10 | gamja hotdog

"BOS! BOS!"

Barusan, Ales yang memanggil. Tepat setelah Bigel mempersilakan kliennya pergi, Ales berlari seperti anak kecil yang menghampiri kakaknya. Bigel sontak menoleh. Bukan karena dirinya merasa terpanggil, tapi karena ingin memaki kesal kepada Ales yang hobi mengundang emosi.

Bigel sedang tak ingin mendengar bising.

"Bisa tenang sedikit enggak, Les? Kepala gue pusing."

"Eh?" Ia mengamati wajah Bigel sekilas, "Bos sakit? Mau dibuatin chamomile tea lagi?" tanya Ales, dengan raut khawatir di wajahnya yang terlihat sangat natural. Seolah ia sedang benar-benar mengkhawatirkan kekasih hatinya.

Padahal, yang Ales lakukan hanyalah sebatas profesionalitas pekerjaan.

"Les, jangan dekatin gue dulu, bisa? Dan tolong, enggak usah manggil bos bos apalah itu. Gue bukan bos lo."

"Lho, itu panggilan sayang, Bos!"

"Panggilan sayang apanya?!"

"Hehe, katanya 'kan enggak mau dipanggil Baby? Mau panggil Mommy ... tapi, malah digeplak. Jadi, Bos aja ya? Lagian 'kan, Bigel emang bos! Bos toko bunga dan bosnya Ales!" jelas pria itu dengan cengiran yang menampakkan deretan giginya.

Bigel lantas menghela napas, belum apa-apa ia sudah mendapat panggilan baru saja dari kekasih palsunya. Baru beberapa menit lalu, kepalanya pening karena Bara dan wedding organizer. Sekarang, Ales malah menambah-nambahkannya. Kepala Bigel rasanya ingin pecah!

Lantas, gadis itu memijat pangkal hidung kala menyadari kebodohannya saat itu. Seketika, membuat Ales semakin khawatir melihat Bigel yang tampak sakit kepala.

"Bos?"

"Euh? Kak Bigel kenapa?" tanya Elio yang kebetulan melihat mereka setelah keluar dari ruang belakang. Ia pun ikut khawatir, lantaran melihat Bigel yang berdiri menunduk dengan tangan di pangkal hidung, dan Ales yang tampak sedang mengamati apa yang Bigel rasakan saat ini.

Alih-alih menjawab pertanyaan Elio dan merespons Ales, Bigel malah mengangkat kepala sekaligus angkat kaki dari tokonya sendiri. Ia pergi ke luar, tanpa peduli Ales dan Elio yang mengkhawatirkannya di dalam.

"Kak Bigel kenapa sih, Kak?" tanya Elio.

"Entah, katanya pusing. Coba gue susulin dulu deh, El."

Elio lantas mengangguk, memberikan persetujuan atas upaya yang hendak Ales lakukan. Setelahnya, Ales langsung keluar menyusul Bigel yang ternyata berada di teras toko mereka. Langkah Ales terhenti sejenak, kala melihat Bigel membakar sebatang sigaret lagi sembari menyandarkan kepalanya di dinding.

"Bos?" Ales memanggilnya, dengan hati-hati. Ia takut kehadirannya malah mengganggu gadis ini.

Namun rupanya, Bigel menoleh dan menyahuti panggilan Ales. "Hari ini sampai di sini aja ya, Les. Lo boleh pulang. Sorry, gue kayaknya malah merusak suasana. Nanti malam, gue chat lo buat detail kegiatan kita besok."

"No, no, enggak gitu kok." Ales pun menghampiri Bigel dan berdiri tepat di hadapannya. "Gue justru harus pastiin lo enggak lagi kenapa-kenapa, 'kan? Tadi katanya pusing? Jangan ngerokok dulu kalau pusing. Nanti malah tambah tuing-tuing lho kepalanya!"

Di tengah perihnya hati dan sakitnya kepala, Bigel kembali menghela napas panjang penuh emosi yang tertahan.

"Tuing-tuing apaan sih?"

