Jelly || Mikaze Ai
Berbalutkan pakaian hitam, gadis itu pergi ke pemakaman, hatinya pun kelam bagai langit yang lesu hari itu. Udara tampak tak bersemangat hari itu, bahkan tak ada satu pun kicau burung yang mencerahkan hari itu.
Gadis itu terduduk di atas tanah. Tak dipedulikannya lagi pakaian yang mungkin menjadi kotor akibat perbuatan barusan. Ia hanya ingin menangis, sejadi-jadinya, meluapkan semua emosi dalam keheningan makam tersebut. Gadis itu, (name), masih tidak menerima kenyataan tentang orang tuanya yang kini sudah tiada. Ia tak sanggup hidup seorang diri, ia butuh seseorang yang akan berada di sisinya.
Jelly
Student! Mikaze Ai x Lonely!Reader
Requested by : Eazzle
Sejak saat itu, (name) jarang berteman. Tak ada satu pun murid yang mau bercengkrama dengannya, kecuali jika ditempatkan dalam tugas kelompok. Gadis itu semakin lama semakin menyendiri, menutup tempat bagi kebahagiaan untuk mendesak masuk.
Tidak, ia bukannya ingin hidup sendiri seperti ini.
(Name) masih terlarut dalam kesedihan, membuat dirinya tampak tak bernyawa. Sorot matanya tak lagi seperti dulu. Ia lebih sering melamun, dibandingkan dengan memperhatikan pelajaran di kelas.
Dan kini, (name) memilih duduk di bawah pohon sewaktu menikmati bento-nya. Rimbunnya daun menghalangi sang gadis dari cahaya matahari, membuatnya tak usah berpanas-panasan di bawah sinar itu.
Dibukanya sebuah kotak bekal berwarna biru berisikan nasi, beberapa potong karaage, telur gulung dan sayuran tumis. Sepasang sumpit dikeluarkannya dan gadis itu mulai menyantap bekalnya. Tangan kanannya bergerak, mengambil sumpit dan menjepit sepotong karaage. Dalam hitungan detik, karaage tersebut sudah dilahapnya. Walau sedikit gosong, namun rasa ayam yang digoreng tersebut tetap sempurna, bersama dengan lembutnya nasi putih yang disiapkan (name) seorang diri.
Kesendirian itu sama sekali tidak membuat (name) sedih. Lagi pula, ia tak butuh teman. Dirinya sendiri sudah cukup untuk menjalani hari.
"Sendirian saja?" Suara lembut menguar di telinga (name), membuatnya secara spontan menoleh ke arah kanan.
Pemuda berambut cyan itu menatap (name) dengan datar. Sebuah kotak plastik bening berisikan jelly dipegangnya di tangan.
"M-mikaze-san...?" tanya (name) memastikan.
Yang dipanggil hanya mengangguk, lalu menjatuhkan dirinya tepat di sebelah (name). Kotak plastik bening itu dibukanya menampilkan jelly berbagai rasa yang dibuatnya sendiri.
"Menurut data yang kumiliki, kau senang menyendiri seperti ini. Namun, menyendiri tak baik untuk jiwamu, 'kan?" Ai mengambil sendok kecil, lalu memotong jelly yang dibawanya.
"Berteman pun tidak ada gunanya," ujar (name) seraya melahap sayuran tumis. Gadis itu mengalihkan pandangannya, tak ingin membuat kontak mata dengan Ai.
"Setiap orang butuh teman," cetus Ai sambil menyodorkan kotak plastik beningnya ke arah (name). "Kau mau jelly?"
(Name) hanya mengangguk pelan, lalu menutup kotak bekalnya. Sumpit yang tadi digunakannya untuk memakan bekal gini berganti fungsi untuk menjepit jelly yang dibawa oleh Ai--meski agak susah untuk mendapatkan jelly tersebut. Gadis itu melahap jelly dengan rasa stroberi, membiarkan rasa manis dan asam mendominasi mulutnya sebelum akhirnya menelan hidangan tersebut.
"Enak," komentarnya singkat, kemudian bangkit berdiri, hendak meninggalkan Ai.
"Sudah mau pergi?" Ai menautkan kedua alisnya dengan bingung. "Bekalmu belum habis, (name)."
"Aku kenyang," dusta sang gadis sambil mengambil kotak bekalnya. Tanpa menoleh lagi, (name) melangkah pergi.
(Name) menepuk-nepuk roknya seraya berjalan, menghapus kotoran yang sempat menempel pada bawahan seragamnya itu. Kaki sang gadis berlari cepat, menuju tempat yang paling jarang dikunjungi murid di saat istirahat pertama tiba. Perpustakaan.
(Name) melangkah terus, melewati deretan buku fiksi dan buku pengetahuan, mencari sudut terpencil dari perpustakaan tersebut. Di antara deretan buku novel Inggris, gadis itu terduduk. (Name) memeluk kakinya seraya menunduk. Yang dibutuhkannya hanya kesendirian. Hanya itu yang akan membuatnya membaik, setidaknya itu yang dipikirkan sang gadis.
(Name) meraung kesal, menumpahkan segala emosinya dengan suara sekecil mungkin. Baik setelah dan sebelum ditinggalkan orang tuanya, ia selalu menderita. Tak ada yang memihak padanya, hanya ada teman palsu yang mendekatinya saat butuh, lalu menghilang saat dibutuhkan.
