Part 4
"It is okay to be angry. It is never okay to be cruel."
-Anonym
"Lo nggak jera-jera juga, ya." Dicko menyilangkan tangan di depan dada, menatap tajam tepat ke mata cokelat madu milik Flora. "Keluar kalian semua. Kecuali lo, Flo!"
Kelima gadis di sekeliling Flora bergerak menuju pintu dan melewati Dicko yang berjalan masuk. Lelaki itu mengabaikan tatapan penuh terima kasih dari gadis yang baru diselamatkannya.
"Kepuasan apa sih, yang lo cari dari mem-bully? Perbuatan lo itu nggak terpuji, Flo." Langkah Dicko tegas. Tak sedikit pun dia ragu menuju gadis yang berdiri dengan ekspresi pongah dan menatapnya gusar.
Dicko mengamati dengan saksama wajah cantik yang sama sekali tak menampakkan raut ramah itu. Benarkah dulu Flora tak seperti ini? Benarkah yang dikatakan Saniharja sore kemarin mengenai masa lalu putrinya?
"Kalau lo mau khotbah, di gereja aja sono!" tukas Flora kesal. Ceramah adalah hal terakhir yang ingin didengarnya. Dia sudah sering mendapatkannya dari guru BK, jadi tak ingin mendengarnya juga dari mulut Dicko.
Dicko mengembuskan napas. Dia tahu percuma saja menasihati Flora. "Oke. Gue nggak akan khotbah. Tapi gue mau komplain. Lain kali, gue harap lo gunakan ponsel lo untuk kasih tahu ke gue kalau lo nggak mau dijemput."
Dicko kesal bukan kepalang. Sudah dua hari berturut-turut dia membuang waktu satu jam perjalanan dari rumah ibunya ke kediaman Anggoro hanya untuk mengetahui bahwa gadis itu sudah berangkat ke sekolah.
Flora menaikkan alis. Dia memang sengaja tak menunggu jemputan Dicko seperti biasa. Aksi membangkangnya semakin meningkat setelah pertengkaran dengan keluarganya dua hari yang lalu. Gadis itu ingin mereka tahu, perlawanannya tak akan berhenti, sekalipun mereka memaksanya melakukan hal yang tak diinginkannya.
Selama dua hari ini, Flora menyelinap keluar dari rumah pagi-pagi sekali secara diam-diam, lalu pergi ke sekolah dengan taksi. Merasa tak perlu repot-repot menjelaskan hal itu pada Dicko, dia hanya mendengkus, lalu ikut-ikutan menyilangkan tangan di depan dada. Tak lupa gadis itu membalas tatapan Dicko dengan sama tajamnya.
"Lupa," balasnya cuek. "Lagian bukan gue yang minta dijemput. Jadi gue nggak merasa wajib ngasih tahu ke lo."
"Setelah kita tunangan, lo wajib kasih tahu gue," sambar Dicko.
Mata Flora melebar, dadanya bergemuruh mendengar kata tunangan dari mulut Dicko. Kata yang membuatnya marah besar sejak malam itu. "Najis banget gue nurut sama lo! Nggak akan ada pertunangan! Gue nggak mau tunangan sama lo!"
"Gue juga nggak sudi." Dicko terkekeh sinis.
"Ya udah! Kasih tahu ke tante lo dan bokap gue kalau gitu! Suara lo pasti jauh lebih didengar, lo kan keponakan tersayang mereka." Nada suara Flora terdengar mengejek.
"Oh, jelas. Anak baik dan penurut pasti disayang." Dicko hanya bermaksud menyindir gadis di hadapannya. "Karena gue anak baik dan penurut, makanya gue setuju dengan rencana perjodohan kita."
Flora menyipit, lalu bertanya dengan nada ketus, "Setuju? Bukannya tadi lo bilang nggak sudi? Kenapa lo malah setuju?"
