Part 6

"You hate when people see you cry because you want to be that strong girl. At the same time, though, you hate how nobody notices how torn apart and broken you are."

-Anonym

"Cepetan!"

"Sabar dikit, dong!"

"Sabar pala lo! Sakit, tahu!"

"Jangan bawa-bawa kepala gue. Yang loncat kan kaki lo."

Flora mendelik. Dia tak lagi berkata-kata dan hanya bisa meringis menahan nyeri hebat yang mendera pergelangan kakinya. Dia yakin ada tulang yang patah karena bunyi 'krek' tadi terdengar cukup jelas.

"Mana kamar lo?" tanya Dicko sambil terus berjalan tergesa-gesa.

"Yang ada tulisan di pintunya."

Dicko mempercepat langkah. Berjalan sambil menggendong gadis galak yang terkilir benar-benar melelahkan. Tangannya mulai terasa kebas, tetapi dia terus melangkah sambil berusaha keras agar tubuh Flora tidak merosot.

Setelah rasanya melewati seribu pintu, akhirnya mereka tiba di depan pintu kamar Flora. Tulisan-jika Dicko membacanya dalam situasi normal akan membuatnya terbahak-bahak-My Sweet Sister berwarna pink tergantung di sana.

Desain interior yang begitu feminin, dengan wallpaper bunga-bunga luar biasa indah menyerbu penglihatan pemuda itu setelah pintu kamar terbuka. Tak sempat terkejut atas pemandangan tersebut karena kedua tangannya memprotes semakin keras. Dia harus sesegera mungkin mengakhiri penderitaan mereka.

"Berat badan lo berapa, sih?" omelnya dengan napas terengah-engah begitu tubuh Flora sudah terbaring di tempat tidur. Kedua tangannya memijat bergantian, guna melancarkan peredaran darah yang sempat terganggu.

"Bukan saatnya bicara berat badan gue!" hardik Flora dengan wajah memerah, hasil perpaduan sakit di pergelangan kakinya serta rasa malu.

"Badan kurus, tapi beratnya minta ampun," gerutu Dicko dengan suara pelan. "Lo ada P3K?" tanyanya kemudian.

Flora menatap Dicko dengan kesal. "Itu, di dekat meja belajar."

Dicko segera berbalik dan menemukan kotak P3K di tempat yang gadis itu sebutkan. "Yah, nggak ada perban," desah Dicko saat meneliti isi kotak. Lalu dia mengeluarkan sebutir obat berwarna putih dari sana. "Telan ini dulu. Ibuprofen, buat redakan nyeri."

"Lo nggak salah ambil obat, kan?" Flora menyipit curiga, mengambil obat pemberian Dicko dengan ragu-ragu.

"Kecuali lo simpan narkoba di sini, mungkin aja gue salah ambil." Dicko memutar bola mata. "Gue ke bawah dulu. Jangan coba-coba turun, apalagi jalan." Setelah berkata begitu, dia segera keluar dari kamar menuju lantai bawah.

Sepeninggal Dicko, Flora menenggak obat di tangannya sambil mengernyit, dan menutup hidung, dibantu dengan beberapa teguk air putih dari botol minuman yang selalu tersedia di atas nakas. Dia benci minum obat, tetapi sudah tak sanggup menahan nyeri yang menghantamnya.

Flora menuruti perintah Dicko untuk tetap diam di tempat, masih ditemani nyeri luar biasa yang sedari tadi membuatnya ingin menangis. Tanpa bisa dicegah, perasaan rindu terhadap sang ibu menyergapnya tiba-tiba. Tidak ada sosok penyabar itu lagi di sisinya. Yang memeluk dan membisikkan kata-kata penghiburan untuk mengobati rasa sakit yang menghampiri. Yang menghapus lelehan air mata setiap kali dia merasa tak sanggup menanggung luka.

Nggak! Gue nggak boleh nangis!

Flora menelan tangisnya agar tak tumpah. Dia sudah bertekad, tak akan pernah lagi menjadi cengeng dan lemah. Sejak kematian ibunya, tak seorang pun diizinkan melihat dirinya yang terpuruk. Dan tak lagi membutuhkan siapa pun sebagai tempat bersandar. Juga, tak seorang pun boleh melihat lukanya yang menganga.

Dia sudah pernah merasakan kepedihan yang lebih menyakitkan. Karena itulah, rasa nyeri di kakinya saat ini, bukanlah masalah besar.

"Kak Flo! Kakak kenapa?"

Flora segera menoleh ke arah pintu, Farrel menghambur masuk ke dalam kamar dengan ekspresi cemas. Di belakangnya, seorang pelayan membawa baskom kecil dan beberapa benda lain.

