Part 1
"It hurts the most when the person that made you feel special yesterday, makes you feel so unwanted today."
-Anonym
Jakarta, Jakarta-London International School,
Maret 2011.
"Lo mau mati muda?"
Kata-kata yang keluar dari bibir lelaki itu terdengar datar tanpa emosi. Wajahnya tak menyiratkan kemarahan. Sambil bersedekap dan menyandarkan punggung ke tembok, dia menatap malas sosok gadis bertubuh tinggi semampai dengan name tag Flora Lavanya Anggoro tersemat di seragam sekolahnya.
Gadis itu terlihat tak acuh. Dengan santai dia mengisap zat pencabut nyawa di halaman belakang sekolah yang sepi. Bukan kali pertama lelaki itu melihat Flora melakukan itu. Teramat sering. Akan tetapi, baru kali ini hatinya tergugah untuk menegur tindakan si gadis. Atau lebih tepatnya, terpaksa menegur.
"Buang tuh rokok." Itu perintah.
Bagi Flora, menuruti perintah lelaki itu bukanlah sebuah keharusan. Lagi pula, siapa dia? Jelas bukan siapa-siapa. Kakak bukan, teman bukan, apalagi pacar. Gadis itu hampir terbahak memikirkan hal terakhir.
Lelaki berwajah manis mirip artis dari Negeri Ginseng adalah spesies terakhir di muka bumi yang akan dipacarinya. Walaupun wajahnya sama sekali tak bisa dikatakan jelek—bahkan teman segengnya hampir setiap hari mengelu-elukan nama lelaki ini.
"Flo .... Lo dengar gue nggak?"
Flora mengembuskan asap rokok ke wajah si lelaki sebagai jawaban.
Hebatnya, si lelaki tetap bergeming. Ekspresinya masih datar, meski dalam hati dia merutuk dan menyesal, mengapa harus repot-repot begini? Ah, demi Tante Cecil.
Lagi-lagi, alasan itulah yang digunakannya untuk menabahkan hati. Jika saja lelaki itu egois, dia pasti menolak mentah-mentah permintaan dari adik ayahnya itu sejak setahun lalu.
"Buang rokok lo." Nada suara si lelaki masih disabar-sabarkan. Hatinya mulai dongkol saat Flora mengembuskan asap kedua ke wajahnya. Sekonyong-konyong, amarahnya naik. "Gue bilang buang tuh rokok!" Nadanya sedikit lebih tinggi dari yang biasa digunakannya ketika berbicara dengan kaum hawa. Dia sendiri terkejut, apalagi gadis di hadapannya.
Mata bundar Flora membulat sempurna. Dia merasa sudah cukup menenggang selama setahun ini. Bersabar karena harus melihat wajah lelaki itu hampir setiap hari. Diantar jemput dari rumah ke sekolah dan sebaliknya, padahal tak menginginkannya sama sekali. Namun sekarang, dia tak lagi bisa berdiam diri. Dengan kesal, dilepaskannya batangan yang terselip di bibir tipisnya.
"Eh, Dicko! Mau lo apa, sih?!"
Dicko menatap lekat lawan bicaranya yang kali ini terlihat murka. "Gue mau lo buang tuh rokok! Sekarang!" ujarnya tak kalah berang, tetapi raut wajah serta gestur tubuhnya tetap tenang.
"Enak aja lo ngatur-ngatur gue! Sok peduli amat! Kerjain aja urusan lo sana!" Wajah Flora memerah dan napasnya terengah-engah.
"Mau gue emang gitu. Kalau bukan karena Tante Cecil, gue juga nggak peduli, sekalipun lo kena kanker!"
Flora tiba-tiba mendengkus dan tersenyum mengejek. Sudah sejak lama dia menduga perempuan itu meminta keponakannya memata-matai tindak tanduknya di sekolah. "Eh, artis K-pop wanna be! Lo sama aja ya ternyata ama tante lo! Nggak di rumah, nggak di sekolah, recokin hidup gue aja! Kayak nggak ada kerjaan penting aja, sih! Resek!"