Kelebatan pertemuan dengan Cecilia dan Saniharja bermain di kepala Dicko. Kedua orang itu berhasil membuatnya mempertimbangkan kembali rencana perjodohannya dengan Flora, yang awalnya akan ditolaknya tanpa berpikir dua kali. Keputusannya untuk menerima, meski terpaksa—baru keluar setelah Farrel menghubunginya tadi malam. Dengan suara lirih dan penuh permohonan, bocah itu berhasil menggugah hatinya.
"Kakak mau kan, mewujudkan keinginan terakhir Farrel?"
"Kenapa nggak?" jawab Dicko kalem.
"Bisa nggak sih, lo langsung jawab aja pertanyaan gue?" Flora mulai tak sabar.
"Bukannya tadi gue udah kasih tahu lo alasannya?" balas Dicko santai.
"Belum!"
"Telinga lo pasti kepenuhan. Perlu gue belikan cotton bud?"
Kampret nih orang, maki Flora dalam hati. "Kenapa lo nggak nolak?!" Dia berusaha keras untuk tak terpancing membalas kata-kata Dicko yang bernada ejekan tadi.
"Kenapa juga gue mesti nolak?"
"Harus ya, lo jawab pertanyaan gue pake pertanyaan?!"
"Barusan lo juga jawab gue pake pertanyaan," timpal Dicko masih dengan suara kalem.
Belum pernah Flora merasakan sebuah dorongan kuat untuk menyerang seseorang secara fisik. Dia teramat ingin melakukannya terhadap Dicko, yang tiba-tiba saja bersikap berjuta kali lipat lebih menyebalkan daripada sebelumnya.
"Denger! Gue nggak sudi jadi tunangan lo!"
"Kan gue udah bilang, gue juga nggak sudi."
Flora mendelik dengan gusar. "Terus kenapa lo terima kalo lo nggak sudi, hah?! Lo jawab yang jelas kali ini! Jangan muter-muter, deh! Capek gue ngomong ama lo!"
Sekonyong-konyong, Dicko terbahak sambil memegangi perutnya. Badannya berguncang, sesekali tangannya memukul keras sandaran kursi yang ada di hadapannya.
Sementara Flora hanya bisa terpana melihat Dicko yang masih tertawa hingga tersedak, seakan-akan yang dia ucapkan tadi adalah lawakan paling lucu sedunia.
Lucu juga nih anak kalo lagi senewen, batin Dicko geli.
Dasar sinting! Sementara hati Flora justru mengumpat.
"Lo lagi PMS? Sensi amat."
Flora yakin wajahnya semerah udang kukus Cecilia sekarang. "Najis lo!"
Tawa Dicko semakin keras. Sedikit air keluar dari sudut matanya. "Flora ... Flora. Lo selalu kayak gini, ya? Bisa nggak, lo nyantai dikit."
Tiba-tiba Flora merasa ada yang berubah dengan gaya bicara lelaki itu. Tidak terdengar ketus dan mengejek seperti biasanya, suaranya begitu lembut dan bersahabat. Dia mencurigai ada sesuatu yang tidak beres.
"Lo jawab aja pertanyaan gue, Dicko Marvel Hariandi!" desak gadis itu tajam sambil menyipit curiga.
Dicko berdeham pelan, lalu berkata, masih dengan nada lembut dan bersahabat, "Oke, oke. Gue akan jawab. Tapi gue minta lo jangan menyela selagi gue ngomong, bisa?"
Flora tak menjawab.
Dicko menganggap itu tanda persetujuan. "Waktu Tante Cecil menyampaikan rencana itu pertama kali, gue langsung menolak. Tapi Tante tetap maksa. Gue kasihan karena beliau terus mohon-mohon. Jadi, setelah gue pikir-pikir, kenapa juga gue harus buang-buang energi sekarang? Toh cuma tunangan doang, kan? Kita tinggal duduk manis. Pasang cincin. Beres. Masih banyak waktu buat mikir gimana caranya supaya pertunangan itu nggak sampai ke jenjang pernikahan. Makanya gue bisa santai dan menerima rencana itu dengan mudah. Nggak perlu panik kayak orang kebakaran jenggot," terang Dicko dengan sedikit modifikasi. Dia tidak mungkin mengatakan yang sejujurnya.
