E M P A T


"Makanannya udah datang?" Sultan baru keluar dari kamar dengan wajah segar dan tampilan santai. Celana pendek denim dan kaus dalam berwarna putih. Semakin meningkatkan kesan manisnya di mata Fara. Tipe Fara sekali. Fara bahkan membayangkan Sultan bergaya khas mahasiswa yang punya banyak penggemar di kampus.

"Orang tanya itu dijawab, bukan ditatap kayak mau nerkam. Iya tau, gue pasti buat lo terpesona, kan? Sori, lo bukan tipe gue." Hancur berantakan lamunan Fara, deklarasi suara hatinya langsung Fara tarik kembali. Sultan pasti tidak punya penggemar di kampus, haters bisa jadi.

"Sekitar lima menit yang lalu." Fara langsung duduk kembali di sofa, lebih baik kembali menatap aneka hidangan pesanan Sultan. Semuanya terlihat menggiurkan, belum lagi harumnya. Sejak kedatangan hidangan-hidangan itu, Fara sudah sangat penasaran ingin mencicipinya. Dari makanan tradisional, sampai mancanegara. Fara sampai bingung ingin mencoba yang mana. Dia bukan tipe pemilih makanan. Apalagi sedang lapar, apa saja bisa dia konsumsi. Berhubung anak orang kaya yang sedang membersihkan diri belum memberikan izin makan, Fara memilih bersabar menunggu. Satu porsi sup buntut dan juga sate lilit ayam akan masuk ke dalam lambungnya tak lama lagi. Belum lagi satu gelas jus mangga segar. Fara benar-benar lapar. Semakin lapar mendengar kicauan menjengkelkan Sultan.

"Kenapa enggak makan di meja makan balkon?"

"Nunggu kamu mandi keburu dingin kalau di sana."

"Yaudah, makan sekarang!" perintah Sultan duduk di sebelah Fara.

Tak akan melewatkan kesempatan. Fara menggangguk dan segera mengambil satu porsi nasi dan sup buntut. Mencicipi satu sate lilit ayam pun tak ada salahnya. "Hmm.." ucap Fara tanpa sadar. Tepat seperti dugaannya, rasanya sempurna.

Sultan sendiri memilih tak peduli melihat tingkah Fara. Dia juga sama-sama lapar, lebih baik fokus mengisi perut agar tenaga kembali bugar. "Enak?" tanya Sultan tak tahan juga melihat gaya Fara menikmati makanan. Mirip orang yang tidak pernah mencicipi makanan enak.

"Enak," ucap Fara jujur. Sultan menyunggingkan senyumnya. Gadis di sebelahnya lumayan menarik. Kalau ingat beberapa jam sebelumnya, jelas Fara masih gugup dan malu-malu. Tapi sekarang, mendadak lupa kecanggungan karena makanan. Malu-maluin.

"Umur lo berapa tadi?" tanya Sultan mengisi kesunyian.

"Delapan belas. Cepat banget lupa." Nah, lihat. Sudah bisa menjawab.

"Masih sekolah?"

"Udah lulus."

"Lanjut kuliah?"

Fara menggeleng karena mulutnya penuh dengan makanan. Masih sibuk mengunyah. Sultan menunggu jawaban Fara.

"Belum ada biaya," jawab Fara pelan, sambil menelan makanan dengan pasti. Tak lupa diselingi satu teguk air mineral. Biar tidak tersedak.

"Makanya lo jual diri biar dapat dana untuk kuliah?" Cara bertanya Sultan sungguh tidak disaring dengan benar. Seolah pertanyaan seperti itu wajar dan mudah diterima pihak lain. Untung Fara mulai bisa beradaptasi. Tidak kaget rasanya bagi Fara jika Sultan memberikan pernyataan sepihaknya. Faktanya, memang benar. Fara memang secara sadar menjual diri.

