Part 7

"The most painful tears are not the ones that fall from your eyes and cover your face, it's the ones that fall from your heart and cover your soul."

-Anonym

Hujan yang mengguyur Jakarta sejak pagi belum juga reda. Bahkan hingga sore menjelang, langit masih setia menumpahkan kerinduannya pada bumi. Membasuh luka dan meluruhkan jerih. Namun bagi Flora, hujan adalah momen yang membuat kesedihan di hatinya menyeruak. Hujan menghadirkan kelebatan memori masa lalu bersama perempuan terkasihnya. Meski teramat dia rindukan, setiap kali mengingat sosok sang ibu yang telah pergi, jiwa rapuhnya dirundung kemuraman.

Kenangan bersama sang ibu begitu menenangkan, sekaligus mengukir getir. Hidup di luar tembok kediaman Anggoro memang jauh lebih menentramkan. Namun, ada banyak hal memilukan yang terjadi kemudian, yang sebagiannya selalu disembunyikan dengan apik oleh gadis itu dari sang ibu.

Ibunya yang malang sudah cukup menderita. Karena itulah, dia hanya menyimpan segalanya sendirian dan berusaha tegar untuk mengurangi beban perempuan yang telah melahirkannya. Terlebih di saat terakhir sebelum ajal sang ibu menjemput.

Flora segera mengatupkan kedua kelopak matanya yang berbulu panjang dan lentik, berusaha memblokir serbuan ingatan memilukan itu. Bukannya menghilang, segalanya justru semakin terang benderang. Senyata saat terjadinya, dia seakan bisa melihat perempuan muda bertubuh ringkih itu, tergolek pasrah di atas tempat tidur sebuah kamar rumah sakit kecil.

Perempuan itu berbisik lemah. Tangan kurusnya membelai pipi putrinya yang bersimbah air mata. "Ma-af-kan, Ma-ma, Nak. Ma-af ...."

Gadis yang duduk di samping tempat tidur itu menggeleng tegas. Berusaha menepis kata-kata sarat penyesalan yang keluar dari bibir kering ibunya. Kata-kata yang ingin sekali dibantahnya. Namun, tak ada balasan yang sempat terucap. Detik berikutnya, didapatinya sepasang mata kelabu itu perlahan mengatup, menyeret seberkas cahaya redup yang tersisa. Lalu, dia pun merasa hidupnya ikut berakhir.

Gadis itu tak lagi menangis. Air matanya surut tiba-tiba. Dia hanya mematung, menatap jasad ibunya yang tak lagi bernyawa. Seketika, segalanya menjadi hampa. Seolah ada lubang besar menganga di dadanya. Dan batinnya terguncang hebat saat menyadari bahwa, mulai saat itu dia sendirian.

Kemudian Tuhan berbaik hati menghadiahinya seorang malaikat kecil, Farrel. Pelipur lara setelah kematian sang ibu.

Bagaimana jika Tuhan mengambilnya juga dariku? Tuhan ... tolong jangan ....

Flora tergugu. Tubuhnya gemetar hebat, tak sanggup membayangkan jika harus mengalami kehilangan lainnya. Dia merasa takkan bisa menghadapinya. Tidak sekarang atau selamanya.

***

"Apa benar, peluang hidup Farrel cuma tersisa tujuh tahun lagi, Tante?" Suara cemas Dicko memulai percakapan dengan Cecilia di suatu sore, di gazebo kediaman Anggoro. Saat itu tepat dua hari setelah sepupunya memberikan jam tangan aneh sebagai kado pertunangannya dan Flora.

Cecilia menatap penuh keheranan pada remaja yang duduk di hadapannya. "Siapa yang bilang begitu?" tanya perempuan itu bingung, mengabaikan rasa lelah yang menggelayuti tubuhnya sejak semalam.

"Farrel, Tante," jawab Dicko.

"Farrel?" tanya Cecilia, berusaha meyakinkan telinganya.

"Beberapa hari lalu dia ngomong begitu ke aku dan Flora. Untung aja sepertinya Flora nggak ngerti apa yang Farrel maksud. Apa dokternya memang pernah menyampaikan hal seperti itu?"

Cecilia tercengang, mendadak saja dia merasa gugup. Tak lama kemudian, dia berhasil menguasai diri. "Dokter Lukman nggak pernah mengatakan hal seperti itu." Justru menurut beliau, peluang hidup Farrel tidak sampai selama itu.

Dicko tiba-tiba menghela napas dan tawa lega lepas dari bibirnya. "Wah, kayaknya kami dikerjai." Dia lantas menceritakan mengenai jam tangan pemberian Farrel kepada Cecilia.

