19 | jagermeister
TING! Suara bel kembali terdengar, membuat seorang pekerja paruh waktu yang sudah ditinggal berjam-jam sendirian, menyambut dengan sedikit kesal sebelum menolehkan kepalanya dari lantai yang sedang ia sapu.
"Heuh ... welcome to Fleur Tea—EH?! KAK BIGEL!"
"Siapa yang ngajarin greeting customer jutek kayak gitu?"
Elio mengerucutkan bibirnya, "Maaf, aku capek. Dari tadi aku sendirian tau layanin customer. Ya yang datang lah, yang nelfon lah, yang chat lah, aku tuh hari ini sibuk banget tau enggak! Kak Bigel udah selesai antar-antar bunganya?"
"Udah," Bigel mendudukkan diri di dine-in area kafe teh Fleur Teapot, "Ce Alin emang ke mana?"
"Pergi," sahut Elio, dengan nada sedih.
Bigel lantas melirik ke arah Elio, karena pekerja paruh waktu itu jarang sekali terdengar benar-benar sedih, biasanya ia hanya suka berpura-pura saja. Namun, kali ini Elio tak terdengar sedang bercanda. Baru saja Bigel ingin bertanya kenapa, isi kepalanya sudah keburu memutar memori tentang curahan hati Elio di panggilan video siang tadi.
"Oh, pergi sama Mbak Mega?" tanya Bigel.
"Kok Kak Bigel tau?"
"Gue nanya, bukan tau."
"Eh iya, ya?"
Bigel menghela napasnya, "Emang Ce Alin ke mana? Dia enggak ngerjain orderan? Laporan? Atau apa pun kerjaan dia?"
"Ke pasar bunga sih katanya. Ke pasar bunga termasuk job desk-nya bukan, Kak?"
"Pasar bunga?"
Elio mengangguk.
"Ngapain?" Bigel malah kembali bertanya, alih-alih menjawab pertanyaan Elio.
Kali ini, Elio hanya bisa menaik turunkan bahu lantaran ia tak tahu. "Entah. Mungkin, order stok bunga? Atau belanja kertas? Atau beli oasis? Aku enggak tau, soalnya Ce Alin enggak bilang mau ngapain."
"Pergi ke toko bunga sama customer-nya, gitu? Mereka beneran temenan apa gimana?"
"Tau deh tuh! Gara-gara Mbak Mega, aku kayak enggak dipeduliin Ce Alin!"
Bigel berdecih pelan, "Sabar."
Elio menghela napas dengan berat. Ia menyandarkan sapunya di dinding, sementara dirinya yang juga membutuhkan sandaran, duduk di kursi bersama Bigel.
"Aku kira Kak Bigel bakal pulang malam. Enggak jalan-jalan sama Kak Ales? Eh iya, Kak Alesnya mana?" tanya Elio, menyadari Bigel masuk ke toko sendirian.
"Udah. Ales pamit langsung balik, nanti malam dia ngebar katanya."
"Ngebar?"
"Dia bartender, El."
"No, no, aku tau dia bartender. Gara-gara Kak Bigel ngomong gini, aku baru ingat."
"Ingat apa?"
"Tadi pagi dia bilang mau traktir aku nggak sih?!"
Bigel mengernyit, ia tak ingat Ales pernah mengatakan hal itu. Namun, Elio terlihat benar-benar mengingatnya dengan jelas.
"OMG! Kak Bigel, boleh enggak hari ini kita pulang cepat, terus pergi ke Nyx? Aku mau ke sana, please, please!"
"Boleh."
"Eh?! Beneran, boleh pulang cepat?!"
"Kalau emang lo mau ke sana ya, silakan. Siapa gue larang-larang lo?"
"Aaaaah! Kak Bigel emang yang terbaik!"
Bigel berdecih, "Gue kira Ce Alin yang terbaik."
"No!" Elio bergeleng cepat, "sekarang Kak Bigel nomor satu. Jadi, mari akur mulai hari ini dan seterusnya, ya!"
"Ya, ya, tolong bikinin chamomile tea dulu, El."
"Siap, Bos!"
"Bos?"
"Biar kayak Kak Ales."
"No."
