Bab 24

Sudah dua hari terhitung di mana Hiro mengintip Vale dari atas atap. Dari malah pagi menjelengang pagi lagi. Dia tinggalkan segala jengkel dan berang karena keadaan Vale masih sama. Gadis itu tidak kunjung sadar. Meskipun tidak memburuk juga.
"Gimana ini?" Pertanyaan seseorang membuat Hiro menegakkan punggung. Hening. Tidak ada pergerakan lagi dari dalam. Mungkin Vale tengah tidur setelah ditenangkan dengan demikian rupa.

"Apa dia kehilangan banyak darah?" Pertanyaan dibalas pertanyaan. Terdapat helaan napas juga. Yang paling parah adalah tidak ada lagi suara.

Padahal, sekecil apa pun suara pasti didengar oleh Hiro. Cowok itu menempelkan telinga ke bawah, pada atap-atap rumah. Berharap tahu kelanjutan obrolan itu. Lagi. Tidak ada suara apa pun.

"Aku rasa dia tidak pernah menyumbangkan darah. Anda tahu darahnya ...."

Jengkel. Hiro menggeser satu genteng sehingga menimbulkan celah. Didekatkannya mata elang itu. Terluhat dua orang tengah bersama Vale. Mama Vale dan seseorang berpakaian serba tertutup. Seolah deja vu, Hiro semakin mencondongkan tubuh ke bawah.

"Ada seseorang yang mengambil darahnya." Bersamaan dengan itu, seseorang bertudung itu menoleh ke atas. Tempat di mana Hiro mengintip. Terkejut. Cowok itu terjungkal ke belakang. Lebih karena keberadaannya yang ketahuan dan mata itu yang terlihat familiar.

"Siapa di sana?"

Hiro menggaruk pelipis. Dia melirik sekitar setelah menggeser genteng ke tempatnya yang semula. Bagaimana bisa dia ketahuan seperti tadi.
Cowok itu memutuskan untuk pergi. Dilebarkannya sayap hingga sinar rembulan terhalang oleh dirinya. Menantang langit, Hiro terbang ke atas dengan kecepatan penuh. Terhitung tiga kali dia melakukan ini. Mencoba menembus pertahanan bumi untuk kembali. Terakhir kali dia kelelahan karena terus mencari jalan keluar, tetapi tak kunjung menemukan.

Hiro memutuskan jalan-jalan. Menunggu si bertudung itu pergi dari rumah Vale. Entah bagaimana dia tiba di depan rumah berlantai tiga. Gaya kuno yang terbanting dengan rumah-rumah di sekitar menjadi ciri khas tersendiri. Cowok itu menjejakkan kaki di sekitar balkon. Mengetuk jendela yang terhubung ke kamar seseorang.

Terdengar langkah kaki. Hiro segera turun dan menghilangkan sayap.
"Ngapain lo di sini?" Pertanyaan itu datang dari Arnold. Dilihat dari penampilannya, cowok itu sama frustasinya dengan Hiro. Atau jauh lebih buruk. Mata dengan kantung hitam dan suara hampir hilang.

"Turun. Gue mau ngomong," jawab Hiro tidak peduli. Setelah mendudukkan diri dengan nyaman di bangku bawah, dia menimang-nimang. Sebenarnya pilihan ke sini adalah yang terakhir kali.

Arnold tiba tak lama kemudian.
"Lo belum ngaku ke Tante kalau lo yang nyebabin dia marah?" tanya Hiro tanpa basa-basi.

Arnold membeku. Dia memang belum melakukannya. Terlalu banyak pikiran berkecamuk dalam hati. Lebih kepada ragu dengan omongan Hiro. Sebagian hatinya membenarkan dan membuatnya mengurung diri. Itu hak fana.

"Tante juga nggak ngehubungin gue," ujar Arnold lagi. Merasa tidak dihargai sama sekali. Sebenarnya dari dulu mama Vale memang tidak berniat menjodohkan mereka. Bahkan, ada keterpaksaan dari mata itu. Seharusnya dia senang, kan? Bukankah ini yang Arnold inginkan?
"Lo tahu nggak keadannya makin buruk," damprat Hiro jengkel. "Itu gara-gara lo."

Arnold memincingkan mata. "Lo sendiri kenapa nggak jenguk sendiri, sih?" tanyanya ikut emosi.

Hiro tersenyum culas. Dalam sekejab, image konyol yang tertangkap di mata Arnold memudar. Hiro terlihat lebih menakutkan dari sebelumnya. Dengan senyuman misterius itu, entah kenapa hawa di sini mencekik leher.

"Gue akan jenguk dia. Kalau udah waktunya," jawab Hiro tajam. Mata itu berubah warna sekilas.

Arnold mengernyitkan dahi. "Maksud lo?"

"Saat itu, gue bakalan bener-bener pergi dari hidup kalian. Kalau lo mau gue cepet pergi, mending lo bantuin tante," jelas Hiro seraya berbalik. Tetapi bahunya dicengkeram dari belakang.

Arnold geram. "Siapa lo sebenarnya?" tanyanya penasaran. Entah kenapa hal ini baru terpikirkan sekian lama. Dari mana saja dia? Mencemburui keberadaan Hiro di sekitar Vale?

"Sesuatu yang nggak pernah bisa lo bayangin. Gue bisa murka kalau gue mau."

Hiro menepis tangan itu. Dia berjalan cepat meninggalkan rumah Arnold. Kepalanya pening meminta bantuan kepada siapa. Hanya Arnold yang masih tersisa. Dan sebenarnya yang ada di pikirannya saat ini.

Dua bari ini dia tidak sekolah, seperti Vale. Menjaga gadis itu diam-diam. Beberapa kali berkomunikasi dengannya meski Vale tertidur melulu di dalam kamar.
Cowok itu mendesah panjang. Baru kali ini tugas yang diberi, tidak terselesaikan dengan cepat. Padahal, Hiro paling jago menyelesaikan segala. Tanpa repot-repot berpikir keras atau menguras otaknya hingga seperti ini.

Berapa hari lagi mencapai satu bulan? Waktu berjalan terlalu cepat. Sedangkan dia sendiri masih beraba apakah dia bisa kembali dengan keberhasilan atau kembali dengan kegagalan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top