Berikutnya adalah Dicko, Saniharja, Cecilia, dan Merredith. Flora mengerang dan mengumpat dalam hati. Dia sungguh tak mengharapkan serombongan manusia berduyun-duyun datang ke kamarnya.

"Nggak kenapa-kenapa," balas Flora disertai ringisan, yang diartikan Farrel sebagai tanda bahwa kakaknya tak menjawab dengan jujur.

"Kamu ini ada-ada saja!" Saniharja menghampiri putrinya dengan wajah memerah dan cemas. "Untung Dicko melihat kamu. Kalau sampai kamu jatuh ke arah sebaliknya, bagaimana?" Saniharja menatap lekat putrinya, ekspresinya berubah pias.

Flora membuang muka, lalu mencebik. Sok peduli!

"Sudahlah, Mas." Cecilia mengusap lembut lengan suaminya. "Tante kompres dulu kaki kamu, ya. Biar nyerinya berkurang dan nggak memar." Cecilia duduk di samping putri tirinya. "Kaki yang mana?"

"Kanan," jawab Flora tanpa menoleh.

Perempuan itu menumpuk beberapa bantal, kemudian meletakkan kaki kanan Flora di atasnya. Dia menyambut handuk kecil yang disodorkan si pelayan, lalu mencelupkannya ke dalam baskom berisi air es. "Tante kompres, ya."

Flora tak menyahut dan membiarkan Cecilia mengerjakan apa yang dikatakannya tadi. Setiap kali handuk dingin itu menyentuh kulit, dia merasa lega, karena nyerinya sedikit demi sedikit berkurang.

"Balut kakinya dengan perban," perintah Saniharja pada istrinya. "Kita bawa ke rumah sakit malam ini juga. Barangkali ada tulang yang retak atau patah."

"Baik, Mas." Cecilia lantas mengerjakan perintah suaminya dalam diam.

"Dicko, Om minta tolong papah Flora ke bawah. Om temui tamu-tamu dulu."

"Oke, Om."

Saniharja segera berjalan menuju pintu. Namun, langkahnya terhenti saat melihat Johana memasuki kamar.

"Ada apa ini? Kenapa kalian malah berkumpul di sini? Para tamu jadi bertanya-tanya."

Saniharja menghela napas. "Flora terjatuh dan terkilir, Bu. Ini saya mau temui tamu-tamu. Mau pamitan. Saya dan Cecil akan membawa Flora ke rumah sakit."

Dicko dan Merredith mengira penjelasan Saniharja kepada ibunya akan menghadirkan simpati di wajah perempuan itu. Simpati yang biasanya ditunjukkan seorang nenek terhadap cucunya. Akan tetapi, reaksi yang diberikan Johana membuat keduanya mengerutkan dahi.

"Jatuh? Kamu bilang anakmu jatuh? Apa yang dia lakukan kok bisa sampai jatuh? Mau bikin malu keluarga di acara pertunangannya sendiri?"

"Dia menyelamatkan anak kucing yang manjat di langit-langit balkon, Oma," Refleks, Dicko menjawab pertanyaan yang bukan ditujukan untuk dirinya. Hatinya tergerak untuk memberi penjelasan setelah mendengar nada tak senang dalam suara Johana.

Perempuan tua itu mengalihkan tatapan sengitnya pada Dicko. Sudah sejak lama tak menyukai pemuda itu lantaran masih satu paket dengan menantunya. Ditambah lagi, ibu Dicko yang berdarah asing. Dia benci orang asing. Lagi pula, pada dasarnya Johana memang tak menyukai orang lain, siapa pun orang itu.

"Leon!" Jeritan Farrel yang tiba-tiba membuat semua kepala serentak menoleh padanya.

"Farrel? Kamu lupa masukin Leon ke rumahnya lagi?" Cecilia menatap putranya dengan pandangan menuduh.

Bocah itu tertunduk, merasa bersalah luar biasa. Seandainya dia tidak lupa memasukkan kucingnya ke kandang, kakaknya tak perlu mengalami kecelakaan hingga membuat kakinya sakit. Dia anak yang cerdas. Jadi, tak butuh penjelasan lebih lanjut untuk membuatnya bisa menarik kesimpulan atas apa yang terjadi.

"Maaf."

"It's okay, Rel," ujar Flora menenangkan. Saat mengucapkan kata-kata itu, tatapannya justru terpancang pada Johana, yang memberi pandangan tak suka pada cucu laki-lakinya.

"Kita masukin Leon ke rumahnya, yuk." Dicko mendekati sepupunya, lalu menggandeng bocah itu keluar dari kamar Flora, meninggalkan atmosfer menegangkan yang tercipta berkat kehadiran Johana.