Flora mencerna ucapan Dicko yang teramat logis tadi dalam diam. Memproses kata demi kata dengan saksama. Berharap tak salah menganalisis. Dan hasilnya, dia enggan mengakui, lelaki itu benar. Amat sangat benar, bahkan hati kecilnya pun mengakuinya.
Akan tetapi, dia masih tidak bisa menerima begitu saja. Tetap tak rela hidupnya berada dalam kendali keluarga yang dibencinya.
Setelah yakin Dicko sudah menyelesaikan penjelasannya, Flora bertanya, "Jadi lo nggak protes hidup lo diatur-atur?"
"Kata siapa gue nggak protes? Gue nurut bukan berarti gue terima dengan pasrah. Teriak-teriak dan marah-marah sama sekali nggak berguna buat melawan keinginan bokap lo. Lebih baik lo nurut dan atur strategi, terus jalankan dalam diam. Coba lo kaji ulang kejadian yang udah-udah, pernah nggak suara lo didengar sekalipun lo udah banting barang atau nangis meraung—"
"Gue nggak pernah nangis meraung-raung!" sela Flora ketus. Setidaknya, dia tak pernah menangis di hadapan mereka.
Dicko terkekeh. "Ya, anggap aja lo pernah. Nggak berhasil, kan? Justru bokap lo semakin keukeuh sama keputusannya, kan?"
Lagi-lagi, Dicko berkata benar. Selama ini, Flora membuang-buang tenaga dengan melawan semua perintah dan memendam amarah. Namun, apa yang diperolehnya? Perlawanannya sia-sia. Dia harus menelan kekecewaan dan menangis dalam kekalahan.
"Nah, coba lo pikirkan lagi kata-kata gue tadi baik-baik. Gue jamin lo nggak bakalan rugi apa-apa. Masih ada lima atau bahkan sepuluh tahun lagi sebelum mereka maksa kita nikah. Dan dalam jangka waktu itu, kesempatan kita buat cari cara untuk putus terbuka lebar."
Bandul di dalam kepala Flora bergerak ke kiri dan kanan. Dan setiap kali dia mengulang-ulang perkataan Dicko, gerakannya bertambah kencang dan meyakinkan. Lalu hati kecilnya berucap, "Apa gue turuti aja sarannya Dicko, ya? Seperti yang Dicko bilang, gue nggak akan rugi apa-apa. Sekali-kali jadi anak manis di depan mereka nggak ada salahnya. Biarkan mereka berpikir bahwa mereka berhasil mengendalikan gue, padahal ...."
***
"Kak Flo!" Farrel menyambut kakaknya pulang dari sekolah di depan pintu rumah besar itu. Wajah pucatnya terlihat sedikit lebih berwarna. Mata jernihnya berkilat-kilat bahagia, sesuatu yang sangat Flora syukuri, karena artinya kondisi fisik Farrel sedang membaik.
Sejak pertama kali bertemu Farrel setahun lalu, Flora sudah diberitahu oleh Cecilia dan Saniharja bahwa kondisi tubuh anak itu lebih lemah dibandingkan bocah seusianya. Dia mudah sekali jatuh sakit jika terlalu lelah. Oleh karena itu, Farrel hampir selalu berada di rumah, bahkan orang tuanya mendatangkan guru khusus untuk belajar.
"Janji kamu kemarin udah ditepati, kan?" tanya Flora begitu mereka melangkah masuk ke dalam rumah sambil bergandengan tangan.
"Udah dong, Kak. Farrel makan banyak lho, tadi. Tanya aja sama Mbak Widi," lapor bocah itu bangga.
Flora mengulas senyum. "Pantesan kamu semangat banget. Adiknya Kakak hebat! Kalau kamu begitu terus, bakalan jadi nih kita ke Dufan."
Farrel melompat-lompat dalam genggaman kakaknya sambil bersorak, "Yeay! Yeay! Yeay!"
