extra: summer path on memories
Cuaca terik menyengat kulit saat itu membuat orang lebih memilih untuk tidak pergi keluar rumah dan menikmati dinginnya udara dari penyejuk ruangan disertai dengan segelas minuman dingin. Suara desir angin yang berembus disertai dengan bunyi serangga khas musim panas saling bersahutan.
Gadis itu tengah duduk sambil menyenderkan punggung kecilnya di bawah sebuah batang pohon besar yang rindang. Sejuk. Membuat kedua matanya memberat menahan kantuk.
Es krim stik di tangannya yang masih tersisa setengah pun mulai mencair. Dengan terburu, ia menjilatnya sebelum jatuh menetes, 'kan sayang. Lalu dimakannya sampai habis, sampai hanya meninggalkan stik kayu yang bertuliskan "coba lagi". Stik es krim itu dimasukkan kembali ke dalam bungkusnya untuk dibuang nanti, saat menemukan tong sampah. Rasa semangka yang manis dan segar masih tertinggal di lidahnya.
Andai saja musim panas selalu seindah ini.
Ia memandang langit biru yang bersih tanpa awan, silau, tapi tetap menarik untuk dilihat. Angin kembali berembus, membuat rerumputan dan dedaunan bergoyang, menjadi sebuah alunan melodi yang pas untuk dijadikan pengiring tidur. Lelah sekali.
Lamunannya terpecah saat sesuatu menabrak hidungnya. Sebuah pesawat kertas. Kedua netra beningnya mengitar, mencari tahu siapa pelaku penerbangan pesawat kertas itu. Ia mengambilnya, bentuknya agak sedikit lecek di bagian moncong, juga sayapnya yang agak terlipat.
Tertera dengan jelas goresan tinta berwarna merah bertuliskan angka empat di sana. Nampaknya, pesawat ini dibuat dari lembar kertas ujian yang nilainya di bawah rata-rata.
Sebelum jemarinya hendak membuka lipatan itu, seseorang datang menghampirinya sambil berjalan terengah dengan membawa bola sepak di tangannya. Gadis itu memandangnya bergantian dengan pesawat kertas yang berada di genggaman, lalu menyodorkan benda itu pada pemuda kecil dengan plester yang menempel di jidatnya.
"Milikmu?"
Yang ditanya mengangguk singkat, surai sehitam jelaganya bergoyang diterpa angin hangat musim panas. Pemuda kecil itu mendudukkan dirinya tepat di hadapan sang gadis yang masih setia memegangi pesawat kertas itu. Ada banyak goresan di kaki dan wajahnya, kulitnya juga agak kecokelatan, lengkap dengan rambutnya yang berantakan. Bau matahari, pikir gadis itu kala berdekatan dengannya.
Kalau tidak salah, lelaki kecil di depannya ini adalah anak laki-laki yang tinggal tepat di sebelahnya. Ibu pernah menceritakannya waktu lalu, ia juga pernah melihatnya sekali dua kali. Entahlah, gadis kecil itu lupa, lagipula ia lebih senang berdiam diri di rumah dari pada berkeliaran di hari panas seperti sekarang ini.
"Ini pertama kali aku melihatmu ke luar rumah," tukas bocah lelaki itu sambil mengambil pesawat kertas yang masih berada di genggaman [name].
Kedua belah bibir mungil itu mencebik kesal karena ulah anak laki-laki yang seenaknya mengambil sesuatu yang masih dipegangnya dengan paksa. "Aku disuruh ibu membeli sesuatu. Padahal sedang panas," jawabnya pelan.
Ah, sial.
Gadis itu segera bangkit dari tempatnya, tak lupa menenteng kantung berisi belanjaan pesanan ibunya dan juga bungkus plastik es krim yang akan dibuang. Ibu pasti sudah menunggu terlalu lama, ia sampai lupa karena terbuai dengan suasana. "Aku pergi dulu, ngg ...." ia tampak sedikit bingung, karena tak mengetahui nama sang pemuda kecil yang memandangnya heran. "Siapa namamu?" Tanyanya kemudian, sebenarnya ibunya pernah menyebutkan nama anak laki-laki yang menjadi tetangganya itu. Sayang, ingatannya tidak cukup kuat untuk sekedar mengingat sebuah nama.
"Tetsu," jawabnya dengan cengiran lebar.
Gadis itu mengangguk singkat seraya bergumam, "Sampai jumpa nanti, Tetsu," katanya kemudian berlalu, berjalan tergesa sambil menenteng kantung belanjaannya.
•••
Gadis itu meletakkan kantung belanjaan di atas meja pantry, membuat ibunya yang tengah fokus memotong sayuran menoleh, mendapati putri kecilnya yang terlihat kusut dengan keringat bercucuran di pelipisnya. "Kenapa lama sekali?" Tanyanya lembut sambil mengelap keringat [name] dengan tisu.
"Ibu kenal dengan anak tetangga sebelah?"