"Umm tuing-tuing itu ... gimana ya jelasinnya? Pokoknya tuh, kepalanya kayak ngiung-ngiung gitu lah!" sahut Ales dengan wajah lugunya.

Sungguh Bigel tak butuh penjelasan itu. Ia hanya tak mengerti mengapa Ales masih saja di sini dan tak mengerti kondisi. Jelas, Bigel sedang tak baik-baik saja. Tak bisakah boyfriend rent profesional itu membaca keadaannya?

"Ah, enggak tau! Pokoknya Bos jangan ngerokok terus, mending kita beli hottang aja, yuk!"

Mendengar ajakan Ales, awan hitam pun tiba-tiba datang tanpa diundang, dan kembali merundungnya tanpa iba. Membuat Bigel total kehilangan senyuman, wajahnya datar menatap Ales dengan sorot dan bayangan masa lampau. Semakin dalam Bigel menatap, semakin tenggelam ia dalam sebuah halusinasi. Lantaran secara perlahan, otaknya bekerja menciptakan ilusi.

Seperti sebuah fatamorgana, kini seorang pria bernama Alessandro Tedja yang berdiri tepat di hadapannya, samar-samar terlihat seperti sang ia yang pernah dicinta—Bara Tanuwidjaja.

"Bos?" Mungkin Bigel terlalu lama melamun, hingga Ales menyadari dan memanggilnya. "Bos Bi?"

"Eh?"

"Kok malah bengong? Enggak mau keluar beli hottang? Panas banget sih ya?"

Tidak salah, tidak benar juga. Cuaca hari itu memang cukup panas, dan teriknya matahari mampu membuat kepala terasa semakin pening.

"Ya udah, Bos Bi di sini aja. Biar pacarnya Bos Bi yang beliin. Oke? Oke!"

Kebiasaan Ales, dia yang bertanya, dia juga yang menjawab. Bigel hanya bisa bergeleng tipis melihat pria pecicilan itu langsung berlari menuju Vespa putihnya, dan pergi meninggalkan Fleur Teapot detik itu juga.

Bagus lah, batin Bigel setelah tak ada lagi Ales di sana. Lumayan, tak ada lagi pria petantang-petenteng yang mengganggunya. Karena sekarang, ia membutuhkan ruang sendiri untuk merokok sembari mencurahkan isi hati kepada human diary yang hendak ia hubungi sekarang ini, Alin.

Bigel ingin mengadu tentang segala huru-hara yang Bara ciptakan dan membuat harinya berantakan. Tak ada lagi tempat mengadu selain Alin yang Bigel percaya, seorang wanita dewasa yang bisa mengerti dirinya. Lantas, sebuah rasa lega pun muncul dalam hati Bigel, tepat setelah mendengar suara Alin di seberang sana.

"Halo? Kenapa, Gel?"

"Ce Alin, masih sakit?"

"Emm, udah mendingan sih, kenapa?"

"Gapapa. Kangen aja."

Terdengar suara Alin tertawa renyah, "Ngomong aja, lagi kenapa? Ada sesuatu yang mengganggu?"

"Ada," sahut Bigel, tak berbasa-basi lebih banyak lagi.

"Okay. Tell me."

"Bara ...."

"Bara?" Atensi Alin tampak langsung tercuri seketika, "Bara kenapa, Gel?"

"Dia kirim WO ke sini."

"Hah?!"

Bigel lantas menarik napas dan berusaha mengendalikan diri, dalam harap semoga rasa sakitnya tak akan kembali setelah ia memberikan penjelasan kepada Alin.

"Bara mau toko kita yang handle bunga untuk acara lamarannya. Jadi, dia kirim orang WO ke sini."

"APA?!"

"Bara mau toko kita yang—"

"No, Bigel! Gue enggak minta diulang. Ini serius Bara kirim orang WO ke sana?!"

"Iya."

"WHAT THE FUCK ?! Terus, ordernya lo ambil?"

"Iya."

"Hell no, Bigel!"

