Bab 5
Terkadang kita terlalu buta menilai apa itu cinta
🐾🐾🐾
Semua mata memandang murid baru yang berada di belakang Bu Hanik. Yang ditatap sok sokan ganteng kalau jadi pusat perhatian. Hiro, sih, biasa aja kalau ditatap cewek-cewek kayak gitu. Di Venus aja, Hiro jadi idola para remaja. Yang membuat Hiro heran adalah, Vale ternyata lebih tertarik buku matematik daripada dirinya.
Lihat aja, Vale. Matanya berbinar-binar saat melihat buku pr-nya sudah terisi lengkap dengan jawaban nya. Sampai-sampai mengabaikan orang ganteng yang baru lewat. Oke! Jangan protes lagi. Orang ganteng mah bebas bicara apa aja. Percaya aja!
"Pagi anak-anak," sapa Bu Hanik. Meletakkan buku-bukunya di atas meja guru. Lantas meneliti muridnya satu persatu.
"Pagi, Bu!"
"Nah, kalian kedatangan murid baru. Sini, kenalin diri kamu," perintah Bu Hanik menyuruh Hiro mendekat.
Hiro berjalan pelan. Mendengkus ketika Vale tidak juga menatapnya. "Halo semuanya. Gue Hiro."
"Apa ada pertanyaan buat Hiro?" tanya Bu Hanik menawarkan diri.
Rata-rata cewek langsung mengacungkan tangan. Setelah diepersilakan, semuanya langsung bertanya secara bertubi-tubi.
"Rumahnya mana?"
"Dulu sekolah mana?"
"Keturunan Korea?"
"Nomor WA donggg!"
Penanya terakhir langsung mendapat sorakan seluruh murid.
Hiro tersenyum mengejek. Mengembuskan napasnya panjang. "Gue dari Planet Venus. Belum pernah sekolah di mana, pun. Korea? Nyerempet dikit. Oh ye gue emang kembarannya Lin Yi. Dan, Sorry, gue nggak main mainan kuno manusia bumi," jawab Hiro lugas dan santai.
Semua orang langsung melongo karena jawaban Hiro terdengar aneh. Apalagi tentang planet Venus dan manusia bumi. Seperti cowok itu tidak berasal dari bumi saja.
Bu Hanik tertawa kecil, mencairkan suasana.
"Hiro ini pandai melucu, ya," canda guru paruh baya itu yang langsung diikuti dengan tawa seisi kelas.
Vale geleng-geleng kepala melihat Hiro sepertinya tersinggung dianggap melucu oleh Bu Hanik. Suruh siapa bilang yang aneh-aneh. Emangnya dikira jawaban Hiro nggak bakalan dianggap aneh apa.
"Maaf, Bu. Tapi saya serius," sela Hiro. Kontan saja semua orang terdiam mendengar elakan Hiro.
Bu Hanik berdehem. "Baiklah. Kamu bisa duduk di bangku kosong," ujarnya mengalihkan topik.
Hiro terdiam beberapa saat. "Boleh request tempat duduk, Bu?"
Vale melongo. Berbeda dengan reaksi cewek-cewek yang langsung berebutan menawarkan kursi di sebelahnya.
Bu Hanik menghela napasnnya. "Ini bukan acara radio. Nggak bisa seenaknya request bangku."
Mata Hiro memutar. "Tapi, Bu. Saya nggak bisa duduk sama ulet-ulet gatel," tolaknya polos.
Bu Hanik Samapi geleng-geleng kepala melihat kejujuran Hiro. "Udah! Duduk!" perintahnya galak.
Hiro meringis. Belum juga mengangguk karena permintaannya berkumpul terkabul. Di Planet Venus aja semua permintaan Hiro selalu terpenuhi. Masa di Bumi Hiro harus ngemis-ngemis dulu.
"Memangnya kamu mau duduk sama siapa?" tanya Bu Haji sudah hilang kesabaran.
Hiro tersenyum lebar. "Vale."
Cewek yang disebut namanya langsung menegak. Merasa diperhatikan dengan tatapan membunuh oleh cewek di sekitarnya. Fifi yang berada di samping Vale heboh sendiri.
Vale mengangkat tangannya. "Saya nggak mau duduk sama dia, Bu," ujarnya tanpa diminta.
Hiro melotot. Tuh, kan! Cewek itu pasti matanya buta.
Bu Hanik tertawa kecil. "Nah, Hiro. Udah denger, kan. Silakan kamu duduk di bangku kosong lain. Kita mulai pelajarannya."
Saat melewati bangku Vale, Hiro melayangkan tatapan lasernya yang biasanya langsung membunuh lawan. Sayang saja kekuatannya tidak ada sekarang. Vale pasti udah jadi abu.
