1 | the invitation
DENTING bel gantung yang terdengar kala pintu merah muda itu dibuka, membuat seorang wanita bersurai kuning emas dengan apron bertuliskan Fleur Teapot menoleh seketika. Pikirnya, ada pelanggan yang datang sepagi ini. Namun, kala dilihatnya seorang gadis masuk dengan wajah datar nan lesu, ia sudah tahu siapa itu.
"Selamat pagi, Nyonya Bigel!"
Aroma harumnya bunga pun menguar kala gadis yang kerap disapa Bigel itu mulai memasuki toko bunga milik sang ayah. Fleur Teapot, toko bunga sekaligus kafe teh yang menjadi tempat dua perempuan itu bekerja dan saling berbagi cerita selama satu tahun terakhir.
"Pagi, Ce," sahutnya, yang kemudian meneruskan langkah masuk menuju ruang belakang.
Dinding yang berlapis cat merah muda cerah dan berpadu dengan warna putih gading, terlihat begitu memanjakan netra karena lembutnya sebuah warna. Pula, berbagai macam bunga pun tertata dengan begitu rapi di atas flower stand dan meja-meja bergaya minimalis. Sentuhan furniturnya terlihat begitu cantik, dan tampak serasi dengan gaya modern toko bunga ini. Sementara itu, di sudut dekat jendela terdapat beberapa meja dan kursi untuk pelanggan yang hendak menunggu pesanan bunga atau sekadar minum teh saja. Karena, selain menjual buket bunga idaman, toko ini juga menyediakan tempat minum teh yang nyaman.
Toko yang bernuansa teduh dan kian membawa ketenangan itu, katanya adalah bukti cinta terakhir dari sang ayah untuk ibunda Bigel yang telah pergi sepuluh tahun silam. Semasa hidupnya, sang nyonya memang sangat menyukai bunga dan teh. Hal sesepele itu sudah cukup menjadi alasan untuk Adam Ananta—ayah Bigel—membangun sebuah toko bunga dan kafe teh di tengah kota.
Kadang kala, sempat terbesit pertanyaan di kepalanya, kalau memang secinta itu kepada Bunda, kenapa Ayah harus menikah untuk kali kedua?
Tunggu, pertanyaan itu terlontar bukan karena ia egois. Tentu ia akan bahagia jika sang ayah pun bahagia. Namun masalanya, petaka mulai terjadi semenjak sang ibu tiri turut membawa anak laki-lakinya untuk tinggal bersama mereka. Katakanlah Bigel sial, karena ia malah menyayangi sang kakak tiri lebih dari yang sewajarnya.
Brak!
Gadis itu membanting tasnya di meja backroom dengan kasar. Tas bahunya yang tak memiliki resleting ataupun kancing, membuat sepucuk amplop berwarna merah muda keluar mengintip dari dalam tasnya.
Bigel berdecih, seolah surat itu sedang mengingatkannya untuk diberikan kepada orang yang dituju. Semakin dilihat, Bigel semakin muak, dan semakin ingin merobeknya.
Lantas, ia membuang pandangan dari amplop merah muda itu, dan menyambar ikat rambut yang semula digunakannya sebagai gelang.
Sembari merapikan diri di depan cermin, mengikat rambut cokelatnya yang panjang, dan mengenakan apron cokelat bertuliskan Fleur Teapot, Bigel mengamati dirinya sendiri.
Hari itu, wajahnya terlalu pucat. Kulitnya yang pucat pasi pun membuatnya terlihat seperti mayat hidup. Ia memang tak mengenakan make-up hari ini, rasanya sedang tak berada dalam mood untuk mempercantik diri. Ia membiarkan bulu matanya turun tanpa maskara, bibir merah muda pucat tanpa pewarna, pipi tanpa perona, tapi untung bulu alisnya masih ada meski tak begitu tebal. Sedikit terlihat menyedihkan, tapi Bigel tak ada tenaga untuk mempercantik diri sekarang.
Tak lama berselang, Bigel keluar dari ruang belakang yang pintunya menggantungkan papan tulisan staff only. Gadis itu sudah rapi dengan surai panjangnya yang diikat kuda, dan mengenakan apron yang sama seperti manajernya—Alin.
Kemunculan Bigel secara tiba-tiba, membuat Alin merubah ekspresi wajahnya seketika. Ia selalu memasang wajah cerah di depan anak bosnya.
"Udah sarapan, Gel?" tanya Alin.
"Belum."
