Part 2
"I won't stress myself out about things I can't control or change."
-Dicko Marvel Hariandi
Sehari sebelumnya ....
Hampir pukul tujuh malam saat sedan yang Dicko kendarai tiba di halaman rumah ibunya, Merredith Cho. Perempuan itu menempati sebuah rumah besar berlantai tiga yang juga digunakan sebagai kantor dan studio foto.
Merredith berasal dari Negeri Ginseng, Korea. Dia adalah fotografer profesional, sekaligus pemilik studio foto terkemuka di Jakarta. Merredith bertemu dengan ayah Dicko, Jonas Hariandi, di Singapura dan menikah dua tahun kemudian. Lima belas tahun membina rumah tangga, mereka akhirnya bercerai baik-baik tiga tahun lalu.
Sedih? Tentu. Anak mana yang tidak merasa begitu jika orang tuanya berpisah? Akan tetapi, ayah dan ibunya sukses memberikan pengertian, bahwa meskipun bercerai, kedekatan mereka sebagai keluarga tidak akan berubah. Bahkan hingga saat ini, Merredith dan Jonas tetap berteman baik. Jadi bisa dikatakan, perpisahan mereka tidak menimbulkan trauma mendalam terhadap Dicko.
Mengenai hak asuh, Dicko tetap berada dalam pengawasan ayah dan ibunya secara bergantian. Dia menghabiskan tiga hari dalam seminggu bersama Jonas, tiga hari bersama Merredith, dan satu hari di akhir pekan bersama keduanya. Biasanya mereka bepergian ke suatu tempat wisata atau menginap di sebuah vila.
Untung bagi Dicko, Merredith sudah berpindah kewarganegaraan, jadi perempuan itu tetap tinggal dan bekerja di Indonesia. Dicko tak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika ibunya kembali ke Korea. Dia akan kesulitan memilih untuk tinggal bersama siapa.
Sesuai jadwal, hari ini Dicko akan tinggal bersama Merredith hingga Sabtu. Ibunya tak tinggal sendiri, sepupunya dari Seoul menetap di Jakarta sejak tiga tahun lalu. Namanya Hana Kim, perempuan berusia 25 tahun yang menyukai dunia modelling dan Dicko memanggilnya Nuna.
"Selamat dataaang," sapa sebuah suara ceria begitu Dicko menggeser sliding door. Itu suara Hana yang sudah sangat fasih berbahasa Indonesia.
"Hai, Nuna!" balas Dicko setelah memunculkan diri dari balik pintu.
Hana berdiri di dekat meja resepsionis yang cukup tinggi, dengan sebuah map berwarna kuning tua di tangan. "Dicko!" serunya riang setelah mengetahui siapa yang datang. Dia segera meletakkan map itu ke atas meja.
"Hai, Joong-ki!" Ghina, sang resepsionis yang tubuhnya sedikit tersembunyi di balik meja, menyapa Dicko sambil melambaikan tangan penuh semangat dan senyum merekah.
Perempuan yang berusia sebaya dengan Hana tersebut selalu memanggil Dicko demikian. Katanya, itu adalah nama aktor Korea yang mirip dengan anak bosnya itu. Dicko semakin penasaran, seberapa miripkah mereka? Akan tetapi, sampai detik ini, dia selalu lupa mencari foto artis yang bersangkutan di internet.
"Hai juga, Mbak Ghina," Dicko membalas disertai senyuman yang bisa membuat gadis mana pun tak berkedip. "Tumben jam segini belum dijemput, Mbak?"
"Ban mobil adik Mbak, si Galih, bocor. Barusan nelepon, lagi pasang ban serep katanya," jawab Ghina dengan ekspresi kuyu.
"Kalau gitu, ikut kita ke atas dulu aja. Aku bawa makanan. Pasti belum pada makan malam, kan?" tawar Dicko.
"Iya, kami belum makan. Bawa apa lagi, Ko?" Hana melirik goody bag berwarna putih yang ditenteng sepupunya, terlihat penasaran. Dicko memang selalu membawa makanan yang dibuat oleh Jonas setiap kali datang kemari.
Jonas Hariandi adalah pemilik restoran di kawasan Bintaro. Dulu dia bekerja sebagai head chef sebuah hotel berbintang di Singapura. Setelah menikah dengan Merredith, Jonas mendirikan restoran yang diberi nama Chez Elles yang berarti rumah.
