Bab 10
"Arnold! Arnold! Arnold!"
Vale menutup telinganya. Mereka berisik sekali. Pingin Vale lakban mulutnya biar nggak ganggu kesejahteraaan telinga.
"Si Lion oon banget, malah dioper ke lawan," gerutu Fifi berbeda dari yang lain. Oh, dia memang satu-satunya yang bakal mengomentari pemain basket Flavor. Entah itu keburukannya, atau kelebihannya. Lebih banyak keburukannya, sih. Terutama si Lion itu.
"Lo itu kebanyakan nyumpahin Kak Lion. Suka beneran tau rasa," gumam Vale menaruh pom-pomnya di kursi samping.
"Nggak mungkin, lah," ujar Fifi.
Vale memincing. "Tapi, telinga lo merah," ujarnya menunjuk telinga Fifi. Membuat sahabatnya itu langsung mingkem karena kena skakmat.
"Lo nggak ke pinggir lapangan?" tanya Fifi. Entah mengalihkan pembicaraan atau benar-benar memperhatikan Vale.
Cewek yang rambutnya dikuncir tinggi itu mendesah. Punggungnya bersandar lunglai. "Ternyata nggak mudah masuk cheers." Dan, Vale udah latihan mati-matian ikut seleksi. Meski dibully Arin sekalipun. Dia harap bisa dekat sama Kak Arnold karena basket, kan klopnya sama Tim cheersleader. Bukannya jadi semangat, Vale harus nelen kekecewaan kalau cewek-cewek pada ngerubungin Arnold.
"Kayak nggak ada yang lain," ujar Vale kesal.
Fifi tertawa ngakak "Lo juga, sih. Kayak nggak ada yang lain," ujarnya membalikkan keadaan.
"Beda tau. Gue lan udah tunangan!" Tekannya dalam suara rendah.
"Emm. Tunangan, ya. Kak Arnold kudu lo sadarin kalau gitu." Fifi menatap kerumunan di bawah. Tanding persahabatan udah selesai. Para pemain menuju pinggir lapangan.
"Maksudnya?" Tanya Vale tidak mengerti.
"Dia harus sadar kalau lo yang harusnya diperhatiin terus. Lo kan tunangannya!"
Vale membuka mulutnya. Memeluk Fifi tiba-tiba seolah baru memenangkan lontere. Dia mengambil botol minum yang masih bersegel di dekatnya, entah milik siapa. Lantas berlari menuju Arnold. Benar, dia kan punya hak ngurus nyamuk-nyamuk itu ye, kan.
"Ini minum," ujar Vale menyodorkan botol air mineral ke arah Arnold. Tentu saja harus berjuang dulu supaya berada tepat di depan tunangannya itu.
Arnold menerimanya dan langsung menghabiskan dalam sekali tegukan. "Makasih, ya," ujarnya canggung.
Vale tersenyum manis. Menarik Arnold dalam lingkaran setan yang terjadi. Mereka menuju tempat duduk yang tersedia saat ada pergantian pemain.
"Kak Arnold harusnya jauh-jauh sama mereka," ucap Vale pelan. Tidak punya keberanian kalau menatap mata milik Arnold. Bisa-bisa kepalanya jadi blank lagi.
Arnlod meletakkan membuang bungkus minumannya kw tong sampah. Menimbulkan bunyi yang mengganggu. "Kenapa?" tanyanya. Memperhatikan Vale yang kelihatan beda banget hari ini. Dia jadi lebih manis sekarang. Arnold jadi tambah canggung, terlepas dari ikatan mereka. Lagipula, pertunangan itu bukan kemauan mereka.
"Vale nggak suka! Pokoknya harus jauh-jauh!" teriak Vale. Sudah lupa kalau dia harus jaga imeg di depan Arnold. Sikap angkuhnya terlihat kembali.
Arnold mendengkus. "Aku temenan sama semua orang," jawabnya tak acuh. Menatap ke depan lapangan yang luas.
Kepala Vale udah beruap. "Iya. Temenan aja sama semua orang!"
"Maksudnya apa sih?" tanya Arnold tidak mengerti.
"Kita udah tunangan!" tegas Vale dengan nada mencibir. Seolah-olah Arnold maskhluk paling bodoh karena tidak tahu artinya.
Bibir Arnold merapat. "Aku nggak mau berantem. Aku ke kelas."
"Kenapa? Takut kalau lo pisah sama Vanya?"
Pertanyaan Vale sanggup menghentikan langkah Arnold. Cowok itu tidak percaya Vale menggunakan nada tinggi kepadanya. Dan, panggilan 'lo' yang tidak pernah dia gunakan itu.
