12 | sweetbox
HARI pertama kencan mereka, masih belum menunjukkan koneksi antar keduanya. Pendekatannya benar-benar jauh dari kata mulus. Mulai dari banyaknya tingkah Ales yang membuat Bigel bergeleng kepala, hingga malu sendiri karena kebodohannya.
Maka dari itu, Ales ingin mencoba memperbaikinya di hari kedua. Setidaknya, hari kedua ini harus dimulai dengan awal yang baik dan menyenangkan. Bagus-bagus, Ales tidak menimbulkan kekacauan dan bisa mengajak Bigel kencan malam mingguan.
Semoga saja, mulai hari kedua dan seterusnya bisa berjalan dengan baik, ya. Kira-kira, begitulah harapan Ales sebelum menginjakkan kaki ke Fleur Teapot pagi ini.
"Movie date, museum date, park date, terus ... bar date?" Bigel membaca daftar yang diberikan Ales. Sesuai ucapannya kemarin, Ales benar-benar datang ke toko di Sabtu pagi yang cerah. Bahkan, ia datang lebih awal daripada Elio yang bekerja di sana.
"Yup! Hari ini kita bisa movie date, besok kita museum date, lusa kita park date, terus tanggal limanya kita bar date! Gimana, Bos? Oke, enggak?"
"Tanggal seterusnya?" tanya Bigel, perihal agenda Ales yang begitu tanggung.
"Ah itu ...," Ales menggaruk tengkuk, "belum gue pikirin, hehe. Tapi Bos Bi tenang aja! Nanti, pas tanggal lima, langsung gue kasih lagi dating plan lanjutannya! Oke? Oke!"
Bigel yang tak mau banyak ribut dan juga tak punya ide baru untuk melakukan kencan dengan Ales, akhirnya mengangguk dan setuju dengan segala rencana kencan yang Ales berikan. Tak peduli pada fakta bahwa ia sudah pernah melakukan semua ini dengan Bara.
"Yes!" Ales berseru senang.
"Movie date hari ini, ya?"
"Iya, Bos! Emm ... kalau Bos Bi mau, kita sih enaknya nonton jam—"
"Malam aja bisa, Les? Kemarin gara-gara tutup cepet, gue harus beresin banyak orderan."
"Nice! Bisa banget dong, Bos Bi! Justru emang gitu enaknya!"
"Oke, malam, ya. Nanti jam delapan jemput gue lagi di sini. Thank you," tutup Bigel yang kemudian mengantongi ponselnya di saku apron, dan meninggalkan Ales sendiri tanpa basa-basi. Bigel langsung beralih mengambil bunga-bunga di lemari pendingin, dan membawanya ke meja perangkai. Ales bingung dengan situasi ini. Ia tak mengerti mengapa Bigel meninggalkannya begitu saja.
"Euh? Gitu aja?" Ales celingak-celinguk, kedua bola matanya mengikuti pergerakan Bigel yang mondar-mandir, terlihat begitu sibuk sendiri tanpa melibatkan Ales sama sekali. "Enggak butuh gue lagi, kah?"
Ting!
Bel berdenting, dan membuat Ales juga Bigel seketika menoleh ke arah pintu yang telah dibuka.
"Ce Alin?!"
Wajah Bigel begitu bercahaya, cerah seketika, setelah melihat manajer tokonya telah kembali setelah sakit selama tiga hari.
Sementara itu, Ales tak mengenal siapa gadis putih berambut pirang ini. Namun, Ales tetap tersenyum, dan menunduk memberi hormat kepada ia yang baru saja datang, meski ia tak mengenalnya.
Mana tahu itu adalah pelanggan? Ales pikir, ia harus bersikap sopan. Ia mengingatkan dirinya untuk tak berlebihan dan sok akrab, seperti apa yang ia lakukan sebelumnya. Ya, lebih baik begitu, daripada ia terus memicu masalah baru.
