Bintang || Kaneshiro Goushi
Bintang
Aniki!Kaneshiro Goushi x Reader
Requested by : AoiAzura
Hal yang disukai (name) selain menjahili kakaknya adalah menikmati keindahan malam, menikmati semua hal yang selalu tersembunyi di siang hari. Embusan udara dingin sama sekali bukan perkara berat bagi (name), asalkan ia bisa melihat gugusan bintang yang menerangi langit.
Berbaring di halaman rumahnya, (name) mengerjap berkali-kali, membayangkan bila dirinya adalah bintang yang disukai banyak orang, bintang yang bisa menyinari kegelapan terpekat sekalipun. Tangannya menggapai-gapai ke udara, seolah ingin menjangkau sesuatu yang tak bisa tersentuh.
Saat malam mulai menyelimuti lebih lagi, saat lampu di rumah-rumah sudah padam, (name) masih setia berbaring di depan, seolah ingin menemani bintang sepanjang malam. Mata mungilnya berkali-kali tertutup, menandakan sang gadis sudah sangat mengantuk. (Name) menguap sesekali. Malam ini akan jadi sangat panjang, begitu pikirnya.
"Suatu hari aku akan jadi peneliti bintang yang tak akan terpisahkan dari benda malam ini." Binar penuh harap memenuhi mata (name). Gadis itu tersenyum yakin, berpegang pada cita-citanya.
Sebuah jaket berwarna merah dengan list hitam mendarat di dekat (name). Tak perlu diteliti lebih lanjut, pelakunya pasti sang kakak, Kaneshiro Goushi. Pemuda dengan rambut hitam pendek itu mendecak kesal. Kedua tangannya terlipat sembari melemparkan tatapan tajam ke arah (name).
"Menjaga kesehatan saja belum bisa. Apalagi menjadi peneliti bintang," cetus Goushi dingin.
(Name) terkikik pelan. Ia memang selalu diomeli oleh kakaknya, sampai telinganya semakin lama semakin kebal.
"Hei sudah jangan tertawa," semprot pemuda itu. "Cepatlah masuk ke dalam. Udara malam hari tidak bagus untuk kesehatanmu."
(Name) menggeleng pelan. Tatapannya masih terpusat kepada benda bercahaya yang menerangi langit. Tangannya masih direntangkan ke atas. "Dulu kakak bilang, orang yang sudah tidak ada akan menjadi bintang. Jadi, (name) ingin menemani mama dan papa yang sudah jadi bintang, biar mereka gak kesepian!"
Goushi menghela napas pasrah. Ini semua salahnya karena telah menanamkan pola pikir seperti itu dalam benak adiknya. Dulu di saat (name) masih terlalu kecil untuk memahami kematian, hanya 'teori bintang' yang bisa digunakan Goushi untuk mengelabuinya. Namun, bila (name) tetap percaya pada perkataan tersebut ... akan fatal akibatnya.
Ingin saja Goushi menumpahkan segala fakta soal orang tua mereka yang tewas dalam kecelakaan pesawat, namun hati kecilnya tidak tega. Ia tak ingin melihat adiknya muram. Ia tak ingin melihat (name) menangis. Namun ia tahu, membiarkan (name) tetap seperti ini adalah hal yang sangat salah.
"Mama dan papa tidak akan senang bila kau berada di luar." Suara Goushi memecah keheningan yang sudah lama menyelimuti.
"Tapi, mama dan papa kan suka (name)." Sang gadis menolak.
Goushi menggeleng pelan. Tak ada pilihan lain lagi. Setelah menghela napas dengan panjang dan penuh pemikiran, ia berkata, "Dengar (name), papa dan mama gak pernah jadi bintang di langit atau apalah itu. Mereka telah meninggal. Hilang dari dunia ini, selamanya dan tanpa jejak. Mereka tidak menjadi bintang, mereka juga bukan matahari atau bulan. Mereka roh, yang saatini sudah tiada, roh yang tak bisa kaulihat sampai kapan pun."
(Name) terbengong-bengong mendengar perkataan kakaknya. Lantas pada detik berikutnya, tawa sang gadis meledak. "Jangan bercanda, Kak. Leluconmu sama sekali tidak lucu!"
"Aku tidak berbohong. Yang kukatakan adalah benar. Mereka sudah tidak ada! Mereka meninggal, (name). Kau tau bisa melakukan apa-apa untuk mengembalikan mereka," papar Goushi dengan penuh emosi.
Senyum di wajah (name) memudar, digantikan dengan tatapan kosong dan tanpa emosi sama sekali. "Namun meskipun begitu ... aku tetap ingin menjadi peneliti bintang," ujar sang gadis halus, "akan kubuktikan anggapanmu salah. Akan kubuktikan bahwa papa dan mama jadi bintang di langit."
"Terserah apa katamu. Aku tak akan menghalangi cita-citamu. Asal kau berhenti menyebut papa dan mama menjadi bintang."
"Tapi, kakak yang mengajari hal itu!" debat (name). Tangannya terkepal, melambangkan rasa kesal yang sudah membuncah.
"Aku berbohong selama ini. Aku membodohimu! Puas?!" raung Goushi penuh amarah.
(Name) terdiam dalam semua emosinya. Diserapnya kata Goushi baik-baik. Kemudian air matanya mengalir, membuat maniknya seolah meleleh. "Kakak jahat! Kakak jahat!" Sang gadis menjerit frustrasi.