Pertanyaan yang dilontarkan gadis itu membuat ibunya terkekeh pelan. "Kau bertemu dengannya?" Gadis kecil itu mengangguk singkat, membuka kulkas dan mencari susu kotak dingin dengan rasa cokelat kesukaannya. Ibunya kembali berkutat dengan dapur, sembari memasukkan sayuran yang telah dipotong ke dalam panci berisi air mendidih, lalu mengaduknya perlahan dan memasukkan bumbu yang lumayan ia ketahui, yang jelas ada garam, gula, dan merica di sana.
"Ia terlihat ... berantakan," ujarnya mengutarakan kesan pertama saat bertemu dengan Tetsu. Ibunya tertawa kecil melihat raut wajah putrinya yang begitu polos, lalu mengusak gemas rambutnya. "Sudah sewajarnya anak laki-laki seperti itu. Ia satu sekolah denganmu."
"Ibu serius? Kenapa aku tak pernah melihatnya?" Ia mencoba mengingat-ingat, tapi hasilnya nihil. Mungkin, ia terlalu sering mengendap di pojok perpustakaan, berkutat dengan buku yang kebanyakan membuat orang akan merasa mual. "Berteman baiklah dengannya, ia anak yang baik," ujar sang ibu pada anaknya. [name] hanya mengangguk patuh. Toh, paling mereka tidak akan bisa akrab. Sepertinya kepribadian mereka saling bertolak belakang.
Gadis itu menusukkan sedotan di susu kotaknya, lalu meminum isinya sambil berbaring di depan televisi dengan kipas angin yang menyala. Panas sekali. Rasanya seperti terpanggang di dalam bara api. "Ibu! Boleh kunyalakan acnya? Panas sekali," keluhnya sambil mengipas-ngipas bajunya gerah. Rambut sebahunya dicepol asal, juga poninya yang dikuncir tegak seperti air mancur.
"Tidak. Biayanya bisa membengkak nanti, kita harus berhemat. Pergilah keluar untuk mencari udara segar."
Gadis itu mendengkus sambil mengerucutkan bibirnya, masih senantiasa mengipas-ngipas tepat di depan kipas angin. Percuma saja, angin yang dihasilkan berhawa panas.
"Ibu mau membuatku mati terpanggang berada di luar? Yang benar saja," gerutunya sebal sambil menekan-nekan remot gemas, mencari siaran yang mungkin bisa sedikit menghiburnya.
Ia menekan tombol merah gemas lalu melempar remot itu ke sembarang arah, beruntung saja benda itu mendarat di atas karpet bulu yang lumayan tebal, jadi tidak akan rusak atau telinganya akan bertambah panas mendengar omelan dari ibunya.
"Ibu tadi membeli semangka," ucap ibunya, membuat gadis itu menoleh dengan muka berseri mendengar buah kesukaannya. "Di mana? Kenapa aku tidak melihatnya di kulkas?"
"Di freezer, supaya cepat dingin."
Dengan cepat, gadis itu membuka pintu kulkas, tepatnya freezer. Lalu mengeluarkan buah bulat berukuran besar berwarna hijau dari sana. Ibunya datang membawa pisau dapur, lalu membelah buah itu menjadi dua bagian. Warna merah terang menggoda yang tersembunyi di balik kulit hijaunya membuat gadis itu meneguk liur.
Dengan sendok di tangan yang sudah siap dilayangkan, tangannya dicegat oleh sang ibu, langsung membuat bibir mungil itu kembali mengerucut sebal.
Kali ini apa?
"Separuhnya kau berikan pada tetangga sebelah, ya?"
"Tapi—"
"Nenek sudah berjanji akan mengirim semangka padamu. Sedikit berbagi tidak masalah, 'kan?"
[name] diam. Percuma saja membantah perkataan ibunya. Dia takkan pernah menang. Ibunya memotong semangka itu menjadi segitiga supaya mudah dimakan. Setiap irisannya membuat air merembes keluar, baunya manis dan terlihat sangat menggiurkan. Semangka dan musim panas adalah perpaduan terbaik.
Ia mengeratkan topinya, juga jaket untuk melindungi kulit dari terpaan sinar matahari yang begitu menyengat membakar kulit. Pintu diketuk, gadis itu menggerutu dalam hati karena sang tetangga tak kunjung membukakan pintu.
Rasanya seperti mandi sauna saja, ia berkeringat dan lengket, juga merasa panas di waktu bersamaan. Baru saja hendak berbalik arah, terdengar suara deritan pintu dibuka.
"Ah, oba-san. Ada semangka dari ibu," ucap gadis itu sambil menyerahkan bawaannya yang sebenarnya tak rela diberikan. "Terima kasih, mau masuk?" Katanya dengan ramah. Gadis itu menggeleng singkat, mengingat semangkanya di rumah.
"Tidak, terima kasih, oba-san. Mungkin lain waktu," katanya kemudian berlalu.