Menurut para pelanggannya yang rata-rata adalah para perantau dari luar negeri, masakan lelaki itu benar-benar membuat para pengunjung merasa seperti sedang makan di rumahnya sendiri.
"Bulgogi dan bungeoppang," Dicko menjawab sambil menyerahkan goody bag pada Hana yang menerimanya dengan mata berbinar.
"Waaa, Paman Jonas baik bangeeet. Tahu aja aku lagi kangen rumah." Hana mengarahkan goody bag itu sedikit ke wajah, lalu menghirup aroma masakan di dalamnya. "Hmm, baunya lezat sekali. Aigoo, diet ketatku bisa gagal, nih."
"Sekali-kali nggak apa-apa kali, Hana," timpal Ghina sambil berdiri dari duduknya. "Aku juga mau, dong."
"Yuk, ke atas!" ajak Hana pada Ghina dan Dicko.
Kedua perempuan itu sudah berjalan bersisian menuju lantai tiga yang difungsikan sebagai tempat tinggal. Lantai bawah dan lantai dua sepenuhnya digunakan untuk kantor dan studio foto. Dicko mengekori mereka sambil menenteng tas ransel berisi buku-buku pelajarannya.
"Oh iya, di mana Eomma?" tanya Dicko saat mereka hampir mencapai anak tangga pertama. Hampir saja lupa untuk menyapa ibunya karena cacing-cacing di perutnya sudah protes minta diberi makan.
"Biasa, masih di studio," jawab Hana tanpa menoleh.
"Oh, aku ke studio dulu kalau gitu."
"Oke."
Dicko berbalik, lalu berbelok menuju koridor panjang yang di sisi kanan dan kirinya terdapat empat buah pintu. Remaja itu terus melangkah hingga mencapai pintu kedua di sisi kanan, yang bertuliskan STUDIO 1 di atasnya.
Begitu membuka pintu, dia segera mendapati sang ibu sedang membidikkan kamera ke arah seorang model berpakaian pengantin yang tengah melakukan pose di depan backdrop warna putih. Di sekitarnya berdiri beberapa orang model lain dan semuanya adalah perempuan. Selain itu, ada Erga, fotografer sekaligus kekasih Hana. Kemudian Lindung dan Janet, dua orang asisten Merredith yang sudah seperti keluarga sendiri.
Dicko melanjutkan langkah hingga mencapai sofa berwarna biru tosca berbentuk setengah lingkaran di dekat dinding. Dia lantas duduk dengan nyaman sambil memperhatikan jalannya sesi pemotretan.
Merredith tengah menggarap proyek dari sebuah bridal milik desainer pakaian pengantin kenamaan di Indonesia. Sang desainer menyerahkan sepenuhnya konsep pengambilan gambar untuk promosi rancangan terbarunya musim ini. Tidak ada yang meragukan kualitas jepretan fotografer sekaliber Merredith Cho.
"Yak! Cukup untuk hari ini. Kita lanjutkan dengan konsep outdoor hari Sabtu. Tapi saya nggak bisa ikut, jadi Erga yang akan handle," ujar Merredith begitu jepretan terakhir dituntaskannya dengan sempurna. "Lindung, lokasi udah fix, kan?"
"Sudah, Bu."
"Great. Janet, jangan lupa akomodasi dan perlengkapan. Wardrobe dari La Vinique gimana?"
"Sip. Besok siang mereka drop ke sini, Bu."
"Oke, terima kasih, Janet, dan juga buat kalian semua, good job untuk hari ini. Silakan berganti pakaian. Oh iya, Janet dan Lindung akan bawa kalian makan malam di Chez Elles. Free!"
Para model bersorak antusias. Perempuan itu tak pernah pelit soal makanan. Dia hampir selalu mentraktir para karyawan dan model seusai sesi pemotretan, terutama jika mereka tengah menangani sebuah proyek besar. Itulah salah satu alasan mengapa Merredith disenangi oleh orang-orang yang bekerja sama dengannya.
"Hai, Ko!" Erga berseru dari tempatnya berdiri. Membuat Merredith menoleh ke arah seruan muridnya itu, lalu tersenyum. Dia selalu diliputi kebahagiaan setiap kali melihat kehadiran buah hati satu-satunya. Setelah menyerahkan kamera pada Erga, Merredith berjalan ke arah putranya.
Dicko segera membalas senyum ibunya sebelum menanggapi sapaan Erga. "Hai juga, Mas! Mau bulgogi? Nuna dan Mbak Ghita lagi makan tuh di atas," serunya, yang dibalas dengan dua jempol mengacung ke atas oleh lelaki yang sudah dianggapnya kakak laki-laki itu.