"Gimana pelajaran sama Miss Frida hari ini?"
"Tadi belajar bahasa Inggris sama Matematika. Farrel udah belajar sendiri kemarin malam. Jadi Farrel bosan banget mengulang materi yang sama, Kak. Bikin ngantuk," gerutu Farrel.
"Nggak boleh gitu. Miss Frida kan baik banget, Farrel harus dengar penjelasannya dengan serius, ya. Kasihan kan, udah jauh-jauh datang ke sini, tapi kamunya malah ngantuk," Flora menasihati Farrel, sembari mengiringi langkah kaki kecilnya menaiki anak tangga. Gadis itu begitu fasih memberikan nasihat untuk adiknya, tetapi tidak untuk dirinya sendiri. Dia sadar benar akan hal itu.
"Iya, Kak Flo." Farrel tertunduk. "Sebenarnya Farrel lebih suka kalau Kak Dicko yang ajari. Tapi dia udah jarang main ke sini lagi."
Mendengar nama itu, tiba-tiba Flora terkenang pada percakapannya dengan lelaki itu tadi pagi. Dia segera menggeleng untuk menepisnya, tak ingin memikirkan hal itu untuk saat ini. Sekarang adalah waktunya bersama Farrel, dan kebersamaan mereka tak boleh terkontaminasi oleh hal lain. Terutama oleh pertunangan yang dianggapnya konyol tersebut.
"Sibuk buat persiapan ujian kali, Rel. Bentar lagi kan dia mau kuliah."
"Oh, iya ya. Farrel lupa. Eh, Farrel mau kasih tahu sesuatu sama Kakak."
"Apa?"
"Kakak pasti seneng, deh. Farrel aja seneng banget, lho, pas Papi kasih tahu ke Farrel."
Flora melihat wajah Farrel semakin berbinar setelah mengucapkan kalimatnya. Flora bertanya-tanya, hal apa gerangan yang disampaikan papinya hingga adiknya menjadi segembira ini? Apakah dia memberikan janji-janji palsu lainnya? Mengajak berlibur ke suatu tempat untuk kemudian dilupakan begitu saja? Flora tersenyum kecut mengingat jumlah janji tak terpenuhi yang selalu diucapkan Saniharja kepada Farrel.
"Papi bilang apa sama Farrel?"
"Coba tebak!"
"Hmm, apa ya? Liburan ke Floating Market di Bandung?"
"No. No. No!"
"Main air di waterpark?"
"Bukaaannn ...."
"Trus apa, dong?"
"Papi bilang, bentar lagi Kak Dicko bakalan sering main ke sini." Ucapan Farrel yang begitu ceria membuat langkah Flora berhenti mendadak.
"Oh ya? Kenapa?" Perasaannya tiba-tiba menjadi tak nyaman.
"Kata Papi, Kak Dicko sama Kak Flo bentar lagi mau tukaran cincin. Namanya tunangan, kan, Kak? Farrel seneng banget, akhirnya doa Farrel dikabulkan sama Tuhan. Kakak tahu? Tiap malam Farrel selalu minta sama Tuhan, supaya bikin Kak Dicko dan Kak Flo jagain Farrel di sini bareng-bareng. Farrel juga berdoa semoga kalian berdua nanti nikah kayak Mami dan Papi. Farrel nggak minta yang lain lagi buat kado ultah Farrel nanti. Karena Papi bilang, acara tunangannya bareng-bareng sama pesta ultah Farrel. Makasih banyak ya, Kak. Farrel sayaaang banget sama Kak Flo!"
***
Bocah delapan tahun itu setengah berlari menuruni tangga. Semburat merah perlahan terlukis di wajahnya. Seulas senyum kemudian terukir cerah, mengalahkan sinar mentari pagi ini. Siapa pun yang melihat pemandangan itu akan ikut menyunggingkan senyum. Kebahagiaan di wajah kanak-kanak yang menentramkan hati.