Setelah mendengarkan cerita keponakannya, Cecilia tertawa pelan. "Kamu nggak perlu cemas. Seperti yang kamu lihat, kondisinya mulai cukup stabil akhir-akhir ini," lanjut Cecilia dengan ketenangan yang dipaksakan. Menyembunyikan fakta bahwa penyakit Farrel telah mengganggu berbagai fungsi organ dalamnya.

"Itu berkat pertunangan kamu dan Flora. Tante sangat berterima kasih sama kamu, Ko. Walaupun tentu saja, kita harus selalu waspada. Apa pun bisa terjadi tanpa kita duga. Tapi Tante yakin, Farrel akan baik-baik saja untuk seterusnya. Dia anak yang kuat."

Kuat? Ya, Cecilia tahu anaknya begitu tabah menanggung penyakit mematikan yang dideritanya sejak berusia empat tahun. Leukemia Limfositik Akut stadium tiga. Farrel telah menjalani berbagai pengobatan, mencakup kemoterapi hingga ke rumah sakit di Singapura.

Saat Flora kembali ke kediaman Anggoro setahun lalu, Farrel baru saja menuntaskan perawatan di Negeri Paman Sam. Hanya saja, hasil yang mereka bawa tak terlalu membahagiakan. Cecilia hanya bisa pasrah, dia yakin Tuhan memiliki rencananya sendiri.

"Mungkin dia hanya ingin mendapatkan perhatian lebih dari kalian berdua." Cecilia tersenyum lembut. Dia mendapat kesan bahwa putranya berusaha untuk membuat hubungan Flora dan Dicko menjadi dekat. Akan tetapi, dia tak memahami mengapa Farrel bisa mengarang alasan seperti itu. Ah, seandainya aku tahu ....

Membayangkan bahwa maut mengintai putranya, membuat perasaan mual dan lelah hebat yang berkejaran kembali menghantam Cecilia. Agaknya dia butuh istirahat setelah ini.

"Mungkin begitu, Tante. Dia semakin sering minta aku datang ke sini sepulang sekolah. Terus mengajak aku main lego di kamar Flora." Dicko menggeleng-gelengkan kepalanya, lantas merasa geli sendiri begitu membayangkan ekspresi tersiksa di wajah Flora setiap kali melihatnya.

Harus Dicko akui, dia sedikit terkesan selama beberapa hari melihat interaksi antara Flora dan Farrel. Penjelasan Saniharja mengenai putrinya waktu itu ternyata benar; Flora tak seperti yang terlihat.

"Tante rasa itu kesempatan bagus buat kamu, Ko. Lama kelamaan, Flora akan semakin terbiasa dengan kehadiran kamu. Pandai-pandailah memasuki dunianya."

"Aku rasa nggak bakalan butuh waktu lama untuk itu, Tante." Dicko tersenyum senang. "Jadi tugas aku sebagai tunangannya juga nggak akan memakan waktu lama."

Cecilia terkekeh. "Yah, semoga saja. Tapi kalau harapan Farrel terkabul—"

Dicko tertawa terpingkal-pingkal. "Nggak mungkin. Aku pastikan itu nggak akan terjadi. Kalau jadi teman biasa, oke, lah. Tapi untuk jadi teman hidup, jujur aja dia bukan tipe perempuan idaman aku."

"Ya, deh. Tante juga nggak berharap yang muluk-muluk, kok. Kalau untuk yang satu itu, Tante nggak akan meminta lebih. Pilihan tetap ada di tangan kamu."

***

Flora merasa suntuk luar biasa. Meski sudah diperbolehkan berjalan ke sekeliling rumah dengan bantuan tongkat, gadis itu tak mampu menahan keinginan untuk menghirup udara bebas di luar area kediaman Anggoro. Terlebih lagi, dia harus melihat wajah Dicko hampir setiap hari.

Adiknya senang bukan kepalang. Sementara Flora merasa matanya seakan hampir terlepas dari rongganya, karena terus-menerus memelotot gusar pada lelaki yang seminggu ini berstatus sebagai tunangannya.

Dicko tak melakukan hal-hal aneh kecuali bermain bersama Farrel di kamar Flora selama dua jam setiap malam. Namun bagi Flora, itu sungguh mengganggu. Dia kehilangan privasi bersama Farrel di waktu malam, yang merupakan kebiasaan mereka selama ini.

"Kak Dicko. Menginap di sini aja, dong. Besok kan hari Sabtu, Kakak nggak ke sekolah, kan?" ucap Farrel dengan suara mengantuk setelah membereskan mainannya yang berserakan di lantai. Anak itu lalu menguap lebar.

"Nggak, sih. Tapi Kakak nggak bawa baju ganti buat besok." Dicko mengusap-usap rambut sepupunya.

"Kalau gitu besok Kakak ke sini pagi-pagi. Atau besok kita jalan-jalan lagi aja. Ya? Ya?"

"Farrel?" Flora melempar pandangan memperingatkan dari atas tempat tidur.

"Apa sih, Kak? Besok kan libuuur."

