6. Secret Talk, Again?!
"Tamaki nii-chan, lihat apa yang ku bawa," suara lembut yang terdengar riang mengalun lembut di pendengarannya. Sibuk bermain dengan anak-anak yang jauh lebih muda membuatnya tetap terlihat sepantaran dengan mereka. Tak peduli meski ia lebih tua, sesekali dirinya melibatkan diri pada pertengkaran ala anak-anak.
Siapa yang lebih kuat antara ranger merah dan ranger pink?
Atau siapa yang akan menang apabila ousama pudding dan usamimi bertarung?
Hingga rumor hoaks tentang kisah Cocona yang sempat berkencan dengan maskot ousama pudding?
Tunggu! Apa aku bilang kencan barusan? Entah darimana asalnya kata itu muncul di antara obrolan anak-anak di bawah umur. Siapa yang tahu?
"Aya kau sudah pulang?" seru Tamaki menyambutnya, meski tingkahnya masih kekanakan ia tahu peran diantara keduanya. Ya Tamaki tetaplah seorang kakak bagi Aya, dengan cekatan ia mengambil alih kantong belanjaan mengingat ia keluar untuk membantu ibu panti memenuhi belanja bulanan.
"Ibu panti memberikan hadiah karena membantunya belanja, lihat ini untukmu Onii-chan," ujarnya lagi dengan senyum yang masih mengembang.
"Woah ousama pudding, arigatou Aya! Kau yang terbaik, ayo makan bersama," ujar Tamaki tak kalah semangat menggiringnya menuju salah satu sofa untuk duduk menikmati si kenyal olahan susu dan telur itu.
Hidup di dalam panti tetap membuat harinya cerah, selama Aya bersamanya itu sudah lebih dari cukup. Tamaki yang tengah duduk di bangku SMP membuatnya sibuk dengan urusan sekolah, serta klub yang ia ikuti. Hingga suatu ketika ia pulang terlambat karena kelas tambahannya.
"Apa ... maksudnya ini?!" sentaknya emosi melihat barang-barang di kamarnya telah berkurang.
"Tamaki-kun tenanglah," dengan lembut Sang Ibu panti berusaha menenangkan remaja yang tengah dilanda emosi.
"Dimana Aya?" sentaknya mulai berderai air mata.
"Seseorang telah mengadopsinya, Aya sudah mendapatkan keluarga baru yang lebih baik."
"Aku keluarganya! Aku kakaknya! Aya tidak butuh keluarga baru."
"Kau juga masih anak-anak, orang dewasa perlu merawat kalian. Dan suatu saat nanti kau juga akan menemukan keluargamu sendiri," jelas Sang Ibu panti berusaha memberi pengertian.
"Aku tidak mau keluarga baru, hanya Aya yang ku punya." Pungkas Tamaki dingin, nadanya terdengar jauh lebih tenang, namun siapa pun bisa mendengarnya dengan jelas. Nada akan keputus asaan serta kesedihan terpancar jelas darinya.
"Maafkan ibu," gumam Sang Ibu panti lirih menatapnya sendu sebelum melangkah pergi, memberinya ruang lebih untuk menenangkan diri.
"Ahhh!! Kenapa aku tidak bisa berbuat apapun?!" teriakan penuh emosi terdengar di ruangan itu, suara benda-benda yang berjatuhan terdengar tak kalah keras, hingga tak lama suara tangis pilu mengisi ruangan itu untuk beberapa jam lamanya.
Hari itu, Keluarga Yotsuba hanya tersisa dirinya seorang. Tidak ada lagi Yotsuba Aya, yang ada hanyalah Yotsuba Tamaki.
.
.
.
"Aku menang!" seru Tamaki kegirangan saat mendapati mangkoknya kosong lebih dulu dibanding yang lain.
"Ouh kau curang desu," gerutu Nagi tak terima.
Mendengus kecil Yamato melerainya, "Padahal kalian mendahului start dari yang di sepakati," cibirnya saat melihat perpecahan antara duo in crime di depannya.
"Hahh, pertandingannya sudah kacau sejak awal," Mitsuki menimpalinya dengan pasrah sembari mengistirahatkan perutnya yang penuh.
"Tetap saja aku yang menang! Aku mau ousama pudding sebagai hadiahnya," ujar Tamaki membusungkan dadanya dengan bangga menunjukkan selebrasi ala pemenang champion.