"Farrel, pelan-pelan, Sayang. Nanti jatuh." Cecilia menyambut putranya di bawah tangga. Sedikit cemas, tetapi dia sudah terlatih untuk tak bersikap berlebihan. Selalu begitu, tetap tenang, seperti riak ombak di permukaan lautan. Meski begitu, hatinya tergerus oleh ketakutan yang mencekam. Setiap hari, satu pertanyaan menghantui: masihkah senyuman di wajah buah hatinya dapat dia nikmati esok hari?
Suara langkah kaki yang mendekat membuat ibu dan anak itu mendongak. Flora sedang menuruni anak tangga dengan ayunan langkah ringan. Dia tersenyum pada Farrel, tanpa menoleh sedikit pun pada ibu tirinya.
"Udah siap?" tanya Flora, masih dengan senyum di bibir.
"Udah, Kak!" seru Farrel terlalu bersemangat. Dia hampir melompat-lompat kegirangan demi melihat kakaknya. Maklum saja, anak itu memang menanti-nantikan rekreasi yang Flora janjikan jika kondisi fisiknya cukup stabil untuk melakukan kegiatan di luar rumah.
"Flora, Tante boleh bicara sebentar?" Cecilia menatap anak tirinya dengan pandangan mendesak.
Mau tak mau, Flora menoleh dan memberi Cecilia tatapan sengit. Kejengkelan pada ibu tirinya belum mereda.
"Farrel tunggu di teras samping ya, Kak." Farrel mengerti, lebih baik menyingkir daripada harus melihat keduanya bicara. Anak itu sungguh tak nyaman melihat ekspresi kebencian pada raut wajah kakaknya. Kebencian yang tak pernah dia ketahui apa alasannya.
Flora mengangguk singkat membalas ucapan Farrel. Setelah yakin suaranya tak dapat didengar oleh adiknya, dia berkata ketus, "Nggak percaya banget, sih? Kan aku udah bilang, aku bisa jaga Farrel di sana!"
Cecilia tak terpengaruh. Dia sudah terbiasa mengatasi kata-kata bernada kebencian dari gadis itu. "Tante percaya. Cuma mau minta jangan bawa Farrel naik wahana yang bikin dia capek dan gembira berlebihan." Suaranya tenang dan tanpa emosi.
"Nggak perlu dikasih tahu, aku juga paham, kok. Bawel!"
Cecilia menghela napas, lalu tersenyum kecil. Menghadapi remaja labil memang bukan pekerjaan ringan, tetapi bukanlah sesuatu yang membuatnya gentar. "Makasih kalau gitu. Tante percayakan Farrel sama kamu. Kalau ada apa-apa, segera hubungi Tante."
"Udah?" Flora terdengar tak sabar, tak ingin membuang-buang waktu lebih lama meladeni percakapan ini.
Kali ini senyum di wajah Cecilia merekah lebih lebar. "Pastikan kalian pulangnya nggak terlalu malam. Dan ... oh iya, gaun pertunangan kamu akan diantar ke rumah nanti malam. Jadi begitu kamu sampai, langsung fitting. Kalau ada yang kurang pas, biar bisa sekalian dibawa balik sama pegawai butiknya."
Reaksi Flora mendengar perkataan ibu tirinya tentu saja mendelik gusar. Gaun? Perempuan ini membicarakan gaun? Dia bahkan belum menyatakan persetujuannya. "Nggak perlu!"
Cecilia tetap tersenyum dengan ketenangan luar biasa. "Tante harapkan kerja sama kamu, Flora. Kamu nggak mau kan, nanti pakai gaun kedodoran atau malah kekecilan?"
Flora merasa geli mendengar ucapan Cecilia. Dia bahkan tak merasa membutuhkan gaun, jadi apa pedulinya jika gaun yang entah akan dipakai atau tidak itu kedodoran dan kekecilan? Tawa mengejek keluar dari bibirnya, dan serentetan kata-kata pedas sudah akan tersembur saat sebuah suara menginterupsi.
"Nggak usah khawatir, Tante. Aku pastikan Flora fitting gaunnya nanti malam. Ya kan, Flo?" []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top