D E L A P A N

Holaaa selamat menjalankan ibadah puasa buat yang menjalankan.. ❤️

*****

"Jadi kita nggak akan jalan-jalan?" tanya Fara pelan, mirip ekspresi anak kecil sedang kecewa. Sudah mandi, berdandan cantik, belum lagi terus memasang wajah ceria. Sayangnya, Sultan membatalkan dikarenakan hujan lebat disertai petir sedang terjadi.

"Percuma, cuaca kayak gini. Besok aja, ya! Kan, masih banyak waktu," bujuk Sultan tenang. Sesuai permintaan Fara, dia harus bisa mengatur emosi.

"Tapi, kan, waktu kita cuma satu minggu. Sisa beberapa hari lagi." Sultan memilih malas membalas. Lebih baik dia berdiri di dekat balkon menatap kilat dan derasnya hujan saling beraksi. Situasi alam mencekam, tapi juga membawa berkah.

"Yaudah, besok pagi janji, ya?" Fara mau tak mau ikut berdiri di sebelah Sultan. Walau dia tak menyukai cuaca seperti ini, tapi terkadang dia juga suka memperhatikan aktifitas alam seperti sekarang.

"Gak takut petir?" lirik Sultan penasaran ingin melihat reaksi Fara, karena baru saja terdengar dentuman petir yang cukup kencang. Fara hanya meringis singkat.

"Saat kecil saya penakut kalau dengar petir. Tapi, semenjak Ayah udah gak ada, mau gak mau harus berani lawan rasa takut itu. Nangis pun percuma, nggak ada yang tenangin," jawab Fara datar menatap derasnya hujan.

"Umur berapa ditinggal orangtua?"

"Delapan tahun."

"Sakit? Kecelakaan?" tanya Sultan lagi.

"Ibu sakit TBC. Bertahan lima bulan saat proses pengobatan." Fara menjelaskan lancar tanpa terbata. "Terus Ayah setelah kepergian Ibu, kayak kehilangan gairah hidup. Mabuk-mabukan setiap malam, dan tidak pernah menganggap anak-anaknya ada. Sampai suatu hari, saya dapat kabar kalau Ayah kecelakaan lalu lintas. Banyak yang bilang Ayah sengaja menabrakan kendaraannya. Bisa dibilang, Ayah mencoba bunuh diri. Tragisnya, itu mobil kantor. Hampir aja pihak kantor minta ganti rugi. Berhubung saya dan kakak masih kecil, jadi aman. Cuma, nggak dapat tunjangan keluarga korban. Hmm, korban?" tawa Fara diakhir kalimat membuat Sultan terperangah. Sultan sampai melebarkan pandangan. Tragis, sedih dan tak bisa dia bayangkan berada di posisi Fara. Anak kecil ditinggalkan orangtua dengan keadaan seperti itu.

"Yakin ini kisah nyata lo?" Melihat cara Fara bercerita tenang dan lancar, membuat Sultan ragu. Bisa saja gadis yang kadang menyebalkan ini berbohong. Menjual kisah halusinasi agar dia bersimpati.

"Terserah mau percaya apa gak. Toh, semua sudah terjadi." Dan saat pandangan mereka bertemu, Sultan bisa melihat kejujuran di mata Fara. Rasa kehilangan, kerinduan, takut dan lelah semua menjadi satu.

"Maaf," ucap Sultan tulus. Tangannya, menepuk pundak Fara sebagai bentuk kepedulian.

"Jalan hidup masih panjang, yakin kalau kebahagiaan akan datang buat hidup lo." Mendengar Sultan berbicara seperti itu membuat Fara terkikik geli.

"Kenapa ketawa?"

"Yakin kamu bicara kayak gitu? Yakin kebahagiaan pasti datang?" Sultan memang harus ekstra sabar melatih emosi di hadapan gadis ini. Selalu memancing dirinya meledak. "Kamu cuma asal bicara aja buat tenangin saya. Padahal mana tau arti kebahagiaan. Saya yakin kamu juga susah cari kebahagiaan. Ya, kan?" ledek Fara tak tahu kondisi.

"Tau, ah." Sultan kembali memperhatikan hujan. Tak mau petir buatan kembali datang bersumber dari dirinya. Bisa meledak kalau itu terjadi. Dia sedang belajar menahan emosi.

"Kadang kita bisa terus buta sama kenyataan dan disadarkan saat kita terus terjebak di dalamnya. Kata-kata optimis yang kamu bilang, bisa jadi hanya angan semata. Karena kenyataannya, proses yang dijalani itu melelahkan," ucap Fara berubah sendu menatap Sultan yang tak mau menoleh ke arahnya.

"Tapi tugas kita selain yakin, jangan juga mudah menyerah," balas Sultan lagi.