"Ya ambil saja di lemari pendingin Yotsuba-san," balas Iori acuh.
"Heii itu stok puddingku sendiri, bukan hadiah," sentak Tamaki mulai bersungut-sungut.
Riku yang mulai terbiasa melihat pertengkaran di depannya hanya tertawa kecil, sebelum lampu pemikiran di kepalanya menyala terang, "Heii Tamaki, sebagai pemenang kau bisa mendapat giliran selanjutnya untuk bercerita," ujarnya memberi solusi.
"Apa itu hadiah yang hebat?" tanya Tamaki mengernyitkan dahinya tak yakin.
"Tentu saja Tamaki-kun, lihat bahkan aku belum mendapat giliran berbicara," ujar Sougo menambahkan berusaha mengelabuinya.
"Uhm baiklah," gumamnya mengalah.
"Bagus Nanase-san/Riku/-kun," ujar semuanya lirih memberikan acungan jempol bangga.
Berdehem sejenak, Tamaki duduk bersila dengan nyaman sebelum membuka suaranya, "Ehm, jika sesuatu yang ada di hati. Mungkin bisa dibilang punyaku mirip dengan Rikkun," ujarnya dengan nada khasnya.
"Eh?"
"Ibuku meninggal karena sakit, ayahku brengsek dan kabur setelahnya. Di keluarga itu hanya tersisa Aku dan Aya yang saat itu masih kecil," gumamnya mengingat-ingat yang tentu saja masih dapat di dengar mereka semua.
"Maka dari itu kami dipindahkan ke panti,dan suatu saat seseorang mengadopsinya tanpa sepengatahuanku."
"Berkali-kali aku berusaha mencari informasi siapa yang mengadopsinya, bahkan aku sempat menyusup ke ruang kepala panti untuk melihat berkasnya. Tapi hasilnya aku tidak mendapatkan apapun. Seolah di telan bumi, aku tidak tahu keberadaan Aya dan bagaimana kondisinya."
"Saat sachou menawariku untuk menjadi idol, ia mengatakan bahwa aku bisa muncul di televisi suatu saat nanti. Siapapun bisa melihat kita melalui televisi bukan? Mungkin saja setelah aku muncul di televisi, Aya bisa melihatku."
"Aku belum bisa mengurusnya saat itu karena masih kecil, sekarang pun masih sama. Tapi ..., aku akan bekerja keras agar bisa menghidupinya. Aku ingin Aya menemukanku suatu saat nanti,"
"Selain ousama pudding, kurasa ini yang ada di hatiku. Apa sekarang bisa diterima?" tanya Tamaki menunjukkan cengirannya.
"Dasar, tentu saja bodoh! Kau hebat Tamaki, kau kuat. Aku yakin suatu saat nanti kau bisa bertemu dengan Aya-chan." ujar Mitsuki yang kini tengah sesenggukan. "Sial, kenapa member muda kita sudah melalui banyak hal pahit," keluhnya lagi mengacak gemas rambut Tamaki yang kini ada di rangkulannya.
"Ku harap kita bisa menemukan separuh dari jiwa kita, Tamaki," ujar Riku tersenyum lembut menatapnya.
"Ya mari temukan mereka." balas Tamaki membulatkan tekadnya.
"Televisi ya ...," gumam Yamato meringis kecil, "Kurasa masih ada sisi baik dari dunia pertelevisian yang kelam," imbuhnya lagi menatap sejenak taburan bintang di atasnya.
"Apa sekarang Onii-san boleh menyela?" tanyanya lagi memastikan.
"Silahkan Yamato-san," balas Sougo tenang.
"With pleasure Yamato."
"Kurasa saat ini hanya Onii-san yang sedang kehilangan arah," ujarnya terkekeh pelan. "Tujuan awalku adalah membalas dendam, keinginan untuk balas dendam selalu memenuhi hatiku selama ini." Ujarnya datar membuat suasana malam itu terasa dingin seketika.
"Love child, apa kalian tahu artinya? Ayah dan ibuku yang selama ini ku kenal ternyata berbeda dengan apa yang publik tahu. Di sebuah kediaman Nikaido, kala itu banyak orang-orang dari dunia hiburan dan pertelevisian sering berkumpul. Hingga mereka menjalin hubungan, dan aku terlahir ke dunia. Pada usia 13 tahun aku menonton televisi dan mengenali seseorang. Ayahku tengah di sorot sebagai pasangan paling romantis meski usia yang tak lagi muda, namun pada saat itu sosok perempuan disampingnya sangatlah asing. Ia bukan ibuku, dari situ aku mendengar bahwa pasangan itu tidak dikarunia anak hingga sekarang." Mendengar langsung cerita Yamato membuat semuanya tersentak kaget.
