17 | sniffing the lies, but who's the liar

PRIA dengan setelan formal dan rambut klimis sempurna, menenteng tablet dan buket bunga bakung putih seraya berjalan menuju ruang atasannya dengan penuh kepercayaan diri, seolah ia telah memenangkan lotre tahun ini.

Tok! Tok!

Etikanya, masuk ke ruangan atasan yang dingin ini perlu mengetuk pintu sebanyak dua kali sebelum masuk. Tak terkecuali ia yang berstatus sebagai sekretarisnya.

"Pagi, Pak Bara!" sapa pria itu, setelah mendapat izin masuk dari atasannya.

"Pagi."

Pria itu berjalan mendekat, hingga ia berdiri tepat di hadapan Bara yang sedang sibuk mengamati layar monitor di hadapannya.

"Kamu pakai parfum kayak saya lagi?" tanya Bara. Hidungnya dapat dengan mudah mengenali aroma parfum yang setiap hari ia pakai, menguar dari tubuh sekretarisnya sendiri.

"Eh? I-iya, Pak. Habisnya saya suka wanginya, enggak masalah 'kan, Pak?"

Bara tak menjawab, meski memang benar tak ada masalah dengan aroma parfumnya yang disamakan oleh pria itu. Namun, diamnya Bara membuat si sekretaris khawatir ia telah melakukan kesalahan. Lantas, buru-buru ia menyerahkan tablet yang semula ia bawa, dengan layar yang sudah menampilkan sebuah informasi penting untuk disampaikan.

"Apa ini?"

"Resort di Kepulauan Seribu yang Pak Bara mau, sudah memberikan balasan, Pak. Mereka setuju untuk mengadakan pertemuan."

Sejenak, Bara mengalihkan pandangan dari layar monitornya. Ia beralih meraih tablet yang sekretarisnya serahkan, dan membaca balasan e-mail di sana.

"Regards, Haga Sanders?" Raut kebingungan pun terpancar ketika Bara membaca penutup dari balasan pesan tersebut. "Kayaknya saya minta kamu kirim email ke pemilik resort, Anthoni Sanders, namanya. Haga Sanders ini siapa? Kamu salah kirim?" tanya Bara seraya menyerahkan kembali tablet itu kepada pemiliknya.

Sekretaris yang sepanjang karirnya selalu diandalkan oleh Bara, langsung membuka halaman lain yang menunjukkan profil seorang pria muda. Lalu, diberikannya lagi tablet itu kepada Bara, dan kepala kantor itu langsung meneliti profil pria yang menurut sekretarisnya bernama Haga Sanders.

Sembari Bara membaca dengan seksama, sekretarisnya pun turut menjelaskan.

"Haga Sanders, putra sulung Pak Anthoni Sanders, pemilik resort yang akan kita ajak kerja sama untuk bisnis tourism kita, Pak.

Kabarnya, semua urusan resort dilimpahkan ke putranya, karena Pak Anthoni sudah ingin menikmati masa tua tanpa urusan bisnis, Pak."

Bara mendengarkan, sembari terus membaca daftar riwayat hidup anak pemilik resort itu.

"Lulus setelah menempuh dua belas semester?" Bara tak percaya ketika membacanya. "Anthoni Sanders dapat ide gila dari mana, mau melimpahkan usahanya ke anak malas begini?"

"Eh?" Kali ini, sekretaris itu bingung bagaimana menjawab pertanyaan itu. "M-mungkin, sayang anak aja, Pak," jawabnya, asal.

Bara menghela napas mendengar jawabannya, memang hal itu tak jarang terjadi di dalam sebuah bisnis keluarga. Fakta seperti ini sulit untuk Bara terima, sulit dipercaya, tapi mau bagaimana lagi, pria bernama Haga Sanders yang lulus setelah menempuh dua belas semester itu adalah putra pemilik resort yang ingin ia ajak bekerja sama.

"Jadi, dia baru lulus tahun ini?"

"Betul, Pak."

"Dan langsung urus bisnis ayahnya?"

"Betul, Pak."

"Astaga, dosa apa saya berhadapan sama anak kecil begini."

"Eh? D-dia cuma tiga tahun lebih muda, Pak."