Dicko merasa tersentil atas ucapan Flora. Hanya saja dia tak ingin terpancing dan berakhir dalam pertengkaran sengit. Baginya, adu mulut dengan perempuan hanya dilakukan oleh laki-laki banci. "Nggak usah banyak omong. Cepetan buang rokok lo! Sekarang!"
"Berani bener lo nyuruh-nyuruh gue! Emang lo siapa, hah?! Kampret lo! Taik!" Flora terlihat seolah siap menyemburkan napas api.
Mendengar hal itu, mau tak mau Dicko terkekeh sinis. Wajah boleh cantik, tapi mulutnya seperti orang tak terdidik.
"Biasa aja, dong. Nggak usah nyebutin tinja segala," balas Dicko tenang. Dia mendesah dengan sikap dramatis yang dibuat-buat. "Gue emang bukan siapa-siapa lo sekarang. Tapi sebentar lagi, akan jadi seseorang yang penting buat lo."
Flora, yang hendak menyerang Dicko dengan cacian jauh lebih sadis, menyipit curiga. "Apa maksud lo?!"
Ada rasa puas di hati Dicko saat melihat ekspresi penasaran berbalut amarah di wajah Flora. "Yakin lo mau tahu? Mending tanya langsung ke bokap lo aja."
Flora berdecak gusar. "Jangan bikin gue makin marah, deh! Cepet! Kasih tahu apa maksud kata-kata lo tadi!"
Dicko kembali mendesah dramatis. Meski apa yang akan disampaikannya bukanlah sesuatu yang membuat dirinya senang, melemparkan 'bom' ke hadapan Flora sungguh suatu hiburan mengasyikkan baginya.
"Ya udah, kalau lo maksa. Nih, denger baik-baik, siapin jantung lo." Dicko memajukan tubuh hingga bisa berbisik tepat di telinga Flora. "Kita bakalan bertunangan. Dan itu minggu depan."
***
Bau lezat macaroni schotel panggang dari arah dapur tak membuat Flora tergugah. Gadis itu terus melangkah menuju tangga dengan hati panas membara. Dia merasa pantas untuk marah dan siapa pun pasti akan begitu jika tiba-tiba diberi tahu sesuatu menyangkut hidupnya, tapi sama sekali tidak dilibatkan dalam mengambil keputusan.
Flora bukanlah remaja yang dengan senang hati membiarkan orang lain mengatur-atur hidupnya, sekalipun keluarganya sendiri. Meski masih di bawah umur, dirinya adalah manusia bebas, yang memiliki hak bersuara dan menyampaikan pendapat.
Dan Flora tak habis pikir, keluarganya membuat keputusan terkonyol sepanjang sejarah; menjodohkannya di usia lima belas tahun!
Parahnya, lelaki yang akan ditunangkan dengannya adalah Dicko Marvel Hariandi. Laki-laki paling menyebalkan sedunia dan lebih manjur membuatnya mati muda ketimbang ratusan batang rokok yang selama ini diisapnya.
Karena itulah, begitu memasuki rumah, Flora bergegas mencari salah satu anggota keluarga Anggoro untuk menuntut penjelasan. Berani betul mereka, raungnya dalam hati.
"Kak Flo!" Seorang bocah laki-laki tiba-tiba muncul dari puncak tangga dengan wajah semringah.
Flora mendongak, lalu berujar, "Mana nyokap lo?!"
Suara ketus Flora membuat si bocah terlonjak kaget. Dalam keadaan normal, dia akan langsung menyesal berbicara dengan nada seperti tadi. Akan tetapi, pikirannya sedang tak jernih. Otak dan lidahnya tidak sinkron. Bahkan dia sulit membedakan tangan kanan dan kirinya.
"Ma-Mami? Mami lagi keluar, Kak," bisik anak itu takut-takut. Kepalanya menunduk menatap pijakan anak tangga yang terbuat dari kayu jati.