"Dan kita juga harus tahu kapan saatnya menyerah," balas Fara tak mau kalah. "Seperti sekarang saya ada di sini. Menyerah menunggu kebahagiaan semu. Memilih jalan pintas demi nominal uang berlimpah dari kamu."

Malas membalas penjelasan Fara, pada akhirnya Sultan memilih menarik pundak Fara agar lebih dekat dengan tubuhnya. Merangkul tubuh Fara dengan pelan. "Ya udah, siapa tahu gue kebahagiaan semu yang bisa membuka jalan lebih mudah untuk masa depan lo." Fara tak menolak dengan tindakan Sultan merangkulnya. Mereka memilih menatap terus hujan dan petir yang masih berlangsung.

"Yaiyalaah, kamu yang kasih saya jalan keluar. Dapat duit banyak dari kamu." Sultan semakin merangkul Fara erat. Bahkan satu tangannya sempat membekap mulut Fara. "Udah diem aja! Nikmati badai di depan lo. Jawab mulu kerjaannya."

"Iya," jawab Fara manyun, tapi tak menolak berpelukan dengan Sultan. Bahkan posisi mereka sudah saling melingkarkan tangan di perut.

"Lo masih muda. Belum waktunya menyerah." Peluk Sultan sambil mengecup kepala Fara lembut. Seolah ingin mengubah pola pikir Fara akan jalan hidup hari esok.

"Iya, bawel."

"Dasar norak."

***

"Kenapa pesan makanannya sedikit? Pas banget untuk kita berdua," gerutu Fara duduk bersila di sofa ruang tengah. Sambil mengambil satu piring nasi campur Bali komplit. Meletakkan piringnya di paha sebelah kanan.

"Kalau kebanyakan, nanti lo rakus mau makan semua. Kenyangnya sebentar, tapi sayang setelah itu lo muntahin." Sultan juga mengambil satu piring nasi Bali dan meletakkan di pahanya. Bedanya, cara duduk Sultan lebih sopan.

"Minimal menu makanan kita dibedain, kek. Jadi bisa cobain." Ada saja yang diucapka Fara. Seolah selalu mampu membalas ucapan Sultan.

"Udah makan sana! Lama-lama sifat asli lo semakin kelihatan, ya? Bawel."

"Lebih bawel kamu kayaknya daripada saya. Belum lagi galak, marah-marah mulu." Kalau sudah begini, sepertinya cara galak dan memberikan pelototan lebih mujarab membungkam silat lidah Fara.

"Ma-kan!" ucap Sultan penuh intimidasi.

"I-ya.."  Mau tak mau Fara mengangguk, lalu diam.

Berhasil juga. Tapi, kenapa Sultan tak tega, ya? Gadis ini hidupnya penuh tekanan. Kenapa dirinya menambahkan beban lagi?

Keduanya kembali diam. Fokus dengan makanan masing-masing. Hanya dentingan alat makan yang terdengar bersama air hujan yang tak henti mengguyur bumi. Semesta memang sedang menangis dan tak kunjung reda.

"Besok mau ke pantai atau nikmatin suasana gunung?" tanya Sultan memecah keheningan, suara alat makan Fara mendominasi. Membuat dirinya tak nyaman. Lebih baik diisi dengan suara mereka, sekali pun hanya berdebat.

"Saya ikut aja. Kan, Bos nya kamu." Sultan mengangguk dengan senyum mengembang. Penjelasan Fara membuat dia melayang di atas awan. Dia memang harus dituruti segala perintahnya.

"Bagusss.." Sultan yang baru menoleh, mendadak melebarkan pandangan saat melihat isi piring makan Fara sudah bersih tanpa sisa. Bahkan sambal pun sudah bersih tak bersisa, hanya dua batang serai yang masih ada. Sementara piring miliknya saja masih setengah porsi belum habis.

"Lo makan dikunyah apa langsung ditelen, sih?" Bukan Sultan namanya kalau tak bisa menyaring pertanyaan.

"Sori, kebiasaan makan cepat. Waktu adalah uang. Emangnya kamu, keliatan jarang bersyukur sama makanan. Belum pernah aja kelaparan dua hari dua malam. Dijamin, setelah itu akan selalu bersyukur kalau masih bisa makan." Sepertinya diamnya Fara hanya sesaat. Rupanya mengisi energi dulu tadi.

"Gak usah pamer kalau pernah kelaparan."

"Yee, saya cuma kasih tahu. Orang sinting kali pamer kelaparan. Tapi, sekarang saya juga masih lapar. Kamu pelit sih, pesan makanan secukupnya." Fara memang masih belum puas mengisi lambungnya dengan makanan gratis enak. Puas-puasin selagi ada kesempatan.

"Mau yang punya gue?" tawar Sultan kasihan juga melihat Fara yang sepertinya masih mampu menampung makanan ke dalam perutnya. Gadis kecil dengan kemampuan dapat menampung besar di dalam lambung.