Pagi itu, beberapa tangkai bunga sudah dipisah-pisahkan di atas meja perangkai. Bigel menerka bahwa Alin telah mempersiapkan bahan untuk pesanan buket yang masuk secara online. Tanpa menunggu perintah manajernya, Bigel langsung mengambil posisi di meja perangkai itu.
Mawar, lily, baby breath, juga beberapa daun sudah tersedia di sana. Lantas, Bigel pun mulai menggerakkan jemari lentiknya untuk menyatukan beberapa bunga. Tak seperti biasa, Bigel bekerja dalam diam, dan membuat sang manajer akhirnya bertanya-tanya.
"Lo lagi on period ya, Gel?"
Tanpa beralih dari bunga-bunga itu, Bigel menyahuti, "Enggak."
"Oh ... kirain, hehe. Ya udah deh kalau gitu. By the way, gue mau briefing target dan deadline kita hari ini, tapi Elio belum datang. Jadi, kalau lo belum sarapan—"
"Waiting list banyak 'kan?"
Alin lantas menghela napas sabar, Bigel memotong ucapannya begitu saja.
Padahal, ia hanya ingin anak buahnya bekerja dengan energi yang cukup. Ia hanya ingin Bigel sarapan, tapi gadis itu belakangan ini selalu sulit untuk disuruh makan. Ya sudahlah, Alin mengikuti saja alur yang dibawa anak bosnya, daripada ia salah-salah kata dan menjadi bumerang. Maka setelah itu, ia mengatur emosi, dan merespons Bigel dengan ekspresi secerah mentari.
"Oh, iya! Banyak, Gel. Tadi gue udah sempat cek orderan di web, lumayan banyak yang PO. Makanya ini ada beberapa yang udah gue pisahin," jawab Alin merujuk pada bunga-bunga di meja perangkai yang masih terpisah satu sama lain, "tapi, ada yang barengan gitu jadwal pick-up nya. Kenapa ya?"
"Lagi musim wisuda."
"Oh? Oh iya, ya? Duh maklum deh, gue udah lama sih lulusnya. Kalau lo kan masih mahasiswa, masih update banget lah ya."
Mendengar ucapan manajernya yang begitu asal, membuat Bigel lantas mengernyit heran. Sepersekian detik, Alin menyadari tatapan aneh dari anak bosnya itu.
"E-eh? Kenapa, Gel?"
"Gue udah lulus, Ce. Lupa?"
"Eh?"
"Gue cuma tiga setengah tahun, Ce Alin."
Ting!
Bel yang tergantung di atas pintu, berdenting untuk kedua kalinya.
Seorang anak muda datang dengan wajah yang begitu cerah nan berseri, seperti mentari yang bersinar di pagi hari ini. Senyumnya pun mengembang, tak berbeda jauh dengan bunga-bunga di toko yang sudah bermekaran. Ia selalu datang dengan membawa aura positif di dalam toko bunga dan kafe teh mereka.
"PAGI CE ALIN! PAGI KAK BIGEL!"
Dan syukurlah, kedatangannya berhasil memecah keheningan singkat antara Bigel dan Alin. Seketika, Alin langsung menjawab salam sapa pekerja paruh waktunya, dan melupakan kecanggungan antara ia dan anak bosnya.
"Pagi, Baby El!" balas Alin.
"Pagi," ucap Bigel.
Elio—member terakhir yang bergabung dalam tim Fleur Teapot. Di toko itu, ada Alin, Bigel, dan Elio. Alin yang memegang bagian manajerial, Bigel memegang bagian operasional toko bunga—ia bergelut dengan buket dan semacamnya—dan Elio adalah pendatang baru yang menjadi seorang barista teh untuk menyajikan minuman kepada para pelanggan, juga kadang menjadi kurir pengantar bunga jika mereka sedang padat pesanan.
Meskipun baru, Elio sudah memiliki banyak penggemar. Kata para pelanggan Fleur Teapot, Elio itu wajahnya manis, pipinya yang gembul membuat mereka ingin sekali mencubit Elio. Terlepas dari itu, sikapnya pun menggemaskan. Mungkin juga perangainya itu didasari usia Elio yang saat ini tak lebih dari delapan belas tahun. Jauh berbeda dengan Bigel yang berusia dua puluh satu, dan sangat jauh dengan Alin yang sudah dua puluh tujuh.
"Ce Alin, seperti biasa, Elio bawa bubur! Mau enggak? Sarapan dulu yuk, Ce!" ujar Elio seraya mengangkat plastik yang ia bawa.
"Wah, boleh tuh! Bigel mau enggak?" tanya Alin, berusaha mengajak anak bosnya, supaya ia tak salah-salah membuat suasana hati Bigel semakin parah. Lantaran ia merasa, gadis itu sedang tak baik-baik saja.
