13 | just their third day together

BIGEL bangun di minggu pagi, tepat setelah alarmnya berdering kencang. Ia bangkit menyingkap selimut, membuka gorden abu beludru, dan membiarkan sinar matahari masuk menembus kaca jendela.

Khusus di hari minggu, ia tak perlu buru-buru bangun dan bersiap, karena toko tak memiliki jadwal operasional.

Namun, kala mendengar pintunya diketuk dari luar, seketika membuat Bigel gagal merebahkan tubuhnya kembali di atas ranjang. Lalu dengan langkah gontai, ia berjalan menuju pintu dan membukanya.

"Kak?"

Bara ada di sana.

"Bi, hari ini, kita pergi sekeluarga. Kamu ikut 'kan?" tanya Bara.

"Pergi ke man—" Bigel mengingat sejenak, ia masih memiliki agenda yang belum selesai dengan pacar sewaannya. "Enggak ikut," pungkas Bigel.

"Bi ... Ayah ngajak ke pantai."

"Terus?"

"Kan kamu juga suka pantai, yakin enggak mau ikut? Ayah juga mau ajak anak-anak toko. Alin dan anak part time baru itu."

"Elio?"

"Iya. Kata Alin, kamu akrab sama dia. Jadi, ikut ya, Bi? Bukan buat Kakak kok, tapi buat Ayah."

Sebenarnya, berat untuk Bigel menolak ajakan ini jika benar ini adalah keinginan ayahnya. Bigel itu terlampau sayang dengan sang ayah, terlebih setelah ibundanya pergi dan Adam mengurusnya seorang diri sampai bertemu wanita cantik dengan anak laki-laki tunggal—Bara.

Namun, urusannya tak akan bertemu kata selesai, jika ia tak berani menolak. Ia hanya memiliki waktu yang terbatas dengan Ales, dan hari lamaran sudah tinggal sebentar lagi. Bigel tak bisa menyia-nyiakan waktu pendekatan ini, hanya untuk pergi ke pantai yang sudah berkali-kali ia lakukan.

"Aku banyak urusan."

"Bi ...."

"Pergi aja sama anak-anak toko, aku enggak ikut. Dan tolong, enggak usah ganggu lagi, bisa?"

Bara lantas menghela napas.

"Urusan sama siapa?" tanyanya, dengan dingin dan begitu datar. Ekspresi memohonnya sudah hilang, yang ada tinggal tatapan tajam nan mengintimidasi dari Bara yang berhadapan dengan Bigel sekarang.

"Sama cowok yang ada di story semalam? Yang nganter kamu pulang naik Vespa putih, Bi?" tanya Bara, lagi.

"K-Kak Bara lihat?" 

Bara mengangguk dengan tenang. Bigel pun menelan salivanya keras, ia berdebar karena takut menghadapi Bara yang seperti ini padanya. Sifat posesif itu terpancing kembali, dan membuat Bigel perlahan memundurkan diri dari hadapan kakaknya.

"Good, kalau kamu udah punya pengganti Kakak," ujarnya sembari melangkah maju seiring Bigel melangkah mundur. "But please, let me know, siapa dia dan gimana seluk beluknya, ya? Karena Kakak harus tau, cowok macam apa yang pacarin adik Kakak satu-satunya ini, okey?"

Langkah Bigel terhenti. Dugaannya salah, Bara tak tampak akan mengekangnya. Ini sedikit di luar ekspektasi Bigel, dan membuat semangatnya patah sedikit karena telah berasumsi bahwa ... Bara enggak cemburu sama sekali?

Padahal harapannya, Bara akan terbakar api cemburu setelah tahu bahwa Bigel telah memiliki pengganti baru. Ia ingin dendamnya tersampaikan, ia ingin rasa sakitnya saat mengetahui Bara memiliki seseorang yang lain pun terbalaskan, tapi sikap dewasa Bara malah menggagalkan rencananya.