Mendengar jawaban itu, Flora menggeram sedikit lebih keras dari yang diinginkan. Mulutnya melontarkan makian sambil mengacak-acak rambut panjangnya yang tergerai bebas. Dia benar-benar butuh memaki seseorang saat ini. Dan target utama makiannya malah pergi entah ke mana.
Dari sudut mata, dilihatnya anak itu kembali terlonjak mendengar umpatan demi umpatan yang disemburkan. Flora segera menoleh. Begitu melihat mata bening bocah delapan tahun itu berkaca-kaca, kemarahannya mendadak padam.
Shit! I did it again, umpatnya dalam hati.
Flora seketika memejam. Mengambil napas sedalam-dalamnya, dia mengembuskannya perlahan. Sudah teramat sering Flora kelepasan mengumpat di depan anak itu saat sedang emosi yang disebabkan oleh anggota keluarganya yang lain. Padahal dia sudah berjanji pada diri sendiri tidak akan melontarkan kata-kata laknat di depan anak itu lagi.
"Rel?" panggil Flora lembut setelah merasa emosinya mulai stabil.
Anak itu belum mau menatap kakaknya. Pandangan bocah berhati selembut salju itu tertumbuk ke dinding.
"Farrel udah makan?" tanya Flora sembari menaiki sisa anak tangga. Terbersit keinginan mengucapkan maaf, tetapi sejak dulu lidahnya terlalu kaku untuk kata yang satu itu.
Farrel melirik Flora. Sekali, dua kali, dan pada lirikan ketiga, akhirnya anak itu mau menatap kakaknya. "Belum," balasnya pelan sambil melihat Flora dengan pandangan takut-takut. Farrel khawatir kakaknya akan kembali bertingkah mirip Hulk yang sedang mengamuk. Dia terlalu sering melihat kakaknya seperti tadi.
Di puncak tangga, Flora berjongkok di hadapan Farrel dengan senyum terukir tulus, yang serta merta menular ke wajah adiknya yang pucat.
"Lho? Kakak kan udah bilang, jangan tunggu Kakak. Kakak pulang sekolahnya sore. Dan kemaren-kemaren Farrel kan udah janji, makan siangnya sama Mbak Widi. Hayo ... lupa, ya?" Flora memegang bahu kurus Farrel dengan lembut.
"Biarin. Farrel maunya disuapin sama Kak Flo," rajuk Farrel manja.
"Farrel, jangan gitu, dong. Kalau Farrel nunggu Kakak baru mau makan, nanti perutnya sakit terus Kakak yang sedih. Farrel mau Kakak sedih?"
Farrel menggeleng cepat. Matanya melebar ngeri. "Nggak! Farrel nggak mau Kak Flo sedih. Farrel nggak mau kayak Oma yang sering bikin Kak Flo nangis."
Kata-kata yang Farrel ucapkan dengan cepat dan polos itu, membuat Flora terkejut. Dia pernah lihat gue nangis? batinnya tercengang.
Flora terdiam sesaat sebelum membalas, "Nah, kalau begitu, mulai besok Farrel tepati janjinya, ya. Makan siang sama Mbak Widi."
Farrel mengangguk sambil tersenyum. Sementara Flora mengusap-usap kepalanya penuh sayang.
"Kak?"
"Ya?"
"Jangan marah-marah lagi, ya," ujar Farrel pelan. Mata jernihnya menatap penuh harap. Membuat rasa bersalah Flora atas sikapnya tadi semakin menjadi. "Farrel nggak mau lihat Kakak berantem lagi sama Mami dan Papi. Kakak nggak sayang ya sama mereka?"
Flora segera mengalihkan tatapan, bibirnya mengatup rapat. Sayang? Tentu pernah, dulu. Sebelum sakit yang lelaki itu torehkan di hatinya melenyapkan rasa itu.
"Apa Kakak juga nggak sayang Farrel?"
Flora mengembalikan tatapannya ke mata jernih adiknya. "Kakak sayang kok sama Farrel."
Senyum lebar merekah di wajah kecil Farrel. "Makasih, Kak."