Bigel tau, Alin pasti tak akan setuju. Namun, ia tak punya pilihan lain. Ia terpaksa. Lantas, untuk membuat Alin mengerti, Bigel pun menjelaskan segalanya yang terjadi hari ini. Mulai dari kedatangan wanita bernama Mega, Adam yang meneleponnya, hingga segala bunga dan perlengkapan yang dibutuhkan acara lamaran Bara.

Dengan ditemani sebatang sigaret, syukurlah bisa membuat Bigel sedikit lebih tenang dan tak meledak-ledak ketika menjelaskan. Ucapan Ales tentang rokok yang bisa membuat kepalanya tuing-tuing dan ngiung-ngiung tak terbuktikan. Pula, balasan-balasan Alin yang kerap memberikan simpati dan membela Bigel setengah mati, membuat Bigel merasa cukup lega karena masih ada seseorang yang berdiri di sisinya. Alin jelas menyalahkan Bara atas kejadian hari ini.

"Bigel, lo tenang aja. Besok gue udah bisa masuk, biar gue aja yang urus pesanan-pesanan WO-nya Bara. Lo enggak usah, urus orderan lain aja. Enggak usah pikirin Bara dan segala urusannya. Wajar kok kalau lo sakit hati kayak gini, emang Bara-nya aja yang enggak punya otak.

Sekarang, tenangin diri dulu. Kalau udah, kirim ke gue pesanan yang lo catat tadi, nanti gue yang handle semua. Jangan pusing pikirin acara Bara, okey?"

Bigel tersenyum, dan mengangguk tipis meski Alin tak bisa melihatnya sekarang. Dalam hati, ia masih bersyukur kepada Tuhan karena memiliki rekan kerja sekaligus sahabat yang bisa menjadi pendengar. Kalau Alin tak ada, mungkin Bigel sudah menggila.

"Thanks, Ce."

"Anytime, Bigel. Jangan ngerokok banyak-banyak ya! Jangan lupa minum air putih juga!"

Bigel terkekeh, kalau saja Alin seorang pria mungkin ia bisa jatuh cinta. Sifat dan sikap manisnya, kurang lebih mirip seperti Bara. Hanya saja, Alin versi perempuannya.

Kalau mengingat kata orang tua yang menyebutkan bahwa jodoh adalah cerminan diri, Bigel suka memikirkan tentang Alin dan Bara. Karakter mereka benar-benar mirip satu sama lain, dewasa dan manis.

Namun bedanya, Bara memiliki satu kelebihan; menjadi seorang brengsek.

LAWSON adalah tempat yang Ales kunjungi untuk membeli kudapan favorit kekasih—ralat—kliennya. Ia masih ingat saat pertama kali bertemu Bigel di Fleur Teapot, gadis itu sempat menyebutkan tentang Lawson yang menjadi tempat biasa ia membeli kudapan kesukaannya.

Namun, Ales yang dapat terbilang cukup jarang jajan di toko kelontong ini agak kesulitan mencari kudapan yang Bigel inginkan.

"Umm, Mbak?" Ales lantas memanggil pegawai yang berjaga di balik meja kasir.

"Ya, Kak?" sahut pegawai itu yang sigap membantu Ales.

"Ada hottang?" tanya Ales, karena sudah hampir satu menit matanya mencari-cari di mana kudapan itu berada, tak ketemu juga.

"Ada, Kak. Mau berapa?"

"Eh, ada? Tapi kok di showcase enggak ada? Enggak ada tulisan sama harganya juga tuh?" tanya Ales, karena ia memang tak dapat menemukan bentuk fisik hotdog kentang itu di dalam kotak kaca tempat memajang kudapan.

Lantas, pegawai tersebut sedikit mencondongkan tubuh untuk menunjuk ke arah sudut paling bawah.

"Ini, Kak. Gamja Hotdong, namanya. Harganya juga ada di bawah ya, Kak. Delapan belas ribu per tusuk."

Ales pun membulatkan mulut sembari mengangguk, "Oalah, Gamja Hotdog."

Sejenak, ia masih memperhatikan kudapan di sudut kiri paling bawah itu. Gamja hotdog. Tangannya mengetuk-ngetuk dagu, sekilas tampak sedang memikirkan sesuatu.