"Kalau kamu hari ini jalan sama dia, gapapa. Nanti Kakak bilang ke Ayah, kamu enggak bisa ikut. Kapan-kapan kenalin dia ke Kakak, ya? Untuk hari ini ... have fun ya, Cantik." Bara menutup perbincangan dengan mengacak-acak surai kehitaman di puncak kepala Bigel.

Dan inilah yang Bigel tak suka dari Bara, ia mampu mengacak-acak surai, tapi malah membuat hatinya yang berantakan.

"Jangan lupa sarapan sebelum pergi, ya."

"Woi lah, Les, lesu amat. Belum sarapan lo?"

Ales berjalan dengan gontai memasuki area dapur, dan Roy sedang berada di sana, mengolesi roti dengan mentega untuk sarapannya.

Ales yang tak menjawab apa-apa, dan memasang tampang lesu, membuat Roy kasihan melihatnya. Belum lagi, kaus oblong yang sudah kendur dan membuat sebelah bahunya terekspos, membuat Roy semakin iba melihat Ales.

"L-Les ... mau roti panggang?"

Ales mengangguk lesu, "Selai kacang, ya."

"Si paling ngelunjak. Gue aja pake mentega!"

Ales malah semakin lesu mendengarnya, ia duduk di kursi meja makan, dan menyandarkan punggung di sana. Seolah ia sudah melewati malam panjang yang begitu memberatkan hingga membuat lelah. Dan sialnya, Roy selalu saja tak tega.

"Halah! Ya udah nih selai kacang nih! Enggak usah ditekuk tuh muka, udah kayak habis kelilit pinjol. Hih!"

Sebal-sebal begitu, Roy tetap mengorek selai kacang yang sudah tinggal sisa-sisanya di dinding kaca stoples. Sebenarnya, Roy juga ingin. Tapi ia tak tega melihat selai kacang kesukaan temannya yang sudah sekarat. Jadi, sekadar mentega pun tak masalah untuknya.

"Hehe, makasih."

"Lo lagi kenapa sih? Sakit?"

Ales menggeleng.

"Terus?" Roy penasaran sekali, "beneran kena pinjol?"

Ales menggeleng lagi.

"Terus kenapa sih? Astaga, jangan kayak tapir kek muka lo!"

Ales mengusak wajahnya frustrasi, "Kenapa tapir sih anjing ...." sahutnya, lemas. 

"Ya lagian begitu, lesu. Kayak orang putus cinta."

"Boro-boro putus cinta, mau jatuh cinta aja enggak jadi."

"Dih?" Roy tertawa terbahak-bahak, "jatuh cinta mah jatuh cinta aja, Les. Segala enggak jadi, lo kata jajan cireng! Lawak lo."

"Yah ...," Ales menarik napasnya dalam-dalam, "benteng begitu tinggi lah, Roy."

Alih-alih simpati, Roy malah semakin terkikik geli. Ales si raja drama ini sudah memulai siarannya pagi-pagi. Roy tak kuasa melihat Ales dengan wajah lesu yang katanya seperti tapir itu, melamun sembari bersandar menatap meja makan yang kosong tanpa persediaan. Kini Ales benar-benar seperti orang yang sedang kehilangan semangat hidup, perkara benteng begitu tinggi yang tak Roy mengerti apa maksudnya, tapi tetap mampu membuat ia tertawa.

"Ya udah, ya udah, enggak usah galau. Kita basket aja hari ini, gimana?" ajak Roy, berusaha menghibur temannya.

Roy pun membawa roti panggang yang sudah matang, dan duduk tepat di hadapan Ales. Ia menyodorkan roti panggang selai kacang pesanan temannya itu, dan menyantap roti mentega miliknya.

"Lo enggak ada schedule apa-apa, 'kan?" tanya Roy lagi, karena ajakannya tak ditanggapi.

"Eng—eh?" Ales menyadari satu hal, "ada!"

"Ada?"

"Ada! Anjing, gue ada museum date hari ini! Eh, ini jam berapa?!"

"Jam ...," Roy melirik ke arah jam dinding sejenak, "jam sepuluh."