***

Setelah menjalani pemeriksaan menyeluruh di rumah sakit, Flora bisa bernapas lega karena tulang kakinya hanya mengalami sedikit keretakan. Dia harus beristirahat di rumah untuk sementara waktu. Tentu saja gadis itu sama sekali tak mengeluh. Waktu luangnya yang berharga dihabiskan dengan bermain bersama Farrel sepuasnya, meski hanya mendekam seharian di tempat tidur.

"Kakak jadi nggak bisa hadir di acara tunangan sendiri sampai selesai gara-gara aku."

Flora terkekeh, lalu menatap wajah adiknya yang menekuk penuh penyesalan. "Justru Kakak senang, tahu."

"Senang? Kenapa?" tanya Farrel polos.

Flora tak menjelaskan, hanya tersenyum sambil meraih kepala adiknya, lalu mengacak-acak rambut lurusnya yang berpotongan pendek. "Kamu udah buka kado-kado ulang tahun?" Flora mengalihkan topik pembicaraan.

Wajah Farrel seketika terangkat dan berbinar ceria. "Belum. Kita buka bareng-bareng, yuk! Kado tunangannya Kak Flo dan Kak Dicko juga, ya!"

"Nggak usah. Kado ulang tahun kamu aja."

"Farrel maunya dua-duanya!" Farrel bersikeras. "Sebentar ya, Farrel minta tolong Mbak Widi bawa semuanya ke sini." Tanpa menunggu persetujuan dari sang kakak, bocah itu segera turun dari tempat tidur, lalu memelesat keluar kamar.

Lima belas menit kemudian, berpuluh-puluh kado sudah tertumpuk di sekeliling tempat tidur Flora. Ukurannya beragam, dari yang kecil hingga besar.

Flora sebenarnya tak ingin mengetahui isi kado pertunangannya dan Dicko. Hanya saja demi membuat adiknya senang, harus rela berpura-pura antusias setiap kali bungkusan kado dibuka, memperlihatkan benda-benda mewah dan mahal yang belum tentu akan sudi dikenakannya.

Namun, saat membuka kado ulang tahun Farrel, gadis itu benar-benar tersenyum senang, karena adiknya menunjukkan kegembiraan saat melihat kado-kadonya. Hal itulah yang terpenting bagi Flora.

"Banyak banget lego kamu. Kakak boleh minta satu?"

"Kak Dickooooo!"

Lalu senyum Flora pun lenyap. Mau apa dia ke sini?

"Aku pikir Kakak nggak jadi datang." Farrel melompat-lompat mendekati sepupunya.

"Jadi, dong. Kan Kakak udah janji jadi tutor Matematika kamu hari ini."

Flora menatap adegan pelukan persaudaraan antara adiknya dan Dicko dengan sorot dengki. Perusak kesenangan banget sih, nih orang!

"Kakak bawa makanan kesukaan kamu," Dicko menyerahkan goody bag putih kepada sepupunya. "Chicken wings!"

"Yeeeaaaayyy. Makasih, Kak! Eh, ini pasti Paman Jonas yang buatkan. Kak Dicko kan nggak bisa masak."

"Ya, jelaslah." Dicko mengacak-acak rambut Farrel gemas.

"Nanti aku telepon Paman Jonas, ah. Mau bilang makasih." Farrel beralih melihat kakaknya sambil mengangkat goody bag hingga sejajar kepala. "Kak Flo mau?"

"Buat kamu aja, Kakak masih kenyang," balas Flora datar.

"Yes! Jatah Farrel nggak berkurang," seru Farrel kegirangan sambil mencomot satu sayap ayam yang aromanya membuat Flora meneteskan air liur. Namun, gadis itu terlalu gengsi untuk menarik ucapannya di hadapan Dicko.

"Hai. Gimana kaki lo?" sapa Dicko ramah.

Flora mengedikkan bahu, acuh tak acuh. Dia menatap malas ke kaki kanannya yang masih terbalut perban, bertengger pasrah di atas tumpukan bantal.

"Kata Mami, kaki Kak Flo sakitnya nggak terlalu parah," oceh Farrel dengan mulut penuh.

"Oh, syukurlah." Dicko mengamati sekeliling kamar, kemudian duduk di sisi tempat tidur yang masih memiliki ruang kosong-mengabaikan ringisan di wajah Flora, yang tak suka tempat tidurnya diduduki lelaki asing, meskipun mereka telah bertunangan sekitar 22 jam lalu. "Ini semua kado acara semalam, Rel?"