"Ini ... delapan belas ribu? Satu?"

Kasir itu mengangguk sembari tersenyum, "Mau berapa, Kak?"

"Apa karena namanya ke-Korea-an gini ya, Mbak, jadi mahal? Tau enggak sih, di abang-abang cuma ceban. Di sini delapan belas ribu. Tinggal nambah dua ribu lagi, bisa dapat dua!"

"Eh? Y-ya udah, Kak. Beli di abang-abang aja. Biar dapat dua, hehe."

Ales merengut, kasir itu tampaknya sama seperti dirinya, sedikit banyak mulut. Apa-apa saja disahuti. Ales tentu tak bisa menjatuhkan harga diri di depan kasir yang seperti ini.

"Saya ambil tiga! Bungkus!"

"Oke! Siap, Kak!" sahutnya dengan semangat.

Setelah itu, si pegawai langsung membungkus pesanannya, dan Ales melakukan pembayaran dengan satu pegawai lain di balik mesin POS kasir.

Kala sedang menunggu pembayarannya diproses, Ales melirik-lirik kanan kiri karena bosan. Tanpa sengaja, ia mendapati seorang pria bergaya formal di sisi kirinya, berdiri di depan showcase dan mengamati kudapan di sana. Persis seperti apa yang ia lakukan beberapa menit lalu.

Ales iseng saja memperhatikan pria itu.

Dari ujung kaki hingga kepala, pria itu cukup menarik perhatiannya. Aroma tubuh pria itu bahkan menguar, aroma yang mampu membuat siapa pun menoleh ke arahnya ketika ia lewat. Ales tak pernah memakai parfum dengan aroma mahal seperti itu. Ales tak tahu bagaimana cara mendeskripsikan aroma itu dengan baik, tapi yang jelas pria itu membawa aura maskulin yang begitu kentara.

Penampilannya pun jelas menunjukkan ia adalah orang berada. Setelan jas yang dikenakannya terlihat begitu apik dan proporsional, seolah penjahit hanya membuat setelan itu untuk ukuran tubuhnya. Sepatunya pun hitam legam nan mengkilat, sejenak Ales bandingkan dengan sepatu tali miliknya yang bahkan sudah tiga tahun ia ajak ke mana-mana bersama.

Sial, Ales membatin. Ketimpangan kasta sosial jelas terlihat di sini.

"Kak, pembayarannya sudah selesai ya!"

Suara kasir itu lantas membuat Ales melepas iri dengki dalam hati, setelah sekilas membandingkan diri dengan pria asing di sebelahnya ini.

"Oh iya, thank you!" sahut Ales seraya kembali menerima kartu debit dan belanjaannya.

Ales pun bergeser, tapi ia berhenti sejenak untuk memasukkan kartu ke dalam dompet. Tanpa sengaja, ia mendengar kasir yang baru beberapa detik lalu melayaninya, menyebutkan pesanan pria yang memicu iri dengki di hatinya.

"Dua Gamja Hotdog ya, Kak. Ada lagi?"

Pria itu menjawab, "Sampoerna Mild satu ya."

Dengan mengabaikan pesanan tambahan pria itu, Ales berdecih tipis. Ia juga tiba-tiba tersenyum kecil sembari mengantongi dompetnya lagi.

Ales keluar dari toko kelontong itu dan langsung menghampiri motornya, "Cong ... Cong ... dia kaya raya juga belinya sama, hottang! Udah gitu, belinya banyakan gue lagi! Hahay! Enggak jadi iri deh gue!"

Namun, ketika Ales sedang mengatur kantung belanjanya untuk ia gantung, pria yang disebutnya kaya raya itu keluar dari toko kelontong.

Bunyi yang terdengar sepersekian detik setelah pria itu menekan remote key, membuat Ales sontak menoleh. Lantaran, mobilnya ternyata diparkir tepat di sebelah Ocong.

Seketika, Ales lantas menelan saliva. Iri dengkinya kembali berkuasa. Tak lain dan tak bukan, lagi-lagi karena ketimpangan kelas sosial yang kini semakin kentara.