"Ih, Ce Alin gimana? Kak Bigel kan enggak suka bubur! Dia sarapannya mah Sampoerna Mild!" balas Elio yang diiringi gelak tawa setelahnya.
Alih-alih Elio, malah Alin yang merasa ketakutan karena Elio berani tertawa meledek Bigel. Ditambah, gadis itu hanya memberikan respons datar, hingga membuat Elio perlahan menghentikan tawanya dengan kecanggungan.
Elio lantas berlagak terbatuk dan membenarkan pita suaranya, "S-sorry, Kak. Maksud aku, Kakak 'kan jarang mau sarapan pagi gitu ... hehe, jangan marah ya. Soalnya aku 'kan jarang lihat Kak Bigel sarapan di sini. Biasanya cuma Ce Alin aja. Maaf ya, Kak."
Bigel menatapnya tajam, seolah ingin menerkam Elio yang telah meledeknya. Namun, sorot ketakutan dari pria menggemaskan itu malah membuat Bigel lemah. Lantas, Bigel pun menyerah. Ia kesal, tapi tak bisa keras kepada anak itu. Paling mentok, ia merespons dengan sebuah helaan napas panjang yang diembuskan dengan sarat akan kekesalan.
"Ehe, Kak Bigel enggak marah, 'kan?" tanya Elio, was-was.
"Enggak."
"Tapi, singkat-singkat gitu jawabnya. Belum sebat ya, Kak?"
"Elio!" Alin pun menegurnya. Anak itu kadang suka cari masalah saja. Jelas-jelas Bigel sedang tak dalam suasana hati yang baik.
"Eh, kenapa Ce? Aku salah? Tumben Ce Alin galak banget bentak-bentak gitu. Ya udahlah, aku sarapan sendiri aja! Bye!"
Dengan menghentak kasar, Elio pun pergi menuju ruang belakang. Ia perlu mengisi amunisi sebelum mengenakan apron seperti dua seniornya, lalu berjaga dibalik meja dan teko-teko teh.
Selepas kepergian Elio, hening pun kembali menguar di antara Alin dan Bigel. Pasalnya, Alin bingung harus memulai topik seperti apa, karena Bigel memancarkan aura dingin seperti tak bisa disenggol. Hingga tak lama setelahnya, Bigel yang memulai perbincangan. Ia dengan tiba-tiba mengeluarkan sepucuk amplop surat berwarna merah muda dari kantung apron yang ia kenakan, dan diberikannya kepada Alin.
"Titipan dari Papa. Kak Bara lamaran."
Detik itu juga, Alin terperangah bukan main. Ia mengerjap tak menyangka, "B-Bara?"
Bigel pun menjawab ketus, "Perlu gue ulang, Ce? Baca aja sendiri. Ini buat lo sama Elio."
Dengan sedikit rasa keraguan, Alin menerima amplop undangan itu dan membukanya perlahan. Seolah saat itu juga ia perlu memastikan, bahwa ini benar undangan dari Bara yang ia kenal.
𝓗𝓮𝓵𝓵𝓸, 𝓕𝓵𝓮𝓾𝓻 𝓣𝓮𝓪𝓹𝓸𝓽 𝓣𝓮𝓪𝓶!
*・゜𝓑𝓪𝓻𝓪 𝓣𝓪𝓷𝓾𝔀𝓲𝓭𝓳𝓪𝓳𝓪 & 𝓒𝓪𝓻𝓲𝓷𝓪 𝓛𝓲𝓪 𝓔𝓯𝓯𝓮𝓷𝓭𝓲 ゚.*・
𝓣𝓸𝓰𝓮𝓽𝓱𝓮𝓻 𝔀𝓲𝓽𝓱 𝓽𝓱𝓮𝓲𝓻 𝓯𝓪𝓶𝓲𝓵𝓲𝓮𝓼 𝓲𝓷𝓿𝓲𝓽𝓮 𝔂𝓸𝓾 𝓽𝓸 𝓼𝓱𝓪𝓻𝓮 𝓲𝓷 𝓽𝓱𝓮 𝓳𝓸𝔂 𝓸𝓯 𝓽𝓱𝓮𝓲𝓻 𝓮𝓷𝓰𝓪𝓰𝓮𝓶𝓮𝓷𝓽 𝓬𝓮𝓵𝓮𝓫𝓻𝓪𝓽𝓲𝓸𝓷.