"Eh, kenapa emang? Enggak boleh gitu aku manggil Kak Bigel kayak Kak Ales?"
"Kok banyak tanya? Gue minta chamomile tea apa minta ditanya?"
"A-ah, s-sorry, Kak." Elio menunduk takut-takut di hadapan Bigel, "emm ... aku buat chamomile tea-nya dulu deh, Kak. Tunggu, ya!"
Bigel pun mengangguk, dan Elio pergi membuatkan teh untuk satu-satunya orang di Fleur Teapot. Di tengah kesendiriannya, Bigel melirik meja perangkai bunga yang tampak berantakan di sana. Bunga-bunga berserakan di atas meja tanpa ada kejelasan mau diapakan. Kertas-kertas beberapa jatuh ke lantai, dan berbagai alat pendukung untuk merangkai bunga pun terabaikan. Sekilas, ia melirik lagi ke arah Elio yang dengan senang hati sedang membuat teh kamomil. Ada sepercik rasa iba muncul dalam hati Bigel kala melihat anak manis itu. Ia ditinggal sendirian oleh manajernya, dan pekerja senior di tokonya sibuk berkencan seharian. Elio pasti lelah mengurus toko tanpa ada satu pun yang membantu.
Lagipula, ke mana perginya Alin disaat ia juga pergi bersama Ales? Bigel memikirkan hal itu, hingga tak sadar Elio sudah kembali dengan secangkir teh kamomil hangat favoritnya.
"Kak Bigel, ini tehnya. Aku beresin meja dulu ya, Kak. Belum sempat dari tadi, jadi berantakan deh."
Pas sekali, baru beberapa detik lalu Bigel memperhatikan meja itu, kini Elio membahasnya. Kalau ini adalah hari yang biasa-biasa saja, Bigel pasti sudah membiarkan anak itu membereskan meja. Namun, kala melihat Elio yang tampaknya lelah setelah seharian bekerja sendiri, ia tak akan tega membiarkan Elio juga merapikan meja. Yang mana sebenarnya, itu adalah tugas Bigel sendiri. Area florist, sesungguhnya bukanlah ranah Elio yang dibayar sebagai barista teh Fleur Teapot.
"El," panggil Bigel, yang berhasil membuat Elio mengurungkan niatnya untuk segera pergi setelah meletakkan teh di atas meja.
"Iya, Kak?"
"Mau ke Nyx jam berapa?"
"Emm, nunggu Kak Ales on shift sih, nanti aku tanya dia on shift jam berapa."
"Ales on shift jam tujuh."
"Kata siapa?"
"Gue."
"Kok Kak Bigel tau?"
"Ya ... karena gue pacarnya?"
"Uh, cie! Udah diakuin nih sekarang Kak Alesnya?"
"Lah? Emang dari kemarin enggak gue akuin, gitu?"
"Bukan gitu sih, tapi dari kemarin Kak Ales bukan kayak pacar aja."
"Terus?"
"Kayak pembantu."
"Hah?"
"Ya habisnya, dia bantuin Kak Bigel mulu. Heran deh, mentang-mentang dibayar, tapi enggak usah segitunya kali. Kak Bigel dan Kak Ales tuh kayak bos sama pelayan, tau nggak? Kak Bigel jangan jahat-jahat lah sama Kak Ales, masa pacar sendiri diperlakuin kayak pembantu sih."
Bigel memutar bola mata, menahan kesal sebelum benar-benar menimbulkan keributan. Lantaran ia sama sekali tak merasa memperlakukan Ales dengan keterlaluan.
"Gue salah dengar enggak, ya? Baru beberapa menit lalu lo bilang mau akur sama gue."
"Eh?" Elio kembali sadar, bicaranya mungkin melewati batas wajar yang digariskan seorang Abigail Ananta. "I-iya, Kak Bigel. Sorry, aku bikin kesal, ya?"
"Menurut lo aja."
"Maaf."
"Ales bukan pembantu, El."
"Iya, Kak. Maaf, ya." Elio tertunduk lesu, menyadari kecerobohan mulutnya dalam berbicara.
"Dia pacar gue. Seenggaknya, begitu sampai enam hari ke depan. Kalau nanti malam lo mau ke Nyx, baik-baiklah di sana. Jangan ngerepotin dia."