"Ce, lo udah sehat?" tanya Bigel, menghampiri Alin yang berdiri tak jauh dari Ales, pun tak jauh dari pintu masuk.
"Kan gue udah bilang, gue masuk hari ini."
"Ah, gapapa kalau lo masih perlu istirahat. Gue bisa kok sama Elio."
"Aduh, kasian anak part time itu. Tiga hari berturut-turut kerja terus kayak fulltime."
Ting!
"CE ALIN?!"
Alin menoleh, "BABY EL!!"
Elio yang pagi itu datang dengan membawa plastik berisi bubur kesukaannya untuk sarapan, lantas merentangkan tangan memeluk Alin yang ia rindukan.
"Ce Alin ke mana aja ih?! Tau enggak sih, aku tuh stres ditinggal di sini cuma sama Kak Bigel! Mana aku disuruh-suruh terus lagi!"
Bigel membelo, anak ini sama mengejutkannya seperti Ales kalau sudah buka suara. Padahal, kemarin ia baik-baik saja, seolah tak apa menerima pekerjaan-pekerjaan tambahan dari Bigel. Sekarang, malah mengeluh kepada manajernya.
"Mentang-mentang manajernya enggak ada, Kak Bigel tuh—"
Ekhm!
Suara dehaman itu bekerja efektif dalam urusan mengalihkan perhatian, sekaligus memotong pembicaraan. Ales tersenyum lebar begitu atensi teralihkan padanya. Ia juga mengulurkan tangan dengan ramah, kepada Alin yang baru beberapa detik lalu ia ketahui adalah manajer Fleur Teapot.
"Ales," ucapnya.
Alin melirik-lirik ke arah Bigel dan Elio, seolah bertanya siapa pria dengan kepercayaan diri setinggi tubuhnya ini. Alin merasa baru melihatnya pertama kali. Ia ragu untuk menerima uluran tangan itu.
"Ales, Ce. Boyfriend rent gue," jelas Bigel.
"Heh?!" Ales melotot, tak percaya Bigel akan memperkenalkannya dengan begitu jujur.
Elio pun tertawa, "Kenapa, Kak Ales? Enggak terima dibilang boyfriend rent?"
"E-eh bukan gitu!"
"Oalah! Ini boyfriend rent-nya Bigel? Kakak tingkat Elio, ya?"
Ales mengangguk dengan menampakkan jajaran giginya. Ia tampak bangga sekali dengan dirinya saat ini, membuat Alin sontak ikut tersenyum dan menyambut uluran tangan Ales dengan hangat.
"Alin. Gue manajer di sini. Salam kenal. Semoga bisa bekerja sama dengan baik, ya!"
"Ales, pacar Bigel. Salam kenal," sahut Ales.
Elio yang gemas mendengar bagaimana Ales mengidentifikasikan dirinya di hadapan Alin, tiba-tiba berteriak sembari bertepuk tangan. Ia ramai sendiri di antara mereka yang cenderung kalem di pagi hari.
"AAAAA! 'Ales, pacar Bigel. Salam kenal.' AAAA KEREN KAK ALES! Pokoknya, nanti pas acara lamaran, dan ada yang ajak kenalan, kenalin dirinya kayak gitu ya, Kak!
Terutama ke si Bara Bere itu! Oke?!"
"Keren nih gue?" tanya Ales, ia masih butuh validasi lagi.
Elio pun mengangguk, tapi Ales belum puas juga. Lantas, ia beralih menoleh ke arah Bigel yang tampaknya sudah sedari tadi memandang ia dengan tatapan geli. Ales bisa tahu dari bagaimana kedua alis itu bertaut, dan hidung yang mengerut, juga bibir yang juga jelas menunjukkan kejijikannya.
Sontak, membuat nyali Ales seketika ciut. Bos Bi-nya, terlihat tidak dalam suasana hati yang cukup baik untuk ia tanya perihal kekerenan dirinya.