"Ah jadi selama ini mereka semua berbohong, saat itu adalah kenyataan bahwa mereka pasangan suami istri. Dan hidupku selama ini adalah kebohongan, aku terlahir dari hubungan yang tidak semestinya. Namun hingga sekarang seseorang tidak pernah menjelaskan apapun padaku. Itu sebabnya saat aku terkenal nanti, aku akan membawa berita ini ke media dan membuatnya buka suara."
"Ayahku adalah Chiba Sizuo, Aktor Jepang yang terkenal sepanjang masa. Siapa yang tahu bukan kisah kelam hidupnya yang selama ini tersembunyi, dan aku adalah bukti nyata dari dosanya,"
"Itu tidak benar!" sentak semuanya emosi.
"Kau sama sekali tidak bertanggung jawab atas dosa itu Yamato-san," ujar Riku menatapnya sendu.
"Dia ... mungkin suami yang buruk, tapi dia tetap ayah yang baik," balas Yamato tersenyum kecut, "ditambah pertemuanku dengan kalian, bagaimana mungkin aku melanjutkan balas dendamku," imbuhnya lagi.
"Kalau begitu hiduplah untuk mimpimu, mulai sekarang lakukan apapun yang kau mau! Kau tidak berhak menanggung kesalahan ayahmu," ujar Mitsuki menimpalinya.
"Jika kau belum bisa menemukannya, maka hiduplah untuk kami leader. Mimpi yang kami buat adalah mimpi dari tujuh orang di dalamnya. Ayo kita wujudkan itu bersama." imbuh Nagi lembut.
"Kalian ini, bagaimana bisa Onii-san meninggalkan kalian setelah ini," gumam Yamato menahan air yang menggenang di pelupuk matanya.
"Jangan menangis Yama-san, kau leadernya." tegur Tamaki sambil mengusap hidungnya yang sudah memerah.
"Kau tidak berhak mengatakannya Tamaki-kun," dengus Sougo pelan.
"Biarkan saja sesukanya," ujar Iori menimpalinya dengan tenang. "Apa kau sudah menemukan mimpi barumu Nikaido-san?" tanya Iori meluruskan kembali pembicaraan mereka.
"Ya, Onii-san ingin terus berada disini, dan melindungi kalian. Bukankah itu tugas leader?"
"Omedetou Leader!"
"Membahas mengenai isi hati kita, diluar dugaan ternyata bisa sampai sejauh ini," ujar Mitsuki menghela nafasnya sejenak yang entah kenapa merasa kelelahan karena luapan emosi yang membuncah baik dari dirinya maupun dari sekitarnya.
Nagi ikut tersenyum kecil mendengarnya, "Bukankah manajer kita luar biasa, misi untuk membangun kerja tim yang baik sudah bergerak ke titik dimana kita bisa mempercayakan segalanya."
"Hehh apa artinya kita boleh menari lagi?" tanya Tamaki antusias hampir melompat dari posisinya jika tidak di hentikan Sougo yang kebetulan berada di sampingnya.
"Soal itu lebih baik tetap menuruti perkataan manajer," tegur Iori tenang membuat semuanya kompak menoleh padanyaa.
Mendapati perhatian teman-temannya Iori menarik senyum miringnya dengan santai,"Bayangkan saja, luapan emosi kita yang selama ini tertahan karena larangan itu tertumpuk hingga membengkak. Dan pada saatnya tiba, boom itu akan meledak tepat di konser pertama kita."
"Aku hanya berharap ada dorongan kuat dari siapapun diantara kita yang akan mengguncang konser kita nanti," jelasnya masih mempertahankan senyum pongahnya.
"Kowaii ...," semuanya membatin lirih.
"Iorin menakutkan," gumam Tamaki bergidik.
"Yahh kurasa mimpinya untuk mendorong kita sampai ke titik maksimum benar-benar tidak main-main," ujar Yamato meringis kecil.
"Lalu siapa yang akan berbicara selanjutnya?' tanya Riku melirik dua orang terakhir yang tersisa.
