Suatu Hari Mereka Akan Tumbuh Dewasa
Keterangan:
Osari Hideki : sebelas tahun, rambut dan mata cokelat
Osari Hinoiri : sepuluh tahun, rambut dan mata hijau
Osari Hinaki : empat tahun, rambut dan mata hijau
* * *
Napas Hikaru tersengal-sengal kala ia membuka mata. Bulir keringat pun tak kunjung berhenti mengalir, padahal suhu udara cukup sejuk. Pandangan yang kian memburam pun menyulitkannya. Gelas kaca bening berisi air yang hendak diraih Hikaru pada akhirnya terjatuh--akibat tangan yang gemetaran. Tanpa ampun, gelas tersebut pecah menjadi serpihan kecil yang dapat membahayakan.
"Papa?" Suara derit pintu diikuti kehadiran gadis kecil yang tampak sangat polos. Hikaru mengalihkan pandangannya, menatap si bungsu yang sekarang terpaku di tempat.
"Hinaki, pang--" Batuk menginterupsi kalimatnya. Hikaru meraba nakas, mencari keberadaan tisu yang selalu tersedia di sana. Namun, batuk yang ia alami semakin parah setiap detiknya. Cairan merah pekat mulai mengalir dari mulutnya, mencemari selimut berwarna putih yang dipakai.
"Kak Hideki! Kak Hinoiri! Dari mulut papa keluar jus stroberi!" Si bungsu berlari tunggang langgang, mencari kedua saudaranya yang masih hanyut dalam dunia mimpi masing-masing.
"Astaga, Hinaki! Kau sangat berisik. Kalau mau minum jus stroberi, cari saja di kulkas." Si sulung, Hideki, mengacak rambut cokelatnya yang berantakan. Kedua matanya masih terpejam, pertanda kantuk yang masih dengan gencarnya menyerang.
Hinaki menggeleng tidak puas. Ditariknya tangan Hideki dan dipukulnya tubuh Hinoiri dengan geram. "Dari mulut papa keluar jus stroberi." Ia kembali memberitahukan, kali ini lebih panik.
"Hina, berhentilah berangan-angan. Aku butuh tidur pulas." Hinoiri bersungut tak senang seraya bergelung di balik selimutnya yang terasa sangat nyaman.
Hideki mengangkat sebelah alisnya. Entah mengapa, ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Tak biasanya sang saudari tampak sangat panik, sampai air matanya mengucur keluar. "Hinoiri...." Si sulung bangkit dari tempat tidurnya setelah pertimbangan singkat. "Ayo kita ke kamar Papa."
Hinoiri tidak menolak sedikit pun kala kakak laki-lakinya sudah membuka mulut. Ia mendengus tidak senang, lalu berguling sebentar di ranjang kesayangannya, sebelum akhirnya berdiri dan mengikuti saudaranya.
Hideki mendahului mereka dengan sedikit tergesa-gesa. Batinnya berkata bahwa ada yang tidak benar--ada kejadian yang buruk. "Tunggu apa lagi, Kak? Cepat buka pintunya." Hinoiri menguap kecil seraya memegang bahu Hideki. Yang disuruh pun tidak keberatan untuk segera membuka pintu, menampilkan sosok Hikaru yang terkulai lemah di ranjang.
"Papa!" Hideki berteriak dengan suara nyaringnya, memecah keheningan yang sejak tadi menyelimuti kamar Hikaru. Ia menatap kedua adiknya secara bergantian seraya memutar otak. "Hinoiri, tolong bersihkan serpihan gelas itu. Hinaki, tolong ambilkan segelas air mineral untuk Papa." Laksana seorang kapten, ia segera membagi tugas.
"Baik!"
Hideki buru-buru mengeluarkan ponsel, mengirimkan pesan kepada Ibunya yang sedang ada di luar kota. Pesan yang sama pun dikirimkannya kepada sahabat Hikaru, Nome Tatsuhiro.
"Kakak, ini airnya!" Suara manis milik Hinaki berhasil menginterupsi Hideki. Ia segera menyimpan ponsel, menatap sang adik yang sangat setia dengan senyum indah khas dirinya.
Hideki mengangguk, lalu mengambil gelas berisi air yang sudah dibawakan oleh Hinaki. "Kerja bagus." Diusapnya kepala Hinaki dengan penuh kasih sayang. "Sekarang, tolong tunggu Paman Tatsuhiro di luar. Sebentar lagi ia akan datang."
Begitu sang gadis pergi, Hideki segera menutup pintu. Ia menghampiri Hikaru, menghapus jejak darah di mulut Ayahnya dengan selembar tisu. "Papa," panggilnya dengan sangat lembut. "Minumlah air ini." Disodorkannya gelas tersebut ke wajah Hikaru.
"Papa kenapa bisa sampai seperti ini? Pasti kurang tidur dan lupa minum obat, 'kan?" Ia mengomel, sama persis seperti ibunya yang juga suka mengomel.