Flora membalas senyum itu. Tak mau berlama-lama larut dalam perasaan sentimental, dia segera berdiri dan meraih kepalan tangan Farrel. "Sekarang kita turun, yuk! Mbak Widi kayaknya bikin macaroni schotel. Kakak suapin, ya. Kalau makannya banyak, Kakak bakalan bawa Farrel main ke Dufan hari Sabtu nanti," ucapnya seraya menggandeng Farrel menuruni anak tangga.
Farrel mendongak cepat disertai ekspresi semringah. "Dufan? Tempat yang banyak permainan seru itu ya, Kak? Kora-kora, Halilintar, Ontang-anting, Bianglala ...."
Flora mengangguk penuh antusias. "Iya, yang pernah Kakak ceritakan waktu itu, lho."
Anak itu seketika bersorak dan melompat-lompat riang. "Beneran ya, Kak. Jangan bohong."
"Iya, Kakak kan udah janji."
Wajah pucat Farrel pun berbinar. Dipeluknya pinggang sang kakak erat-erat.
Demi apa pun di dunia, hal yang paling Flora inginkan adalah membuat Farrel bahagia. Anak itu satu-satunya alasan dirinya masih bertahan di rumah ini. Meskipun hanya adik tiri, di hatinya Farrel adalah segalanya.
And he's her little angel.
***
Makan malam adalah siksaan rutin bagi Flora. Rasanya bagai di neraka setiap kali duduk dalam satu ruangan bersama anggota keluarga Anggoro, seperti saat ini. Akan tetapi, gadis itu harus menabahkan hati. Saniharja Anggoro—papinya, Cecilia Hariandi Anggoro—ibu tirinya, serta Johana Anggoro—omanya; tiga orang yang dia benci hingga ke ubun-ubun.
Flora ingin segera menanyakan tentang informasi yang Dicko sampaikan tadi pagi di sekolah. Dia bersabar sejak sore hanya karena Farrel. Anak itu telah berada di kamarnya setelah makan sore tadi. Flora tak ingin adiknya menyaksikan pertengkaran yang akan meledak sebentar lagi.
Mereka makan dalam diam. Hanya denting sendok dan garpu beradu piring serta suara Cecilia yang sesekali terdengar. Perempuan 42 tahun itu bertanya pada suaminya apakah dia menyukai masakannya hari ini, yang hanya dibalas anggukan singkat. Suara manisnya entah mengapa membuat Flora ingin muntah.
"Kenapa masak udang lagi, Cecil? Kamu tahu Sani hipertensi. Kolesterolnya juga harus dijaga." Suara nyinyir Johana tiba-tiba terdengar, membuat nafsu makan Flora yang sudah rusak jadi semakin hancur.
"Nggak apa-apa kok, Bu. Tergantung cara masaknya. Ini kan cuma dikukus, jadi aman buat Sani," Cecilia berusaha menjawab dengan suara sabar. Sudah kebal menghadapi ibu mertuanya yang senang mendikte. Meski begitu, dia juga kesal bukan kepalang setiap kali Johana mulai mencari-cari kesalahannya.
Poor you, Cecil, ejek Flora dalam hati. Dia yakin Cecilia merasa tidak nyaman, raut wajahnya tak bisa menipu.
"Jangan menjawab kalau saya kasih tahu!" sergah Johana dengan suara tenang tapi menusuk.
"Tapi, Bu—"
Here we go ....
"Dan jangan sok lebih tahu dari orang tua. Kebiasaan kamu dari dulu tidak berubah-ubah! Makanya anak kamu penyakitan, ibunya tidak becus mengurus anak. Saya kasih tahu tentang pantangan ini dan itu, sudah terbukti dari zaman dulu-dulu, kamu sebagai mantu seharusnya nurut. Jangan bantah saya terus!"
Raut wajah Cecilia seketika berubah masam. Flora bisa saja membela ibu tirinya karena apa yang dikatakannya tadi tidaklah salah. Namun, dia hanya diam mendengarkan drama mertua dan menantu yang sedari dulu selalu tak akur ini. Suatu hiburan tersendiri baginya saat melihat Cecilia diomeli oleh Johana. Dan Saniharja hanya bungkam, pura-pura tuli. Sikapnya yang selalu seperti itu membuat Flora mendengkus.
