20 | troublesome elio

ALES berjalan dengan gontai untuk kembali ke bar dengan hati yang sudah ia kuatkan. Roy pulang, kembali pada niat awalnya ketika datang ke bar—mengambil kunci rumah agar bisa mengirim baju ke penatu. Sekarang, hanya ada Bigel dan Elio sebagai pelanggan yang Ales kenal dan duduk di bar stool Nyx Bar.

Setelah menghubungi manajernya, Ales sedikit disibukkan dengan pekerjaan, sehingga ia baru bisa kembali memfokuskan pandangan kepada Bigel dan Elio setelah meninggalkan mereka selama satu jam. Begitu ia kembali memposisikan diri di hadapan si bos besar, ia mendapati gadis itu sedang melamun dengan memandangi botol liquor-nya.

"Bos Bi?"

"Hm?"

Ah, Ales langsung merasa lega. Ia semula khawatir Bos Bi-nya kenapa-kenapa.

"Hehe, kirain tipsy."

Bigel terkekeh kecil, "Adik tingkat lo tuh."

Ales melirik ke arah Elio yang menatapnya lurus dengan mata sayu, pipi yang sedikit memerah, dan berkedip perlahan-lahan.

"El? Lo ...."

"Ini pertama kalinya gue minum sama Elio," Bigel menjelaskan dengan segera, "toleransinya sama alkohol ternyata kecil, Les, dan gue lupa dia underage."

"Heh?!" Ales mengerjap, gawat kalau Elio tak bisa tahan minum banyak sementara mereka berada di tengah bar. Belum lagi, ia pun baru sadar bahwa Elio masih menjajaki semester satu perkuliahan. Jelas, ia di bawah usia legal untuk mengonsumsi alkohol. "T-terus gimana, Bos Bi? Elio enggak boleh di sini."

"Ada hotel di sekitar sini? Biar gue bawa ke hotel. Gue yang tanggungjawab, gue yang kasih izin dia ke sini."

"Eh, jangan gitu, Bos Bi. Gue juga tanggungjawab, gue yang kasih minumannya."

Bigel tersenyum simpul mendengar Ales yang mengucapnya dengan kesadaran penuh. "Gimana tanggungjawabnya? Mau patungan hotel sama gue?"

Sejenak, Ales membeku. Uang lagi, pikirnya. Ales tak mungkin bisa mengeluarkan uang untuk hotel Elio, sementara ia juga harus membayar minuman-minuman yang mereka teguk. Segala hal yang terjadi malam ini membuat kepala Ales sakit.

Pusing lantaran tak tahu harus bagaimana mempertanggungjawabkan hal ini, Ales menyambar botol Soju yang berada tepat di depan Elio. Dengan sisa-sisa yang masih ada di dalamnya, Ales meneguk minuman itu tanpa jeda, sampai tetes terakhirnya.

"Les?"

Ales tak menjawab. Ia melirik ke arah botol yang Roy tinggalkan, dan tampak masih ada sisa minuman di dalam botol hijau itu. Tanpa banyak berpikir, Ales pun menyambar Soju yang ia berikan kepada Roy, dan meneguk sisanya langsung dari botol. Kadar toleransi Ales terhadap alkohol memang tinggi, tapi tak semestinya ia melakukan ini di jam kerja. Seorang bartender Nyx tak boleh mabuk saat sedang on shift. Kecuali, ia ingin dipecat oleh manajernya.

"Les!"

Seorang rekan kerja yang peduli akan keselamatan karir Ales, berlari menghampiri dan merebut botol kaca hijau yang Ales genggam. Seketika, membuat Ales berhenti meneguknya dan menyisakan sedikit lagi minuman beralkohol yang nyaris habis.

"Jangan gila lo! Bagus gue yang lihat! Kalau si Ferry yang lihat gimana?! Mampus lo besok!" oceh Leon, rekan kerja Ales.

"Gue masih sadar, Le."

"Sadar sih sadar, gue juga tau! Tapi CCTV enggak bisa bohong, lo minum di jam kerja, tolol!"

"Sorry," Bigel permisi memotong obrolan mereka, "bartender di sini enggak boleh minum sama customer-nya, ya?"

Bartender yang berdiri di sebelah Ales itu menggelengkan kepala, "Enggak boleh di jam kerja, Kak. Kecuali, dia lagi libur dan datang sebagai pelanggan."

"Oh, begitu ...."