"Jika mengingat cerita tentang Yamato-san, kurasa aku bisa jadi selanjutnya. Apa boleh?" tanya Sougo tenang yang segera diangguki oleh semuanya.
Tersenyum sejenak, Sougo mengalihkan pandangannya pada seseorang, "Tapi kurasa ini juga bisa berhubungan dengan Riku-kun," imbuhnya lirih.
"Kau sempat bertanya, apa yang membuat rela mengorbankan segalanya untuk berdiri di atas panggung bukan?" tanya Sougo memastikan, kembali mengulas pembicaraan sebelumnya.
Setelah mendapati anggukan positif dari Riku, Sougo melanjutkannya dengan tenang, "Aku adalah salah satu orang tersebut."
"Seseorang yang meninggalkan keluarganya untuk menjadi idol," ujarnya melirik teman-temannya yang masih tetap bungkam, menunggu penjelasan lebih lanjut.
"Aku mengenal musik dari mendiang pamanku. Ia menghabiskan seluruh hidupnya untuk music, dan karena itu pula hingga kematiannya semua orang masih menganggapnya remeh karena telah menyianyiakan kehidupan stabilnya hanya untuk sesuatu yang tak pasti, yaitu music."
"Di hari pemakamannya, tak ada seorang pun yang sedih kecuali aku. Yang mereka salahkan kala itu adalah music,"
"Namun bagiku, pamanku adalah orang paling bahagia yang telah menghabiskan waktunya untuk sesuatu yang ia pilih. Pamanku telah menjalani kehidupannya dengan puas, itulah yang ku lihat darinya."
"Tujuan? Hasrat? Mimpi? Kurasa aku ingin membuktikan pada mereka bahwa seseorang bisa bahagia melalui musik. Menamparnya bahwa mereka salah, mengatakannya bahwa pamanku bahagia hingga akhir hayatnya."
"Jantungku terus berdetak untuk musik yang ku senangi," pungkasnya tersenyum lembut menatap sekelilingnya.
"Itu sebabnya aku meninggalkan Keluarga Osaka, dan di hapus dari daftar pewaris."
Mendengar penuturan terakhirnya mereka membelalak kaget, "Osaka ... Osaka yang itu?' tanya Yamato memastikan.
"Sesuatu tentang FSC?" kini Mitsuki ikut menunjukkan keterkejutannya.
"Wow kau bertaruh banyak untuk musik, benar-benar jantan Sougo," ujar Nagi membalasnya dengan candaan.
Sougo yang mendengarnya ikut tertawa pelan, "Tentu saja, kita harus mempertaruhkan segalanya untuk mimpi kita bukan?"
"Sougo-san ... maaf jika perkataanku sebelumnya menyinggungmu. Aku ...," ujar Riku mulai meracau panik merasa tak enak hati.
"Tenanglah Riku-kun, aku mengerti." Balas Sougo menenangkannya.
Mendapati nada yang murni ramah, membuatnya mengangkat wajah dengan sumringah menunjukkkan kelegaannya, "Seperti kau yang memiliki alasanmu, aku juga ingin tahu alasan Ten-nii meninggalkan keluarganya." Ujar Riku menyampaikan kesimpulan dari pemikirannya.
"Ya, untuk itu kita menulis lagu ini sebagai langkah awal bukan?" ujar Sougo menimpalinya dengan lembut.
"Ouh great desu, yang terbaik selalu disimpan paling akhir bukan? Kurasa ini giliranku sekarang," ujar Nagi dengan riang kembali menghidupkan suasana.
"Apa-apaan itu Nagicchi, cepatlah mulai," dengus Tamaki menggerutu kesal
"Okay, ladies and gentleman. Please listen carefully," ujarnya bedehem sejenak untuk menetralkan suaranya meski tidak berpengaruh.
"Bukankah hanya ada gentleman disini," gumam Sougo tertawa canggung.
Menengahi situasi saat melihat Nagi tersudut dan justru membuatnya makin lama, Sang Leader akhirnya angkat suara, "Ma kurasa Nagi mengingat manajer kita sebagai ladies, meski ia tidak ada disini sekarang," jelasnya menyahuti pembicaraan yang ada.
"That's right Yamato, thanks."
"Sekarang mari kita mulai ...," imbuh Nagi lagi kembali ke mode serius, meski semuanya membatin bahwa ia bisa memulainya sejak tadi tanpa bertele-tele.
