Bab 25

Pagi hari.

"Akh Ruby. Ngapain si lo bangunin gue?", tanya Hiro jengkel. Tengah asik-asik bergelung dengan selimut di sofa sebelah Vale, cowok itu harus bangun karena ekor Ruby sungguh menganggu. Rubah lucu tapi ganas itu mengelus hidung Hiro menggunakan ekor. jika saja bukan rumah kesayangan bunda, sudah dimusnahkan dari dulu si Ruby ini.

Ruby berputar-putar di atasnya dengan suara yang khas. Bertanda kali dia mengejek Hiro. Tak ingin mengambil pusing, cowok itu masuk dengan malas-malasan. Tidak ad agairah sama sekali. Rasanya kalau tidak ada Vale, jadi tidak seru.

Seseorang menyenggol bahunya dari tikungan. "Oh, sorry."

Hiro melirik sekilas. Gadis yang ditabraknya terjatuh dengan buku berceceran. Melengos. Tidak mau membantu karena dia tidak bersalah.

Vanya, gadis itu segera merapihkan buku yang terjatuh. Dia membenahi penampilannya. Berlari sedikit agar bisa sejajar dengan Hiro. Karena keberadaannya diabaikan, gadis itu berdehem.

Hiro baru menoleh karena mereka sudah berada di depan kelas. "Kalau cari Vale. Dia nggak masuk," ujar Hiro aneh. Gelagat gadis di depannya tidak biasa. Cowok itu sampai memutar bola mata, jengah.

"Gue nggak cari Vale, kok," ungkap Vanya salah tingkah. Dia menggigit bibir takut-takut. Dengan segala keberanian yang tersisa, gadis itu mengulurkan tangan. "Gue Vanya," tambahnya.

Satu alis Hiro terangkat. Ditatapnya uluran tangan itu. Tanpa berniat membalas atau sebagainya. Malahan cowok itu melipat tangan di depan dada.

"Gue tahu," jawab Hiro enteng. Dia mengorek telinga karena merasa bosan. Apalagi sepertinya dia kepagian ke sini. Perutnya yang biasa terjejali dengan sarapan nasi goreng atau roti jadi berontak. Mana Hiro tidak punya uang lagi. Nasibnya memang mengenaskan.

"Oh, udah tahu, ya," ujar Vanya seraya mengusap belakang telinga. Rasa malu menyergapnya. "Eum. Vale baik-baik aja?" tanyanya berusaha menahan Hiro.

"Kenapa malah tanya kalau nggak mau jenguk?" Pertanyaan balik itu tidak disangka bakalan keluar dari mulut Hiro. Cowok itu menatap lawan bicaranya, tajam. Jenis tatapan yang mampu mengintimidasi lawan. Membuatnya ketakutan dan merasa tertekan.

"Gue ..." Ucapannya terhenti karena suara perut berbunyi.

Hiro menutup perutnya dengan dua tangan. Memalukan sekali. Seorang calon raja seperti dirinya harus kelaparan. Memikirkan orangtuanya yang makan enak-enak di atas sana aka darah, sungguh menjengkelkan.

"Kebetulan gue mau ke kantin!" ujar Vanya semangat. Matanya sampai menyipit karena senyum lebar itu.

Hiro menggeleng. "Gue mau, sih. Tapi nanti Vale marah sama gue," ujarnya tanpa berpikir panjang.

"Kenapa harus mentingin perasaan Vale," gumam Vanya pelan. Meski begitu, suara itu terdengar oleh Hiro. Cowok itu sampai terkekeh mendengarnya.

"Kalau lo samain gue Ama Arnold, maaf ye. Derajat kita aja jauh beda. Omongan manis lo udah pasaran banget," ungkap Hiro tidak repot-repot memfilter ucapan. Tidak peduli dengan wajah memerah milik Vanya dengan mata berkaca-kaca itu.

Vanya mengepalkan tangan. Kemarahannya mencoba ditahan. Hiro belum tahu pesonanya. Salah Vanya sendiri tidak mengerahkan seluruh pesona tadi. Meski begitu, kekagumannya pada Hiro tidak memudar.

Kebetulan sekali Fifi lewat. Gadis itu melebar. Hendak berbalik ketika matanya menangkap Hiro tersenyum mengerikan ke arahnya.

"Gue makan sama Fifi," ujar Hiro seraya tersenyum. Dia terlihat tampan apalagi sinar mentari menyorot dirinya.

Fifi membeku. Menyadari bagain sisi kanannya panas, dia buru-buru mengangguk. "Iya. Hiro mau makan bareng saya, Kak."

Hiro tersenyum puas. Melihat wajah malu Vanya menjadi kesenangan tersendiri baginya. Untuk urusan gadis yang berjalan di depannya ini ....
"Gue tebak. Lo lupa ingatan?" tanya Hiro cepat.

Fifi melebarkan mata. Tampak mencerna maksudnya. Dia menggeleng. "Iya, gue lupa. Gue lupa," koreksinya menyadari kesalahan.

Hiro menahan langkahnya. "Emangnya lo lupa apa?" tanyanya lagi.

Nada menusuk itu membuat Fifi gemetaran. Ingatannya melayang pada Hiro. Cowok itu terbang seperti di film-film yang pernah ditonton. Bagaimana mungkin manusia bisa terbang? Untuk meyakinkan diri bahwa itu tipuan, Fifi tidak bisa. Bagaimana bisa itu tipuan, sedangkan Vale tidak sadarkan diri waktu itu, di gendongan Hiro.

"Lupain semua yang lo tahu," perintah Hiro dengan aura dominan.

Fifi mengangguk. "Gue janji! Gue lupain," ujarnya cepat dengan penuh keyakinan.

"Gue bukan manusia." Hiro berjalan memutari gadis itu. Ingin sekali tertawa. Ternyata auranya memang menakutkan, ya. Sampai-sampai gadis itu gemetaran hingga ingin pingsan di tempat.

"Lo lo bukan manusia?" tanya Fifi membeo.

Hiro menggeleng. "Gue sesuatu yang nggak bakalan lo pikirin. Dan mending nggak usah dipikir sih."

"Kalau sampe berita tentang gue nyebar...."

"Gue janji nggak nyebar, kok. Sumpah!" Potong Fifi dengan keyakinan penuh.

Hiro menganggukkan kepala, tampak puas. "Bagus. Nggak salah Vale pilih temen," komentarnya kembali pada mode konyol.

Fifi sampai mengerutkan kening. Tubuhnya menegang lagi kala tatapan mengancam Hiro menyambarnya.

"Jadi, karena kita sepakat. Lo harus traktir gue sarapan."

Fifi melongo. Baru ditemukannya spesies semacam Vale. Kendati mereka sekelas, Fifi tidak pernah merasa dekat. Punggung Hiro mulai menghilang. Cepat-cepat dia menyusul. Takut kalau melihat cowok itu marah lagi. Anehnya, dia tidak merasa takut. Padahal, fakta tentang cowok itu begitu menakutkan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top