Bara berdecak sebal, "Bukan begitu maksud saya, Rik."

Erik, sekretaris Bara, lantas menjawab, "A-ah begitu. Maaf, Pak."

"Ya sudah, segera buat janji temu, ya."

"Sudah siap, Pak. Saya juga sudah siapkan ini untuk pertemuan Pak Bara nanti," ujar Erik seraya meletakkan buket bunga bakung putih itu di atas meja Bara.

Erik mengerti, atasannya itu pasti bingung melihat buket cantik di mejanya. Tanpa perintah, ia lantas menjelaskan.

"Berhubung Pak Haga belum lama ini wisuda, saya kira Pak Bara akan dapat kesan bagus kalau ikut menyelamati keberhasilannya setelah berjuang dua belas semester, Pak," kata Erik yang bangga dengan idenya. "Saya yakin, Pak Haga akan suka dengan kebaikan Pak Bara, dan setuju untuk menjalin kerja sama dengan perusahaan kita."

"Oh, oke." Bara mengangguk paham, Erik memang dapat ia andalkan. "Jadi, kapan saya bisa bertemu dia?"

"Saya sudah atur jadwalnya untuk bes—"

Kriiiing!

Dering ponsel Bara, menghentikan ucapan Erik seketika. Sekretaris yang tahu diri itu, sontak diam, memberikan waktu kepada Bara yang sigap mengangkat teleponnya setelah sedetik melihat nama kontak di layar.

"Ya?" Bara memberikan respons kepada si penelepon.

"Bunga pesanan WO, gue yang urus. Jangan libatin Bigel lagi. Fokus urus persiapan lamaran sendiri."

Setelah mendengar suaranya, Bara melirik singkat ke arah Erik. Sekretarisnya itu masih berdiri di depan mejanya, ia lantas memberikan gestur tangan yang jelas mengusir Erik. Untungnya, Erik langsung mengerti bahwa Bara butuh privasi. Ia pun segera undur diri dari hadapan Bara.

Setelah Erik pergi, barulah Bara melanjutkan percakapan dan dimulai dengan sederet ocehan.

"Halo? Gimana, Lin? Kok bunga pesanan WO lo yang urus?

Lo ... kerja lagi?"

⁠ ⁠♡

Fleur Teapot, siang hari.

Sudah jam makan siang, Elio pun membalik tanda buka di depan tokonya, menjadi tutup—untuk sementara. Dengan lunglai, ia masuk ke ruang belakang, melepas apron, dan membuka kotak bekal yang ia bawa dari rumahnya.

"Huh ...," Elio mengembuskan napas sebal, "bosan enggak ada Kak Bigel."

Jelas saja, karena sedari tadi anak itu dapat dikatakan sendirian. Meski sejak pagi ia bersama dua orang wanita di Fleur Teapot, tetap tak bisa mengoyak kesepian yang Elio rasakan. Si manajer tampak terlalu asyik berbincang dengan pelanggannya, hingga melupakan eksistensi Elio di toko bunga ini.

"Ce Alin enggak asik!" ocehnya sendiri. Satu suap nasi dengan nugget dinosaurus pun ia kunyah dengan sebal. Elio itu tak suka sendirian!

"Kenapa, Baby El?"

Elio menoleh, Alin tiba-tiba berada di belakangnya. Namun, ia yang sedang merajuk, langsung membuang muka dan fokus pada makan siangnya saja.

"Dih? Ngambek? Ayo makan bareng, di depan sama Mbak Mega juga."

"Males."

"Ih, Baby El kok gitu?"

"Males, lah! Ce Alin mah gitu! Kalau ketemu orang baru, langsung lupa sama aku," oceh Elio, dengan mulut yang masih mengunyah nasi dan nugget dinosaurus. Ia menjeda sejenak, dan baru melanjutkan ketika dinosaurus rasa ayam itu sudah tertelan. "Waktu di pantai juga gitu! Keasikan tuh sama istrinya Pak Adam, sama mantannya Kak Bigel juga. Sampai-sampai, aku jadi diajak keliling pantai sama Pak Adam-nya sendiri!"