Sekelebat, ada rasa bersalah dalam diri Bigel karena Ales tampak berpikir keras untuk mempertanggungjawabkan kesalahannya atas Elio. Sampai-sampai, ia nekat meneguk alkohol di jam kerjanya. Sekarang, Ales sudah terlanjur tertangkap CCTV di sudut bar yang entah akan menghancurkan karirnya atau tidak. Jikalau Ales dipecat, jelas akan semakin menimbulkan rasa bersalah dalam diri Bigel. Lantaran ia memiliki andil dalam mabuknya seorang anak di bawah umur pada malam hari ini.

"Bos Bi, Bos Bi tunggu di sini. Biar gue yang bawa Elio ke hotel."

"Gue aja, Les."

Ales menggeleng, kesadarannya masih ada, tapi entah akan bertahan berapa lama. Seharusnya, Ales kuat-kuat saja karena ia hanya meneguk Soju yang baginya tak seberapa.

"Hotelnya ada di seberang. Dekat kok. Bos Bi tunggu di sini aja, sama Leon, ya."

"Eh? Kok gue?" Leon kebingungan. Pasalnya, ia pun punya pelanggan sendiri, mengurus pelanggan Ales sama saja seperti merebutnya. Leon tak mau melakukan hal itu kepada seorang teman.

"Gue ikut."

"Bos Bi ...."

"Ayo, El. Bangun. Kita ke hotel," ucap Bigel yang kemudian langsung meraih tangan Elio untuk merangkulnya. Elio yang pelan-pelan sedang meninggi, hanya mengikuti segala hal yang Bigel lakukan. Hingga tepat ketika mereka sudah berdiri, Elio nyaris jatuh jika saja seseorang tak membantu Bigel menahan beban tubuh Elio.

"Ah, sorry sorry." Bigel langsung membenarkan rangkulan Elio pada bahunya, dan mengangkat kepala untuk melihat siapa yang baru saja spontan menggenggam lengan Elio.

Saat itu, Ales sebenarnya hendak langsung membantu, tapi ia terhalang meja bar sehingga pergerakannya tak bisa cepat. Ia baru berdiri di sebelah Bigel setelah seseorang membantunya, dan Ales rasanya mengenali siapa orang itu.

"Kak Bara?!" pekik Bigel.

Bara, seseorang yang spontan membantu Bigel ketika gadis itu nyaris jatuh bersama seorang pria mabuk yang merangkulnya.

"Bi?"

Bigel membeku. Ia menatap seorang pria dengan setelan rapi seolah baru saja meninggalkan kantor, dan berdiri di hadapannya dengan memberikan mimik penuh khawatir kepada Bigel.

"Kamu ngapain di sini? Kok enggak bilang Kakak?"

Ales mengernyit, Kakak?

"Kak Bara sendiri ngapain ke sini?" 

Sekilas, Bara melirik ke arah Ales yang menatapnya dengan kepolosan. "Ada orang yang mau Kakak temui. Kebetulan kamu ada di sini juga, mau minum bareng, Bi?"

Ales mengernyit lagi, ia mulai meragukan dirinya masih memiliki kesadaran. Padahal, toleransi Ales terhadap alkohol cukup tinggi dan sangat baik, tapi mengapa ia merasa telah berhalusinasi hanya karena sudah dua kali pria bernama Bara itu menyebut dirinya sebagai Kakak.

"Masih suka liquor? Atau mau minum yang ringan-ringan aja?" tanya Bara.

"Kak Bara buta, ya? Enggak bisa lihat Elio mabuk? Aku enggak ada waktu, Kak."

Aku???? Kak Bara????  Wah, Ales benar-benar merasa sudah gila. Bagaimana bisa Bos Bi-nya yang galak bukan main itu menggunakan kata ganti aku? Kepada ia yang mana adalah kekasihnya saja, Bigel memilih tetap pada kata ganti lo-gue. Ales mulai merasa ada yang tak beres dengan Soju yang sebelumnya ia tenggak itu. Ia menduga dirinya telah mabuk, tapi anehnya ia masih memiliki kesadaran penuh.

"Ayo, Les, bantu gue bawa Elio."

"H-Huh?"

"Les? Ayo? Kok diem sih?"

"E-eh, iya Bos, ayo."

Ales lantas melepas rangkulan Bigel pada Elio, dan memilih untuk menggendong pria kecil itu di punggungnya. Semula, Bigel mengernyit bingung. Namun, beberapa saat kemudian ia sadar. Kalau Ales ikut merangkulnya, bisa-bisa mereka berdua pegal karena tinggi badan yang cukup jauh berbeda.