"Iya, Kak Bigel. Udah, jangan marah-marah lagi, ya," rengek Elio.
"Siapa yang marah-marah?"
"Itu tadi apa?"
"Koreksi omongan lo yang salah."
Elio tertunduk lagi, "Iya, maaf."
Teh kamomil pun diseruput oleh Bigel guna menenangkan dirinya. Ia tak mau terbakar emosi, walau sebenarnya ia sedikit kesal karena Ales dipandang dengan status yang berbeda. Biar bagaimanapun, semenyebalkan apa pun seorang Alessandro Tedja, Bigel tak ingin orang lain salah memandang statusnya.
Ia membayar Ales untuk menjadi kekasih palsu, bukan untuk menjadi seorang pelayan atau pembantu. Ia membayar Ales untuk berpura-pura berbagi afeksi dan cinta, bukan untuk melayaninya. Bigel tak suka kalau ada orang yang salah mengerti, walau sebenarnya ia yang tak sadar ia kerap kali memerintah Ales ini dan itu.
"Kak Bigel, aku beresin meja dulu, ya."
Ah, kembali ke meja. Bigel berhenti menyeruput teh kamomil itu, sekaligus menghentikan Elio untuk menjalankan tugas miliknya.
"El," panggilnya.
"Ya, Kak?"
"Beresin kerjaan lo aja. Kerjaan gue biar jadi urusan gue. Kerjalah sesuai dengan seberapa lo dibayar. Enggak semua hal yang ada di sini harus lo handle, ngerti?"
Elio tak punya pilihan selain menjawab, "Ngerti, Kak."
"Ya udah sana, beresin bar tehnya, kursi-kursi ini juga dirapiin. Biar lo bisa pulang cepat."
"Aku?" Elio menunjuk dirinya sendiri, "aku doang? Kak Bigel gimana? Kak Bigel enggak pulang cepat juga?"
"Enggak usah pikirin gue. Kerja."
"I-iya, Kak. Maaf ... lagi."
♡
Nyx Bar tak pernah mengenal kata sepi. Pukul delapan malam saja, meja sudah cukup penuh terisi. Kecuali, bar stool yang hanya diduduki oleh beberapa pengunjung tertentu. Pengunjung yang kebanyakan telah mengenal bartendernya dengan baik.
Seperti Roy, salah satunya. Dia memang bukan pelanggan setia Nyx, pula bukan seorang pengunjung rutin. Namun, ia mengenal baik seorang pria berkemeja hitam dengan dua kancing terbuka yang berdiri di belakang meja bar. Siapa lagi kalau bukan si paling merepotkan, Alessandro Tedja.
Roy datang tentu bukan tanpa alasan.
"Emang dasar bangsat, rumah-rumah siapa, yang bawa kuncinya siapa, anjeng!" omel Roy yang sejam lalu sudah sampai di rumah, tapi tak bisa masuk lantaran pintu terkunci sempurna.
"Lah? Kan yang sama gue kunci duplikat. Lo juga tau gue on shift hari ini. Jadi, yang tolol siapa?" balas Ales, tak kalah sewot.
"Ya gue enggak bawa kunci aslinya, ketinggalan."
Ales lantas berdecih, "Ya udah, salah lo lah, kenapa jadi gue."
"Ya udah mana kuncinya? Gue mau balik."
"Ini?" Ales menunjuk sebotol Soju di meja bar dengan dagunya, "enggak dihabisin dulu?"
Ia memberikan minuman itu secara gratis kepada Roy, dengan memotong jatah minumnya, dan Roy baru meneguk minuman itu setengah botol saja. Tentu Ales tak merasa dihargai jika begini.
Roy menggeleng, "Gue mau laundry baju, Les. Buruan, keburu tutup tempatnya."
"Oh, baju gue sekalian, ya!"
"Aduh, Tuhan ... kesambet apa bapak lo pas bikin lo ya, Les. Magadir banget, anjing."
"Mulai ... mulai ... bawa-bawa bapak 'kan lo."
"Ya, lagian! Perasaan lo banting tulang nyari duit sampe buka BF rent juga, perkara laundry baju aja enggak bisa sendiri, anjing. Aduh, kata gue mah lo mending istigfar, Les. LAUNDRY CUMA LAPAN RIBU PER KILO!!! Masa, urusan laundry pake duit gue juga?!"