"Duh!"

Buru-buru, Ales menyambar roti panggang selai kacang di piring, dan langsung menyantapnya secepat kilat. Dengan keheranan, Roy mengunyah roti menteganya, sembari terus memperhatikan Ales yang terlihat seperti mesin penyedot makanan. Gila, dia menghabiskannya hanya dalam dua tiga gigitan saja.

"Weh, santai, Les ...."

"Gue mau jemput Bos Bi!" ujarnya. Setelah piring itu kosong, Ales langsung melesat meninggalkan meja makan dan masuk ke kamar mandi.

Roy pun nyaris tersedak melihat kecepatan Ales. Ia bahkan baru memberi satu gigitan untuk rotinya, tapi si manusia dengan onderdil mesin penyedot makanan itu sudah pergi membersihkan diri.

"Orang gila," gumamnya sembari bergeleng kepala.

Satu jam Ales habiskan untuk bersiap sebelum menjemput Bigel. Ia kelabakan mengobrak-abrik isi lemari, mencari baju yang sekiranya pantas untuk ia pakai kencan di museum hari ini. Roy yang tanpa sengaja melewati kamar Ales dengan pintu terbuka, sejenak menghentikan langkah dan mampir ke kamar temannya.

Kali ini, ia dibuat terbelalak karena baju yang berserakan di mana-mana. Di lantai, di kasur, di meja, di kursi, Ales menghambur-hamburkannya seperti sampah tak berguna.

"Woy! Ngapain lo, tapir?!"

"Eh!" Ales menoleh ke belakang, "Roy, lo lihat long blazer gue enggak, sih?"

"Long blazer? Mau ke mana lo?"

"Museum."

"Museum? Di Jakarta?"

"Ya di mana lagi, babi."

"Ya, kok long blazer, sih?!"

"Y-ya ... biar keren aja. Soalnya, harus pakai baju bagus kalau dating sama Bos Bi." "

"Bigel minta begitu?" 

"Enggak, sih. Tapi ... ah, udah! Lo banyak tanya. Lihat enggak long blazer-nya?"

"Enggak. Lagian panas, tolol. Sini lah, gue yang pilihin bajunya!"

Roy tak tahan melihat kamar yang sudah terlampau berantakan. Ditambah, Ales masih belum mengenakan apa-apa selain handuk yang melilit dari perut hingga lutut. Mau sampai kapan ia mencari pakaian, sementara dirinya masih belum rapi sama sekali.

"Sana keringin rambut kek, apa kek, lo udah enggak kayak tapir, malah kayak tikus!"

"Roy anj—"

"Sana! Urusan outfit, kasih gue. Enggak usah belagak gila ya, Les, mau pakai long blazer siang bolong, musim panas kering kerontang gini, diketawain setan iya lo."

Ales mendengus, walau akhirnya ia tetap menuruti apa kata Roy untuk mengeringkan rambut. Lantas Ales kembali ke kamar mandi, mengeringkan rambutnya dengan hair dryer di depan kaca wastafel, sementara Roy sibuk di kamarnya mencari dan memilih baju apa yang akan dikenakan Ales untuk kencan hari ini.

Hingga sudah tinggal helai terakhir untuk rambut Ales kering sempurna, Roy pun selesai memilih pakaian saat Ales kembali ke kamarnya.

"Ini?" tanya Ales, melihat satu set pakaian serba hitam dari atas hingga ke bawah, yang Roy letakkan di atas ranjang.

"Black long sleeve, slim-fit black jeans, black beanie hat, and ... black mask. Perfect!"

Berbeda dengan Roy yang bangga dengan pakaian pilihannya, Ales malah menggaruk kepala penuh keraguan.

"Kayak maling, Roy."

Roy mendelik, "Eh, tapir! Kata cewek tuh ya, cowok full black gini tuh ganteng! Lo tuh ... duh! Udah kek nurut aja!"