"Eh?" Alin seolah baru menyadari kesalahannya, "Elio, enggak gitu. Ce Alin tuh—"

"Tau, ah! Aku males keluar, mau makan sendiri aja, takut enggak nyambung sama customer-nya. Kalau tau bakal dikacangin gini sih, mending aku ikut Kak Bigel jalan-jalan antar bunga!"

"Elio ...."

"Maaf, orang yang anda tuju sedang tidak dapat dihubungi. Silakan hubungi beberapa saat lagi, terima kasih."

Meski Alin tahu isi kepala Elio tak seserius ucapannya, ia dapat memahami kekesalan anak paruh waktu itu. Dalam hati, Alin mengakui segala hal yang Elio katakan. Oleh karenanya, Alin langsung merasa ada sesuatu yang telah ia lewatkan.

"Baby El."

"Apa lagi?"

"Jangan ceri—" Alin tiba-tiba diam sejenak, dan membuat Elio mengernyit heran. Karena, anak itu menunggu Alin yang menggantung kalimatnya.

"Jangan apa, Ce?"

"Ah, enggak. Lupain."

Jawaban Alin malah membuat Elio semakin bingung. Aneh saja, melihat manajernya itu tiba-tiba tak jadi bicara dan berubah pikiran. Biasanya, Alin tipikal yang to the point. Apalagi, kalau urusan perintah. Kata jangan tadi, merujuk untuk suatu perintah 'kan?

"Gue makan siang sama Mbak Mega, ya."

"Oh, oke."

Elio tak mau mencegahnya, ia sudah terlanjur kecewa. Alin pun buru-buru keluar dari ruang belakang setelah melepas apron, dan kembali duduk berhadapan dengan pelanggannya—Mega.

"Mbak, mau makan siang apa?" tanya Alin.

"Eh, enggak usah repot-repot, Bu. Saya habis pembayaran mau langsung pulang, kok."

"Enggak apa-apa, ih, siapa yang repot? Saya pesan ya, Mbak-nya suka ayam dada atau paha?" tanya Alin, seraya mengeluarkan ponselnya dan langsung berselancar memilih resto yang bisa melakukan pesan antar.

"Aduh, saya jadi enggak enak."

"Enggak apa-apa, Mbak Mega. Atau Mbak Mega enggak mau ayam? Sushi atau apa gitu maunya?"

"Kalau gitu, saya apa aja deh, dibuat sama aja kayak Bu Alin. Omong-omong, makasih ya, Bu."

Alin tersenyum ramah kepada pelanggannya itu, "Santai aja sama saya mah. Saya pesan paket ayam aja ya, Mbak."

"Apa aja, Bu. Ini saya makasih banget, lho ya, dibeliin makan siang gini."

"Ah, biasa aja."

Tawa formalitas pun terdengar dari keduanya. Padahal, tak ada hal yang benar-benar lucu, tapi suara tawanya mampu terdengar sampai ke ruang belakang. Elio yang sedang menikmati nasi dengan nugget dinosaurusnya semakin sebal saja mendengar gelak tawa itu. Ia cemburu, seolah Ce Alin-nya telah direbut. Lantaran selama ini, Elio selalu sarapan, juga makan siang, sampai makan malam bersama Alin.

Sebal mendengar tawa yang mengganggu rungu, Elio memutuskan untuk berpindah tempat. Ia menutup kotak bekalnya, dan keluar dari ruang belakang, hendak menuju ke teras Fleur Teapot agar tak mendengar suara keakraban mereka.

"Karena sekarang saya yang handle pesanan WO Mbak Mega, kalau ada apa-apa, dan butuh apa-apa, langsung hubungi saya aja, ya, Mbak. Enggak perlu ke Abigail lagi, gapapa."

"Huh?" Elio menahan langkah, dari balik dinding yang membatasi antara toko bunga dan kafe teh, pekerja paruh waktu itu menguping percakapan manajernya.

"Ah, begitu. Oke, Bu. Nanti saya call Bu Alin kalau ada apa-apa."

"Makasih, ya. Soalnya, toko lagi sibuk-sibuknya, dan Abigail lagi banyak handle pesanan lain. Khawatir dia kecapean kalau urus bunga untuk WO juga. Di sini cuma ada saya, Abigail, dan satu anak part time soalnya."

