21 | we won't stay together at the hotel

AWALNYA, Bigel sedang bersantai menunggu Ales kembali dengan sebotol liquor, sembari menonton televisi. Elio yang sudah ia selamatkan dari gulungan sushi pun tertidur pulas setelah banyak meracau dan memaki Ales. Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama setelah Ales pergi meninggalkan hotel mereka. Lantaran, ponsel yang berdering, notifikasi pesan yang masuk dengan memburu, berhasil mengacaukan fokus Bigel pada film yang sedang ia tonton.

Alin menghubunginya.

"Kenapa?" tanya Bigel, begitu ia menjawab panggilan Alin.

'Bigel di mana? Lo sama Elio pulang cepat, ya? Gue baru balik ke toko, kalian enggak ada.'

"Iya, pulang cepat. Sorry, Ce Alin pulang aja. Lupa ngabarin kita berdua ke Nyx."

'Nyx? Oh, Ales jadi traktir minum?'

"Kenapa?" Entah karena liquor yang baru memunculkan efeknya, atau Bigel memang sedikit tak bertenaga untuk menanggapi panggilan ini. Ia terdengar dingin, untuk ukuran menjawab telepon dari seorang Alin.

'Gapapa. Sebenarnya, gue nelfon juga karena worry sama Elio. Ini berarti dia sekarang sama lo di Nyx?'

"Nope. Hotel."

'Hotel? Kok bisa? Hotel mana?'

"Panjang ceritanya. Enggak usah khawatir, Elio aman."

'Huft, syukurlah kalau aman. Tapi sorry, boleh cek WA gue, Gel? Gue tau lo pasti bisa protect Elio, dan bukannya gue meragukan lo, tapi lo bisa baca sendiri yah screenshot di WA gue.'

Bigel mengernyit, ia beralih mengecek pesan yang dikirimkan Alin kepadanya. Bigel membaca pesan yang didominasi dengan pertanyaan Alin terkait di mana ia berada, dan sebuah tangkapan layar dari Alin yang bertukar pesan dengan ibunda Elio.

"W-WHAT?!"

'Udah dibaca, Gel?'

"H-Halo, Ce?!" Bigel sontak kembali menempelkan ponsel ke telinganya, ia mendadak panik. "I-ini terus gimana? Mamanya Elio nyariin?!"

'That's why gue nelfon lo dan nanya lo lagi di mana sekarang. Gue mau jemput Elio, lo udah baca sendiri anak itu disuruh pulang. Mengingat lo berdua habis dari Nyx dan sampai ke hotel, keadaan Elio gimana, Gel?'

"A-Aman sih, sekarang lagi tidur anaknya. Tadi emang sempat tipsy. Duh, sorry, gue jadi ngerepotin lo, Ce. Gue aja deh yang bawa dia pulang. Gue kira Elio tinggal di sini sendiri, makanya gue bawa ke hotel, juga karena gue enggak tau di mana rumahnya sih."

'Ya udah, gapapa. Lo tenang, ya. Jangan panik, mamanya Elio enggak marah kok. Cuma kalau tipsy gini, gue enggak tau sih. Pokoknya lo tenang aja, biar gue yang jemput Elio dan anter dia pulang. Lo juga tipsy 'kan? Take a rest aja, Gel.'

Bigel terhenyak, ia diam sejenak. Dirinya mulai membatin, memang tak ada orang sebaik Alin di dunia ini. Hanya dia, satu-satunya, orang yang paling mengerti situasi dan kondisi Bigel. Tanpa banyak menilai, tanpa banyak protes, Alin seperti akan melakukan apa saja untuk membantu Bigelnya.

'Gue OTW, share loc ya, Gel.'

Beruntung, ada seorang pria pegawai hotel yang membantu Ales membuka akses lift untuk menuju ke kamar Bigel. Ales lupa, ia tak memiliki kartu akses, karena tertancap di dalam kamar. Ia juga tak ingin merepotkan Bigel untuk turun ke bawah demi menjemputnya. Ales lantas sangat berterima kasih kepada pegawai yang telah membantu dengan penuh ramah tamah.

Pelayanan hotel bintang empat memang tak ragu untuk diacungi jempol.

Tok! Tok!

Ales langsung mengetuk pintu kamar bernomor 2030, begitu ia sampai di depannya. Tak hanya sekali, mungkin ada sampai tiga kali Ales mengulangi ketukan pintu, karena Bigel tak kunjung membiarkannya masuk.

Hingga sampai saat Ales hendak mengetuk lagi, tangannya langsung terhenti karena ia nyaris mengetuk dahi kekasihnya sendiri.

"B-Bos Bi!"

"Lo mau mukul gue?"

"Eh?" Ales sadar tangannya masih terangkat, dengan gestur persis seperti orang ingin mengetuk pintu. "E-Enggak, Bos." Ales langsung menyembunyikan tangannya.

"Ya udah, masuk."

Ales lantas mengekor Bigel yang berjalan masuk ke kamar hotel. Ia duduk di sofa letter-L, bersama Bos Bi-nya yang juga mendudukkan diri di sana.

"Elio tidur. Jadi, tolong gendong dia ke bawah lagi kayak tadi, ya, Les. Tunggu Ce Alin sampai."

"Siap, Bos!"

"Jagernya lo bawa?"

"Bawa, Bos!"

"Nice," Bigel menganggukkan kepala. Setelahnya, hanya dibalas senyum tipis oleh Ales yang terus memperhatikan kekasihnya.