"Serius, ini beanie hat kalau gue pake semuka-muka, udah kayak maling beneran, tinggal bolongin buat mata. Jadi, gue sekalian maling isi museum jangan nih? Lumayan, bisa dijual ke Inggris. Kaya raya kita nanti."

Roy mulai lelah dengan belahan jiwanya, "Terserah lah. Enggak ada yang nyuruh lo pake semuka-muka juga, tapir bajingan."

Dengan setia, Ocong mengantar majikannya pergi ke perumahan Puri Magnolia yang semalam berhasil menyadarkan Ales bahwa ia hanya tempat singgah semata. Rasanya, Ales seperti tak berhak untuk jatuh cinta sungguhan kepada kliennya. Seperti yang sudah ia katakan kepada Roy, benteng begitu tinggi. Setinggi gerbang rumah yang kini ia pandangi selagi menunggu seorang putri keluar dari istananya.

Ia melamun, membayangkan apa yang dilakukan keluarga Bigel hingga mampu hidup di istana seperti ini. Dulu, Ales sempat tahu rumah salah satu pelanggan Nyx yang sudah ia pikir orang terkaya yang pernah ia temui selama hidupnya. Ales tahu orang tuanya menjalankan bisnis properti di Jakarta dan Bali, ia pikir sangat wajar pelanggannya itu bisa hidup bermewah-mewahan dan nyaris setiap hari pergi ke bar. Namun, meski begitu, rumah pelanggan—yang ia pikir—sudah sangat kaya raya, tidak sebesar rumah di hadapannya sekarang.

Ales benar-benar tak habis pikir, usaha macam apa yang dijalankan Bigel sekeluarga. Bukankah hanya sekadar toko bunga?

"Les?"

Ales tak sadar, ia terlalu fokus memandangi kebesaran rumah ini.

"Ales?"

Masih juga tak ada jawaban. Sayang sekali, Bigel bukan orang yang bisa selalu sabar.

"ALESSANDRO TEDJA!!!"

"Heh?!" Ales sadar seketika, "B-BOS BI?!"

"Bengong aja! Ayo!"

"I-iya, Bos Bi! Ayo," sahut Ales dengan begitu antusias, "pakai dulu helmnya, Bos!"

Selagi Bigel mengenakan helm, Ales terus memandangnya tanpa alasan. Gadis yang tak suka berbasa-basi itu, jelas langsung mengutarakan ketidaknyamanannya.

"Kenapa sih, Les?"

"Eh, enggak, Bos Bi "

Bigel menghela napasnya, "Kenapa? Kaget baju kita enggak sengaja couple-an?"

"Eh? Eh, iya juga, ya? Kita sama-sama pakai full black, Bos!"

Bigel tersenyum tipis dan mengangguk, "Enggak apa-apa, biar kayak orang pacaran beneran, Les."

Setelahnya, Ales tak menanggapi lagi selain dengan senyum yang terulas di bibir. Ia masih saja memandangi Bigel, tanpa berkedip, dan membuat Bigel sedikit merinding.

"Les, kenapa sih? Belum selesai kagetnya?"

"Eng—"

"Kenapa, Ales? Ngomong. Ada yang salah di muka gue?"

Ales tiba-tiba mengangguk.

"Oh ya? Apa?" tanya Bigel, "alis gue beda sebelah kah?"

Ales kali ini menggeleng, dan membuat Bigel mengernyit bingung.

"Terus, kenapa?"

"Bos Bi terlalu cantik, gue jadi sulit kalau gini. Duh, sebenarnya ini bukan salah Bos Bi sih, salah emak bapaknya Bos Bi yang bikin produk secantik ini. Gue jadi pusing sendiri."

"Lho?"

"Iya, mau falling in love sama Bos Bi, tapi enggak jadi. Benteng begitu tinggi, Bos."

"Apa sih? Udah ayo jalan! Jangan kebanyakan drama!"