"Oh begitu ... tapi kalau toko sibuk gini, nanti bunga tetap diantar 'kan, Bu?"

"Ah, iya. Delivery." Alin seolah baru ingat untuk membahasnya. "Kayak yang saya bilang tadi, toko lagi sibuk banget, jadi kayaknya enggak bisa delivery bunganya. Gapapa?"

"Heh? Sibuk apanya?" gumam Elio, pelan. "Kalau sibuk mah, dari tadi udah bikin buket, bukan chit chat sama customer! Dasar, Ce Alin aneh!"

Terlanjur kesal, Elio tak ingin menguping lebih banyak lagi. Pikirnya, lebih baik ia mengisi perut dengan dinosaurus rasa ayam, daripada harus berdiri dan menguping percakapan tidak jelas.

Seperti biasa, bel pun berdenting ketika Elio membuka pintunya. Sekilas, Alin menoleh ke arah pintu, dan melihat Elio keluar dengan bekal di tangan. Perasaannya pun mengatakan ada suatu hal yang tak beres setelah melihat Elio yang begitu jutek, tapi Alin memilih untuk mengabaikannya.

Ia lanjut mengobrol dengan Mega sembari menunggu pesan antarnya sampai. Sementara itu, Elio menghabiskan bekalnya sendirian di teras depan Fleur Teapot. Bosan karena tak ada yang diajak berbincang sembari menikmati dinosaurus rasa ayam, Elio pun memutuskan untuk menghubungi seniornya yang sedang kerja sambil pacaran.

Hanya butuh tiga dering tunggu, layar ponselnya sudah menampakkan wajah senior cantik nan menyebalkan, tapi tak lebih menyebalkan dari Alin hari ini.

"Kak Bigel!"

"Kenapa? Gue lagi makan."

"Sama, aku juga lagi makan."

"Ya udah, makan, ngapain VC? Ganggu aj—HAI EL!"

"Kak Ales! Haiii! Lagi makan apa? Kalian di mana?"

"Lawson nih, Bos Bi makan rice bowl, gue juga sama."

"Cepat pulang dong, aku bosen sendirian ...."

"Eh? Kenapa, El? Emang Ce Alin ke mana?" tanya Ales, sedikit khawatir dengan adik tingkatnya itu.

"Ada, tapi sibuk aja sama tamunya dari pagi, si Mbak ... siapa, ya?" Elio mengingatnya sejenak, "ah, iya! Mbak Mega!"

Setelah Elio mengatakan hal itu, ponsel Bigel yang semula dipegang Ales, direbutnya kembali dengan cepat.

"Mbak Mega udah datang?"

Elio mengangguk, "Udah dari pagi. Pas banget Kak Bigel pergi, dia datang, dan sampai sekarang belum balik-balik tuh orang. Bosen aku dikacangin Ce Alin."

"Emangnya lo enggak diajak ngobrol?" tanya Ales.

Elio pun menggelengkan kepala, menyuap lagi sesendok nasi dengan nugget dinosaurusnya.

"Ce Alin tuh kalau ketemu orang baru langsung lupa sama aku. Kemarin aja pas ke pantai, aku juga dicuekin Ce Alin, sampai aku diajak keliling pantai sama Pak Adam biar enggak bosan. Sebel banget, kan?! Untung Pak Adam baiiiiik banget orangnya."

Bigel mengernyit, tapi Elio tak melihatnya, karena anak itu fokus memotong-motong nugget dengan sendok. Bigel mendapati satu hal yang aneh, Elio memuji ayahnya. Ini jauh berbeda dengan cerita versi Alin kemarin.

"Ah, masa? Bukannya lo ngerengek minta pulang karena enggak betah sama Pak Adam?"

"Ih? Siapa bilang? Justru aku enggak betah sama Ce Alin! Dia tuh, kayak yang aku bilang, kalau ketemu orang baru jadi lupa sama aku! Dia di pantai ngobroooool terus sama Bu Ambar, istrinya Pak Adam itu lho, Kak."

"Jadi, di pantai kemarin lo enjoy sama Pak Adam? Enggak canggung, gitu? Kan lo baru pertama ketemu dia."