"B-Bos Bi ...."
"Elio, cepat sarapan. Ada banyak bunga yang harus di antar. Ce Alin, kalau masih belum benar-benar fit, enggak usah handle banyak kerjaan, duduk aja dan minum teh. Biar gue yang handle semua. First of all, gue kerjain buket dulu."
Setelah mengatakannya, Bigel langsung meninggalkan mereka bertiga. Ia kembali kepada urusannya di meja perangkai bunga, tanpa peduli pada Ales yang masih terpaku karena kini ia bingung harus bagaimana.
Alin yang juga masih berdiri di tempatnya, menyadari bahwa pandangan Ales kini tertuju ke gadis di balik meja perangkai bunga. Ia lantas mengalihkan atensinya.
"Ales, gue harap lo bisa diandalkan untuk Bigel, ya."
Baru satu kalimat, Ales sudah menoleh ke arah Alin.
"Eh? I-iya, Bu?"
Alin tertawa, "Panggil Ce Alin aja, biar kayak yang lain. Jangan Ibu atau Bu, gue berasa terhormat banget, ah. Jangan kaku-kaku sama gue, Les."
"Ce Alin, aku ke backroom dulu ya!" Elio menyela sejenak, sebelum Alin bicara lebih banyak.
Alin mengangguk memberikan izin, dan Elio pun pergi. Kini hanya ada Alin dan Ales yang berdiri bersebelahan, dan Alin kembali melanjutkan.
"Les, gue akan sangat-sangat berterima kasih sama lo, kalau lo bisa bantu Bigel untuk lepas dari masa lalunya. Mungkin lo belum tau banyak, tapi singkatnya, ini bukan hubungan yang bisa direstui banyak orang, Les. Jadi, seperti yang udah gue bilang tadi, semoga kita semua bisa bekerja sama dengan baik ya! I'm really glad to meet you."
"Eh? Le-Lepas dari masa lalu? Gimana, Ce?"
"Hmm, panjang sih ceritanya. Gue sekarang harus kerja, kapan-kapan kita ngobrol lagi, ya."
"Oh, oke-oke. Semangat!!"
"Good luck ya buat dating-nya!" balas Alin.
"Thank you, Ce!"
Alin menutupnya dengan memberi senyuman hangat, senyum yang juga selalu ia pancarkan kepada junior-juniornya di Fleur Teapot. Senyum yang mampu menghangatkan Bigel, dan dicintai Elio. Senyum yang pagi ini Ales temukan sebagai senyum paling tulus yang pernah ia lihat.
Sejenak saja Ales mengerti, Alin pasti orang dengan hati paling lembut di sini. Ia bahkan mengharapkan Ales untuk membantu Bigel melupakan masa lalu, walau penyewanya saja tidak sampai begitu.
Memang kadang orang-orang di sekitar yang justru suka menaruh ekspektasi lebih jauh.
•
♡
•
"So, malam ini Kak Bigel pulang jalan kaki lagi?" tanya Elio, setelah selesai menyapu toko dan melepas apronnya.
Waktu untuk bekerja sudah berakhir, jam sudah menunjukkan pukul delapan malam, dan sudah waktunya untuk menutup toko.
Alin bertahan dengan kondisi yang melemah seiring waktu berjalan, dan membuat ia tak banyak bicara sejak sore hingga malam. Namun, kalau sudah urusan Bigel, Alin akan menyanggupi untuk memberikan tanggapan, meski kepalanya pusing dan tubuhnya terasa ingin roboh.
"Bigel ...," Suara Alin yang begitu pelan, sontak membuat Elio diam dan memfokuskan pendengaran. Begitu pula dengan Bigel yang disebut namanya. "Jangan pulang jalan kaki terus. Bahaya, Gel. Bareng gue aja atau pesan taksi," ujar Alin.