"Tau, anjing. Maksud gue tolong bawain sekalian, udah ada di laundry bag. Nanti gue yang bayar! Ah elah, gue kukus juga lo!"
"Oh?" Roy mengerjap. Ia sudah salah kira. "Bilang kek," pungkasnya.
Ales mendengus kesal. Ia meninggalkan temannya di meja bar dan pergi mengambil kunci yang dibutuhkan. Melihat Ales pergi dengan tak senang, Roy jadi tak enak hati. Ia mudah merasa bersalah, dan kembali menaruh iba kepada temannya. Semakin ia memikirkan perasaan Ales, semakin ia merasa telah keterlaluan.
"Nih, kuncinya." Ales kembali, dan langsung menyerahkan kunci itu di atas meja bar. Ales yang merasa tidak kenapa-kenapa, melirik aneh ke arah Roy yang terus memperhatikan wajahnya. "Kenapa, si? Ini kuncinya. Sana laundry, gue nitip. Jangan lupa."
"Sorry ya, Les."
"Sorry apaan?"
"Itu, tadi gue ngira lo minta bayarin laundry sama gue."
"Oh, ya elah, biasa aja sih."
"Ya 'kan ... lo agak terlihat gembel semenjak punya Ocong, jadi ya gue was-was."
Ales lantas mengerjap. Bukankah Roy baru saja meminta maaf? Namun, mengapa sekarang pria itu terdengar menghina? Ales tak mengerti bagaimana jalan pikiran Roy.
"G-GEMBEL?!"
"Eh? Salah ya gue?" tanya Roy. Kadang, beda antara bodoh dan polos memang setipis benang.
"Anjing. Pake nanya!" Ales geram. "Gue enggak segembel itu ya, jing!"
Roy menghela napas, ia menanggapi pembicaraan ini dengan serius. "Lo tau, nggak? Kadang gue mikir ya, mending si Ocong ditarik leasing, Les, daripada lo menderita sampe buka-buka boyfriend rent."
"BANGS—"
"Emang sih, BF rent tuh easy money banget," Roy mengangguk-anggukkan kepala. "Tapi, kalo lo enggak ada cicilan Ocong 'kan, duit dari bokap lo cukup buat bulanan, Les. Apalagi lo ngebar juga."
Alih-alih mendengarkan sekelebat saran tersirat dari Roy, emosi Ales malah meninggi. Ia tak bisa menerima hal ini. Tak boleh ada satupun orang yang memandang Ocong sebelah mata. Bagi Ales, dia bukan hanya sekadar motor belaka.
"Eh, kon—"
"Bercanda, Les. Haha!" Roy tertawa setelahnya.
Namun, tak terdengar lucu sama sekali bagi Ales. Ales diam sejenak, mengatur napasnya yang mulai berderu lebih cepat, lantaran emosi mulai menguasai. "Dengar ya, feses."
Roy yang semula tertawa kencang, perlahan mereda. Lalu dengan sisa-sisa tawa, ia mengulang panggilan Ales untuknya, "Hahah, feses?"
"Iya, lo, feses. Dengar ini baik-baik, feses yang budiman. Ocong tuh the one and only di hidup gue, Roy. Satu-satunya yang gue perjuangin dengan kerja keras. Bisa-bisanya lo bercandain ditarik leasing?!"
Roy menegang. Tawanya seketika hilang sempurna. Kedua mata Ales menyorotnya dengan tatapan tajam, seolah akan membunuh siapa saja yang berani mengucap hal buruk tentang Ocong.
"Gue bercanda, Les. Enggak usah lebay lo."
"Lebay?" Ales berdecih tak percaya, temannya mampu bicara seperti itu padanya. "Lo kan tau. Gue tuh rela ngelakuin segalanya buat O—BOS BI?!"
Ales tiba-tiba terbelalak, matanya menangkap seseorang yang berjalan menuju ke arahnya. Seketika ia lupa akan kebenciannya kepada Roy yang teralihkan karena bos besarnya datang.