"Sekali lagi gue tanya, lo nggak nyesel mau di unboxing sama gue? Orang asing? Untung ganteng." Fara sampai menenggak satu botol air mineral hingga tandas. Sungguh malas meladeni topik yang Sultan tanyakan. Seharusnya Sultan mengerti, jika Fara sudah ada di sini bersamanya, itu artinya segala macam, risiko dan konsukuensi sudah Fara pikirkan. Dan bukan ranah Sultan lagi membahasnya. Pria itu cukup diam, nikmati proses liburan bersamanya. Untuk apa bertanya hal tak perlu Sultan ketahui. Faktanya, jika ingin memilih Fara juga tak mau duduk di sini dengan tujuan seperti ini. Menjual diri.

"Setelah ini, jangan jual diri lagi. Cari kerjaan yang halal. Biar hidup lo tenang. Masih muda, jangan sampai penyesalan seumur hidup nggak bisa lo lupain." Fara sampai berhenti menelan makanan, dia menoleh ke arah Sultan yang sedang berbicara lancar tanpa dosa. Rasanya ingin Fara berikan sedikit saran untuk bisa menyaring ucapan.

"Kamu juga kenapa cari wanita buat diajak senang-senang kayak gini? Kenapa nggak sama pacar kamu aja. Gratis, pakai hati lagi. Pasti lebih berkesan liburannya." Tenang, pelan dan tepat sasaran pertanyaan Fara. Sekarang giliran Sultan yang fokus menatap Fara. Belum satu hari mereka bersama, kenapa rasanya berbeda. Ada banyak keunikan yang bisa dia gali dari Fara. Rasanya, Sultan ingin terus mencari sisi lain Fara.

"Kenapa tanya kayak gitu? Itu urusan gue."

"Kamu juga kenapa bahas lagi urusan pilihan saya jual diri?"

"Ya, kan, tanya aja. Kali aja ragu."

"Ragu pun nggak ada gunanya, kan?"

"Nah, itu tahu."

"Terus kenapa kamu tetap tanya?" Sultan memperhatikan Fara. Lawan yang setimpal. Biasanya, teman yang Sultan kenal, jarang mau diajak bicara seperti ini. Jika Sultan memancing, rata-rata mereka memilih mundur. Tapi Fara? Walaupun jelas Sultan lihat dari raut wajahnya seperti takut, tetapi tetap Fara hadapi.

"Keberatan kalau saya habiskan makanan ini dulu? Saya lapar banget, dan akan memakan waktu kalau makan sambil bicara." Sultan menaikkan alis, tak menduga jika Fara mengeluarkan maklumat menjengkelkan. Harusnya dia yang menginstruksikan hal itu, bukan gadis ini. Pada akhirnya Sultan memilih diam, ikut fokus kembali mengisi tenaga. Mungkin dengan tenaganya kembali penuh, Sultan yang mendominasi kembali datang. Menarik.

"Pelan-pelan. Jangan kayak orang nggak makan seharian," sindir Sultan tak tahan.

"Emang belum makan dari pagi. Eh, dari semalem malah." Lagi-lagi Sultan dibuat tak berdaya mendengar kejujuran Fara, dan mungkin masih banyak lagi sisi unik Fara yang bisa dia gali. Tapi untuk apa?

***

Langit bertabur kerlip bintang, udara menghantarkan kesejukan dengan suara alam menemani. Menghasilkan ketenangan tanpa hiruk pikuk jalanan kota, lalu ditemani sosok orang terkasih. Rasanya pasti menyenangkan berada di situasi seperti itu. Sayang, Sultan lebih memilih gadis asing ini untuk menemaninya. Sudah dibilang Sultan memang susah menjalin spesial dengan lawan jenis. Sultan lemah dalam hal pendekatan. Tak pandai merayu, dan malas mencoba meluluhkan. Baginya, buang-buang waktu.

Seperti ini lebih baik. Sultan bebas bertindak tanpa perlu memikirkan rasa selanjutnya. Karena yang Sultan yakini, hubungannya dengan Fara tak akan berlanjut. Hanya bayangan yang akan segera sirna sampai waktu yang ditentukan. Apalagi sedikit sifat Fara mulai terlihat. Sekilas seperti dirinya, pembangkang.

"Mau pesan makanan lagi?" tanya Sultan tulus. Siapa tahu Fara mau menyimpan persediaan makanan. Mungkin saja malam-malam gadis itu kelaparan. Mendengar dia belum makan seharian membuat hatinya tak tega juga. Sudah hampir satu jam mereka selesai malam malam. Saat ini mereka memilih duduk di balkon vila. Memperhatikan pemandangan remang alam. Kilau lampu nan jauh semakin membuat suana semakin damai.