"Betul!! Eh tapi, Ce Alin masih sakit, ya? Yakin bisa nyetir, Ce?" tanya Elio. "Kalau enggak bisa, biar aku aja yang setirin Ce Alin, nanti aku naik taksi dari rumah Cece."
Alin menggeleng, "Bisa, kok. Lo mau nebeng? Bigel mau sekalian nebeng, enggak?"
"Eh, enggak! El mau pulang naik sepeda lagi aja, kayak kemarin," Elio tampaknya ketagihan naik sepeda setelah Bigel menyuruhnya, "Kak Bigel, boleh 'kan dibawa lagi sepedanya?"
"Boleh. Tapi Ce Alin kayaknya enggak fit, lo aja yang nyetir, gih. Nanti ongkos lo dari rumah Ce Alin gue transferin."
"Heh! Apa sih? Enggak-enggak," tolak Elio. "Aku bisa pake uangku kok! Enggak usah ditransfer. Ayo, Ce Alin aku setirin aja!"
"Katanya mau naik sepeda?" tanya Alin.
"Enggak jadi lah, daripada Ce Alin kenapa-kenapa di jalan. Lagian ya, Ce, kalau masih sakit tuh enggak usah maksain kerja sih. Kak Bigel juga ngerti kok, ya 'kan, Kak?"
Bigel mengangguk, setuju dengan Elio untuk kali ini.
"Lo gimana, Gel? Bareng aja ya pulangnya sama kita? Jangan jalan kaki ...."
Tin! Tin!
Di tengah percakapan mereka tentang bagaimana mereka pulang, suara klakson motor pun terdengar dari depan Fleur Teapot. Cahaya lampunya menembus kaca, membuat ketiga pegawai di sana menyipitkan mata, tak bisa melihat jelas siapa pengendaranya.
Hingga akhirnya lampu yang menyorot itu mati, seorang pria dengan hoodie hitamnya melambaikan tangan sembari berteriak, "BOS BI!!!!"
"Wah ...," Elio terperangah setelah melihat eksistensi Ales dengan jelas dari balik kaca jendela Fleur Teapot. "Kencannya lancar, ya, Kak? Sampai Kak Ales jemput gitu."
Alin yang mendengarnya, lantas ikut memusatkan pandangan. Rupanya Elio benar, Ales menjemput Bigel tepat setelah pekerjaannya selesai. Alin tersenyum, ia ikut senang melihatnya.
"Gue jalan dulu. Elio, hati-hati di jalan, setirin Ce Alin dengan selamat sampai tujuan. Awas aja lo bikin lecet mobil orang!"
Elio berdecak, "Bawel! Dah sana, pacarnya nungguin tuh!"
"Apaan sih?!"
Alin berusaha sekeras mungkin menyembunyikan senyuman kala melihat Bigel yang tampak salah tingkah dengan ucapan Elio barusan. Sungguh sebuah pertanda baik, jika Bigel tak hanya menggunakan Ales sebagai gandengan di acara lamaran Bara nanti. Ia benar-benar ingin Bigel bisa keluar dari belenggu masa lalu yang kerap kali mengganggu. Ia ingin Bigel menjalani hidup dengan bahagia dan tenang, tanpa bayang-bayang.
"Ih apaan-apaan, salting ya?" Elio meledeknya, "Kak Ales ganteng banget lagi duh, sana gih pulang sama ayang gantengnya!"
"Gue mau nonton. Bye."
"IH? BENERAN? MALEM BANGET NIH NONTONNYA?" Elio tertawa kencang penuh kesenangan. "Duh, Ce Alin, kita harus pantau nih. Telfonin jam dua belas malam nanti, mana tau Kak Bigel enggak pulang? Belok ke manaaaaa gitu? Kan gawat! Aw!"
"Elio, jangan sampe gue pecat lo ya."
"Idih? Hahaha, punya hak apa kali Kak Bigel pecat aku? Udah, kalau salting mah bilang aja. Kak Bigel nih salting jadi bego deh. Dah sana, pergi pergi! Hush!"