— 𝓢𝓪𝓽𝓾𝓻𝓭𝓪𝔂, 𝓞𝓬𝓽𝓸𝓫𝓮𝓻 10, 2021 —
Tak perlu dibaca berulang-ulang, sekali saja Alin membacanya dengan seksama, ia sudah bisa memastikan bahwa ternyata benar—itu adalah Bara yang ia kenal. Bara yang merupakan anak sambung dari pemilik Fleur Teapot, Bara yang selama ini begitu sering diceritakan oleh Bigel, Bara yang pernah menjadi teman sebangkunya semasa sekolah. Bara Tanuwidjaja.
"Bigel ...."
"Stop. Jangan kasihani gue."
"No, no. Gue cuma mau nanya, kok. Lo ... baik-baik aja?" tanya Alin, memastikan.
"Nope."
Jawabannya persis seperti yang diduga. Alin lantas menghela napas berat, "Kuat, ya?"
"Yup."
"Gue boleh tanya lagi?"
Sebenarnya, ia sedang tak ingin banyak bicara, tapi karena ini adalah seorang Alin—human diary-nya—maka Bigel masih berusaha untuk merespons dengan baik. Ia lantas menganggukkan kepalanya, dan Alin pun mulai bertanya.
"Umm ... kenapa Bara bisa tiba-tiba lamaran gini?"
Pertanyaan yang berat untuk Bigel jawab, "He has a girlfriend."
"L-lalu?" Perasaan Alin mulai tak enak.
"She's pregnant."
Sama seperti Bigel saat pertama kali mendengar kabar itu, Alin pun tersentak ketika Bigel mengatakannya. Jantung Alin nyaris merosot, ia tak salah dengar—walau ia harap ia salah—baru saja Bigel mengatakan bahwa Bara telah menghamili kekasihnya. Pasti sangat perih hati Bigel kala mengetahui berita ini.
"Jadi ... Bara married by accident?"
"Yup."
"Lo yakin? Tau dari mana, Gel?"
"He said that."
Lantas, kini Alin mengerti betul bagaimana perasaan gadis muda di hadapannya. Pula ia mengerti mengapa Bigel bersikap seperti tak ingin diganggu dunia. Karena, ia adalah orang yang dihujani cerita-cerita Bigel tentang Bara nyaris setiap harinya.
Alin tahu, hati Bigel mutlak untuk Bara. Dan pria itu malah menghancurkannya begitu saja.
"Gue mau sebat dulu, Ce. Lo kalau mau sarapan sama Elio, sarapan aja. Toko juga masih sepi. Gue sambil jaga di depan. Kalau ada customer, gue yang taking order. Lo makan aja."
Lantas setelahnya, Bigel keluar melewati pintu merah muda itu, dan kembali mendentingkan bel yang tergantung di atasnya.
"M-maaf, Bigel ...," gumam Alin, ia tak kuasa melihat Bigel bersedih, tak seperti biasanya.
Dari dalam toko—berkat kaca-kaca besar yang tembus pandang—Alin bisa melihat Bigel mengambil posisi bersandar di dinding depan. Gadis itu tengah membakar sebatang sigaret, dan mengembuskan asapnya dengan diiringi napas berat—terlihat dari bagaimana bahu itu bergerak turun.
Alin paham, bahwa semua ini cukup rumit. Bigel terjebak dalam pesona kakak tirinya sendiri. Pula, sejauh pandangan Alin, tak ada pria yang setiap hari disebut namanya oleh Bigel, selain Bara Tanuwidjaja.
Bigel seperti sudah buta karena cinta. Ia tak pernah melirik pria yang lainnya, ia juga tak peduli akan aturan keluarga, demi meluapkan cinta kepada orang yang justru tak semestinya.
Untung saja, hanya Alin yang mengetahui hal ini. Jika Adam Ananta pun tahu, mungkin nama Abigail Ananta akan benar-benar dicoret dari daftar kartu keluarga.
Alin turut berduka, atas apa yang menimpa Bigel sekarang. Namun, kalau boleh jujur sedikit saja, Alin sebenarnya merasa sedikit lega. Lantaran, pada akhirnya kenyataan menyadarkan Bigel bahwa ia dan sang kakak tak akan pernah bisa terikat dalam satu benang yang sama. Setidaknya Bigel perlu memahami hal itu. Selama ini, hati Alin pun teriris setiap kali mendengar Bigel bercerita tentang kebahagiaan semu yang tak disadarinya.
Semua ini—undangan dan berita hari ini—membuat Alin sejenak menutup mata dan berdoa; Semoga semua dilancarkan, Bara. Dan semoga setelah ini, Bigel bisa merelakan segalanya.
•
♡
•
to be continue ...
♡ Xadara Goe
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top