"Heuh?! Kak Ales ngapain angkat-angkat aku?!" oceh Elio.

Ales tak menggubris ucapan adik tingkatnya itu.

"Ayo, Bos Bi." Ales sudah siap keluar dari Nyx Bar dengan Elio dalam gendongan punggungnya.

Sekelbat, sebelum mereka pergi dari Nyx, Ales sempat melirik singkat kepada Bara yang berdiri memperhatikan mereka. Seulas senyum tipis nan canggung pun Ales berikan kepada Bara yang juga membalas senyum kecilnya. Lain dengan Bigel yang tak mau peduli, dan memimpin Ales untuk pergi dari Nyx.

"B-Bos Bi, tunggu!"

Di lobi sebuah hotel bintang empat, Ales duduk menjaga Elio yang ia sandarkan di sofa, sementara Bigel mengurus keperluan check-in di resepsionis hotel. Kakinya bergetar tak tenang, ia tahu berapa kisaran harga hotel ini per malam. Ales pernah mengantar seseorang untuk menginap di sini, dan ia bayar dengan uangnya sendiri yang untungnya segera diganti. Ia masih mengingat jelas berapa yang ia keluarkan hanya untuk sebuah kamar. Lagi-lagi, kepala Ales sakit memikirkannya. Ia sedang memperkirakan berapa persen yang harus ia berikan kepada Bigel, untuk ikut mempertanggungjawabkan kondisi Elio sekarang.

"Ayo, Les. Lo masih kuat 'kan?" Bigel sudah selesai, dan menghampiri Ales dengan kartu akses hotel.

"M-masih, Bos Bi," jawab Ales. "Kita ke kamar sekarang?"

"Iya."

"El, lo bisa bangun enggak?" tanya Ales, kepada Elio yang sedari tadi melihat sekeliling dengan tampang bodohnya.

"Woy, masih bisa bangun, enggak?" tanya Ales, lagi.

Elio masih tak menggubris, dan berakhir membuat Ales menepuk-nepuk pipi Elio dengan cukup kencang dan cepat. "Elio, bisa bangun enggak? Ayo bangun. Lo nih minum Soju doang atau Jagernya ikut lo telen, sih? Masa Soju doang lo K.O begini?"

"Huh?"

Hanya itu respons yang bisa Elio berikan. Lantas membuat Ales mendengus sebal. Kesabaran Ales hanya ada untuk Bigel seorang, dan jika Elio yang mengujinya begini, jelas saja membuat ia kesal.

Lalu, tanpa aba-aba, Ales langsung bangkit dan membuat Elio kembali menemplok di punggungnya seperti bayi koala. Bigel sontak mendecihkan tawa melihat dua pria dalam pandangannya ini. Elio yang menyebalkan memang tak membuat Bigel heran, tapi Ales yang kesal terlihat lucu di matanya. Jarang-jarang Bigel bisa mendapati ekspresi Ales seperti itu.

"Ayo, Bos," kata Ales begitu ia sudah siap dengan Elio.

"Ayo, terbaaaang!" kata pria kecil yang menempel di punggungnya.

"Diem!"

Sekali lagi, Bigel berdecih lucu melihat Ales dan Elio. Ia pun bergeleng tipis, sebelum akhirnya memimpin perjalanan menuju kamar. Ales juga tak banyak bicara sampai tiba di lantai kamar hotel mereka. Kepalanya sibuk memikirkan uang, otaknya tak berhenti memperhitungkan pengeluaran, hingga sampai Bigel membuka pintu dan menampilkan layout ruang kamar hotelnya, Ales nyaris dibuat jantungan.

"B-BOS BI?!"

"Turunin aja Elionya, berat 'kan? Biar gue bantu tuntun ke kamar."

Ales rasanya ingin menangis. Dengan sisa-sisa kekuatan yang masih ia punya, ia menurunkan Elio yang kemudian dituntun Bigel untuk masuk ke kamar di dalam sebuah ruangan. Ales tak mengerti, mengapa sebuah kamar hotel memiliki layout seperti ini. Terakhir kali yang Ales ingat, begitu ia membuka pintu, ia langsung disambut oleh pintu kamar mandi di sisi kiri, dan sebuah ranjang setelah melangkah lebih maju lagi.

Namun, yang terjadi sekarang, ia malah disambut sebuah ruangan yang lebih tampak seperti ruang tamu, alih-alih sebuah kamar tidur.