"Iya. Kado punya Kak Dicko dan Kak Flo paling banyak, tuh. Ada jam tangan couple lho tadi. Mana, ya? Sebentar aku cari" jawab Farrel.

Detik berikutnya, dia membongkar tumpukan benda di atas tempat tidur untuk mencari kotak jam tangan bermerek yang ternyata dipegang kakaknya.

"Nah .... Itu dia! Bawa sini kotaknya, Kak Flo." Tanpa persetujuan, bocah itu menarik kotak itu dari tangan kakaknya dan mengeluarkan isinya, lantas mengulurkan jam tangan pria kepada Dicko. "Langsung dipakai ya, Kak. Dan yang ini, buat Kak Flo, langsung dipakai juga, ya."

"Kok kamu tahu isinya jam tangan couple?" tanya Flora keheranan seraya menyambut jam tangan dari genggaman Farrel. "Perasaan belum dibuka, deh." Akan tetapi, Flora segera menyadari mengapa demikian. "Wah, waaah! Ini cakep banget! Baik banget yang kasih kado, tahu aja aku suka warna hitam," serunya antusias-tanpa peduli bahwa Dicko bisa mendengar nada suaranya yang ceria seperti anak-anak-dan segera memakai jam itu di pergelangan tangan kiri.

"Tahu, dong!" timpal Farrel ceria tanpa sadar.

"Ooohh, jadi ini dari kamu?" Dicko terkekeh.

Farrel, yang baru menyadari telah membongkar identitas si pemberi jam tangan, ikut terkekeh dengan wajah tersipu malu. "Ups, ketahuan."

"Kakak kamu bener, jam tangannya cakep. Makasih ya, Rel," puji Dicko tulus.

"Sama-sama, Kak. Farrel beli pakai uang tabungan sendiri, lho."

"Habis dong uang tabungan kamu?!" Flora menatap adiknya tak suka. "Kan Kakak pernah bilang, ja-ngan bo-ros!"

"Nggak habis, kok. Harga jamnya nggak mahal-mahal banget." Farrel membela diri.

"Merek ini tuh mahal lho, Dek!" Flora memelotot.

"Mahal dikiiiit aja, kok. Farrel kan pengin kasih sesuatu yang spesial buat Kakak dan Kak Dicko."

Flora ingin sekali mengatakan bahwa dirinya tidak butuh apa pun yang akan membuatnya teringat pada pertunangan konyolnya bersama Dicko. Akan tetapi, demi menjaga perasaan Farrel yang begitu bahagia, dia akhirnya memilih diam.

Dicko pun sama tak antusiasnya dengan Flora mengenai kado pertunangan mereka. Namun, kado dari Farrel lain cerita.

"Ng ... Rel? Ini kenapa putaran jarumnya mundur?" tanya Flora penasaran setelah mengamati jam di pergelangan tangannya.

"Jadi ini jam tangan mainan?" kekeh Dicko. Dia juga mengamati jam di tangannya.

"Bukaaan. Ini asli kok, Kak." Farrel cemberut. "Penjualnya bilang, ini seri jam yang langka. Nama serinya Turn Back Time."

"Rel, kamu kayaknya kena tipu deh, Dek," sergah Flora.

"Kakak rasa juga gitu. Di mana-mana waktu itu jalannya maju," timpal Dicko.

"Ih, nggak kok. Farrel kan belinya bareng Mami di toko jam langganan kita. Kata Paman yang jual, jam tangan ini beda dari jam lain lho, Kak. Waktunya jalan mundur dan ada alarm uniknya." Farrel segera mengambil posisi duduk di antara Dicko dan Flora.

"Alarm unik?"

"Iya, bisa diatur ke tanggal, bulan, dan tahun yang udah lewat. Keren banget kan, Kak. Gunanya supaya kita bisa ingat kejadian duluuu banget. Farrel udah diajari cara setelnya." Farrel menekan sebuah tombol pada kedua jam di tangan Flora dan Dicko. "Tuh, ada angkanya di layar, kan? Farrel udah setel tanggal 18-03-18."

Flora dan Dicko mengernyit, menatap deretan angka digital yang tertera di layar jam tangan masing-masing.

"Kenapa harus disetel tanggal segitu?" sambung Dicko keheranan.

"Kan itu tanggal tunangannya Kak Flo dan Kak Dicko," balas Farrel seraya menatap kedua orang yang sangat disayanginya. Mata beningnya yang polos tampak penuh harap. "Tujuh tahun lagi alarmnya bakalan bunyi dan mengingatkan Kakak berdua. Jadi misalnya nanti Farrel udah nggak ada, alarm ini yang bakalan mengingatkan Kak Flo dan Kak Dicko supaya nggak boleh pisah, oke?" []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top