"Satu-satunya temanku pergi secara tiba-tiba dan menitipkan peninggalan tak ternilai padaku. Ia adalah composer lagu,"
"Jadi dia yang kau bicarakan sebelumnya ya," gumam Mitsuki tersenyum lembut mengingat penjelasan Nagi tentang arti sebuah lirik lagu.
Mengangguk singkat Nagi membenarkannya, "Dalam pesannya ia memintaku untuk mengirimkannya pada seorang temannya di Jepang, dan saat mengirimkannya Sachou juga memberiku penawaran untuk masuk ke agensinya sebagai idol."
"Ahaha terdengar seperti sachou," ujar Yamato terkekeh pelan.
"Haruki mendedikasikan hidupnya untuk musik, melalui musik ia dipertemukan dengan seorang teman berharga, dan karena musik pula ia kehilangannya."
Sejenak suasana menjadi lebih hening, "Tapi anehnya ia tetap tidak menyerah akan musiik, justu menggunakan musik ia berusaha menemukannya kembali. Meski tubuhnya makin lemah, ia tidak pernah menyerah akan keduanya. Baik pada musik maupun temannya."
"Jadi dia sakit?" tanya Riku lirih
"Ya," jawab Nagi singkat menarik nafasnya sejenak, "Ia teman pertamaku dan satu-satunya temanku. Selama hidupku aku tidak mengerti apa makna teman, apa pentingnya mereka di hidup kita. Tapi setelah bertemu dengannya ia mengajarkan hal itu padaku, sesuatu tentang teman dan juga musik."
"Dititipkan peninggalan darinya serta diberikan kesempatan oleh Sachou, membuatku ingin mengerti lebih jauh akan apa yang Haruki rasakan selama ini. Aku ingin menemukan sendiri temanku yang berharga dan juga hidup dengan musik. Dan kalian lah jawabannya, kali ini aku mendapatkan teman yang lebih banyak. Dan kali ini aku tidak ingin kehilangan temanku ...."
"Dimana pun ia berada, keberadaan Sakura Haruki masih ada di sini," ujar Nagi menyentuh dadanya lembut.
Mendadak suasana hening seolah udara tiba-tiba menghilang hingga membuat mereka tercekat,"Sa-Sakura Haruki," ujar Mitsuki mendadak gagap.
"Sakura Haruki yang itu?" tanya Sougo hampir berteriak karena terkejut.
Dengan tenang Nagi menganggukkan kepalanya, "Teman yang ia cari adalah Zero, apa aku belum bilang?" tanyanya
"Tunggu tunggu, biarkan Onii-san bernapas dulu," ujar Yamato memegangi dadanya yang sesak, sepertinya ini juga efek samping saat overdosis bir, ia tiba-tiba kembali mengingat segala ceramah tentang dampak buruk bir dari Mitsuki.
"Jadi kita mendapatkan lagu dari orang sehebat itu," gumam Iori terpukau. Sementara kedua member lainnya hanya bisa saling melemparkan tatapan bingung.
"Ouh tidak perlu dianggap terlalu berat, Haruki mempercayakan lagu ini pada Sachou. Dan sekarang Sachou mempercayakannya pada kita. Pasti kita akan membawakannya dengan baik."
"Aku tidak sendiri, aku memiliki teman. Dan sekarang kalian juga yang ada di hatiku saat ini," pungkasnya tersenyum lembut menatap semuanya bergiliran.
Dengan wajah yang tak bisa di gambarkan dengan jelas, tak lama suara sesenggukan atau terdesak mulai terdengar, "Aku juga menganggapmu sebagai teman yang berharga Nagi, kalian semua. Ini adalah kesempatan terakhirku untuk memperjuangkan mimpiku, dan akhirnya aku bertemu kalian." Ujar Mitsuki di sela isak tangisnya.
"Aku bersyukur atas kegagalanku di masa lalu, karena bisa bertemu kalian di masa sekarang," imbuhnya lagi masih sesenggukan.
"Bercita-cita agar seperti Zero, tak menyangka aku akan berada se-dekat ini. Menyanyikan lagu yang sama dari komposernya membuatku merasa lebih dekat dengan mimpiku."
"Kita akhirnya mendapat banyak kata kunci bukan," ujar Iori tersenyum tipis, "Lagu ini akan menjadi lagu yang hebat."