Bigel, gadis dengan rambut panjang yang dicepol asal, berjalan mendekat ke arah meja bar bersama satu pria dengan senyum manis yang lebih terlihat seperti adiknya daripada seorang rekan kerja.
"B-Bos Bi?!"
"Hey."
Kini, mereka saling berhadapan dengan meja bar yang membatasi jarak di antara keduanya. Roy yang duduk tepat di sebelah seorang gadis asing yang masih berdiri, sontak mengerutkan alis dan mempertanyakan di kepalanya, siapa gerangan gadis cantik ini.
"B-Bos Bi ngapain di sini?!"
Ayolah, Ales tak terbiasa dengan sebuah kejutan.
"Mau minum sama aku! Hehe, Kak Ales jadi 'kan traktir minuman?"
Mendengar suara seorang pria yang baru Roy ketahui eksistensinya, ia lantas sedikit memajukan tubuh, demi melihat pemilik suara yang tak asing di telinganya.
"LOH?!" Roy membelo, "ELIO?!"
Sang empunya nama pun menoleh, "Eh? Teman Kak Ales, ya?" Elio tak begitu mengenalnya.
Roy mengangguk. "Wah, lo yang DM Ales buat rent BF 'kan? Lo sekarang temenan sama Ales?"
"Hmm, bisa dibilang begitu. Iya, enggak, Kak Ales?"
"E-eh? Ya ... iya, El," sahut Ales yang masih sedikit kebingungan dengan kehadiran Elio dan Bos Bi-nya.
"Hehe, nice! Kak Ales enggak lupa 'kan, mau traktir aku minuman? Baru tadi pagi lho Kak Ales bilang."
"Eh? Kapan ya, El?" tanya Ales, sembari menggaruk kepalanya.
"Itu lho, tadi pagi pas Kak Ales bawain Kak Bigel sarapan. Terus aku tanya, 'Kak Bigel aja nih?' Terus kata Kak Ales ...."
"Oh, itu." Ales sudah cukup mengingatnya. "Hehe, mau minum apa, El? Bos Bi juga mau?"
"Yes! Aku kira Kak Ales lupa! Hmm, aku Soju aja. Kayak ini!" tunjuk Elio ke arah botol minuman Roy.
Ales pun hanya manggut-manggut, lalu meluruskan tatapan kepada Bigel. "Bos Bi mau minum apa?"
Lagaknya, ia bertanya seolah mampu membayar semua minuman mereka. Roy seketika mendelik heran ke arah temannya. Entah apa yang ada di pikiran Ales sekarang, Roy sungguh penasaran. Namun, Roy menahan keingintahuannya, dan hanya akan menginterogasi Ales ketika sudah waktunya. Meski ia tahu, ada hal tak beres tentang Ales yang mendadak menjadi seorang dermawan, ia tak akan menghancurkan citra temannya di hadapan dua orang asing. Ia tak akan bertanya perihal setan apa yang menghasutnya untuk membayar minuman mereka, meski dirinya sendiri sudah dalam taraf pas-pasan.
"Gue Jager boleh deh."
Tanpa beban, tanpa dosa, tanpa memikirkan harga, Bigel menyebutnya dengan begitu mudah. Ia bahkan tak menyadari bahwa bartender yang hendak mentraktir minumannya sudah menelan ludah.
Tak berbeda dengan Roy, yang sontak mengerjap dan membayangkan jeritan rekening Ales.
"L-Liquor, Bos?"
Bigel mengangguk, "Ada 'kan?"
"Y-ya ... ada sih."
"Oke. Gue itu aja, satu."
"Eung ... B-Bos Bi enggak mau Soju aja?"
Sekiranya, Ales masih mampu untuk membayar dua botol Soju. Harga dua botol Soju bahkan tak sampai menyentuh sebotol Jagermeister. Teman seperjuangan Ales pun sontak ikut mengangguk seolah setuju seratus persen dengan tawaran itu.
"Betul tuh! Soju enak lho, banyak rasa-rasanya! Si Ales nih Soju-nya komplit, ya 'kan, Les? Ada flavour strawberry juga kalau lo suka strawberry kayak Ales."