"Kok sampe Vanya," tegur Arnold masih sabar. Hapal betul sama sifat Vale, yang membuatnya tidak punya teman selain Fifi.
Vale harap Kak Arnold ngerti kalau hubungan mereka lebih dari teman. Posisi yang harusnya menbatasi seseorang berbuat lebih kepada teman cewek lainnya.
"Gue pergi," ujar Arnold dingin.
Harapan Vale pupus. Sampai kapan pun, Arnold tidak akan peka. Oh, mungkin peka tapi tidak menganggap Vale lebih dari Vanya. Dia harusnya sadar sejak awal kalau mereka terikat tanpa perasaan. Yah, perasaan Vale sepihak Vale saja.
Vale merasakan dadanya berdenyut. "Perasaan sialan!"
***
Hiro memutar mata. Dia benci harus jadi pelajar di SMA Flavor. Lagian, si Ruby malah ngasih ide aneh kayak gitu. Buku yang berada di hadapannya menampilkan rumus-rumus rumit, bisa bikin kepala orang-orang di sekitarnya mau meledak. Bukannya Hiro nggak mau ngerjain berlembar-lembar halaman yang disuruh Pak botak yang senyumnya aneh itu, Hiro bahkan bisa ngerjain dengan otak jeniusnya.
"Otak gue terlalu mahal buat mikir ginian," decaknya untuk kesekian kali. Mengabaikan tatapan membunuh karena dia terlalu berisik.
Hiro menutup bukunya. Pandangannya terhenti pada Vale, cewek itu diem aja sejak kemarin. Tepatnya sejak dia ketemu tuanangan-sok-tampan itu. Hiro pasti salah lihat saat cewek itu mengusap matanya yang memerah. Dia, kan nggak ada tampang-tampang cewek mellow.
Dengan percaya diri penuh, Hiro melangkah mendekati Vale. Sedari tadi telinganya terganggu karena helaan napas milik Vale.
"Oy!" sapa Hiro narsis. Meletakkan satu tangannya di samping Vale. Yang disapa malah melirik sekilas langsung mengalihkan pandang lagi kapada buku matematika yang dicoret-coret tidak jelas.
"Lo pergi, deh. Gue lagi nggak mood," ujarnya menjatuhkan kepala di meja.
Fifi mengernyit melihat keakraban keduanya. Dia lupa mau tanya kemarin-kemarin. Yah, sifat pelupanya emang kudu dihilangin dari muka bumi. "Kalian saling kenal?" Tanya Fifi menunjuk keduanya seolah baru menjatuhkan hukuman.
Vale menggeleng tegas. Berbeda sekali dengan Hiro yang mengangguk polos. "Kita udah sahabat," ujarnya menaikturunkan alisnya.
Vale bertingkah seperti mau muntah. "Gue? Lo? Sahabatan? Mending sama Ruby aja."
Hiro mendengkus. "Lo lupa apa yang udah kita lakuin malem-malem-"
Vale membekap mulut laknat Hiro. Bisa berabe kalau dia ceritain tadi malam, yah, proses si kw ini minta darahnya lagi. Dia sedikit menyesal memberikan permintaan biar juga rambut Hiro berubah juga. Stok permintaannya berharga sekali. Menyesal karena merelakan satu untuk merubah rambut Hiro.
"Gue nggak bisa make kekuatan kecuali di Venus," begitu kira-kira saat Vale menyela bahwa Hiro bisa merubah dirinya tanpa harus meminta stok permintaannya yang belum terkabul. Dasar Alien durjana. Malam mau beberin rahasia.
"Vale, marah itu termasuk salah satu emosi. Yang berarti lo nggak mati rasa. Yang berarti lagi bisa lupain kesedihan," jelasnya entah mencomot teori dari mana.
Hiro menepuk kepala Vale. Persis memperlukannya seperti Ruby. Rubah apinya itu selalu senang kalau bulunya dielus-elus. "Lo boleh marah sama gue," ujarnya meniru adegan film yang diputar Vale tadi malem. "Tapi traktir McD ya, abis pulang. Lo kan suka bar-bar."
Fifi melongo di tempatnya. Interaksi keduanya begitu menarik perhatian. Sekelas tahu kalau mereka seperti rebutan makanan kalau bertemu. Meski banyak yang sirik sama Vale. Tetapi, cewek itu telihat lebih hidup.
"Gue bersyukur lo bisa marah sama hal-hal kecil," gumam Fifi sambil berteriak heboh. Memita sekelas untuk mengompori keduanya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top