Terpengaruh dengan suasana haru yang ada manik krimsonnya ikut berkaca-kaca, "Kepedihan yang kita alami di masa lalu tak membuat kita menjadi lemah dan mengalah akan takdir. Tak peduli meski harus menjadi monster jika itu menyangkut hal yang berharga untuk kita. Maka kita sama sekali tidak akan keberatan." ujarnya tenang tampak menerawang jauh.
"Monster generation, keadaan menuntut kita untuk menjadi lebih keras saat menghadapi kepahitan di masa lalu, agar tidak kehilangan arah tujuan. Karena selalu ada seseorang di samping kita, bagaimana pun bertujuh jauh lebih baik dari pada satu." Imbuh Riku menurunkan pandangannya menatap teman-temannya.
"Ouh great, itu benar-benar bagus."
"Aku tidak takut dengan monster yang ini kurasa," ujar Tamaki terkekeh pelan.
"Kalimat yang bagus Riku-kun,"
"Apa itu judul lagu kita?" tanya Mitsuki antusias.
"Kurasa kali ini kau tidak perlu menunggu mimpi datang Nanase-san," dengus Iori tak menunjukkan keberatan sama sekali.
Menepuk kedua tangannya, Yamato memutuskan kesimpulannya, "Kalau begitu sudah di putuskan, kita tuliskan lirik terbaik untuk menyampaikan lagu ini." ujarnya tegas, "... Lagu dari teman Nagi yang berharga."
"Thank you Yamato," ujar Nagi berterima kasih dengan tulus, "Ku harap ini bisa mencapai Haruki juga."
.
.
.
"Oiii Nagi, Tamaki, cepatlah!" seruan kencang menggelegar ke seluruh sudut ruangan.
Dipercaya sebagai peringatan pertama untuk 'siaga 1', tanpa perlu menunggu peringatan berikutnya sebelum menjadi status 'bahaya' keduanya tampak tergopoh-gopoh mempercepat langkahnya menuju sumber suara,
"Aku siap Mikki."
"I'm ready desu."
Jawaban serupa terucap dari keduanya dengan memasang pose hormat, meski sosok di depannya lebih pendek tapi entah kenapa auranya jauh lebih mengintimidasi dengan alisnya yang tertaut lengkap dengan kedua sikunya yang sudah menyilang di depan dada.
Mitsuki yang melihat keduanya siap lebih cepat tampak mengangguk puas, "Yosh bagus, kalian sudah tumbuh," ujarnya bangga bersikap selayaknya majikan yang bahagia melihat tumbuh kembang peliharaannya.
"Kau memperlakukan keduanya seperti peliharaanmu Mitsu," tepat sasaran Yamato mendengus pelan mencibirnya.
"Bukankah kau sama saja Ossan?" balas Mitsuki meliriknya geli membuat keduanya saling terkikik menyembunyikan senyuman miringnya.
"Kowai/Scary ...," Tamaki dan Nagi yang menjadi subjek pembicaraan merasa merinding tiba-tiba.
Iori yang sedari tadi memperhatikan dengan tenang hanya bisa menghela nafasnya lelah, tak ingin berkomentar dengan perilaku orang dewasa di sekitarnya, "Apa kau yakin akan baik-baik saja, Nanase-san?" tanyanya mengalihkan pandangannya pada Sang Surai merah yang sedari tadi tampak lebih tenang dari biasanya.
"Aku baik," jawabnya singkat, sebelum menarik kedua sudut bibirnya menjauh membentuk senyuman tipis. "Tapi kurasa jantungku tidak bisa lebih tenang," imbuhnya lagi tertawa canggung.
"Ternyata suara itu darimu, aku dari tadi penasaran suara degub jantung milik siapa," ujar Sougo menimpali, "Mengingat aku juga sama gugupnya, apa kau mendengarnya juga? Suara jantungku ikut berteriak ribut," imbuhnya lagi melanjutkan candaannya.
"Hehh itu menakutkan Sougo-san, bisakah kau menenangkan dirimu?" tanya Riku panik.
"Saa, aku juga ingin tahu bagaimana caranya?" balas Sougo menelengkan kepalanya.
Mendengus pelan Iori ikut terkekeh pelan melihat keduanya, "Kurasa sia-sia aku mengkhawatirkanmu."
"K-Kau mengkhawatirkan ku?" tanya Riku merasa gugup tiba-tiba. "Ah gawat, kenapa rasanya makin gugup," mengelus dadanya pelan, Riku bergumam lirih.