"Baru sampai, Sayang?" Merredith ikut duduk di samping Dicko sambil mengembuskan napas lega. Gurat lelah terlihat jelas di wajahnya yang masih terlihat muda, padahal usianya sudah 45 tahun.
"Iya," jawab Dicko seraya mengamati wajah ibunya dengan saksama. Lalu dia mulai menginterogasi, "Eomma, motret non-stop sejak pagi lagi?"
"Kok tahu, sih?" balas Merredith sambil menampilkan ekspresi pura-pura terkejut.
"Ada tulisan gede banget di muka Eomma; AKU CAPEK."
Merredith tergelak pelan, kemudian mengusap-usap kepala anaknya dengan sayang. Hal yang selalu dilakukannya, meskipun usia putranya sekarang sudah tujuh belas tahun. "Tapi kalau udah lihat kamu, capek Eomma berkurang."
Dicko terkekeh mendengar jawaban ibunya. "Dasar. Anak sendiri digombalin."
"Habisnya nggak ada yang bisa Eomma gombalin, sih," balas Merredith sambil ikut terkekeh.
"Makanya cari pacar, jangan kerja terus. Harusnya Eomma segera pensiun. Biarkan Mas Erga yang handle semua pemotretan. Waktunya memanjakan diri sendiri sambil menikmati hasil kerja keras Eomma selama ini," ceramah Dicko dengan nada bijak yang disambut tawa oleh ibunya.
Merredith hampir selalu diberi petuah bijak oleh putranya. Terutama sejak dia dan Jonas berpisah. Dicko tak pernah bosan mengingatkannya untuk mencari pasangan hidup baru. Perempuan itu terharu dan tak pernah menyangka, anaknya bisa menyikapi segala hal secara dewasa. Dicko memang tak pernah bersikap kekanak-kanakan sejak mulai cukup umur. Sifatnya yang ceria dan seolah tak menyimpan beban terkadang membuat Merredith bertanya-tanya, tak adakah hal yang membuatnya sedih?
"Ih, kamu ini. Kenapa juga Eomma disuruh cari pacar? Udah tua begini. Lagian enakan kerja, Ko. Kamu kan tahu sendiri, fotografi adalah passion buat Eomma. Sekaligus jadi terapi ampuh buat hilangkan stres."
"Stres? Emangnya Eomma ada masalah?"
Merredith terdiam sesaat, kemudian tersenyum kecil. Tentu ada banyak hal yang membuat pikirannya tak tenang. Tentang Jonas, mantan suaminya, misalnya.
"Nggak, bukan masalah besar, kok," elaknya, yang membuat Dicko semakin yakin ibunya memiliki masalah cukup serius. "Oh iya, gimana jawaban kamu soal rencana Cecil?" Merredith mengalihkan topik pembicaraan.
Sekonyong-konyong, ucapan ibunya itu membuat Dicko kehilangan semangat. Padahal dia sudah lupa dan tak hendak ambil pusing tentang itu. Bahkan dia berencana memberikan jawaban berupa penolakan malam ini juga pada Cecilia.
Flora bukanlah tipe gadis yang akan dipacarinya. Jadi, bagaimana mungkin akan bertunangan dengannya? Dicko tak habis pikir mengapa Cecilia dan suaminya menginginkan hal konyol itu terjadi. Hingga detik ini, dia tak juga kunjung tahu alasannya. Dan tak ingin tahu pula.
"Kenapa, Ko?" Merredith menyadari perubahan raut wajah putranya.
"Nggak apa-apa, Eomma."
"Kalau kamu nggak mau, kasih tahu aja tantemu. Ayah dan Eomma nggak akan paksa kamu. Flora gimana? Apa dia setuju?"
Dicko pun tak merasa perlu tahu apakah gadis itu setuju atau tidak. "Nggak tahu juga. Soal jawabanku, nanti aku hubungi Tante Cecil," jawabnya ogah-ogahan. "Ayo kita ke atas, Eomma, aku lapar sekali." Dicko segera berdiri, tak ingin membahas hal itu lebih lama lagi.
"Oh! Ayo, deh. Eomma juga udah lapar."
Keduanya melangkah bersama keluar dari studio setelah berpamitan pada para model dan karyawan. Mereka sudah berganti pakaian dan terlihat bersemangat, meski telah bekerja seharian di depan lampu blitz kamera. Semangat mereka serta-merta membuat Dicko terpengaruh dan ingin menelepon Cecilia untuk mengabarkan penolakan.