"Mau pesan, nggak? Aku telepon restoran, nih."

"Nggak, udah kenyang." Fara bersedekap sambil menghembuskan udara. Semakin malam, terasa dingin.

"Mungkin roti, atau kue manis buat camilan malam?" Fara tampak berpikir.

"Boleh juga, sih. Tadi aku baca di menunya ada tiramisu. Aku penasaran rasanya. Kalau bisa tambah roti bakar, atau kentang goreng. Eh, tambah sosis juga boleh." Sultan seolah bisa menebak, ternyata benar tak tahu malu. Dasar wanita tak mau rugi.

"Teh hangat juga, deh! Dingin banget di sini. Eh, ganti! Susu cokelat aja. Eh, kalau bisa dua-duanya," cerocos Fara tanpa sadar.

"Tadi katanya kenyang.." ledek Sultan dengan tatapan mencebik. Niat basa-basi, malah banyak permintaan.

"Yaudah kalau nggak boleh, nggak jadi." Fara berdiri berniat meninggalkan Sultan sendiri. Menutupi rasa malunya yang terlalu berharap Sultan tak keberatan. Dia pikir Sultan mau menuruti keinginannya. Baru saja hatinya melambung tinggi karena bentuk perhatian kecil Sultan mampu membuat dirinya gede rasa.

"Mau kemana?" tahan Sultan tanpa basa-basi. Menarik tangan Fara untuk berhenti melangkah.

"Ke dalam, dingin di sini."

"Tugas lo temenin gue. Kenapa seenaknya jalan."

"Nggak kuat dingiin..." Fara memang jujur, buktinya jari-jari Fara terasa dingin.

"Tubuh lo nyusahin, ya. Ambil jaket sana! Tadi lihat di koper gue, kan? Terus ke sini lagi. Temanin gue ngobrol. Tenang aja, gue pesanin semua yang lo mau tadi. Sekalian Zuppa soup, biar makin hangat, kenyang dan tidur nyenyak." Fara mengangguk lalu bergegas ke dalam kamar. Ceramah Sultan sudah lebih dari cukup. Hatinya kembali bahagia, ada sisi baik dari kalimat pedas Sultan.

"Eh, tapi ini nggak gratis, ya. Ingat, tugas utama lo buat gue senang liburan. Lo yang harusnya puasin gue, dalam hal bersikap, tingkah laku, dan inisiatif. Paham inisiatif? Lo harus cari cara biar kebutuhan biologis gue terpenuhi dan terpuaskan." Segera Fara melangkah cepat ke dalam kamar.

"Ingat, nafkah biologis gue saat ini lo yang tanggung jawab!" Masih tetap terdengar ocehan Sultan dari dalam kamar.

"Dasar cowok aneh. Kadang diem, kadang galak. Belum lagi kalau udah berkicau jarang disensor. Mancing orang biar sakit hati bener. Bikin salting aja." Fara terus menggerutu sambil mencari jaket milik Sultan, tapi dia memang benar kedinginan. Semua juga karena pilihan baju untuknya tidak ada yang tebal. Hampir semua model pakaian untuk Fara bergaya minim. Akhirnya seperti ini, lebih mudah terserang hawa dingin. Nggak mungkin juga dia minta peluk Sultan. Baru kenal. Tapi, kan, Sultan...

"Kebutuhan biologis? Apa sebentar lagi dia harus menyerahkan diri? Fara melirik ranjang yang masih setia bertabur bunga indah.

"Duh, gimana kalau malam ini dia minta nafkah biologis?" Fara mendadak kembali ingat hal yang membuat dia diajak Sultan liburan. "Udara dingin gini, mana bisa konsentrasi. Yang ada aku beku kayak patung."

"Eh.." Nah, akhirnya Fara tak berkutik.

"Di dalam kamar aja, deh. Gue juga kedinginan di luar," bisik Sultan pelan di belakang telinga Fara. Tak lupa rengkuhan erat Sultan tanpa izin.

05-04-21
Mounalizza

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top