Sementara Bigel berdecak kesal setengah mati karena Elio, Alin malah terkekeh lucu melihat dua juniornya ini. Seketika, energinya seperti kembali, meski beberapa titik di tubuhnya masih terasa sakit cenderung lelah. Namun, berhasil runtuh sejenak karena gelak tawa dari candaan dan ledekan Elio kepada kakak seniornya di toko bunga.
"Eh, bocah, dengar ya. Gue ini beneran bisa mec—"
"BOS BI!" Ales masuk dengan tiba-tiba, "ayo, Bos! Sejam lagi, udah jam tayang terakhir nih!"
Kedatangan Ales membuat Elio tersenyum penuh kemenangan, dan Bigel hanya bisa menghela napas sabar karena gagal mengancam Elio.
"Eh, belum pada pulang?" tanya Ales kala melihat Alin dan Elio juga masih berada di sana.
"Ini mau pulang kok, Kak. Have fun ya! Ayo, Ce!"
Elio menarik pergelangan tangan Alin, dan membuat manajer itu mengikuti langkah pekerja paruh waktunya untuk keluar dari Fleur Teapot. Lalu, tepat saat Alin hendak melintasi Ales, keduanya bertukar senyum seperti di awal pertemuan mereka, dan Alin berbisik sesuatu di sana.
"Have fun and ... good luck!" katanya.
•
♡
•
Dari Fleur Teapot, hanya butuh sekitar lima belas menit untuk sampai ke bioskop di salah satu mall besar Jakarta. Jarak antara mall dengan komplek ruko tempat Fleur Teapot berdiri memang dekat, ini sangat menguntungkan bagi Ales yang tak perlu mengisi bensin lebih banyak. Hemat.
Begitu mereka sampai, Bigel langsung membeli tiket dengan kursi Sweetbox, tanpa berdiskusi dengan Ales. Ales yang sedang melihat-lihat menu makanan pun terkejut ketika Bigel datang membawa tiket dengan nomor kursi berkepala A—tipikal nomor kursi Sweetbox di CGV.
"B-Bos Bi, ini ...."
"Biar kayak orang pacaran beneran lah, Les."
"Y-ya tapi kan ...."
"Lo mau popcorn?"
"I-iya, ini mau beli. Tapi mau nanya Bos Bi dulu, mau yang asin atau yang manis?"
Bigel hanya tersenyum, Ales cukup baik untuk menunggunya dan mananyakan hal yang cukup penting.
"Lo suka apa?" Bigel balik bertanya.
"Gue suka yang asin sih," sahut Ales.
"Minumnya?"
"Cola. Bos Bi apa?"
Ia yang ditanya oleh Ales, tak menyahuti apa-apa, dan langsung menyebutkan pesanannya kepada petugas di sana.
"Mbak, mau Combo Solo yang salty satu, sama yang caramel satu ya. Minumnya Cola semua," ucap Bigel.
Ales terkejut mendengar Bigel langsung memesan begitu saja. Masalahnya, kini ia kesulitan mencari harga dari menu yang Bigel sebutkan. Dompetnya akan menjerit kalau-kalau harganya di luar nalar!
"Kenapa, Les?" tanya Bigel, melihat Ales yang gelagapan melihat-lihat menu di meja bar, dan juga di menu board yang tergantung di belakang petugasnya.
"Sebentar, Bos Bi! Gue lagi fokus!"
Bigel berdecih, menahan tawa melihat tingkah Ales yang benar-benar tak terduga. Siapa yang akan menyangka, ia membawa pria yang gelagapan bolak-balik membaca menu board dan menu di meja bar. Bigel lantas memilih untuk mengabaikannya.
"Ada lagi pesanannya, Kak?"