Bagaimana bisa Ales baru tersadar, bahwa Ocong si Vespa putih kesayangannya, bertengger tepat di sebelah SUV hitam besutan BMW yang body-nya tak kalah mengkilat dari sepatu pemiliknya.

"Maaf, boleh permisi sebentar?" Pula siapa sangka, pria yang memicu iri dengki di hati Ales, berujar sopan ketika ingin membuka pintu mobil yang tanpa sengaja terhalang motor Ales di sana.

"Eh? I-iya, Pak. Saya yang maaf udah ngehalang," jawab Ales—yang ia juga tak tahu kenapa—mendadak kikuk, takut, dan langsung membawa Ocong mundur. Ia segera memberi jalan agar pria itu bisa membuka pintu mobilnya.

"Enggak apa-apa. Bukan persoalan besar kok. Terima kasih ya, saya duluan. Have a nice day," tutupnya dengan tersenyum.

Eksistensi, keramahan, dan kekayaan pria itu sedikit menguji mental Ales sekarang. Senyum dan tutur katanya yang sopan, membuat Ales seketika tertampar bahwa ternyata ada manusia yang begitu sempurna di dunia. Pula sebagai sesama pria, Ales bisa mengakui bahwa pria itu pasti idaman para wanita.

Terlihat tegas, sopan, dewasa, dan berwibawa. Jauh dengan dirinya yang ... yah, begitulah.

Childish, cringe, menyebalkan, juga ... seorang penyedia jasa sewa pacar.

"Aish! Apaan sih?! Rejeki udah ada yang ngatur, Les. Lo enggak boleh iri!" monolognya, "udah lah! Ayo balik, Bos pasti nungguin nih!"

Ales pun pergi. Dengan tetap tak menutup fakta, bahwa sepanjang jalan ia memikirkan apakah nantinya ia bisa menjadi pria dewasa seperti pria yang ia temui hari ini tanpa sengaja?

Berpakaian bagus, memiliki mobil mewah, dan seluruh penampilannya menunjang ia terlihat semakin gagah.

Detik setelahnya, Ales hanya bisa menghela napas. Pun ia berdoa dalam hati, semoga saja di kemudian hari ada keberuntungan yang menanti. Sehingga ia tak perlu repot-repot membuka jasa sewa pacar, dan menghadapi berbagai macam perempuan yang kadang ... memusingkan.

Seperti kliennya sekarang, Bigel si gadis dengan segudang emosi yang membuat Ales harus siap pasang badan dengan lemparan granatnya. Karena sejauh yang Ales amati, Bigel mudah meledak kapan dan di mana saja.

Huft ... pekerjaan yang sulit.

Tak memerlukan waktu yang lama bagi Ales untuk sampai kembali ke Fleur Teapot. Tak sampai sepuluh menit, ia sudah memarkirkan lagi Ocong di tempat semula. Namun, Ales menangkap ada sebuah pemandangan yang janggal di sana.

Mobil SUV hitam yang semula Ales lihat di toko kelontong, kini berada di Fleur Teapot.

Ia mengernyit, memikirkan sekilas bagaimana bisa takdir mempertemukan Ales dengan mobil ini untuk kedua kalinya?

"Wah, kayaknya tanda-tanda gue bakal kaya raya nih!" gumam Ales seraya melepas helm dan meletakkannya di atas jok motor.

Ia lantas terkekeh kecil, dan menikmati sejenak ketampanan dan kegagahan mobil besutan BMW ini. Elegan, berkelas, dan terlihat sangat mahal.

"Fix! Kalau gue punya mobil kayak gini, enggak bakal tuh gue namain kayak si Ocong! Ya, minimal namanya ... Prince lah!"

"KAK ALES!!!"

Elio muncul dan menghancurkan bayangan dirinya hidup dalam kemewahan. Adik tingkatnya itu menghampirinya dengan tergesa sembari membawa botol spray untuk menyemprot bunga.

"Kak Ales! Astaga, dari mana aja?!"

Ales mengangkat sekilas kantung belanja di tangannya, "Beli hottang buat Bigel. Kenapa?"