Goushi memalingkan wajahnya, tak ingin membuat kontak mata. Pandangan yang diarahkan oleh (name) akan membuatnya semakin lemah. Tatapan yang tak mampu dikalahkannya sampai detik ini. "Kau boleh mengatakanku jahat bila aku tak memberitahumu kebenarannya. Namun yang aku lakukan adalah tindakan yang benar, tindakan yang akan membuatmu terlepas dari teori konyol itu."
"Kalau memang teori itu konyol, mengapa Kakak mengajari teori itu padaku? Mengapa Kakak tidak memberitahukan kebenarannya kepadaku sejak awal?"
"Kau masih kecil kala itu," sahut Goushi, "dan aku tahu kau tak siap menerimanya." Suara serak sang pemuda terdengar bergetar. Mengingat kembali semua yang terjadi pada hari itu membuatnya semakin terlarut dalam kesedihan. Namun, ia segera menyadarkan diri. Ia tak bisa menjadi kakak bila sikapnya terus-terusan seperti ini. Ia harus mengeraskan hatinya. Setidaknya dengan begitu, ia bisa menjadi contoh yang baik untuk (name).
"Jadi Kakak pikir aku siap menerima kenyataan itu sekarang?" (Name) mengusap air mata yang mulai membanjiri wajahnya.
"Sekarang kau sudah dewasa. Kau pasti mengerti." Goushi menjawab singkat. Ia sudah tak mau berdebat lagi dengan (name). Satu-satunya yang ia inginkan saat ini hanyalah menjadi kakak yang bisa melindungi (name). Itu saja sudah cukup.
"Kakak jahat. Kakak selalu jahat. Kakak selalu menipuku, Kakak tak pernah mau memberiku buku tentang bintang yang sudah lama kuinginkan. Kakak tak pernah peduli denganku. Bagi Kakak, aku ini apa?" (Name) berteriak kesal. Masa bodo dengan aturan 'harus menghormati orang yang lebih tua'. (Name) sudah muak dengan kelakuan Goushi, figur kakak yang tak pernah nyata dalam hidupnya. Figur yang hanya dijadikan pajangan.
(Name) bangkit berdiri, lalu melemparkan tatapan marah ke arah kakaknya. "Aku tak mau lagi bertemu Kakak!" Gadis itu mulai berlari, menembus kegelapan malam dan udara dingin yang menyerangnya.
"Hei, tunggu!" Goushi berlari secepatnya, mengikuti langkah (name).
Sambil menyeka air matanya, (name) terus berlari. Hanya ada satu hal yang merasuki otaknya. Membebaskan diri dari Goushi.
Dan kejadian yang tak diinginkan Goushi pada akhirnya terjadi. Karena kurang berhati-hati, (name) tertabrak oleh mobil. Tubuh gadis itu terhempas beberapa meter ke depan. Dan soal pelakunya, sudah menghilang dari lokasi kejadian.
Peristiwa tragis seperti itu.... Mengapa Goushi harus melihatnya dua kali tanpa bisa berbuat apa-apa? Langkahnya gemetaran saat mendekati tubuh (name). Genangan darah sudah tidak dipedulikannya lagi. Ia hanya butuh (name) selamat. Tak lebih dan tak kurang.
Diangkatnya tubuh sang gadis, lalu dengan panik, Goushi mulai berlari. Tak satu pun bantuan yang bisa ditemuinya. Namun, ia tak akan menyerah. Dengan sisa energi yang dimilikinya, Goushi berlari ke rumah sakit terdekat, berharap adiknya bisa diselamatkan.
Namun, takdir seolah tak berpihak padanya. Darah terus-menerus mengalir dari kepala sang gadis, membuatnya semakin lemas. Jemari (name) bergerak, membelai pelan wajah Goushi. "Kak, maafkan aku. Ini semua salahku. Mungkin ini adalah karma yang diberikan Tuhan padaku karena sudah membantah Kakak. Tapi mau bagaimanapun juga, aku tetap sayang Kakak."
Usai mengucapkan kalimat tersebut, pandangan (name) semakin lama semakin redup. Jeritan panik Goushi tak bisa didengarnya lagi dengan jelas. Samar-samar, dapat dilihatnya sebuah gedung putih yang menjulang tinggi. Namun, kesadaran sang gadis semakin menipis. Sampai titik di mana ia benar-benar menutup mata. Dan semuanya berubah senyap.
- Omake -
Goushi menatap miris ke arah batu nisan bertuliskan nama adiknya itu. Jantungnya serasa diremas. Enam tahun sudah berlalu sejak kejadian itu, namun rasanya baru kemarin ia kehilangan (name). Tangan kanannya menggenggam erat buku ensiklopedia khusus bintang, lalu diletakkannya buku tersebut di makam (name).
"Aku bukannya tidak mau membelikan ini kala itu. Dulu aku tak punya uang, (name). Aku tak bisa memberimu apa-apa. Tapi kini semuanya berbeda. Aku sudah bekerja, aku bisa memberimu ini. Meski kau tak bisa melihatnya."
Goushi menahan tangisnya. Ia tahu, tak seharusnya ia bersedih. (Name) sudah bahagia saat ini, ia bisa bertemu orang tuanya. Goushi tidak boleh sedih lagi.
Ditatapnya langit biru yang terbentang di atas. "Apakah kau jadi bintang, (name)?'
- End -
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top