"Fyuh ... akhirnya." Bigel merasa lega. Jauh berbeda dengan Ales yang malah tampak tegang. "Minum dulu, Les."

"Huh?" Ales mengerjap, "k-kan minumnya ada di bar, Bos?"

Bigel lantas mengernyit, dan dibalas dengan ekspresi yang sama oleh Ales.

"Maksud gue, minum air putih."

"O-oh ... air putih."

"Nih." Bigel memberikan sebotol air mineral kepada Ales, air yang disediakan oleh pihak hotelnya.

Sembari mengucapkan terima kasih, Ales menerima air mineral itu. Namun, ia hanya menggenggamnya, tak langsung ia minum seperti apa yang dilakukan Bigel sekarang. Gadis itu tampak kehausan, tapi tidak dengan Ales yang pikirannya masih tak tenang. Ales kadang tak habis pikir, bagaimana bisa gadis itu tampak biasa saja setelah membayar hotel yang ... ah iya, Ales belum bertanya tentang harganya.

"B-Bos Bi."

Bigel menyahuti Ales dengan berdeham, setelah selesai dengan air mineralnya.

"M-mau tanya. Ini tadi Bos Bi check-in, b-berapa harganya, Bos?" tanya Ales, khawatir harganya lebih tinggi dari yang sudah ia perkirakan sebelumnya. Lantaran, layout kamar pesanan Bigel tampak berbeda dengan yang pernah Ales lihat.

"Satu jutaan."

Ales terbelalak, "S-SATU JUTAAN?! B-Bukannya di sini enam ratusan, Bos?"

"Full. Sisa suite gini."

Mendengar jawabannya, berhasil membuat Ales semakin lemas. Kini, barulah ia membuka botol air mineral yang Bigel berikan, dan meneguknya sekaligus demi membantunya mengembalikan fokus. Ales sudah mulai kliyengan, pundi-pundi recehan di rekeningnya sudah bisa dipastikan akan habis terkuras dalam satu malam. Kini ia sudah tak tahu harus berkata apa lagi. Ales total sial malam hari ini.

"Oh ya, Les, gue mau minta tolong."

"M-Minta tolong apa, Bos?"

"Jager gue boleh tolong diambilin? Gue kayaknya enggak balik lagi ke Nyx."

"Oh? Kenapa?"

"Ya, gapapa. Bisa diambil ke sini 'kan? Maksud gue, Jager boleh take away, 'kan?"

"Boleh, Bos. Mau diambil sekarang?"

Bigel mengangguk, "Maaf ngerepotin."

"Eh? Gapapa, Bos Bi. Tunggu, ya."

Baru saja Ales hendak berbalik, suara parau seorang pria manis menghentikan pergerakannya.

"Kak Bigel pasti enggak mau balik ke Nyx karena tadi ada Bara! Whoah, aku juga tadi lihat mukanya! 

Huaaaaa, pasti susah banget ya buat Kak Bigel lupain mantan ganteng nan kaya raya kayak Bara! 

Sabar Kak Bigel, Elio ada di sini! Elio siap membantu Kak Bigel lupain Bara dengan menggandeng Kak Ales!"

"Huh?"

"Hah?"

Perkara mendengar harga kamar hotel, Ales seketika lupa dengan presensi seseorang bernama Bara di Nyx Bar, kalau Elio tidak membuat ia kembali mengingatnya.

Ales yang semula hendak langsung beranjak dari hotel bintang empat ini, sejenak menghentikan niat. Elio yang melantur membuat ia dan Bigel sontak saling bertukar pandangan. Sialnya, anak di bawah umur yang tak bisa menoleransi alkohol itu membuat suasana menjadi canggung.

"Kak Bigel, Kak Bigel kok di sini sih? Kak Bigel sana pergi aja! Samperin si Bara sambil bilang, 'Eh! Dasar manusia jahat, nih lihat aku juga punya pacar! Emang kamu doang yang bisa move on!' Gitu! Bawa Kak Alesnya ke sana!"

"E-Ekhem," Ales sontak membuang pandangannya dari Bigel, "k-kayaknya Elio enggak cuma minum Soju, Bos."

Bigel lantas mengangguk sembari memusatkan pandangan kepada Elio yang terbaring di atas ranjang. "Mungkin dia minum Jager pas gue lagi payment."

"Mung—hah? P-Payment?!"

"Tadi gue sempat ninggalin dia, mungkin saat itu dia colong-colong nyobain liquor."

"B-Bukan itu, Bos! Bukan!"

Bigel mengernyit, "Terus?"