Ales lantas mengangguk cepat. Jantungnya sudah ketar-ketir memikirkan apa jawaban Bigel setelah Roy membantu dengan memberi hasutan. Ales tahu, inisiatif Roy ada karena ia sangat mengerti kondisi ekonomi Ales saat ini.
Namun, jawaban Bigel agaknya tak mampu menghentikan jantung Ales untuk tak terjun hingga ke perut.
"Jager aja, Les."
Detik itu juga, Ales merasa hidupnya mungkin akan sengsara di bulan Oktober yang ceria. Kakinya lemas, bahunya turun, dan matanya memancarkan kekhawatiran akan kehidupan. Roy yang paling mengerti arti raut wajah Ales saat ini, diam-diam menelan saliva. Ia sudah tak dapat membayangkan bagaimana kondisi perut Ales hingga akhir bulan, karena uangnya terbuang untuk sebotol Soju dan Jagermeister yang tak bisa dikatakan murah.
"Nah, berarti jadinya Soju sama Jager, ya, Kak!" ucap Elio, memperjelas bayang-bayang uang yang harus Ales keluarkan untuk dua orang di hadapannya.
"O-oke ... tunggu sebentar ya, El, Bos Bi."
Setelahnya, Ales permisi untuk mengambil botol-botol pesanan mereka, dengan langkah yang seolah terikat beban ratusan kilogram. Tidak, bukan ratusan kilogram, tapi ... beban jutaan ribu rupiah. Ini sungguh berat bagi Ales. Bahkan, sejak melangkah menjauh dari Bigel dan Elio, hingga kembali dengan dua botol minuman di tangan, otak Ales terus mengkalkulasi seluruh harga yang perlu ia bayar. Berhubung ini adalah bar, bukan toko online penjual minuman, jelas harganya akan lebih mahal. Kalau ia tak salah hitung, ia akan melayangkan sekitar satu setengah juta rupiah. Ales agaknya pulang dengan gila malam hari ini.
"Wah, thank you so much, Kak Ales!" seru Elio, tepat setelah Ales kembali dan meletakkan dua botol minuman itu di atas meja bar.
"Thanks, Les," kata Bigel.
Baru kali ini, Ales tak bisa tulus tersenyum menghadapi Bos Bi-nya. Dengan penuh rasa sesak di dada, ia memaksakan bibirnya untuk membalas senyuman Bigel yang terlalu indah untuk tak disambut dengan sama baiknya.
"Sama-sama, Bos Bi. Enjoy your drink, ya. G-gue ... gue baru inget ada kerjaan sebentar di backroom. Nanti gue balik lagi. Duduk aja di sini, jangan berdiri terus, Bos. Hehe.
R-Roy, tolong temenin Bos Bi dulu, ya.
Oh ya, Bos Bi, ini Roy. Roy, ini Bigel, dilarang manggil Bos Bi karena cuma boleh gue seorang. By the way, dia cewek gue. Oke, cukup, gitu dulu aja. Gue ke belakang dulu, takut manajer gue nunggu, hehe. Bye!"
Secepat kilat, Ales meninggalkan meja bar setelah bertutur panjang lebar. Sementara itu, tiga orang yang semula berhadapan dengan Ales malah mengerjap bingung dengan tingkah pria yang tiba-tiba meninggalkan bar dengan terburu-buru seperti dikejar hantu. Padahal, sejauh pandangan Roy sebelumnya, Ales sedang santai karena hari ini tidak satu shift dengan manajernya.
Sekejap, Roy pun paham, bahwa Ales hanya sekadar beralasan. Pria itu pasti hendak menangis dan menjauhi orang-orang.
"B-Bigel, ya?"
Bigel lantas menoleh, "Iya?"
"Hehe, salam kenal, gue Roy teman Ales. By the way, sorry banget kayaknya gue enggak bisa nemenin lo kayak yang Ales bilang. G-gue mau pulang, mau laundry baju, takut keburu tutup, hehe."
"Oh? Iya, enggak apa-apa. Salam kenal juga, ya."
Roy pun membalasnya dengan seulas senyum canggung. Ia lantas beralih kepada Elio yang sedang tersenyum senang kala menuang Soju-nya ke gelas kaca nan kecil.
"El?"
"Hm?" Elio menoleh, "iya, Kak?"
"Gue balik duluan, ya. Sorry banget nih."