Hikaru hanya tertawa canggung. Ia merasa sangat lemah bila dilihat oleh anaknya dalam kondisi saat ini. "Maat ya Papa hanya bisa merepotkanmu dan adik-adikmu."
Hideki menggeleng. Ia sama sekali tidak merasa direpotkan. Lagipula, sudah kewajiban anak untuk berbakti kepada orang tuanya. "Papa istirahat saja sambil tunggu Paman Tatsuhiro datang. Katanya, ia akan membawa obat milik Papa." Hideki keluar dari kamar dan menutup pintu.
Begitu sampai di dapur, ia langsung melakukan apa pun yang bisa ia lakukan. Pertama, ia mengeluarkan mangkuk dan panci, hendak memasak bubur untuk ayahnya. Hideki menghela napas, mengingat-ingat kembali langkah demi langkah yang dilakukan oleh sang ibu setiap kali membuat bubur.
Tak sampai lima menit kemudian, ia kembali bergerak seorang diri di dapur, mengambil berbagai bahan dan memasukkannya ke dalam panci. "Kak! Hinaki mau buat masakan juga buat Papa!" Si bungsu berlarian ke dapur dengan riang.
"Tidak, ini bukan untuk anak-anak, Hina. Kau sebaiknya menunggu Paman Tatsuhiro saja."
"Aku sudah di sini kok, Hideki."
Begitu melihat sosok pria berkulit gelap itu, Hideki baru bisa bernapas lega. "Paman Tatsuhiro. Syukurlah!"
* * *
"Papa, bangun!" Hinaki menarik-narik selimut yang membungkus tubuh ayahnya sambil terus memanggil.
Hikaru yang semula sudah tertidur pun bangun kembali, mendapati putri bungsunya membawa gelas berisi minuman. "Ini untuk Papa! Minumlah biar cepat sembuh."
Hikaru masih sangat mengantuk ketika ia menerima gelas tersebut dari Hinaki. Tanpa membuang lebih banyak waktu lagi, pria berambut hijau itu langsung meminumnya.
"Hikaru, jangan!" Tatsuhiro buru-buru lari ke dalam kamar, berharap bahwa ia masih sempat mencegah Hikaru meminum ramuan spesial dari anaknya.
Akan tetapi, semua sudah terlambat. Hikaru sudah meminumnya. Dan jujur, Hikaru agak menyesal karena ramuan spesial tersebut memiliki rasa yang sangat tidak pantas diminum. "Apa yang kaugunakan untuk membuat ini, Nak?"
"Pisang kesukaan Papa, gula yang banyak, permen jeli, selai stroberi, cokelat, susu, dan sedikit bubuk cabai!" Hinaki mengungkapkan bahan-bahan yang ia gunakan dengan sangat bangga.
Hikaru tak bisa berkata-kata lagi. Ia meletakkan gelas berisi ramuan Hinaki di atas nakas, kemudian mengacungkan ibu jari. "Obat paling ampuh di dunia. Tiba-tiba Papa merasa sangat sehat!"
"Syukurlah kalau Papa suka!" Hinaki bersorak girang sambil berlarian keluar.
"Hina, hati-hati! Kau nyaris menabrakku!" Hinoiri berjalan masuk, membawa semangkuk bubur yang dibuat oleh Hideki dengan bantuan Tatsuhiro.
"Papa, makanlah. Setelah itu minum obat dan istirahat yang cukup. Aku dan Kak Hideki akan menjaga Hina. Papa tidak usah khawatir." Hinoiri meletakkan bubur tersebut di atas nakas, tepat di sebelah ramuan milik Hinaki. Setelahnya, ia keluar untuk membantu sang kakak membereskan dapur.
Hikaru kembali mengambil ramuan milik Hinaki, meminumnya hingga tak bersisa. Tatsuhiro mengerutkan dahi melihat kelakuan sahabatnya. "Mengapa kau menghabiskannya? Itu tidak layak diminum, lho."
Hikaru menampilkan senyumannya yang cemerlang. "Tatsu, suatu hari mereka semua akan tumbuh dewasa. Dan ketika dewasa, mungkin mereka akan sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Hideki kemungkinan akan bekerja, sedangkan Hinoiri dan Hinaki masih menempuh pendidikan masing-masing. Suatu hari nanti ketika mereka dewasa, mereka mungkin tak sempat bertemu, apalagi mengurusi seorang ayah yang sakit-sakitan sepertiku."
Tatsuhiro terdiam mendengarkan perkataan tersebut. "Kau benar, Hikaru."
"Karena itu...." Gelas kosong tersebut diletakkan kembali oleh Hikaru di atas nakas. "Selagi mereka belum tumbuh dewasa, aku ingin menikmati semua yang mereka berikan kepadaku. Tak ada yang bisa menjamin bahwa mereka akan terus seperti saat ini. Dan aku tak ingin menyesal, Tatsu."
-END-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top