"Kamu yang sopan, Flora! Jangan keluarkan suara seperti itu kalau orang tua bicara!"
Apes deh gue, rutuk Flora dalam hati. Gadis itu lantas memilih memasukkan potongan udang kukus ke mulutnya, walau sebenarnya dia tidak terlalu suka udang.
"Dan jangan mengunyah makanan malas-malasan begitu! Jadi anak tidak tahu aturan sekali kamu! Persis mama—"
"Diam!" Flora sekonyong-konyong membanting sendok dan garpu ke atas piring. Darahnya tiba-tiba mendidih.
"Flora!" Sekarang Saniharja baru bangkit dari kuburnya.
"Eh, eh! Mulai kurang ajar ya, kamu. Ajarin anak kamu, Sani!" seru Johana dengan wajah merah padam, memelototi Flora dari balik kacamata perseginya. Dia memang tak menyukai sikap cucu perempuannya yang berubah bengal sejak kembali ke rumah besar mereka.
"Jaga sikap kamu ke Oma!" bentak Saniharja. Dia selalu berusaha menoleransi sikap anak pertamanya yang luar biasa keterlaluan. Akan tetapi, lelaki itu tak bisa membiarkan Flora berkata kasar terhadap ibunya, sosok yang seharusnya dihormati.
Sementara itu, Flora justru berusaha menahan amarah dengan tangan terkepal di atas meja. Jika saja Johana mencela sikapnya, Flora takkan ambil pusing. Namun, begitu wanita tua itu menyebut-nyebut mamanya dengan nada melecehkan, Flora tak peduli, sekalipun Johana adalah ibu dari papinya. Siapa pun yang melakukan hal itu maka dia adalah musuhnya! Tak ada seorang pun yang boleh menghina perempuan yang telah melahirkannya ke dunia ini.
Flora sudah cukup bersabar selama setahun. Akan tetapi, sekarang dia tak akan membiarkan lidah Johana menjelek-jelekkan mamanya seperti yang biasa perempuan tua itu lakukan. Cukup sudah!
"Jadi aku nggak boleh marah kalau Mama dijelek-jelekin?! Apa harus Oma bawa-bawa Mama yang udah nggak ada?!" raungnya dengan jantung yang serasa akan meledak saking kuatnya dentaman di dalam sana.
"Flora, rendahkan suara kamu," tegur Cecilia.
"Tante nggak usah ikut campur! Kalian semua juga jangan ikut campur sama hidup aku!" Flora justru meradang. Dadanya mulai terasa sesak. Kemarahan yang sedari tadi ditahan, meledak karena satu pemicu yang teramat fatal.
"Jangan ikut campur kamu bilang? Kamu anak dari keluarga ini. Jadi hidup kamu adalah urusan kami!" sahut Johana.
"Oh! Jadi hanya karena aku anak dari keluarga Anggoro yang terhormat ini, kalian pikir bisa menjodohkan aku tanpa bicara dulu sama aku?!"
Ketiganya melirik satu sama lain. Mereka tak terlalu terkejut Flora sudah mengetahui hal itu.
"Kamu tahu dari Dicko?" Cecilia yang pertama kali bereaksi. Dia sudah menduga bahwa keponakannya akan menginformasikan hal itu pada Flora.
"Ya! Tadi pagi dia kasih tahu aku. Apa maksud kalian pake jodoh-jodohin aku segala?!" hardik Flora dengan dada naik-turun saking sesaknya.
"Ikut Papi!" Saniharja berdiri dan melempar asal serbet berwarna putih yang tadi berada di pangkuannya, lalu segera berjalan keluar dari ruang makan.