"Gapapa, Kak. Next time join sama aku dan Kak Bigel, ya!"
Mendengar ajakan itu, Roy hanya tersenyum pahit. Agaknya, tak mungkin ia duduk bersama gadis yang malam ini nyaris membuat Ales total miskin. Sepercik kekesalan pun ada dalam diri Roy untuk gadis cantik yang tersenyum padanya.
"Ya udah, gue duluan ya, dah!"
"Daaaah, Kak Roy!"
♡
Roy menyusuri bar dengan ritme langkah yang terlalu cepat untuk dikatakan sekadar berjalan. Ia nyaris berlari, dan ia bisa saja berlari, kalau matanya tak keliling mencari keberadaan Ales di setiap sudut Nyx Bar. Lantai satu, lantai dua, hingga ke ruang belakang khusus staff, Roy bertanya kepada rekan-rekan kerja Ales tentang keberadaan pria itu. Namun, tak ada satu pun yang melihatnya.
Roy nyaris frustrasi, Ales tak ada di dalam bar sesaat setelah berpamitan.
Namun, kecemasannya ia harap dapat sedikit berkurang setelah melihat rekan kerja Ales yang tanpa sengaja lewat dengan nampan kosong di tangan.
"Oy! Leon!"
"Eh, Roy!" Leon balas menyapa teman dari rekan kerjanya. Ia sedikit mengenal Roy yang kadang-kadang datang ke Nyx untuk menemui Ales.
Roy lantas menahan Leon yang semula hendak segera kembali ke meja bar, lantaran ia perlu bertanya sekali lagi demi menemukan jawaban tentang keberadaan Ales sekarang. Roy sungguh mengkhawatirkan temannya yang malam ini jelas akan mengalami kebankrutan total.
"Lo lihat Ales, enggak?"
"Ales? Kan tadi sama lo."
"Dia cabut, bilangnya mau ketemu manajer."
"Manajer gue enggak masuk hari ini, Bro. Dikibulin lo sama Ales."
Roy sebenarnya sudah tahu. "Nah kan! Makanya, si Ales ke mana sekarang, yak?"
Tanpa banyak berpikir, Leon lantas menjawab sepengetahuannya. "Kalau enggak di atas, ya di samping. Antara lagi rebahan di kasur jaman firaun, atau lagi nyender ngerokok dekat bak sampah."
"H-Hah?"
"Biasanya sih, dia di situ-situ aja kalau break atau ninggalin bar bentar."
"D-Di kasur jaman firaun?"
Leon mengangguk, "Ada di rooftop. Lo ke lantai dua aja, nanti di pojok ada pintu hitam. Nah, kalau enggak dikunci, lo buka deh tuh. Terus nanti ada tangga, lo naik ke atas."
"Oke. Kalau dia enggak ada di sana, berarti di ... b-bak sampah?"
Leon mengangguk lagi, dan kini menunjuk ke arah pintu merah yang memiliki warna samar dengan dindingnya. "Lo ke sana, itu pintu samping buat keluar buang sampah."
"Anjrit. Si Ales kagak punya tempat break yang bagus apa begimana, sih?" Roy kesal sendiri. "Ya udah, thanks, Le. Gue cari si Ales dulu."
"Iya. Eh, emang kenapa si? Ada apaan? Perasaan tadi bae-bae aja itu anak," tanya Leon, penasaran.
"Besok motornya ditarik leasing."
"HAH?! SI OCONG?!" Leon terbelalak tak percaya.
"Iye. Udeh, ah. Gue cari si Ales dulu!"
"Eh, iya, iya. Aduh, kasian amat itu anak."
"Doain temen gue enggak gila ya, Le."
Leon mengangguk penuh keyakinan, "Doa gue selalu menyertai orang-orang yang membutuhkan, Roy."
"Good. God bless!"
"God bless!"
Setelah mendapat sedikit informasi tentang keberadaan Ales, Roy lantas mencarinya. Ia tak pergi ke lantai dua lebih dulu, lantaran pintu merah itu lebih dekat dari titik berdirinya. Roy menerobos orang-orang yang menghalangi jalan, demi menemukan sang teman yang mungkin sedang didera kegilaan.