As soon as possible.
***
"Dicko, please, bantu Tante ...." Cecilia sudah berdiri di depan pintu kamar keponakannya satu setengah jam kemudian. Perempuan itu terlihat ingin menangis. Dicko jadi serba salah dan tak enak hati.
"Masuk dulu, Tante." Dicko mempersilakan Cecilia masuk setelah memaki diri sendiri dalam hati.
Dicko bukanlah tipe orang yang tega menolak keinginan orang-orang yang dicintainya. Baginya, jika hal itu membuat mereka bahagia, maka tidak ada alasan untuk tak mengabulkan. Kebahagiaan mereka adalah sumber kebahagiaannya. Meski terkadang hal yang membuat mereka bahagia bukanlah hal yang dia harapkan. Seperti perceraian orang tuanya tiga tahun lalu.
Perpisahan Merredith dan Jonas di luar kendalinya. Dicko tahu, tak ada gunanya mencegah hal itu terjadi. Sesuatu yang tak lagi bisa diperjuangkan, hanya akan menimbulkan bencana lebih besar jika dipaksakan bertahan.
Hanya saja kali ini, Dicko ingin sesekali bersikap egois. Karena bagaimanapun juga, ini menyangkut masa depannya. Wajar saja untuk menolak sesuatu yang dirasa tak baik untuk hidupnya. Lagi pula, masalah Flora bukanlah tanggung jawabnya.
"Maafkan Tante, Ko. Tante seharusnya nggak maksa kamu. Tapi Tante benar-benar nggak tahu lagi harus minta bantuan siapa. Cuma kamu yang Tante harapkan. Please."
"Aku bukannya nggak mau bantu. Tapi apa menurut Tante ini solusi yang tepat? Kami masih sekolah dan yang paling penting, kami nggak menyukai satu sama lain. Tante tahu itu, kan? Jadi kalau kami dipaksa untuk bertunangan, aku rasa itu nggak baik juga buat Flora." Dicko berusaha menjelaskan dengan lembut agar tak membuat Cecilia tersinggung.
Cecilia menghela napas, kemudian berkata, "Gini, Dicko. Tujuan Tante mengusulkan perjodohan kalian, supaya kamu lebih leluasa mengubah sikap Flora yang nggak terkontrol itu. Tante yakin, sikap supel kamu sangat berguna untuk mendekatinya. Kamu bisa mulai dengan mengajaknya berteman baik. Dan nantinya nggak mesti harus sampai ke jenjang pernikahan kalau kalian nggak mau. Tapi untuk sekarang, buat dia nyaman dan percaya sama kamu."
"Tapi selama ini sikapnya antipati sama aku, Tante. Aku nggak bisa dekati orang kayak gitu. Dan kalau bukan karena mikirin Tante, aku udah jauhi dia dari dulu-dulu."
"Apa kamu udah mencoba lebih keras?"
Pertanyaan Cecilia membuat Dicko terdiam. Dia memang tak pernah mencoba lebih keras selama ini, karena sudah terlanjur tak suka atas sikap Flora yang sombong, seenaknya, dan luar biasa menyebalkan. Belum pernah dijumpainya gadis sebengal itu di mana pun. Jika gadis itu mulai bertingkah, Dicko lebih sering menarik diri.
Lagi pula, hanya ada nol persen kesempatan untuk membuat Flora mau mendengarkannya. Gadis liar sepertinya tak akan mampu dijinakkan dengan sekali tepukan. Butuh perjuangan keras untuk mewujudkan hal itu.
"Pasti kamu belum mencoba dengan sungguh-sungguh, kan?" Cecilia menebak.
Keponakannya hanya terdiam. Dan itu artinya pembenaran.
"Tapi kenapa harus aku?" tanya Dicko kemudian.
"Karena kamu anak yang baik, kamu bisa dipercaya, dan diandalkan. Om Sani juga percaya sama kamu."
"Kalian terlalu melebih-lebihkan." Dicko memang selalu menunjukkan sikap yang baik. Namun menurutnya, itu bukanlah jaminan untuk bisa mengubah gadis liar seperti Flora.
"Kami sudah mengenal kamu sejak kamu masih kecil, Ko. Lagi pula, kamu keponakan Tante, bukan orang lain."
