Bab 4- Cowok Mafia

Penampakan Hiro yang songong, ngeselin, dan crackhead.

Hiro said, "Hai, makhluk rendahan. Gue tahu kalau keren, tapi jangan netesin iler dong. Nanti dimarahin Vale tau rasa lo 😎"

🐾🐾🐾

Sahabat, satu-satunya yang peduli ketika yang lain memilih pergi

🐾🐾🐾

Vale meruntuk dalam hati. Dia berjalan cepat ke arah halte samping rumahnya. Maka sudah berangkat kerja tadi pagi. Motor Vale lagi ngambek karena tidak pernah dirawat dengan baik.
Jadilah Vale harus berlari-lari menunggu bus selanjutnya. Berhubung juga Arnold belum membalas pesannya sampai sekarang. Fifi juga sudah sampai di sekolahnya. Tidak ada teman lain. Vale tidak bisa mengandalkan siapa pun sekarang. Hal itu membuatnya kesal setengah mati.

Sampai di halte, penumpang sudah sangat ramai. Ketika bus datang, mereka terburu-buru masuk sampai mendorong yang lainnya.

"Yahh! Telat!" teriaknya di antara runtukan orang-orang yang tidak mendapat tempat di bus. Jam menunjuk pukul enam lewat lima puluh. Vale sepertinya akan bolos hari ini.

Cewek yang rambutnya dikuncur kuda itu duduk di bangku. Berjanji jika tidak ada bus atau tadi, dia akan pulang.

Hiro melihat semua itu dari atas langit. Cowok itu mengetuk jarinya di dagu. Merasa ini kesempatan yang tepat, dia melengkungksn sayapnya untuk turun.

"Ekhm!" Hiro berdehem sok cool. Sayapnya sudah hilang. Dia mengenakan jaket kulit hitam, celana jeans hitam, sepatu hitam dan kacamata hitam. Persis seperti mafia di layar besar yang sempat dilihatnya di mall.

Vale melirik sekilas. Matanya membulat. "Siapa? Mau nyopet, ya?" tanyanya dengan mata melotot.

Hiro menggaruk tekuknya yang tidak gatal. "Halo," sapanya mempelajari cara berkenalan dengan cewek di buku yang dicarikan Ruby.

Kedua alis Vale terangkat. "Hah?"

"Hai, kenalin. Gue yang akan ngabulin semua permintaan Lo."

"Hah?" Vale melongo.

Hiro tersenyum jumawa. "Apa pun itu. Sepuluh permintaan buat Valeria Arrabella."

"Dasar! Mau ngibulin, ya?" tanya Vale lalu memeluk tas sekolahnya sendiri. Menjaga dirinya siapa tahu cowok berpakaian seperti mafia ini ingin menjualnya dirinya.

Hiro berdecak. Masih melanjutkan promosi perjanjiannya. "Sepuluh permintaan untuk hidup lo. Tapi setiap permintaan Lo harus kasih darah Lo," lanjut Hiro dengan wajah menyakinkan.

Vale mendengkus. "Lo kira punya sihir kayak Harry Potter bisa ngabulin semua permintaan. Hah! Harry Potter aja nggak bisa, tuh," celetuk Vale kesal.

Hiro terkekeh kejam. "Sebutin satu permintaan. Nanti akan terkabul."

Vale tidak berniat meladeni Hiro. Dia memilih berjalan pulang daripada berhadapan dengan orang gila.

Hiro berdecak. Untung saja semua orang sudah pergi, jadinya Hiro tidak melayangkan tinjunya sembarangan.

"Ini beneran. Bukan buat akting film," teriak Hiro mengingat ucapan terakhir Vale ketika mereka bertemum. Cowok itu mengikuti Vale yang berjalan dengan menghentak-hentakkan kaki.

"Bodo!"

"Pasti telat sekolah, kan?" tanya Hiro tidak menyerah.

Vale melirik sedikit.

"Udah ketinggalan bus. Nyokap udah berangkat kerja. Tunangan Lo nggak bales pesan dari kemarin. Sahabat Lo udah berangkat duluan," ujar Hiro mengeluarkan fakta yang diketahuinya.

Vale berbalik. Sedikit terkejut cowok asing itu tahu segalanya pagi ini.

"Kok Lo tahu?"

Hiro berdaya angkuh. Kedua tangannya berada di saku celana. "Yakin mau bolos? Nggak mau ketemu tunangan bodoh Lo itu."

"Jangan sembarangan ngantain Kak Arnold!"

Hiro tertawa mengejek. Tidak berniat membantah. "Jadi mau buat perjanjian sama gue?"

Vale menimang-nimang. Masih tidak percaya. "Buktiin dulu biar gue percaya."

Hiro mengangguk. "Sebutin keinginan Lo sekarang."

"Gue mau ke sekolah sekarang."