"Enjoy, lah! Gimana mau canggung? Pak Adam aja asik banget orangnya. Kalau Kak Bigel tanyanya tentang Bu Ambar, iya tuh aku canggung, soalnya dia juga ngobrolnya sama Ce Alin aja, sama Kak Bara juga. Aku jadi sendirian dan bete, untunglah ada Pak Adam! The best dia tuh!"

Untuk jawaban Elio yang satu ini, tak hanya membuat Bigel mengernyit, tapi Ales juga ikut mengerutkan dahi. Tak hanya Bigel, Ales pun baru menemukan sesuatu yang sedikit membuatnya bingung.

"Elio ...."

"Ya, Kak?"

"Gue matiin dulu, ya, nanti gue call lagi. Gapapa?"

"Eh? Kak Bigel mau jalan lagi, ya? Ya udah gih, hati-hati di jalan! Maaf ya, malah curcol dan ganggu makan siang Kak Bigel."

"Gapapa. Sorry ya, El, gue matiin dulu."

Panggilan video itu berakhir. Elio kembali melanjutkan makan siang. Suasana hatinya pun sudah sedikit membaik, setelah mencuri-curi waktu untuk mencurahkan isi hatinya kepada Bigel.

"Kalau dipikir-pikir, Kak Bigel much better than Ce Alin deh, walaupun kadang nyebelin. Seenggaknya dia enggak ngacangin aku, meski lagi sama Kak Ales," gumam Elio, sendiri.

"Bos Bi, si Bara itu bukannya mantan Bos Bi? Kok bisa jalan-jalan sama Elio?" 

Ales melontarkan pertanyaan yang tadi sempat mengganggu pikirannya, tanpa merasa berdosa. 

"Terus, Pak Adam tuh siapa, Bos? Bu Ambar juga siapa?" tanya Ales. 

Bigel diam saja, tampak enggan menjawab. Sudah biasa Bigel seperti itu. Ales pun ikut diam, dan memperhatikan Bigel sejenak, mengecek kondisi gadis yang diam di sebelahnya itu. 

"Bos?"

Sialnya, Ales adalah pria yang peka. Singkat saja, ia tahu suasana hati Bigel mendadak berubah, setelah melakukan panggilan video dengan Elio. Padahal sebelumnya, Bigel baik-baik saja, menyantap rice bowl dengan tenang di sebelahnya.

"Bos Bi, kenapa?" tanya Ales lagi.

"Elio ...."

"Elio? Kenapa Elio-nya, hm?"

Bigel diam, pandangan Ales pun turun ke arah tangan gadis itu yang menggenggam ponsel dengan gemetar. Sekarang kedua alis Ales bertautan, dalam hati pun ia membatin, otaknya memikirkan apa yang terjadi dengan Bos Bi-nya.

"Bos?"

Ales khawatir, lantaran Bigel hanya diam. Namun, tangan yang menggenggam ponsel kuat-kuat itu tengah gemetar.

Bigel benar-benar tak buka suara, seolah ia begitu tercekat untuk mengeluarkan kata-kata. Ales semakin tak mengerti, apa yang sedang terjadi di sini. Gemetarnya Bigel pun membuat ia panik, ia tak tahu harus bagaimana menghadapi situasi ini, selain dengan impulsifnya menarik tangan Bigel dan menggenggamnya dalam harap mampu mentransfer sedikit ketenangan.

"Bos ... Bos Bi kenapa?"

Bigel tak menolak genggaman itu, sama sekali. Ia bergeming dalam hangatnya genggaman Ales. Sementara, Ales sendiri tak tahu ia boleh melakukan ini atau tidak, tapi sekarang ia tak begitu peduli, ia panik setelah melihat tangan yang gemetar.

"L-Les ...."

"Ya, Bos Bi?"

Bigel diam sejenak, menarik dan mengatur napasnya sebelum berkata, "Kayaknya, ada yang bohongin gue."

"Huh?!" Ales langsung terlonjak. "Siapa yang berani-berani bohongin Bos Bi?! Elio? Ce Alin? Atau teman Bos Bi yang lain?! Siapa, Bos? Biar pacarnya Bos Bi yang kasih pelajaran!"

to be continue ... 

well, who's the liar? 

♡ Xadara Goe ♡

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top