"Hottang?!"

"I-iya, hottang. Kenapa sih?" tanya Ales karena Elio tampak begitu terkejut hingga terbelalak.

"Ih, Kak Ales tau enggak?! Baru aja mantannya Kak Bigel datang dan bawain hottang juga! Duh, gila enggak sih?! Aku sampai risi di dalam! Mereka lagi ngobrol berdua tuh!"

"Eh?" Ales mengernyit, "m-mantannya Bigel?"

"Iya, Kak Ales. Astaga, itu orang udah jadi mantan tapi masih berlagak sweet kayak pacaran. Males banget enggak sih lihatnya? Jadi, aku berlagak aja semprot bunga di luar, padahal aku cuma ilfeel lihat dia di dalam! Dari tadi aku nyariin Kak Ales biar ada temannya! Haduh, enggak banget aku jadi nyamuk mereka!"

"M-mantan?" Ales masih melongo tak mengerti. "Mantan ... siapa sih?"

"Ih! Itu lho, si Bara-Bara itu, yang mau lamaran tanggal sepuluh nanti! Nah, ini aku baru pertama kali ketemu. Gila, emang sih dia wangi dan ganteng banget. Mana bajunya juga rapi kayak CEO-CEO drakor!

Tapi, astaga! Dia apa banget coba, datang-datang bawain hottang buat Kak Bigel?! Sengaja mau bikin susah move-on atau gimana?! Pasti 'kan dia tau dong kalau Kak Bigel suka hottang. Secara, dia mantannya!"

"Heh? Jadi, lamaran tanggal sepuluh Oktober itu lamaran mantannya Bigel?!"

"Lho? Kak Ales enggak dikasih tau?"

Ales menggeleng, "Bigel cuma bilang dia butuh boyfriend rent, sembilan hari PDKT, satu hari final ke acara lamaran. Tapi enggak bilang acara lamaran mantannya."

"Huh?"

"Lo juga enggak bilang apa-apa sama gue, El!"

"Y-ya aku pikir Kak Bigel bakal cerita sendiri, karena itu bukan ranahku lah!"

"Iya juga sih, tapi kenapa Bigel enggak cerita, ya?"

"Mana aku tau! Emangnya aku Kak Bigel?!"

Ales mendengus. Elio juga ternyata sedikit menyebalkan. Wah, cukup banyak orang menyebalkan yang ia temui hari ini. Seolah dunia sedang mengujinya untuk lebih kuat menghadapi orang-orang penguji emosi; seperti kliennya sendiri.

"Kak Ales mau masuk? Di sini aja dulu, Kak, temenin aku. Malas aku ke dalam, si Bara-Bara itu terlalu tampan. Aku takut naksir, soalnya 'kan dia brengsek. Udah gitu, calon laki orang! Gawat kalau aku suka dia!"

Ales nyaris menyemburkan tawa mendengar ocehan Elio, "Lo ... enggak suka cewek, El?"

"Suka."

"Tapi kok takut naksir Bara-Bara Bere-Bere itu?"

"Ya orang ganteng, gimana? Masa enggak boleh naksir?"

"Katanya suka cewek."

"Ya cowok juga."

"Hahahahahahaha maruk, ih!"

Gantian, kini Elio yang mendengus sebal. Sedikit tak disangkanya, baru akrab sehari saja Ales sudah bisa membuat kesal.

"Kurasa, Ce Alin bakal nyesel milih Kak Ales jadi boyfriend rent Kak Bigel."

"Dih? Kenapa? Orang ganteng gini masa disesali?"

"Kak Ales ngeselin sih. Orang sesabar Ce Alin juga pasti bakal kesal kalau ngehadapin dedemit macam Kak Ales."

"DEDEMIT?!"

Elio mengangguk, "Lihat aja nanti kalau Ce Alin udah enggak sakit lagi, dan ketemu Kak Ales di sini. Pasti dia menyesal!"

"Oh gitu? Ya udah gue masuk aja lah. Ngapain juga gue nemenin lo di sini. Bye!"