Pintu pagar rumahnya sudah dekat, tapi gadis itu tiba-tiba mengurungkan niat untuk melangkah masuk ke dalam. Kedua maniknya melihat segerombol anak bermain di lapangan yang tak jauh dari rumahnya. Mungkin, Tetsu ada di sana, pikirnya. Ia kembali menuju pohon tempatnya bertemu tadi. Mencari keberadaan bocah kecil yang membuatnya sedikit penasaran, tapi sepertinya ia tak berada di sini.
Tiba-tiba, sebuah pesawat kertas kembali melayang menuju dirinya. Sebelum pesawat itu mendarat, dengan cepat gadis itu menangkapnya. Ia tersenyum melihat presensi orang yang dicarinya. "Tetsu!" Serunya. Gadis itu bahkan terkejut atas apa yang baru saja dilakukannya. Ia lantas menutup mulutnya dengan tangan karena berteriak lantang pada orang yang baru saja dikenalnya, seolah sudah saling mengenal sejak lama.
"Hai, kau datang lagi?"
"Seperti yang kau lihat," balas gadis itu cuek sambil mengambil posisi hendak menerbangkan pesawat kertas itu. "Mau coba buat pesawat kertas?" Tawar Tetsu tiba-tiba, membuat gadis itu menghentikan aksinya dan menatapnya dengan wajah bingung.
"Dengan kertas ujian lagi?" Tanyanya sambil memiringkan kepala. Tetsu lantas terkekeh, "Itu milik Bokuto, bukan milikku. Nilai ujianku tidak seburuk itu," katanya membuat gadis itu ber'oh' ria.
Ia berlari ke rumahnya, lalu kembali membawa beberapa lembar kertas. Ternyata, kelas Tetsu tepat berada di samping kelasnya. Gadis itu merasa nyaman berbicara dengan teman barunya itu. Ralat, teman pertama, maksudnya. Sembari tangan sibuk melipat kertas, bibirnya terus mengoceh tentang hal-hal menarik yang terjadi di sekolah. "Punyaku sudah jadi!" Seru gadis itu memamerkan pesawat kertas buatannya dengan bangga. Lengan jaketnya agak tersingkap, membuat lebam biru kelihatan di sana.
Tetsu menyingkap lengan jaketnya ke atas, ada lebih banyak bekas lebam yang telah membiru di kulitnya yang putih. Terlihat sangat kontras. "Kenapa?" Tanya gadis itu bingung.
"Kau baik-baik saja? Apa rasanya sakit?" Tanya Tetsu khawatir. Gadis itu hanya tersenyum kecil, "Tak apa. Hanya terpeleset di kamar mandi, kok."
Gadis di hadapannya tidak pintar berbohong.
Tak mau merusak suasana, Tetsu pun mengajak [name] dan pesawat kertasnya untuk berlari di lapangan. Gadis itu mengeluh karena panas yang serasa membakar tubuhnya, tapi Tetsu mengabaikannya dan meniup-niup belakang pesawat kertasnya sebelum mengambil ancang-ancang untuk meluncurkannya.
"Kenapa harus ditiup?"
"Supaya terbangnya jauh!" Jawab Tetsu dengan cengiran khasnya. Gadis itu menatapnya aneh. Teori macam apa itu? Tapi pada akhirnya, ia mengikuti hal bodoh yang Tetsu lakukan.
"Punyaku akan terbang lebih jauh dari punyamu!" Seru gadis itu yakin, bersiap meluncurkan pesawatnya. Tetsu pun tak mau kalah, lalu keduanya meluncurkan pesawat kertasnya bersamaan.
Angin kencang tiba-tiba berembus, lalu menerbangkan jauh pesawat kertas milik keduanya, membuatnya hilang dari jangkauan. Keduanya diam di tempat lalu terkekeh bodoh bersamaan. "Sepertinya kita seri," kata Tetsu menatap gadis di sampingnya. "Iya, kali ini seri," balas [name] mengangguk.
"[name]."
"Apa?"
Tangannya diraih, lalu Tetsu melingkarkan kelingnya di kelingking [name]. "Aku janji akan selalu berada di sampingmu," ucapnya terdengar begitu tulus. Gadis kecil itu tertegun, lalu membalasnya dengan senyuman manis, "Aku juga berjanji."
Musim panas waktu itu, pesawat kertas yang hilang diterbangkan oleh angin, juga sebuah pinky promise yang diucapkan keduanya, adalah sebuah kenangan manis yang sempat terlupakan.
Hey, tetaplah secerah summer yang selalu membawa kebahagiaan di setiap kedatangannya. []
End.
Chapter flashback masa lalu [name] dan Kuroo buat memperjelas cerita absurd ini. Manis gak? Kalo engga sini kutambahin sakarin /g
Settingnya pas mereka sd, gatau deh kelas berapa hahaha. Dari sd udah keliatan kerdusnya tuh bocah. Okey sekian ~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top