Sesuai jadwal mereka, hari minggu penuh kehangatan ini mereka lalui dengan berkeliling museum-museum di Jakarta. Sebenarnya, tak ada yang spesial juga, karena Bigel tak begitu suka mengikuti sejarah, apalagi Ales. Ia sebenarnya takut menginjungi tempat-tempat seperti ini.

Hanya saja, Ales mengincar foto-foto penuh estetika di museum untuk mengisi feeds Instagram-nya, juga memenuhi kebutuhan Instastory di sana.

"Bos Bi, Bos Bi, coba berdiri di sana!"

"Di sini?"

"Iya!"

Cekrek! Ales langsung mengabadikan momen Bigel memandangi patung—yang tak Ales ketahui siapa dia—dengan menggunakan ponselnya.

Sebelum beralih mengambil foto-foto lain, Ales menghabiskan beberapa detik untuk diam dan memandangi foto Bigel tanpa sadar. Ia melamun, Bos Bi kelewatan cantiknya.

"Les? Udah belum?"

"Eh? Udah-udah. Oh ya, habis dari sini, mau ke mana lagi, Bos?"

"Galeri, mau enggak?"

"Galeri?"

Bigel mengangguk, "Ke Galnas aja, kayaknya lagi ada event pameran."

"Oh? Boleh! Let's goooo, Bos Bi!" Ales kemudian mengangkat lengan, memberikan lekukan di sikunya untuk dijadikan gandengan oleh si putri cantik.

Ia ingin memperlakukan Bigel dengan baik, selayaknya pelayan memperlakukan majikannya. Namun juga, ia ingin melunjak sedikit, dengan berlagak seperti pangeran yang sejatinya memberikan lengan kepada sang putri untuk dipeluk sepanjang perjalanan.

Alih-alih langsung melingkarkan tangannya, Bigel malah bergeming sejenak. Ales masih setia menunggu, menahan lengannya yang sebentar lagi mulai terasa pegal, tapi Bigel masih juga tak memberikan pergerakan.

"Bos Bi?"

Bigel diam, menatap lengan besar itu dengan nanar. Sekelebat bayangan pun kembali terlintas di kepalanya. Karena jauh sebelum Ales, ada satu pria sejati yang juga melakukan hal ini.

"Bos?"

Dilihatnya Bigel yang tampak ragu mengangkat tangannya untuk dilingkarkan di lengan Ales. Dengan kepekaan yang cukup baik, Ales pun mengerti, mungkin Bigel enggan bergandengan seperti ini. Ia lantas menurunkan lengannya, dan berhasil membuat tatapan nanar Bigel buyar seketika.

"Eh?"

Ales dengan tiba-tiba beralih meraih tangan Bigel dan mengaitkan tangan keduanya melewati sela-sela jari nan lembut. 

"Gini aja gandengannya, Bos! Enggak jadi kayak Prince Charming. Karena sejatinya gue cuma Alessandro Tedja, yang bisa gandeng Bos Bi kayak gini ke mana-mana!"

Bigel menatap tangannya yang sudah saling bertautan dengan tangan Ales. Ia mendecihkan tawa, pun senyum yang perlahan mulai terukir. Tangan Ales terasa hangat, lembut, dan nyaman. Ini satu hal yang baru Bigel temukan dari pacar sewaannya. Hal kecil yang membuat senyumnya terukir. 

"Ayo, Bos Bi! Kita ke galeri!"

Dan setelahnya, Ales benar-benar menggandeng Bigel ke mana pun. Sepanjang jalan-jalan di museum, hingga keluar dari sana, kedua tangan mereka tak pernah terlepaskan. Kecuali, saat sedang mengendarai Ocong, waktu menuju ke Galeri Nasional.

Begini saja Ales sudah senang, setidaknya ia harus bisa bahagia dengan memanfaatkan waktu selama sepuluh hari lamanya. Karena ia sadar, bahwa ia tak akan bisa memiliki kesempatan seperti ini lagi setelah kontrak berakhir.