"E-EH!" Elio menahan Ales dengan menarik ujung bajunya, "j-jangan, di sini aja."

"Yeh, nanti kesurupan loh ditemenin dedemit."

"Ih? Tauk ah!" Elio menggerutu sebal, dan melepas ujung baju Ales yang ia genggam.

Tak mau peduli, Elio pun kembali pada kegiatannya, menyemprot bunga untuk entah yang keberapa kali. Sementara itu, Ales hanya tertawa kecil. Ia tak benar-benar masuk ke dalam, hanya sedikit mengintip dari jendela untuk melihat Bigel dan mantan kekasihnya.

Sekilas, Ales merasa seperti mengenali pria yang membelakanginya itu. Entah kenapa, Ales merasa radarnya mendeteksi hal yang janggal. Ia lantas melepas pandangan, dan melirik lagi ke arah mobil yang terparkir tepat di samping Vespa putihnya. Ales mulai curiga setengah mati tentang siapa pengendara mobil ini.

"El," panggilnya.

"Ha?" jawabnya, masih sebal.

"Ini mobil ... punya pelanggan?"

Elio menggeleng, "Enggak ada pelanggan. Tamu di dalam cuma Bara aja."

Lantas seketika, Ales tau siapa pria itu.

Bara. Mantan kekasih Bigel, si pria bergaya formal dengan kesopanan tingkat dewa yang ia temui tanpa sengaja di toko kelontong sebelumnya.

"Lho, jadi ini mobil punya si Bara dong?! Bukan punya pelanggan?!"

"Y-ya ... ya iya, Kak. Kenapa sih?"

"Astaga Tuhan, dosa apa gue di kehidupan sebelumnya ya, El ...."

"Ih, Kak Ales kenapa?!"

"Lo lihat. Ini orang, mantannya Bigel, si Bara yang mau lamaran sebentar lagi, bawanya mobil BMW. Lah gue? Ocong! Bayangin, masa gue harus naik Ocong ke acara lamaran orang bermobil BMW?!"

"Aduh, emang bener kata orang kalau Kak Ales tuh cuma ganteng doang tapi bloon," balas Elio, "kayak enggak ada Grab sama Gocar aja! Lagian, Kak Bigel juga punya mobil, tinggal naik mobil Kak Bigel apa susahnya?! Siapa juga yang nyuruh naik Ocong ke acara lamaran orang kaya?!"

"Gengsi lah, El! Masa pacar baru Bigel naik taksi online? Apalagi kalau naik mobil Bigel, makin ketauan enggak modal aja gue. Kelihatan banget downgrade-nya dong si Bigel? Kan pasti si Bara tau kalau itu mobil mantannya. Gimana sih?"

Benar juga, Elio baru terpikirkan hal itu. Sejenak, ia diam, Ales pun diam sembari berpikir keras tentang bagaimana jadinya image Bigel di hari lamaran Bara.

"Halah! Udah lah, Kak. Emangnya Kak Bigelnya mempermasalahkan kendaraan?"

Ales baru tercerahkan.

"Eh? Enggak juga sih. Waktu interview dadakan kemarin, Bigel sempat nanya soal kendaraan. Tapi kayaknya dia enggak ada masalah apa-apa."

"Nah ya udah, Kak Bigel pasti udah punya solusinya. Jadi, Kak Ales enggak usah repot-repot mikirin lah! Tugas Kak Ales 'kan cuma jadi gandengan Kak Bigel aja. Bukan jadi pacar beneran! Jadi, enggak usah pusing."

"Oh, iya ... iya juga, ya?"

"Ya iyalah! Dasar aneh, cuma pacar bohongan aja kayaknya pusing banget!"

Kalau dipikir-pikir, iya juga. Ales baru menyadarinya. Mengapa ia harus berpikir keras tentang hari lamaran Bara yang kemungkinan besar sudah Bigel persiapkan segala keperluannya? Mengapa juga ia memikirkan citra Bigel jika membawa dirinya yang tak memiliki apa-apa ke sebuah acara lamaran pria kaya? 

Aneh.

to be continue ....

<3 Xadara Goe 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top