Pikiran Ales melayang, membayangkan bagaimana hubungan Bigel dan Bara bisa terjalin. Pengakuan Bara yang menyebutkan bahwa ia adalah kakak dari kekasihnya, membuat Ales sakit kepala. Pun kalau boleh jujur, Ales sedikit terluka karena sedih mendengarnya. Bagaimana bisa hubungan adik dan kakak berubah dengan diikuti unsur romansa? Ales memikirkan hal itu.

Ting!

Notifikasi yang terdengar, menghancurkan lamunan dan pikiran-pikiran Ales. Lantaran ponsel Bigel yang tergeletak di atas meja, menampilkan sebuah pesan masuk. Bigel lantas menyambar ponsel itu.

"Ce Alin udah di lobi, Les. Ayo turun."

"Oh, oke. Ayo, Bos."

Bersama dengan Bigel, Ales menggendong Elio turun dari kamar 2030 hingga bertemu Alin di lobi. Alin tampak cemas menunggu kedatangan mereka, dan wajah terkejutnya jelas menunjukkan ia tak menduga bahwa Ales akan ada di antara mereka.

"Ales! Oh my—thank you, udah bawa Elio. Langsung ke mobil aja, ya, Les."

"Siap, Ce."

Segera, Ales menuruti apa kata manajer Fleur Teapot itu. Ia membawa Elio ke mobil yang berhenti tepat di depan pintu lobi. Mobil SUV merah marun yang ia ketahui milik Alin, dibuka pintu belakangnya oleh sang empunya mobil.

"Di sini aja, Les. Pelan-pelan, ya."

"Siap, Ce." Ales dengan kehati-hatiannya, mendudukkan Elio di kursi belakang. Tak lupa demi menjaga keselamatan, Ales mengenakan sabuk pengaman pada tubuh adik tingkatnya. Khawatir guncangan mobil akan membuat Elio oleng sepanjang perjalanan bersama Alin.

Ales pastikan Elio sudah aman di kursi belakang. Setelahnya, ia menutup pintu mobil dan menghadap dua wanita yang sedari tadi memperhatikannya. Bigel dan Alin.

"Udah aman, Ce. Hati-hati di jalan, ya. Sorry banget, gue lupa Elio belum boleh ke bar, Ce."

"Gapapa, lain kali lebih hati-hati aja ya, Les. Gue kira juga Elio enggak bakal jadi ke bar, ternyata anak ini nekat."

"Gue yang kasih izin," ucap Bigel. "Titip maaf ke mamanya Elio, ya."

"Iya, Bigel. Ya udah, sana istirahat. Maaf lho, gue ganggu waktu kalian. Hehe, have fun, ya!"

"Huh?"

Alin hanya tersenyum penuh makna dan tak menanggapi kebingungan Bigel di sana. Ales pun hanya mengerjap canggung. Alin benar-benar meninggalkan kesan penuh rasa tak nyaman ketika pergi dan membuat Ales tinggal berdua dengan Bigel.

"Les."

"Y-Ya, Bos Bi?"

"Lo ... harus kerja 'kan?"

"Eh? I-Iya, Bos."

"Kalau gitu ... kita enggak bakal stay berdua di hotel 'kan?"

"Huh?! E-Enggak lah, Bos! Mana ada!"

"O-Oh, good then."

"I-Iya, Bos. Kalau gitu ... gue balik ke Nyx ya, Bos."

Bigel pun mengangguk, "O-Oh, iya, silakan." Entah kenapa juga, dia malah jadi canggung ketika ditinggal berdua. Padahal, Bigel tak pernah begini sebelumnya. Apa karena, hotel yang kini menjadi latar mereka?

Sebelum pergi, Ales berpamitan dengan memberi senyum manis penuh kecanggungan. Ia bahkan melambaikan tangan dengan kikuk, kaku, seperti orang yang gugup. Ah, sepertinya, Ales memang sudah mulai jatuh cinta.

Hingga ia lupa, ia masih harus membicarakan soal uang hotel yang belum ia bayarkan kepada Bigel.

Huh, segala hal yang terjadi hari ini terlalu campur aduk bagi Ales. Rasa-rasanya, ia benar-benar akan pulang dengan keadaan tak waras. Bigel dan segala hal yang melekat pada dirinya, akan membuat Ales mutlak gila dengan segera.

Lantaran kini di bayangan Ales, Bigel adalah seorang wanita kaya yang pernah menjalin kasih dengan kakaknya sendiri. Sedikit kotor, terdengar tak elok, tapi entah kenapa Ales ingin mengetahui apa yang mendasari hal ini terjadi. Walau ketika ia pikirkan lagi, ia sepertinya tak berhak untuk mencari tahu tentang hal ini. Ia hanyalah orang asing, yang kebetulan ditarik Bigel untuk masuk ke dalam kehidupannya, sebagai kekasih palsu yang disewa untuk hadir di acara lamaran mantan kekasihnya.

Ales mengembalikan kesadaran, ia harus mengetahui batasan. Bigel adalah klien, dan dirinya adalah si penyedia jasa. Ia tak perlu menyelam lebih dalam ke kehidupan kliennya sendiri.

Lagipula, ini sudah hari keempatnya dalam kontrak sewa pacar dengan Bigel. Tinggal enam hari lagi, pertemuan dan hubungan mereka akan berakhir. Tak akan ada untungnya bagi Ales untuk mencari tahu tentang masa lalu kekasihnya itu. Lebih baik, ia pikirkan apa lagi yang akan mereka lakukan selama beberapa hari ke depan, sebelum sampai di hari final.

Ales agaknya sudah kehabisan ide kencan. Adakah seseorang yang bisa memberinya saran?

to be continue .... 

♡ Xadara 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top