"Permintaan Lo bakal terkabul. Siap-siap, ya," peringat Hiro seraya memegang lengan Vale sebelah kiri.

Vale mengerjabkan matanya. Bibirnya terbuka sedikit. "Siapa Lo sebenarnya?"

Hiro melirik cewek mungil yang tingginya hanya sebahu cowok itu.
"Gue kembarannya Lin Yi."

Vale melongo sempurna.

Iya! Di tahu Lin Yi. Tapi, tapi. Kembarannya Lin Yi? Vale merasa menyesal tertarik dengan salesman ini. Kalau Vale dibohongin gimana?

***

Vale yang baru datang langsung menggebrak meja Fifi. Beberapa murid yang sudah berdatangan langsung memperhatikan mereka. Fifi mendelik ke arah sahabatnya. Sampai-sampai dia tersedak saking kagetnya.

"Vale!"

"Jadi bukan mimpi," gimana Vale tiba-tiba. Dia menjatuhkan dirinya di sebelah Fifi. Cewek berambut cokelat itu menatap sekeliling. Teman sekelasnya masih heboh bergosip sebelum bel masuk berbunyi.

"Lo udah sampe? Gue kira bakalan telat?" tanya Fifi melanjutkan sarapannya. Dia lalu melirik jam di dinding. "Masih delapan menitan."

Vale ikutan melirik jam dinding. Dadanya berdetak keras karena memikirkan kejadian barusan. Dia sampai di depan kelas hanya dalam satu menit! Mungkin kurang malahan. Dalam sekejap mata!

"Tunggu," ujar Vale teringat sesuatu. "Delapan menitan apa?"

Fifi meletakkan kotak bekalnya. "Lo udah ngerjain pr matematik?" tanyanya dengan wajah polos.

Vale berseru kencang. "Mati gue!"

Gara-gara nunggu balesan Arnold, vale jadi melupakan ada pr matematik hari ini. Buru-buru dikeluarkannya modul dan pr matematik yang diberikan Bu Hanik.

"Pinjem punya Lo dong," ujar Vale seraya menggoyang bahu Fifi.

Fifi menoleh. Menatap Vale polos. "Kan soalnya punya kode masing-masing. Kode kita kan nggak sama," jawabnya lalu mengunyah kembali.

"Waduh. Gimana dong?" tanyanya frustasi.

"Pinjem aja punya yang lain."

Vale mendelik. Melihat semua temannya tidak pernah menganggap Vale. Fifi buru-buru tersadar ucapannya tadi.

"Sorry. Biar gue pinjemin, deh," tawar Fifi seraya bangkit dari tempat duduknya. Mulai menanyai teman-temannya satu per satu.
Vale mendesah berat. Lalu teringat kembaran Lin Yi yang membuatnya sampai di rumah. Dia bisa meminta bantuan pada cowok itu.

Masalahnya, gimana cara cari cowok itu, ya?

Pikiran Vale terlalu kalut. Lalu dia mencoba memanggilnya. "Cowok Mafia gue minta bantuan, dong. Lo di mana?" tanyanya dengan gumaman. Lalu melirik sekitarnya.

Saat itulah pintu kelas terbuka. Menampilkan cowok jakung dengan kulit pucat kontras dengan seragam berwarna gelap. Dia memakai tas gendong hitam yang disampirkan di bahu kiri. Senyumnya terlihat jahil sekaligus mempesona. Celingukan ke dalam kelas. Lalu melambai pada Vale saat mata mereka bertemu.

Vale tidak sempat terpesona. Lewat gerakan bibir, dia berucap. "Gue minta pr matematik gue selesai."

Hiro tersenyum kesenangan. Sedetik dari itu tangannya menjentikkan dengan mata mengarah pada buku Vale.

Vale menunggu beberapa saat hingga Bu Hanik berjalan di belakang Hiro.

"Mati gue! Mati gue!"

Vale menunduk. Membuka bukunya siapa tahu Hiro sudah memenuhi permintaannya. Dia ternganga. Fifi yang sudah duduk juga terkejut.

"Kapan Lo ngerjain?" tanya Fifi heran. Lalu, semuanya diam saat Bu Hanik menyuruh mereka fokus pada pelajaran.

Vale mengatupkan bibirnya. Melirik Hiro yang sekarang malah terbaru pesona di depan kelas. Cowok itu bergaya angkuh sambil melihat sekitar seperti menilai-nilai. Dasar! Tukang Tepe!

"Dia penyihir," gumam Vale tidak percaya. Tatapannya pada Hiro berbeda dengan sebagian teman cewek yang menatap Hiro penuh kekaguman. "Gue ketemu penyihir," lanjut Vale ngeri.

"Gue bukan penyihir. Kembarannya Lin Yi."

Sebuah suara seakan dihembuskan angin dekat telinga Vale. Cewek itu menutup wajahnya dengan tangan. Semuanya seperti mimpi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top