Vale menjulurkan lidahnya mengejek. Hiro menggeram.
Wah! Ini nggak bisa dibiarin!
***
Bel pulang berbunyi sepuluh menit lalu. Kepalanya celingukan di antara lorong penghubung kelas dua dan tiga. Koridor sudah mulai sepi karena murid lain sudah langsung pulang. Vale melirik ponselnya kembali. Katanya, Arnold akan langsung menemui setelah bel pulang berbunyi.
Bahu Vale ditepuk. Senyumnya merekah melihat siapa yang datang. "Yuk, pulang!" ajak Vale seraya menggandeng lengan Arnold.
Merasakan tidak ada pergerakan pada cowok itu, Vale berbalik kembali.
"Vale. Vanya ngajak makan bareng," ujar Arnold lalu melepaskan genggaman Vale lembut. Cowok bermata bulan itu tersenyum lebar.
"Berdua?" tanya Vale tertahan. Ingin sekali melarang kalau mereka hanya berdua. Atau paling tidak Vale harinya ikut.
"Nggak. Sama anak-anak jurnalistik lain," jawab Anold seraya mengusap-usap kepala Vale lembut.
"Nggak jadi pulang bareng," gumam Vale kecewa. Padahal, Arnold sudah berjanji tadi pagi karena sudah sibuk seharian kemarin.
Arnold mendesah panjang. "Sorry."
Vale muak dengan kata itu. Hampir setiap hari dia mendengarnya dari mulut Arnold sendiri. Tidak ingin menjawab, Vale memilih memainkan roknya.
"Gue lupa kasih tahu. Mereka ngajak karena proses pemotretan sama majalahnya udah kelar," jelas Arnold lembut.
Vale mengangguk. "Nggak papa, kok," jawabnya berusaha biasa saja.
Senyuman Arnold bertambah lebar. "Ini namanya Vale!" Lalu menghadiahi cubitan di kedua pipi Vale.
"Nanti gue beliin es krim," tawar Arnold sekali sekali lagi.
Senyuman Vale terbit lebih lebar lagi. "Empat!" serunya panjang.
Arnold berdecak. "Sepuluh juga nggak papa. Aku duluan, ya."
Anrold berlari menjauh dengan terburu-buru. Seiring dengan senyum Vale yang mulai luntur. Dipukulnya hatinya yang terasa nyeri beberapa kali. Pengalihan atas rasa sakit karena tidak bisa membantah apa pun yang Arnold katakan.
"Ck ck ck, gue aneh lihat drama kayak di tv tv," celetukan kurang ajar itu berasal dari Hiro. Cowok itu mengikuti arah pandang Vale. "Apa?" tanyanya tanpa dosa.
Vale melotot. "Lo ngapain si sekolah di sini juga!" ujarnya kesal.
Hiro mencibir. "Suka-suka gue. Siapa elo ngatur-ngatur!"
Vale berkacak pinggang. Matanya menyipit curiga. "Lo ngikutin gue, ya?" dua jarinya berjarak dua puluh sentimeter dari wajah Hiro.
Hiro menepis tangan Vale. "Jangan sembarangan nuduh-nuduh calon Raja."
Vale menutup mulutnya. Lalu tawanya keluar tanpa ditahan-tahan. Senyum songong Hiro langsung lenyap. "Calon Raja. Ngawur Lo," ucap cewek itu sambil mengibaskan tangan.
Hiro memutar matanya. Emang sulit bicara sama kasta rendahan seperti manusia. Dikasih hati minta rempela. Yah! Yah! "Lo jangan coba-coba kabur sama perjanjian kita," peringkatnya tegas.
Vale tersenyum kecut. "Terserah, deh."
"Lo bakalan tahu akibatnya kalau membantah."
Vale mencibir. "Nggak percayaan banget. Gue nggak pernah ingkar janji, ya."
Hiro mengangguk. "Mana darahnya," pintanya spontan.
Vale gelagapan. "Sekarang? Enggak ... Nanti aja. Gue masih ada urusan."
Hiro memainkan jarinya yang berada di dekapan tangan. Menimang-nimang apa yang harus dilakukan sekarang.
"Mana tangan lo?"
Vale menyembunyikan tangannya di belakang tubuh. Hiro menariknya paksa. Setelah didapatkannya, dia menggenggam telapak tangan bagian kiri. Aksinya itu tentu saja membuat geger murid lain.
"Dengan tanda ini. Lo nggak akan bisa kabur."
Setelah berkata itu, Vale merasakan rasa sakit menjalari telapak tangannya. Seperti ditusuk-tusuk jarum. Dari genggaman mereka, keluar cahaya putih yang mengubah hidup Vale di masa depan nanti.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top