Pilihan Bigel untuk ke galeri ternyata lebih menyenangkan daripada pergi ke museum. Setidaknya, menurut Ales begitu. Melihat lukisan-lukisan di sini sangat menenangkan, dibandingkan melihat patung dan barang-barang tua yang cukup mampu membuat bulu kuduk Ales berdiri. Kadang, Ales suka berhalusinasi kalau patung-patung itu mungkin hidup dan beraktivitas di malam hari.

Namun, halusinasi itu tidak berlaku untuk sebuah galeri seni. 

"Whoah ... Bos Bi, mau foto lagi?" tanya Ales, dengan tatapan lurus memandang lukisan tua karya Raden Saleh di sana. Pancaran matanya jelas menunjukkan bahwa Ales begitu takjub melihatnya. 

Lukisan yang memanjakan netra nan membuat terpikat, tak disangka-sangka mampu menghilangkan kesadaran muda mudi di hadapannya. Ales dan Bigel, tak sepenuhnya sadar, bahwa kedua tangan mereka masih saling bertautan, hanya karena fokus memandangi lukisan di depan.

Kapal Karam Dilanda Badai, itu namanya.

Bigel hanyut kala memandang kanvas dengan goresan cat minyak yang mengukir ombak-ombak lautan, dan kapal yang tampak terombang-ambing di sana. Entah bagaimana ceritanya, tapi lukisan ini terasa begitu dramatis, pun gelapnya awan yang menyelimuti badai membuat hati Bigel teriris.

"Les ...."

"Hm?"

"Lukisan ini ...."

"Kalau dijual berapa ya, Bos, harganya?" potong Ales.

"Heh?!" Bigel langsung menoleh, seketika ia melepaskan sisi dramatisnya saat memandangi lukisan, dan menatap tajam ke arah Ales yang mengenakan pakaian serba hitam. Ditambah, Beanie hat itu sangat mendukung situasi dan kondisi. 

"Lo mau ngerampok?!" tuduh Bigel.

"Haish!" Buru-buru, Ales membekap mulut kliennya. Kurang ajar, memang. Namun maaf, Ales tak punya pilihan. "Bukan gitu, Bos Bi!"

"Al—" Suaranya tidak jelas, Bigel kesulitan membuka suara dan bernapas. Tangan Ales terlalu besar untuk membekap hingga menutup lubang hidungnya dengan rapat.

Lantas, ia hanya bisa memukul-mukul punggung tangan Ales dengan kencang dan cepat.

"Huh!" Bigel langsung mengatur napas, ketika sudah mendapat pasokan oksigen lagi. "Gila lo ya?!"

"Duh, Bos Bi. Bukan gitu! Maaf! Lagian Bos Bi sembarangan banget ngomongnya!"

"Heh? Lo yang sembarangan! Nanya-nanya harga, udah mana pakai beanie hat hitam gitu. Kayak mau maling!"

"Eh?" Ales tertegun. Rupanya, tak hanya ia yang berpikiran begitu. Bigel pun sama. Lantas tiba-tiba, ia malah mengukir senyuman, alih-alih menanggapi tuduhan dan kekesalan Bigel.

"Les?" Bigel mengernyit melihat Ales senyum-senyum sendiri. Pun lantaran tak disahuti, Bigel mulai merasa ngeri.

Diam-diam, ia pun mengambil langkah untuk menjauh dari Ales yang keanehannya sudah kembali.

Namun, tak sampai sepuluh langkah ia menjauh, Ales sudah keluar dari lamunan dan sadar dirinya ditinggalkan. Buru-buru, Ales pun mengejar Bigel. 

"Bos Bi! Tungguin! Jadi mau maling lukisan enggak?!"

"Ales freeeeaaaaakkk!"

"Ayo, Bos Bi! Baju kita udah kayak satu tim nih!"

Bigel sudah tak habis pikir lagi, ia lantas semakin mempercepat langkah, menjauhi Ales yang pikirnya sudah kehilangan kewarasan.

"Dasar gila!"

"Bos Biiiii!"

to be continue ... 

<3 Xadara Goe, sampai ketemu lagi!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top