"B-Bos Bi udah bayar minumannya?" tanya Ales, cemas.

"Udah."

Entah Ales harus senang atau merasa bersalah setelah mendengar jawaban Bigel. Perasaannya campur aduk. Pundi-pundi uang di rekeningnya mungkin terselamatkan, tapi harga dirinya sudah benar-benar hilang sekarang.

"Kenapa dibayar, Bos Biiiii?"

"Karena Kak Ales enggak punya uang lah!" timpal Elio.

"Heh! Diem!"

Anak yang sedang meninggi itu hanya terkikik geli melihat tampang kesal Ales. Saking kesalnya, Ales bergerak maju dan menggulung Elio dengan selimut hingga Elio tampak seperti sushi. Memang dasar tubuhnya pendek, Elio terbalut sempurna tanpa ada ujung rambut yang terlihat. Kecuali, ujung kaki yang bergerak-gerak kecil penuh protes.

"Haha! Rasain!" ejek Ales.

"KAK AL—" Suara Elio tak jelas. Dalam racauannya, ia pasti sedang mengutuk Ales. Namun, suaranya tak bisa terdengar, karena Elio yang tak bertenaga. Belum lagi, kepalanya itu terasa pusing setelah digulung-gulung oleh kakak tingkat yang begitu menyebalkan. "SHH—HELP!"

Si pelaku tak mau peduli dengan Elio yang sudah membuat kesabarannya habis. Ia lantas pergi meninggalkan hotel setelah puas menggulung Elio. Sementara Bigel yang menyaksikan itu semua hanya ternganga, tak disangkanya Ales bisa benar-benar kesal juga. Ia yang tak tega melihat Elio bergerak-gerak tak nyaman seperti ulat, lantas membantu Elio untuk lepas dari gulungan selimut Ales.

"Huaaaaaaa! Kak Bigeeeeel!" Elio seperti anak kecil yang berlagak menangis ketika mengadu ke orang tuanya. "Putusin aja Kak Alesnyaaaa!!!!"

Sekembalinya Ales ke Nyx untuk mengambil liquor milik Bigel, ia melihat pria yang kata Elio adalah alasan Bigel tak mau kembali ke bar. Bara masih berada di sana. Ia duduk tepat di tempat Bigel sebelumnya duduk. Seketika membuat Ales ingat kejadian beberapa menit lalu, yang mana saat pria itu menyebut dirinya sebagai Kakak, dan membuat Ales sempat mencurigai sesuatu. Sebenarnya, begitu. Namun, tanpa banyak memikirkan hal-hal yang tak perlu dipikirkan, Ales memilih untuk langsung kembali ke posisinya di belakang meja bar.

Niatnya, ia hanya ingin mengambil botol liquor milik Bigel, memasukkannya ke dalam paper bag, lalu segera membawanya kembali ke hotel. Namun, ketika melihat tak ada satu pun minuman di hadapan Bara selain botol Soju bekas Elio dan Roy, juga sebotol Jagermeister milik Bigel, membuat jiwa bartender Ales terpanggil.

"Can I get you something, Sir?"

Pikir Ales, bicara dengan pria serapi dan seformal Bara harus menggunakan kata-kata yang sedikit lebih sopan dibanding biasanya.

"A bottle of your story with my sister, please?"

"P-Pardon?"

Ales mengerjap canggung, ia tak mengerti mengapa Bara meminta sesuatu di luar buku menu Nyx Bar. Bukankah itu sebuah ranah privasi? Dan bukankah Ales berhak untuk menolak permintaan pelanggan yang satu ini? Belum lagi, menurut racauan Elio tadi, tampaknya Bara adalah orang yang mereka benci. Ales tak bisa berkubu dengan orang yang tak disukai presensinya oleh Bigel dan Elio. Pula apa yang Ales lakukan sekarang, hanyalah bentuk profesionalitasnya sebagai bartender Nyx Bar. Ia hanya ingin melayani Bara dengan minuman, bukan menceritakan hal-hal pribadinya.

Sementara itu, Bara tiba-tiba mendenguskan tawa. Seolah mengejek Ales yang di matanya terlihat pura-pura tak mengerti dengan permintaan remeh ini.

"Singkat aja, bisa mulai dari gimana kamu kenal sama Bigel, sampai hari ini. Oh ya, jangan tersinggung ya saya nanya gini ke kamu. Saya cuma mau tau aja, gimana hubungan kamu sama adik saya. Baru PDKT, atau udah dekat, atau udah pacaran, feel free buat cerita semuanya ke saya."