"Les!" Roy menemukannya.
Dan benar prediksi Leon, Ales sedang bersandar sembari melamun tak jauh dari bak sampah di sana. Astaga, Roy begitu prihatin melihatnya. Ales seperti telah kehilangan arah dan memilih bergabung dengan sampah.
Segera, ia menghampiri teman yang kerap kali membuat rasa ibanya memuncak dengan cepat.
Bahunya ikut melemas, pula punggung dan kepalanya turut ia sandarkan di dinding, sebagaimana Ales melakukannya. Roy ada di sana, berdiri tepat di samping Ales yang melamun, membiarkan rokoknya terbakar sendiri tanpa diisap.
"Soju yang tadi gue bayar aja," ucap Roy.
Meski tatapannya kosong, Ales tetap menyahuti temannya. "Itu free buat lo," kata Ales.
"Lo gila."
"Iya."
"Si Elio juga gila."
"Iya."
"Apalagi si Bigel-Bigel itu, gila maksimal." Roy sebal sekali ketika mengingatnya. "Ditraktir sih ditraktir, tapi enggak Jager juga dong! Lo auto miskin kalau begini caranya."
Kali ini, Ales enggan menjawab, ia hanya bisa menghela napas dengan berat.
Detik-detik setelahnya, di antara hening yang melanda, ia baru mengisap rokok dengan abu yang sudah panjang dan berjatuhan. Roy tak tahu saja, Ales sedang bergelut dengan banyak pikiran. Pun masih membayangkan bagaimana kemelaratan hidupnya sampai akhir bulan.
"Gila tuh cewek!" pekik Roy lagi.
"Shh, dia cewek gue, Bro."
"Cewek lo dari mane, Brader? Dia cewek yang rent lo lewat Elio 'kan? Itu klien lo. K-L-I-E-N, klien!" kata Roy, dengan kesal, sampai mengeja kata yang menurutnya paling tepat untuk merepresentasikan Bigel.
Namun, Ales tak setuju, ia menggelengkan kepalanya. "Cewek gue," kukuh Ales.
"Serah lo lah, Les. Gue enggak peduli. Pokoknya, saran gue sih mending lo suruh dia berdua bayar. Atau minimal, si Bigel bayar lah. Traktir si Elio aja, itung-itung dia adek tingkat."
"Elio emang adek tingkat, tapi Bigel pacar gue."
"Au amat. Perlu gue bukain m-banking lo sekarang biar lo sadar? Jager plus Soju, wah gila lo, bisa abis di atas satu setengah. Belum lagi, kalau mereka pesan makan. Nah, pesan makan enggak tuh mereka?"
Ales hanya bergidik tak tahu, dan membuat Roy semakin nelangsa.
"Les ... Les ...."
Ia yang disebut namanya, mengembuskan asap rokok seiring dengan embusan napas yang begitu berat.
"Ide dari mana coba lo traktir mereka."
"Lo kalau nggak nyelesain masalah, mending balik dan laundry baju. Gue capek dengar ocehan lo. Yang bayar juga gue, yang melarat nanti ya gue, lo enggak usah repot. Kepala gue sakit."
"Les ...."
"Jangan lupa laundry baju," pungkas Ales. Ia membuang rokoknya sembarang, tak peduli masih ada setengah batang, dan menegakkan kembali tubuhnya yang semula bersandar.
"Lo mau ke mana?" tanya Roy, melihat Ales bangkit dan hendak meninggalkannya.
"Nelfon manajer gue."
"Ngapain?"
"Minta potong gaji."
"Heh?!"
"Kalau gue bayar sekarang pake duit gue, besok dan sampai akhir bulan gue makan apa, Roy?"
Maklum, Ales bukan pria yang bergelimang harta.
•
♡
•
to be continue ....
HALO!
Happy 2k reads buat Ales dan Bigel! Juga, happy 100k reads buat anak sebelah, Haga dan Hanna! Whoah, aku gatau harus bilang apa selain makasiiiih banyak banyak ke kalian!
Ada di titik ini rasanya senang bangetttt! Benar-benar bisa jadi pereda lelah RL!
Semoga kalian sehat-sehat terus ya!
Luv u all,
Xadara Goe ♡
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top