Tak dipikirkannya lagi soal pelajaran sejarah yang akan dimulai setelah bel berdering nyaring. Tiada arti lagi bagi hidupnya, jadi belajar pun tak akan membantu (name).
Dengan posisi masih menangis, (name) terlelap. Jiwanya tertarik dalam dunia mimpi, dunia di mana ia bisa bahagia, tak seperti kenyataannya. Dalam mimpi, ia tersenyum.
* * *
"(Name) ... bangun, perpustakaan sudah mau ditutup...." Suara lembut disertai guncangan membuat gadis itu terbangun. Pelakunya tak lain adalah Mikaze Ai. Netranya menatap datar wajah ngantuk sang gadis. "Menghilang sejak pelajaran sejarah sampai jam pulang tiba. Kau akan dimarahi saat Senin tiba."
(Name) mengusap matanya lembut, menyeka air mata yang masih setia terbentuk di indra penglihatannya itu.
Ai ikut berjongkok, menyetarakan pandangannya dengan gadis itu. Sebuah saputangan dikeluarkannya dari saku, lalu disodorkannya kepada gadis itu. "Ini," ujarnya singkat.
"Terima kasih banyak," ucap (name) sambil mengambil saputangan bergaris putih-biru itu.
"Tak masalah, kembalikan saja besok, ya." Ai bangkit berdiri lagi, kemudian memutar badannya dan melangkah menjauhi (name).
"Tetapi, besok libur," tukas (name).
"Datang saja ke rumahku. Kebetulan rumah kita dekat, 'kan?"
Tidak bisa disangkal lagi, rumah mereka memang dekat, hanya berjarak beberapa blok saja. Tak butuh mengendarai sepeda, dengan berjalan kaki saja, (name) bisa sampai ke rumah teman sebangkunya itu.
Dalam keheningan, gadis itu mengangguk, lalu menyimpan saputangan yang tadi disodorkan Ai. Jantungnya berpacu cukup cepat. Rasa gugup menyambar dirinya. Setelah cukup lama mengurung diri, kini ada tempat lain yang harus disinggahinya selain sekolah, yakni rumah Mikaze Ai.
* * *
Di situlah (name) berdiri pada keesokan harinya, di depan rumah minimalis berwarna lavender. Tangan kanannya bergerak, mengetuk pintu berwarna putih itu beberapa kali, menunggu jawaban dari sang pemilik rumah.
"Masuk saja, pintunya tak terkunci."
Mengikuti instruksi dari Ai, (name) melangkah masuk. Sosok pemuda berambut cyan itu menyambutnya, berbalutkan apron berwarna hitam di tubuhnya.
"Mikaze-san, aku ingin mengembalikan saputangan yang kaupinjamkan kemarin. Sudah kucuci bersih di rumah." (Name) menyodorkan saputangan bergaris biru-putih itu ke arah Ai.
Yang disodori saputangan justru menolehkan kepalanya ke arah kanan. "Letakkan saja di meja. Tanganku kotor."
(Name) menuruti perintah (name). Perlahan, ia menginjak lantai parkit rumah Ai, lalu berjalan dengan cepat menuju meja yang ditunjukkan.
"Kebetulan kau ada di sini. Cobalah jelly ini." Ai menyerahkan sendok berisi jelly kepada (name).
"Tawar," komentar (name) saat jelly tersebut sudah selesai disantapnya. "Aneh, padahal kau kemarin membuatnya dengan sangat enak."
"Itu karena aku tak menambahkan pemanis atau buah-buahan pada jelly itu," ungkap Ai sambil menyendok jelly lagi dan menyodorkannya ke arah (name).
"Yang ini lebih enak dari yang pertama. Manis," puji (name) saat ia mencoba jelly yang baru selesai dibuat Ai.
"Jelly ini seperti (name)." Suara Ai memecah keheningan.
"Hah?" Alis (name) terangkat sebelah, menyiratkan kebingungan yang besar.
"Kalau (name) sendirian saja, maka ia akan tawar seperti jelly yang pertama tadi." Pemuda itu menjedakan kalimatnya sejenak. "Tapi setelah bergabung dengan teman-teman, (name) akan seperti jelly yang kedua, lebih baik dan lebih disukai ... juga lebih manis. Ini membuktikan bahwa dalam hidup, kau tak bisa hanya sendirian. Kau butuh teman, untuk membuat hidup lebih manis. Karena itu, aku tak mau (name) sendiri lagi. Kalau tak ada yang ingin berteman dengan (name), aku bersedia kok menjadi teman, atau bahkan sahabatmu," tutur Ai.
Berusaha menutupi rasa gugupnya, (name) menimpali, "Kau berucap sebijak itu, namun wajahmu sedatar tripleks."
"Ekspresi wajahku tak penting. Yang perlu kuketahui, kau bersedia berteman seperti dulu lagi atau harus kupaksa?" tanya Ai tegas.
(Name) mengusap tengkuknya pelan. Sorot matanya mengarah ke bawah. "Aku mau berteman, tetapi aku takut tak ada yang menerimaku...."
Ai berdecak pelan sambil melipat tangannya. "Omong kosong. Aku tak keberatan menerimamu dan begitu juga dengan yang lain."
"K-kalau begitu, kau mau jadi temanku...?" tanya (name) yang langsung disambut anggukan oleh Ai.
"Terima kasih, Mikaze-san...."
* * *
Diupdate dengan cara mencuri Wi-Fi emak 😂😂
Gomen ne jarang update 😭
Next update : Bela diri || Osari Hikaru
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top