"Udah, itu aja," jawab Bigel. Namun, kala melihat kembali ke arah Ales yang masih sibuk membaca menu, Bigel lantas menahan kartu yang hendak ia berikan untuk melakukan pembayaran. "Sebentar, Mbak. Ales, mau tambah apa?"
"Eh? Enggak, Bos! Enggak mau apa-apa! Hehe udah itu aja, totalnya jadi berapa, Mbak?"
"Totalnya jadi seratus—"
"Debit ya, Mbak," ucap Bigel seraya menyerahkan kartunya kepada petugas di sana.
Lagi-lagi mata Ales membola seketika, "Bos Bi yang bayar?!"
"Kenapa?" tanya Bigel.
"Enggak enak, 'kan Bos Bi udah bayar tiketnya."
"Gapapa sih, alay lo. Gue tau lo perlu dibayarin, Les."
Malu-malu, Ales terkekeh mendengarnya, "Ah, Bos Bi tau aja!"
Alih-alih kesal karena terus mengeluarkan uang untuk kencan, Bigel malah berdecih dan menahan tawa setelah melihat wajah Ales yang malu-malu mengatakannya.
"Terima kasih, pesanannya ditunggu di sebelah ya, Kak!"
Begitu popcorn dan cola mereka sudah di tangan, kini tinggal menunggu jam tayang film mereka. Selagi menunggu, Bigel dan Ales memilih untuk duduk karena mereka masih memiliki waktu sekitar lima belas menit lagi.
Malam itu, bioskop cukup ramai. Mungkin, karena ini malam minggu, dan mereka menonton di jam tayang terakhir. Melihat beberapa pasangan di bioskop ini saling berfoto demi menghidupi sosial media mereka, sekelebat memberikan ide untuk Ales membuka perbincangan dengan Bigel.
"Bos Bi!"
"Hm?"
"Foto yuk!"
"Buat?"
"Ya ... buat apa aja! Upload di Twitter kek, Instastory kek, atau disimpan aja juga boleh. Terserah Bos Bi, yang penting kita foto biar kayak orang pacaran beneran!"
Biar kayak orang pacaran beneran.
Bigel sadar Ales mengutip kata-katanya. Ia berpikir sejenak, memang tak ada gunanya kencan di bioskop jika tidak mengunggah sesuatu di sosial media. Pun kalau ia menggunggah fotonya dengan Ales, Bara akan melihatnya, dan membuka kesempatan bagi Bigel untuk membuat jarak dari mantan kekasihnya itu.
Lantas, Bigel setuju untuk foto-foto di bioskop seperti yang Ales sebutkan.
"Boleh, upload di Instastory, ya!"
"Siap, Bos!"
♡
Dentuman dari pengeras suara di dalam bioskop, alur yang membuat para penontonnya ikut berdebar seiring film diputar. Bigel yang secara khusus memilih untuk duduk di Sweetbox demi mempercepat keberhasilan pendekatan, pun berdebar tak karuan, tapi bukan karena film yang sedang diputar.
Padahal, sebelumnya ia hanya sedang menaruh harap mereka akan mendapat hasil yang natural saat hari lamaran nanti. Tak boleh terlihat ada sedikit pun kepalsuan. Karena Bigel tak ingin Bara melihatnya begitu. Ia harus bisa terlihat sama bahagianya seperti Bara yang sebentar lagi memiliki penerus nama keluarga Tanuwidjaja.
Namun, alih-alih berhasil, yang terjadi justru sebaliknya. Sepanjang film diputar, Sweetbox dengan konsep sofa yang tak memiliki pembatas di antara keduanya, malah membuat Ales dan Bigel canggung selama duduk bersama dua jam lamanya.
Sial, seharusnya tak seperti ini.
Entah karena Ales yang malam itu begitu wangi, atau karena Bigel yang terlihat jauh lebih cantik saat malam hari; jantung keduanya berdebar lebih cepat daripada biasanya. Tak peduli dengan dentuman suara di dalam ruang teater sinema, mereka bahkan tak bisa fokus mengikuti alur di hadapannya. Lantaran mereka terlalu sibuk, memikirkan kegelisahan dan rasa janggal masing-masing saat duduk berdua tanpa jarak sama sekali.
