bi mau ke pantai, boleh! Mau ke laut juga boleh!"
"Ke laut?"
"Nyebrang laut maksudnya, Bos."
"Ke mana, Les?"
"Pulau!"
Ales ingat rekomendasi dari Roy pagi tadi. Meski saat itu tak ia tanggapi dengan serius, kini Ales membawa sarannya kepada Bigel. Pun mengingat uangnya masih selamat karena tak jadi membayar Jager juga tak membayar hotel, Ales rasa ia sedikit bisa memberikan kebahagiaan kecil untuk Bigel dengan pergi mengarungi lautan.
"Pulau?" Bigel terkekeh setelahnya, "Pulau Seribu gitu, maksudnya?"
Sungguh melihat Bigel menyelipkan tawa di tengah kalimatnya, membuat hati Ales terasa lega. Meski Ales tak tahu bagian mana dari kata pulau yang menurut Bigel lucu, Ales tak peduli. Ia hanya senang melihat Bigel seperti ini.
"Iya, Pulau Seribu, Bos! Mau enggak?"
Ales menunggu Bigel menjawab dalam harap gadis itu akan mengiyakan ajakannya. Sebagai seorang kekasih, sejatinya seorang kekasih, semestinya seorang kekasih, Ales ingin membuat Bigel bahagia. Kalau katanya Bigel menyukai laut, maka Ales akan berusaha untuk memberikannya.
Memberikan memori menyenangkan bersama ia kala mengarungi lautan.
Sebelum sebuah jawaban terdengar dari belah bibir sang kekasih hati, ia mengukir senyum paling indah, paling tulus, paling sempurna yang pernah Ales lihat dari seorang Abigail Ananta.
Bigel tersenyum, pun menjawab kepada kekasihnya, "Mau, kok. Jadi, kapan kita berangkat, Les?"
•
♡
•
to be continue ....
♡ Xadara Goe
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top