"Mau?" tawar Sultan lagi.

"Boleh?" Sultan hampir saja terbahak melihat tingkah Fara, saat mengucapkan kata 'boleh', tangan Fara sudah mengambil paksa piring makannya. "Dasar rakus," ledek Sultan tak peduli, Fara sendiri memilih terkikik tanpa malu. Dan kembali menikmati hidangan yang sama aja sama miliknya tadi.

"Makan lo banyak, tapi ukuran tubuh lo tergolong kecil. Ya, pas di bagian itu cukup besar, sih." Sultan menunjuk tanpa risih buah dada Fara.

"Pelan-pelan!" Sultan heran, Fara lebih heboh menikmati makanan daripada berbicara dengannya, tidak tersinggung lagi. Padahal Sultan sedikit memancing membahas ukuran buah dada. Fara tak peduli Sultan membahas ukuran buah dadanya, memang faktanya ukurannya cukup besar, tak jarang dia selalu mendapat pelecehan perihal ukuran buah dada, tidak sampai disentuh, hanya ujaran tak sopan. Fara tak akan ambil pusing.

Tapi, sebenarnya Fara sedikit gugup, karena hanya Sultan lah yang pernah menyentuhnya. Beberapa jam yang lalu pria di sebelahnya tidak hanya menggerayangi, dia juga memainkan bahkan menikmati dengan mulutnya. Tanda merahnya saja masih sulit hilang. Mendadak Fara sulit menelan makanan, rasanya tak pantas kegiatan beberapa jam yang lalu masih dia bayangkan. "No.." ucap Fara cepat. Tak boleh dipikirkan.

Fara sendiri segera melirik Sultan yang ternyata sedang diam memperhatikan buah dadanya. Tak berkedip, fokus ke satu titik, dan tanpa malu dengan jarak dekat. "Ehem, ngapain lihat-lihat?" sindir Fara memecah tatapan Sultan.

"Ck..ganggu!" Sultan segera duduk tegak, menatap sembarang arah. Mendadak gerah karena mengingat kegiatan beberapa jam yang lalu. Tingkah Sultan saat itu sedikit gegabah. Amatir yang bertindak terburu-buru, tidak menikmati permainan karena kebingungan banyak hal baru yang ingin dia cicipi. Faktanya, walaupun gegabah, bermain di area buah dada Fara adalah bagian terfavorit dirinya. Selain berciuman tentunya. Apalagi ukuran buah dada ranum itu sungguh menggoda. Menyembul indah dan kekenyalan yang pas untuk digerayangi, Sultan segera menggeleng memikirkan pikiran laknat nya. Sungguh gundukan yang mengkhawatirkan.

"Sial.." Sultan mengibaskan kerah bajunya. Serangan birahi kenapa datang tak pandang waktu. Yang benar saja, mereka sedang menikmati makan malam.

"Kenapa sial?" Bahkan Fara tanpa dosa menyentuh lengannya. Membuat tubuh Sultan semakin bergejolak. Seolah pertanda ingin kembali mencoba.

"Hei, mau kemana?" Sultan tak menjawab panggilan Fara. Karena lebih memilih masuk ke dalam kamar, mengurung diri di kamar mandi. "Kenapa, sih? Sakit?" teriak Fara yang ternyata ikut membuntuti dirinya ke dalam kamar. Beruntung dia segera mengunci pintu kamar mandi, bahkan menutup tirai kamar mandi. Tak bisa dia bayangkan jika Fara menyaksikan aksi solo nya memuaskan diri.

"Saya bisa bantu kamu kalau kamu butuh? Mau aku pijat? " Sultan benar-benar jengkel mendengar kicauan ambigu Fara. Bisa salah arti. Tidak mungkin juga Sultan menjelaskan secara implisit keinginan dia saat ini, mengingat tingkah Fara tadi siang sudah membuat hatinya merasa bersalah. Gadis itu menangis dan ketakukan. Ingat tangisan pilunya. Sultan terus mengingat kejadian tadi siang.

"Udah lanjut makan aja sana! Jangan ganggu gue!"

'Yakin gak butuh bantuan? Saya pijat pakai minyak angin kalau kamu mau?"

"Gak, udah sana keluar! Ganggu banget! Keluar!" desak Sultan kesal, dia sedang berusaha membuka celananya. Rasa ngilu terus menjalar.

"Saya tulus mau bantu kamu kalau memang sakit." Sultan terus memejamkan mata.

"Keluar, Faraaaaa!"

"Ih, bawel. Yaudah, saya keluar." Sultan mendesah lega karena suara merdu Fara sudah kian jauh dari kamar. Semua karena buah dada Fara dia jadi seperti ini. Sialan.

***

20-04-21
Mounaliza

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top