Prolog

"Don't you want to go home, Flo?"

Gadis berambut cokelat itu menengadah. Sorot matanya yang semula menatap lekat siluet kokoh George Washington Bridge, kini menangkap sosok lelaki jangkung berkulit pucat di hadapannya.

Greg Evans tengah mengenakan jaket hoodie ke tubuhnya yang atletis. Meski musim semi telah tiba, udara malam di New York begitu menggigit. Flora bahkan harus memeluk dirinya sedari tadi.

Hampir setahun bermukim di tepi utara Manhattan, gadis itu belum bisa berdamai dengan suhu udara di bawah dua puluh derajat celsius. Ada sedikit penyesalan mengapa dia harus memilih negara dengan empat musim sebagai pelarian. Akan tetapi, dia sudah belajar untuk tak terlalu banyak mengeluh. Telanjur mendapat beasiswa di The Culinary Institute of America (CIA), sudah sepatutnya dia bersyukur dan melanjutkan kehidupan baru di sini. Jauh dari kenangan masa lalu.

"Are you okay?" Greg berjalan mendekat. Pandangan lelaki itu terlihat khawatir.

Flora memberikan senyum menenangkan. "Yeah. Just a bit cold. You know, I hate cold." Meski sebenarnya ada hal lain yang membuatnya terlihat tak baik-baik saja.

Greg terkekeh pelan. "You'll get used to it. It is spring anyway. Just like your name, the flowers are blooming. Oh, by the way, don't forget to go to Central Park on Saturday."

Ya. Bunga-bunga mulai bermekaran dengan semarak.

Flora mengacungkan jempolnya setelah menimbang-nimbang sejenak. Greg berulang kali membujuknya mengunjungi Central Park sejak beberapa bulan lalu. Hanya saja gadis itu benar-benar tak ingin ke mana-mana. Hingga detik ini, tak sekalipun Flora menginjakkan kaki di tempat wisata New York. Dia tak terlalu suka keramaian, alasan serupa ia memilih menetap di kawasan yang jauh dari ingar bingar Manhattan.

"Great! I will ask Meg and Will to substitute us on that day. And I hope Mr. Thompson won't extend the pastry class, we'll be late if he does," ujar Greg seraya membalik label kayu bertulisan closed ke arah luar. "Will you lock the door for me, please?" lanjutnya.

Flora mengangguk sambil tersenyum. "OK. I still want to be here a bit longer."

Greg menampilkan senyum terbaik sebelum melambai dan keluar dari toko roti tempat kerja paruh waktu mereka. Flora membalas lambaian itu, kemudian kembali menatap ke luar melewati jendela kaca, melanjutkan aktivitas yang tadi sempat terhenti. Tak pernah bosan dia mengamati siluet jembatan tersibuk di dunia itu dengan perasaan penuh kerinduan, meski harus melanggar janjinya sendiri.

Flora menatap seolah tengah melihat seseorang dari masa lalunya. Seseorang yang menjadi salah satu alasan kepergiannya dari tanah air.

"Gue udah ngelewatin jembatan itu berulang kali. Gue udah tahu gimana sensasinya. Kapan lo bakal ngelewatinnya juga? Atau lo udah lupa?" Senyum sedih terukir di bibirnya.

Dia tahu percuma bertanya ke arah jembatan, yang bahkan tak bisa mendengar. Sama halnya dengan mengharapkan lelaki yang terus bersemayam di pikiran dan hatinya dapat mendengarkan ucapannya tadi. Lelaki itu mungkin tak peduli di mana Flora saat ini.

Flora mengembuskan napas berat. Sebelum air mata menitik, dia memutuskan segera beranjak. Membayangkan masa lalu terus-menerus hanya akan membuatnya tergugah untuk pulang. Gadis itu tak ingin kembali, setidaknya bukan saat ini. Hatinya belum sepenuhnya berdamai dengan kenyataan pahit yang dia tinggalkan nun jauh beribu-ribu kilometer.

"Gue belum lupa ...."

Bahkan suara yang jauh itu pun terdengar sampai kemari? Flora mendengkus, kesal pada dirinya yang terus memikirkan orang itu. Cepat-cepat dia menutup jendela dan menguncinya. Dia harus pulang ke apartemen dan menyiram kepala dengan air dingin agar berpikiran waras kembali.

"Tadi gue lewat sana." Suara itu kembali terdengar. Lebih jelas bahkan seperti diucapkan tepat di belakang punggung.

Flora menggeram keras, lalu mengumpat.

"Kebiasaan lo belum berubah, ya. Suka ngumpat dan pemarah. Gue kira New York bakalan bikin lo lebih kalem dikit."

Ini keterlaluan. Flora benar-benar gila, terus-menerus membiarkan dirinya dihantui oleh kenangan yang seharusnya dilupakan.

Flora segera menyambar jaket dan berbalik dengan kesal. Namun, langkahnya seketika terhenti saat menatap sosok di ambang pintu. Dan Flora yakin, kegilaannya sudah melewati ambang batas toleransi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top