"Kamu nggak boleh keseringan jalan-jalan. Kalau nanti kamu sakit karena kecapekan, gimana?"

Farrel mengentak-entakkan kaki dan memajukan bibir bawahnya sebagai tanggapan. Melihat hal itu, Dicko terkekeh pelan.

"Nggak boleh gitu. Dengarkan kata-kata Kak Flo. Kalau kamu bandel, Kakak nggak mau main ke sini lagi. Kakak janji, bulan depan kita jalan-jalan ke mana aja kamu mau."

Mata Farrel, yang tadinya sayu karena mengantuk, kini berbinar. Anak itu pun tersenyum lebar. "Oke! Kak Flo juga harus ikut, ya. Kak Flo?"

Flora memutar bola mata, lalu mendesah, bersikap pura-pura kesal. Meski dalam hati memang benar-benar kesal karena dengan begitu, dia harus bepergian lagi bersama Dicko. "As you wish, little boy."

Detik berikutnya, Farrel menghambur ke atas tempat tidur, lalu mengecup kedua pipi sang kakak. Flora tertawa lepas atas apa yang dilakukan adiknya dan membalas dengan tindakan serupa. Keduanya lantas berpelukan erat. Sementara itu, Dicko mengamati dengan perasaan senang serta terharu melihat keakraban keduanya.

"Udah, kamu tidur sana. Udah jam sembilan," perintah Flora setelah melepas pelukan adiknya. "Jangan lupa ritual sebelum tidur; sikat gigi, basuh muka, cuci tangan dan kaki."

"Dan jangan lupa berdoa," timpal Dicko.

"Siap, laksanakan!" seru Farrel sambil menirukan gerakan hormat bendera.

Flora dan Dicko tersenyum melihatnya. Tergambar jelas rasa sayang yang begitu besar di wajah mereka terhadap bocah itu.

"Good boy. Tos dulu dong." Dicko mengarahkan telapak tangan pada sepupunya sambil sedikit membungkukkan badan.

Farrel segera turun dari tempat tidur, lalu dengan disertai senyum cerah di wajah, dia melangkah menuju Dicko. Keduanya lantas saling menepukkan tangan kanan masing-masing. Setelah itu, Farrel keluar dari kamar tersebut dengan perasaan bahagia, setelah mengucapkan selamat malam pada kedua orang yang disayanginya.

Sepeninggal Farrel, Dicko menoleh pada Flora, yang tertegun menatap pintu dengan ekspresi yang sulit diartikan olehnya. Gadis itu tiba-tiba disergap rasa kehilangan saat melihat sosok adiknya lenyap dari pandangan.

"Flo," panggil Dicko setelah menyadari bahwa Flora tengah melamun. Namun, gadis itu tak memberikan reaksi. Maka Dicko memanggilnya sekali lagi, kali ini sedikit lebih keras. "Flo! Gue cabut!"

Flora tersentak, lalu mengalihkan matanya pada lelaki jangkung yang berdiri tak jauh dari tempat tidur. Dia menatap Dicko seolah baru menyadari keberadaan lelaki itu di kamarnya. "Oh, iya. Eh, tunggu, gue ikut ke bawah. Ada yang mau gue omongin."

Dicko mengernyit heran. Tak biasanya gadis itu meminta bicara berdua. Sekalipun mereka telah sering berjumpa selama tujuh hari ini, tak pernah terjadi perbincangan secara langsung antara dirinya dan Flora. Penasaran, lelaki itu menuruti, lalu mereka berjalan beriringan dalam diam.

Flora tertatih-tatih menggunakan tongkat hingga ke teras samping rumah.

Suasana di sana sedikit lengang. Hanya terdengar suara samar berasal dari obrolan seru dua satpam yang berjaga di pos mereka.

"Mau ngomong apa?" Dicko bertanya setelah sekitar lima menit tak ada satu kata pun yang diucapkan Flora.

Gadis itu berdiri membelakangi Dicko. Dia memejam sejenak sebelum berbalik dan menatap lekat wajah tunangannya. "Gue udah pengin bicarain ini sejak seminggu lalu. Tentang ucapan Farrel waktu itu. Maksudnya gimana? Kenapa dia bicara seolah-olah akan meninggal? Apa lo tahu sesuatu yang gue nggak tahu? Apa dia sakit parah?"

Rentetan pertanyaan yang tak terduga itu hampir membuat Dicko gelagapan. Flora tak tahu-menahu mengenai penyakit Farrel yang sebenarnya. Anak itu meminta semua orang agar merahasiakannya dari sang kakak. Meski tak mengerti apa alasannya, Dicko terpaksa memenuhi permintaan yang menurutnya cukup aneh tersebut.

Setelah beberapa jenak, Dicko akhirnya menjawab, "Nggak gimana-gimana."

