Bab 22
"Diem! Diem!" tujuk Hiro kepada pemilik kamar dengan dinding berwarna hitam kelam. Seperti pemiliknya yang selalu asal ceplos dan asal-asalan kalau bicara, suasana kamar ini terasa mencekik. Warna merah menyala di manik mata Vale belum juga luntur. Seolah ingin bersaing dengan warna mata Hiro yang diselimuti kabut hitam, keduanya saling beradu pandang.
Vale melepaskan jam Beker bergambar kodok. Benda berwarna hijau itu beradu dengan lantai. Isinya sampai tercecer dan menimbulkan suara berisik. Pelakunya memegang benda lain yang menarik hati. Seolah-olah baru saja melihat untuk pertama kali. Padahal, ini adalah kamar gadis itu sendiri.
"Duduk yang bener!" Perintah Hiro lagi. Dan lagi, lagi tidak diindahkan oleh gadis itu.
Vale memutar mata. Raut bosannya terlihat jelas. Membuatnya menjatuhkan diri ke kasur dengan dua kaki terayun. Pandangan mencemooh yang dilayangkan kepada Hiro sukses membuat cowok itu mengacak rambutnya. Kepalanya jadi pecah bagaimana cara mengembalikan Vale yang asli.
"Nah, bener. Anak manis. Anak pinter," ujar Hiro dengan raut konyol. Jika dulu Vale sering mengejeknya seperti itu, sekarang Hiro yang mengucapkannya kepada Vale.
Vale sibuk mengutak-atik bola-bola lembut dari kabut buatan Hiro. Sedangkan si pemilik rambut kelam itu mondar-mandir. "Ini gimana Ruby!" teriaknya kesal.
Ruby yang berada di pangkuan Vale masih asik bermain. Telinganya menegak bertanda bahwa keresahan Hiro dirasakan.
"Gimana kalau Tante Gina ke sini?"
"Ngapain gue bawa ke sini?"
"Apa gue kabur aja?"
Pertanyaannya itu terlintas begitu saja. Bertanya pada udara kosong yang menjadi pelampiasan. Tanpa sadar waktu berlalu. Hiro begitu sibuk dengan pikirannya sendiri sampai lupa kalau Tante Gina biasa ke kamar Vale saat hendak makan malam.
Ruby mendekati cowok itu. Ada gawaiilik Vale yang disodorkan paksa ke arah Hiro. "Kalau main game jangan sekarang, deh," gerutunya kemudian berdecak sebal.
Ruby masih keukeuh menyodorkan gawai Vale. Layarnya berkedip dan menampilkan panggilan dari seseorang. Tertera dari namanya yang terkesan norak, Hiro tahu siapa orangnya. Meski malu mengakui, kadidat paling kuat adalah tuanngan Vale. "Maksud lo ngasih tahu Arnold gitu?" tanyanya sangsi. Bukan apa-apa. Sampai kembali ke Venus Hiro tidak akan pernah memint bantuan kepada siapa pun. Terlebih kepada saingat tidak resmi seperti Arnold.
Dengan berat hati Hiro menerima panggilan itu. Satu tangannya memenjarakan kedua tangan Vale. Tangan yang lain memegang gawai. Suara dari seberang terdengar sebagai pembuka.
"Cepet dateng ke rumah Vale. Dia berubah jadi mons— ew, maksud gue di lagi kangen lo." Mendengkus karena tatapan Vale begitu membunuh. Karena kengerian yang tak tertahankan, dia berjalan menjauh. Tidak ingin terkena damprat lebih banyak dan membuat tubuhnya merah-merah setelahnya.
"Tak! Vale jangan gerak!" teriak Hiro ketika Vale mendekati jendela. Posisi siap melompat ke bawah, kedua tangan berpegangan pada tembok sedangkan kakinya mengambil ancang-ancang. Vale tidak menghiraukan panggilan itu. Dia bosan seharian di sini.
Hiro menarik gadis itu. Vale berontak. "Tatap mata gue!" Perintah Vale seperti biasa.
Hiro melotot ke arahnya. "Nih gue tatap. Alah kemampuan lo mah kecil. Mau jadiin gue cicak, heh?" tanyanya mengejek. Sukses membuatnya mendapat pukulan bertubi-tubi. Vale sendiri kesal karena tidak bisa melawan Hiro.
"Walaupun nggak sadar tetep aja tukang tabok," gerutunya pelan karena Vale masih melotot ke arahnya. Mungkin penasaran kenapa Hiro tak kunjung berubah wujud menjadi makhluk kecil menjijikan itu.
"Diem Vale!" teriak Hiro lagi. Dia memutuskan panggilan sepihak yang membuat Arnold dilanda kecemasan. "Bunda. Hiro udah nggak kuat hidup di sini," ujarnya kesal setengah mati. Tentu saja bundanya tidak akan mendengar. Bikin tambah kesal aja.
Hiro berdecak kesal. Setelah menyeret lemari pakian sebagai benteng perlindungan, napasnya terengah. Cukup membuat Vale kesusahan untuk melancarkan serangannya. Meringis kecil, kala suara gaduh yang dia yakini dari kekuatan Vale menghantam furniture kayu berbentuk kotak ini. Cowok itu yakin bagian depan lemari sudah bolong-bolong. Baru saja dia aman sampai ketukan disertai suara ribut terdengar. Seketika ekspresinya berubah pasi.
"Mama dobrak kalau nggak buka pintu."
Suara Mama Vale terdengar bagai panggilan guru killer di sekolah. Vale yang semula tertegun, kembali melancarkan aksinya menghujami benda dari kayu itu agar tidak menghalangi aksesnya. Mungkin karena tenaganya terkuras habis, meski manik matanya tidak seterang tadi, Hiro cukup merasa baik-baik saja.
"Vale!"
Lagi. Hiro mondar-mandir sembari menggigit ujung jari. Dia memutar otak yang keburu panas. Suara gedoran tadi berubah hening. Lalu pintu kamar Vale didobrak dengan usaha keras dari luar. Belum lagi ekor milik Ruby yang sedari tadi merusak kinerja otaknya. "Ah, sayap!" Serunya sembari keluar dari persembunyian. Mencekal tangan Vale yang berontak dengan jeritan tidak jelas.
"Kita harus pergi dari sini!" Putusnya final
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top