"Tapi hal kayak gini lebih tepat diserahkan ke orang yang lebih dewasa dan matang, Tante. Aku masih tujuh belas."
"Bukan usia yang menentukan kedewasaan seseorang, Ko. Tante yakin kamu tahu hal itu. Dan jangan bilang kamu belum matang, pemikiran kamu bahkan jauh lebih dewasa daripada Tante."
Dicko mendengkus pelan, diiringi sebuah senyum kecil di bibirnya. Orang-orang yang mengenalnya memang selalu mengomentari sikap dewasanya yang menurut mereka berkembang sebelum waktunya.
"Dalam hal itu, kamu mewariskannya ke Farrel." Cecilia tersenyum lembut. "Sifatnya benar-benar mirip kamu. Dia menjadikan kamu sebagai idolanya. Selalu bertanya-tanya kapan kamu akan datang lagi mengunjunginya. Dan Tante bisa merasakan, dia jauh lebih gembira saat bersama kamu daripada bersama Tante dan Om Sani."
Seketika, Dicko teringat pada percakapannya dengan bocah itu, sekitar enam bulan lalu. Dengan ekspresi sedih dan polos, Farrel mencurahkan isi hatinya, menceritakan hal-hal yang terjadi dalam keluarganya. Papinya selalu sibuk, sehingga terkesan kurang memperhatikan keluarga, sikap omanya yang ketus terhadap maminya, dan kesedihannya atas sikap sang kakak yang memusuhi hampir semua orang dalam keluarga mereka. Tebersit rasa iba di hati Dicko saat mendengar semua itu, bahkan hingga kini.
Dicko sempat berpikir, kehidupannya dengan orang tua yang sudah berpisah jauh, lebih bahagia daripada kehidupan Farrel yang orang tuanya masih hidup bersama. Kendati demikian, tentu saja dia berharap semoga Farrel tak perlu mengalami hal yang sama dengannya.
"Dia juga sangat menyayangi Flora. Ajaibnya, begitu pun sebaliknya," terang Cecilia. "Asal kamu tahu, Tante mendapatkan ide perjodohan ini dari Farrel. Dia memang tidak memintanya, tapi keterikatan Farrel pada kalian berdualah yang membuat Tante memutuskan hal itu."
Perkataan Cecilia membuat Dicko terdiam beberapa jenak. Lantas berkata, "Kenapa Tante merasa harus melakukan semua ini? Bukankah dia cuma anak tiri Tante? Dan apa Tante nggak memikirkan, kalau hal itu bakalan bikin Flora makin nggak suka sama Tante?"
Senyum Cecilia berubah sedih. "Terlepas Flora anak kandung Tante atau bukan, Tante nggak akan membiarkannya tersesat, Ko. Nggak masalah dia benci sama Tante. Yang Tante inginkan cuma satu, dia berubah menjadi lebih baik. Jangan sampai terbawa pergaulan yang lebih buruk. Flora putri satu-satunya keluarga Anggoro, yang sudah Tante anggap seperti putri Tante sendiri. Terlebih lagi, dengan kondisi Farrel yang seperti itu. Seandainya Farrel pergi ...," Cecilia terisak pelan, bahunya bergetar. "hanya Flora keturunan Anggoro yang tersisa."
Dicko tercenung. Batinnya berperang. Di satu sisi, dia ingin bersikap masa bodoh dan tak harus melibatkan diri, apalagi sampai memusingkan hal itu.
Namun di sisi lain, dia merasa memiliki tanggung jawab moral. Bukan terhadap Flora tentunya, melainkan Cecilia dan Farrel, anggota keluarga yang begitu dekat dengannya selain orang tuanya. Tantenya mungkin terlihat tegar di luar, tetapi Dicko tahu, bukan hal mudah bagi perempuan itu menjalani peran sebagai bagian dari anggota keluarga Anggoro. Terlebih, Farrel sedang sakit.
"Dicko, sekali lagi Tante katakan, cuma kamu harapan Tante. Kalau kamu enggan melakukan ini untuk Flora, lakukanlah untuk Farrel. Dia sumber kebahagiaan satu-satunya dalam hidup Tante. Dan Tante masih tetap ingin bersamanya untuk waktu yang lama. Kamu juga tentu berharap seperti itu, kan?"
Tentu saja Dicko berharap begitu. Demi kebahagiaan Farrel yang sudah seperti adik kandungnya, dia akan melakukan apa saja. Akan tetapi ....
"Kasih aku waktu lagi untuk berpikir, Tante." []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top