Flora mengerutkan dahi mendengar jawaban itu. "Nggak gimana-gimana? Maksud lo?"

Dicko menelusupkan kedua tangannya ke dalam kantong celana. Pandangannya mengitari sekeliling. "Ya, gitulah. Nggak perlu terlalu lo pikirin. Itu cuma ucapan anak-anak, bukan sesuatu yang serius."

Melihat sikap Dicko yang nyaris tak acuh, Flora mendesak, "Kalau dia emang lagi sakit parah gimana? Terus kalau dia tiba-tiba meninggal? Lo tahu kan, fisiknya lemah. Bisa jadi aja—"

Dicko tiba-tiba tertawa, meski sebenarnya mulai gugup karena terus-menerus diberondong pertanyaan itu. Dia sungguh tak suka membohongi orang lain. "Ah, lo parno-an banget jadi orang. Jangan mikir yang enggak-enggak, deh."

Flora mendengkus. "Kayaknya gue salah udah ajak lo bicara hal ini. Pulang aja sana!" ucapnya berang lantas hendak beringsut meninggalkan Dicko. Namun, baru dua langkah berjalan, dia merasakan cekalan di lengan kanannya. "Apa sih?! Lepas!"

Dicko tak menggubris. Tangannya semakin kuat mencengkeram. Dia menatap lekat gadis itu tepat di manik matanya. Pandangannya berubah tajam, menusuk. "Dengerin gue! Gue belum selesai ngomong!"

Flora sungguh tak senang jika ada orang lain berbicara dengan nada memerintah, seperti yang baru saja dilakukan Dicko terhadapnya. Namun, lelaki itu entah bagaimana selalu bisa membuatnya urung membantah. Terlebih, tatapan tunangannya itu sungguh menciutkan nyali.

"Tolong lo cerna baik-baik kata-kata gue. Jangan bantah sebelum gue selesai bicara. Paham?"

Flora tak punya pilihan selain mengangguk. Sudah dua kali Dicko memberinya perintah untuk tak membantahnya saat bicara. Dan dengan patuh dia menuruti. Hal yang tak pernah berhasil dilakukan orang lain, termasuk papinya.

"Gue paham kenapa lo merasa cemas berlebihan. Pernah kehilangan orang yang lo sayang itu memang menyakitkan. Tapi satu hal yang perlu lo ingat, setiap manusia pasti akan mati, termasuk lo dan gue. Kita nggak tahu kapan waktunya dan siapa yang lebih dulu dipanggil.

"Tubuh Farrel memang lemah, tapi seandainya umurnya divonis tinggal sekian tahun, itu bukan jaminan dia yang bakal pergi duluan. Bisa jadi lo atau gue yang lebih dulu mati. Yang terpenting sekarang, lo jalankan peran lo sebagai kakak yang baik. Kasih dia kenangan yang menyenangkan."

Flora terdiam. Dia tak sanggup mendebat kata-kata Dicko yang berisi kebenaran mutlak. Akan tetapi, hatinya tetap tak bisa tenang. Tidak, setelah semua yang dia alami.

"Gue harap lo bisa diajak kerja sama. Paham kan, maksud gue?"

Mau tak mau Flora mengangguk. Dia sudah berjanji akan melakukan apa pun untuk Farrel. Termasuk membiarkan Dicko mencampuri kehidupannya.

"Good girl." Senyum Dicko tiba-tiba merekah, melunturkan ketegasan yang tadi melingkupi wajahnya. Setelah itu, dia melepaskan cekalannya dari lengan Flora. "Sorry. Sakit, ya?"

Sontak saja Flora merasa terpana. Takjub pada perubahan raut wajah serta nada suara Dicko yang menurutnya sedikit ajaib. Bagaimana bisa lelaki ini menjadi begitu lembut padahal sebelumnya bersikap teramat tegas?

Namun, rasa takjub gadis itu tak berlangsung lama karena sebuah teriakan menggema dari dalam rumah. Teriakan panik perempuan.

"Mbak Widi?" bisik Flora dan Dicko keheranan.

"Tuan Sani! Nyonya, Tuan! Nyonya Cecil! Tolong Nyonya! Ada darah!"

Flora terduduk lemas di ambang jalan masuk dapur kediaman Anggoro. Sebuah pemandangan yang tak asing membuat tubuhnya gemetar tak terkendali. Lalu kenangan mengerikan masa lalunya lagi-lagi berkelebat tanpa diminta. Darah. Wajah pucat ibunya. Dan bau rumah sakit yang membuatnya mual.

"Flora! Flora!" Dicko mengguncang bahu gadis itu, yang wajahnya kini terlihat pasi, dan pandangannya kosong.

"Dicko! Bawa Flora ke atas!" perintah Saniharja. Lelaki itu sedang menggendong istrinya, yang tubuh bagian bawahnya bersimbah darah. []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top