Flora ikut berdiri dan menyusul langkahnya, begitu juga Cecilia, sementara Johana masih duduk di kursinya. Dia tahu cucunya takkan menyukai rencana ini, dirinya pun tidak. Hanya saja, dibiarkannya Saniharja mengambil langkah yang menurutnya tepat. Namun, setelah melihat reaksi Flora malam ini, perempuan itu mulai sangsi usaha putranya akan berhasil.
Setelah melintasi ruang keluarga, Saniharja berbelok menuju ruang kerjanya, kemudian membuka pintu dengan entakan kasar. Flora ikut masuk bersama Cecilia yang berjalan di belakang gadis itu.
Flora menanti dengan tak sabar. Penjelasan apa yang akan mereka sampaikan padanya? Jangan bilang kalau kakeknya Dicko sakit keras dan dia minta kami bertunangan sebelum ajalnya menjemput. Lagu lama dan udah basi! ocehnya sebal dalam hati.
"Duduk!" perintah Saniharja sambil menunjuk kursi di depan meja kerjanya, sementara dia sudah lebih dulu duduk di sebuah kursi putar berwarna hitam. Cecilia kemudian duduk di kursi yang bersebelahan dengan putri tirinya.
"Sebenarnya kami memang akan bicarakan sama kamu tentang itu malam i—"
"Alasannya?" potong Flora tak sabar.
Raut muka Saniharja terlihat gusar, tak suka diinterupsi oleh putrinya, mengingatkannya saat berada di ruang rapat parlemen. "Nggak ada alasan khusus. Kami memang sudah lama punya rencana menjodohkan kamu dengan Dicko. Dan berhubung kalian sudah cukup dekat selama setahun ini, kami rasa nggak ada masalah kalau pertunangannya dilakukan segera."
"Dekat? Kedekatan kayak gimana yang Papi maksud? Aku nggak merasa dekat sama Dicko. Dia cuma antar-jemput aku dari rumah ke sekolah dan sebaliknya. Itu juga karena kalian yang nyuruh. Dan perlu Papi tahu, aku nggak mau ada perjodohan dengan dia atau siapa pun. Papi nggak bisa perlakukan aku seenaknya!"
"Kami tahu kamu akan menolak. Tapi keputusan Papi nggak bisa kamu ganggu gugat. Suka atau nggak suka, kamu tetap akan tunangan sama Dicko. Silakan kalau kamu mau marah."
"Oh, jadi Papi nggak anggap penting pendapatku? Papi egois! Jadi ini cara Papi menghukum aku? Iya?!"
Ya, Flora merasa ini pasti hukuman atas sikap yang ditunjukkannya selama ini. Mereka pikir dia akan melunak? Tentu saja tidak. Dengan begini, gadis itu justru akan semakin membuat mereka kesal.
"Kamu boleh menganggap seperti itu. Tapi yang pasti, kami memutuskan ini demi kebaikan kamu."
"Demi kebaikan aku Papi bilang? Jangan pura-pura peduli sama aku, Pi! Papi bahkan nggak pernah anggap aku dan Mama bagian dari hidup Papi! Papi mau buang aku lagi dengan cara ini, kan?"
"Flora!" sergah Cecilia. Kata-kata putri tirinya sungguh tak benar. Dia tahu segalanya, yang tidak Flora ketahui tentang tindakan Saniharja selama ini.
"Biarkan dia dengan kesimpulannya, Cecil. Persiapkan semua yang berhubungan dengan acara pertunangan. Dan kamu, Flora! Sekali lagi Papi tegaskan, kamu akan tetap bertunangan dengan Dicko. Persiapkan juga diri kamu. Papi nggak mau dengar bantahan lagi. Diskusi kita selesai!"
Flora mengepalkan tinju di pangkuan. Diskusi? Baginya ini pemaksaan! Mereka sungguh keterlaluan. Dia tak bisa menerima ini begitu saja. "Aku nggak akan terima rencana kalian. Papi mau marah juga terserah! Aku nggak akan tunangan sama Dicko!" Gadis itu lantas berdiri dan segera berlari menuju pintu dengan mata panas.
Gue diperlakukan semena-mena dan mereka berharap gue bakalan manut? No way! []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top