Adik saya? 

Kedua alisnya lantas saling bertautan. Pun ia ingin berdecih mendengar permintaan Bara kepadanya. Untung saja, ia tahan. Batin Ales, tak Bara tak Bigel sama saja. Sepasang mantan kekasih ini memiliki hobi menginterogasi. Sikap Bara sekarang, sekilas mengingatkan Ales pada pertemuan pertamanya dengan Bigel yang tiba-tiba mengadakan interview dadakan.

"Teman kamu yang di sana sempat cerita dikit ke saya, katanya, kamu ini pekerja keras. Saya jadi penasaran, di mana Bigel bisa ketemu laki-laki keren kayak kamu gini?"

Ales menoleh sekilas ke arah teman yang dimaksud Bara. Leon, rupanya. Pria yang sedang mengobrol itu memang terlampau ramah, hingga mampu dengan mudah bercerita tentang rekan kerjanya kepada seorang pelanggan yang baru malam ini mereka kenal.

"Ales. Namamu, 'kan? Kalau saya enggak salah."

"I-Iya."

Bara tersenyum, "Saya Bara. Jadi, gimana, Ales? Kamu kenal Bigel dari ...?"

Belum sempat menjawab, dering ponsel Ales terdengar dari dalam saku celananya. Buru-buru, Ales mengeluarkan ponsel itu sebelum deringnya semakin mengganggu.

"M-Maaf, tunggu sebentar, Pak."

"Silakan."

Dengan seizin Bara, Ales mengangkat panggilan itu.

"Halo, Bos Bi?"

Bara mendengarkan.

"HEH?!" Ales tiba-tiba terkejut, "E-ELIO MAU DIJEMPUT?!"

"T-Terus gimana, Bos?" Ales memasang telinganya baik-baik, mendengarkan segala arahan dan perintah Bigel yang selanjutnya terkait Elio. "Siap, Bos! OTW ke sana!"

Panggilan selesai. Ketika Ales mengembalikan pandangan kepada Bara yang menaikkan kedua alisnya, Ales sadar ia tak punya waktu untuk meladeni pria itu.

"Gimana?" tanya Bara.

"Pak, maaf, saya lagi enggak punya banyak waktu. Ada hal penting yang perlu saya urus sekarang. Thanks for coming, ya.

Oh, wait. Sedikit tentang Bigel, nothing special sih, Pak. Saya yakin, apa yang saya lewatin sekarang sama Bos Bi belum sejauh kalian berdua. Karena kalau saya enggak salah ingat, Bapak ini mantannya Bigel, kan, ya? Soalnya, saya agak kaget tadi, dengar Bos Bi ternyata adiknya Bapak."

Bara yang semula berlagak angkuh di balik sebuah senyuman, tiba-tiba terpaku mendengar Ales yang terlalu ceplas ceplos padanya.

"Sebenarnya, ada beberapa hal yang bikin saya penasaran dan cukup mengganggu sih, Pak. Kok bisa ya, ada orang yang pacaran sama saudara sendiri?

Ah, tapi, mungkin itu cuma asumsi busuk saya aja. Saya enggak tau nyatanya Pak Bara sama Bigel betul pernah pacaran atau enggak, hehe.

By the way, saya duluan ya, Pak. Udah ditunggu Bos Bi. See ya!"

Bara diam, identitasnya terbongkar. Bagi Bara, segala hal yang diucapkan Ales terlalu memalukan untuk didengar. Walau ia telah mengakhiri hubungannya dengan Bigel, tampaknya tak bisa juga menghapus citra buruk karena pernah berhubungan dengan adik—tiri—nya sendiri.

Ales pun kembali meninggalkan bar. Persetan dengan rasa takut dan bersalahnya kepada Bara karena telah bersikap kasar, Ales tak mau peduli. Tak ada ruginya mengabaikan pelanggan yang berniat mengorek ranah pribadinya. Batas kencang antara bartender dan customer perlu Ales terapkan kepada seseorang seperti Bara.

Baru pertama kali berhadapan dan saling membuka suara, Ales sudah bisa menduga ia tak akan menyukai perangai Bara.

Pria itu memang patut untuk dibenci Bigel, sepertinya.

to be continue .... 

HELLAW! 

Di tengah kesibukanku, akan aku usahakan untuk weekly update ya! Enaknya di hari apa nih kita updatenya? Comment below kalau kamu punya saran ya ^^

Luv u all, 

Xadara 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top