Ini terlalu gila untuk agenda kencan pertama.
Hingga saat lampu-lampu di atas mereka kembali menyala, masih tak bisa menghilangkan rasa canggung mereka. Perlahan, Ales mencuri-curi waktu untuk menoleh dan melihat bagaimana keadaan Bigel di sebelahnya. Tanpa ia ketahui, bahwa Bigel juga melakukan hal yang sama, dan membuat pandangan mereka bertemu tanpa sengaja.
Shit ....
Buru-buru, Ales langsung mengembalikan pandangan ke depan, dan bangkit dari sofa terkutuk yang tak seharusnya Bigel pesan.
"Eung ... Bos Bi, h-habis ini mau ke mana lagi?"
Bigel pun tampak gelisah, dan buru-buru bangkit dari sofa. Hingga tak sadar bahwa ada seseorang yang berjalan sambil bercanda, nyaris menabraknya.
Sontak, Ales yang cepat tanggap pun langsung menarik Bigel ke dalam dekapan, sebelum orang itu benar-benar menabrak Bigel dan membuatnya jatuh melewati tangga.
Deg ....
Sadar akan tindakan gegabahnya, Ales membeku di tempat. Dirinya dapat merasakan dada Bigel pun berdebar hebat. Ia benar-benar tak tahu harus berbuat apa, dan Bigel pun hanya bergeming di sana.
Namun, semakin lama dibiarkan, Bigel khawatir hal ini tak baik untuk kesehatan jantungnya.
Lantas, buru-buru ia melepas dekapan Ales. Merapikan dirinya yang mungkin sedikit berantakan—terutama rambut—dan kembali menetralkan emosi dalam diri.
"A-ayo, Les. Pulang."
"O-oh, iya, Bos. P-pulang."
Bigel mengangguk, dan dibalas dengan anggukan canggung dari Ales. Barulah setelah melewati kecanggungan bukan main di dalam ruang teater, Bigel dan Ales dapat menghirup udara segar, merasakan sedikit kelegaan, tepat setelah keluar dari area bioskop.
Malam itu, mall sudah sepi, tampaknya tak ada lagi yang bisa dikunjungi. Maka Ales dan Bigel langsung memilih untuk pulang, tanpa mampir ke mana-mana. Toh, debaran di antara keduanya masih belum benar-benar netral meski sudah keluar dari atmosfir menegangkan.
"B-Bos Bi, rumahnya di mana?" tanya Ales, tepat setelah memakai helm dan siap untuk menyalakan motornya.
Tak mau banyak mengobrol dengan Ales, Bigel menjawab dengan lugas.
"Puri Magnolia, Cluster Stellata, Blok A, nomor sebelas."
Meski sudah sejelas itu, Ales tetap tak tahu di mana letaknya. Ia bukan peta yang tau titik segala tempat. Lantas, ia meminta bantuan Bigel tepat setelah gadis itu naik ke motornya.
"B-Bos Bi ... boleh tunjukkin jalannya, enggak?"
"Jalan aja, nanti gue arahin."
"O-oke ...."
Dan benar, sepanjang perjalanan pulang, Ales mengendarai Ocong sesuai dengan arahan Bigel. Selama tiga puluh menit, tak ada kata-kata lain yang terdengar selain 'kanan, Les', 'di depan belok kiri', atau 'pertigaan lurus aja', dan semacamnya.
Karena memang Ales tak tahu di mana letak perumahan itu. Hingga ia sampai ke gapura utama perumahan bernama Puri Magnolia, Ales ditakjubkan dengan besarnya gerbang masuk ini. Jauh berbeda dengan gapura pintu masuk perumahan Roy.
"Wah ...."
"Masuk, lurus aja. Nanti masuk ke Cluster Stellata."
"B-Bos Bi, di sini emang rumah-rumahnya raksasa ya?" tanya Ales, seraya mengendarai Ocong memasuki area Perumahan Puri Magnolia.
"Heuh?"
"Gede-gede banget! Rumah Bos Bi yang mana?"
"Masih di depan, masuk aja dulu, Les."
Ales mengangguk paham, ia terus mengendarai Ocong hingga matanya menangkap sebuah gerbang yang lebih kecil dengan satu pos penjaga, dan tampak tulisan Cluster Stellata tepat di depannya.
Motor Ales sempat dihentikan sejenak, sampai Bigel membuka kaca helm, barulah mereka diberikan izin untuk masuk ke lingkup penghuni cluster-nya.
"Blok A, nomor sebelas. Itu, Les. Gerbang hitam."
Ales mencari-cari di sisi kanan dan kiri, ia juga memperhatikan balok nomor yang tertera di setiap rumah, hingga akhirnya mendapati di mana rumah Bigel berada.
Ales pun berhenti, tepat di depan sebuah rumah besar dengan gerbang hitam yang tinggi. Rumah yang identik dengan kata modern, mewah, namun masih memiliki sentuhan klasik, dan didominasi dengan warna putih gading. Hanya beberapa detik melihatnya, sudah berhasil membuat Ales insecure setengah mati.
Jika ia menggabungkan harta miliknya, kakaknya, dan ayahnya, ia yakin masih belum cukup juga untuk membeli rumah sebesar ini. Ales memang berkecukupan, tapi ia bukan seorang kaya raya seperti Abigail Ananta.
Yah, kini ia sedikit tertampar kenyataan. Padahal, baru beberapa menit lalu ia berdebar hanya karena duduk berdekatan dengan Bigel. Ia sudah nyaris jatuh cinta, tapi kenyataan menyelamatkannya dengan menunjukkan kediaman gadis cantik itu.
"Thanks, Les," ucap Bigel, setelah turun dari motor dan mengembalikan helm merah muda kepada pemiliknya.
"E-eh, enggak. Gue yang makasih, Bos Bi."
"Lho, kok?"
"Makasih ya, udah mau nonton bareng! Senang bisa kenal Bos Bi," ucap Ales dengan diiringi seulas senyuman.
"Senang bisa kenal Bos Bi?" Bigel berdecih setelah mengulangnya, "lebay lo."
"Serius, Bos Bi. Makasih juga ya, udah milih gue jadi pacar sewaannya. Gue janji, gue bakal bekerja dengan baik!"
Bigel yang semula ingin tertawa, tak jadi setelah melihat wajah serius Ales di sana. Sungguh kini Bigel tak mengerti apa yang terjadi dengan kepala Ales dan isinya. Padahal, seingat Bigel, Ales tak terbentur apa-apa sepanjang perjalanan, pula sepanjang menonton bersama. Namun, mengapa tiba-tiba dia jadi serius begini?!
"Jadi, sampai ketemu besok, Bos Bi! Semoga, delapan hari yang tersisa bisa jauh lebih menyenangkan dari hari ini ya! Maaf, kalau hari ini malah ngerepotin Bos Bi. Besok-besok, gue yang bayarin ya, Bos! Sekarang, pacar sewaannya pulang dulu, see you!"
Dan Ales pergi, meninggalkan Bigel dalam kebingungannya sendiri. Ia benar-benar tak paham, sekarang mengapa Ales bersikap seolah-olah tak akan bertemu lagi setelah delapan hari ke depan?
Sejenak hal itu sempat Bigel renungkan, hingga akhirnya ia menyerah. Ales terlalu sulit untuk dimengerti. Memikirkannya, hanya membuat sakit kepala saja!
•
♡
•
to be continue ...
BTW, PERMISI INI ADA COUPLE BOONGAN MAU LEWAAAT!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top