"Apa?! Jangan salah paham, kau pasti salah dengar Nanase-san," sentak Iori cepat tak bisa mengendalikan wajahnya yang memanas.
"Woah kupikir adikku akhirnya sembuh dari penyakit tsundere kronisnya," ujar Mitsuki ikut masuk dalam obrolan.
"Horaa Mitsu, kau membuat adikmu makin matang," tegur Yamato ikut meledek wajah Iori yang tengah memerah pekat.
"Sangat merah, aku baru tau wajah seseorang bisa semerah itu," gumam Sougo kembali ke mode seriusnya.
"Sou-chan, baca situasinya," gumam Tamaki sweat drop melihat ke seriusannya yang kadang muncul di situasi yang kurang tepat.
"Ouh Tamaki kau sudah dewasa sekarang," ujar Nagi riang mengacak gemas rambutnya.
Sosok yang kini menjadi pusat perhatian tampak berpikir keras sebelum ia berdehem cukup kencang, "Uhum, bukankah seharusnya kita segera sarapan?" tanyanya mencoba terdengar lebih tegas.
"Ouh aku akan pergi dulu sebelum ke tempat konser, apa boleh?" tanya Nagi di sela kegiatan sarapannya.
Sebelum Mitsuki melemparkan omelannya, Nagi cepat-cepat memotongnya, "Aku akan langsung menyusul kesana," imbuhnya dengan jarinya yang membentuk huruf V tanda janjinya.
"Aku ikut dengannya agar kau lebih percaya Mitsu, bagaimana?" tanya Yamato menengahi, ia yakin Nagi hanya akan membeli komik edisi terbatas yang belakangan selalu ia ocehkan hingga membuat telinganya pengang.
"Aku juga! Aku juga!!" seru Tamaki berjingkrak, ia bisa saja melompat dari kursinya jika tidak di cegah Sougo. "Aku ingin ikutt," rengeknya lagi mulai bertingkah layaknya anak kecil yang enggan di tinggal sendiri.
Suasana makan yang mulai ramai membuat Mitsuki menghela nafasnya pasrah, "Lakukan sesukamu, tapi jika kau terlambat ...," ujarnya menjede sejenak kalimatnya sebelum menarik ibu jarinya secara horizontal tepat di tenggorokannya, seolah memberi peringatan bahwa mereka akan berakhir tragis jika melanggar janjinya.
"Ha'i" seru ketiganya dengan punggung yang ditarik tegak, setelah meneguk ludahnya kasar merasakan keringat dingin mengalir di pelipisnya.
---
Berpose di depan Sorairo Tower, Yamato, Nagi dan Tamaki menampilkan cengirannya memberikan kabar melalui gambar mereka di grup rabi-chatnya. Dan tersisa 3 jam sebelum konser dimulai
"Tck, mereka pergi sejauh itu," decak Mitsuki kesal, mengingat satu-satunya orang dewasa disana kurang dapat bertanggung jawab.
Sougo yang menyadari apa yang ada di benaknya hanya tertawa canggung tak bisa menampik kenyataan yang ada, "Kau terlalu mengkhawatirkannya Mitsuki-san," ujarnya menenangkan.
"Kenapa tidak menyusulnya saja?" tiba-tiba Riku menyeletuk dengan tenang, "Lagipula masih tersisa cukup waktu untuk menonton konser," jelasnya lagi.
"Yahh kurasa mengambil jalan memutar tidak buruk juga." Iori menambahkan.
Merasa tak ada pilihan lain Mitsuki menghela nafasnya sejenak, "Pada akhirnya memang lebih baik untuk berangkat bersama," gumamnya tersenyum lembut.
"Aku akan mengabari manajer," ujar Sougo segera mengetikkan sesuatu di ponselnya.
Menggunakan kereta cepat, mereka segera tiba ke tempat tujuan. Namun saat mencari pemilik surai berbagai warna perlu waktu lebih lama mengingat suasana kota yang tengah ramai.
"Apa terjadi sesuatu," gumam Riku menyadari kerumunan dan berbagai raut cemas orang-orang di sekitarnya.
"Yotsuba-san ...," ujar Iori mengenali membernya yang kini tengah menjadi pusat perhatian. Dikelilingi pria berseragam serba hitam yang membentuk formasi melingkar lengkap dengan perisai pelindung di depannya.
"Apa Tamaki-kun melakukan sesuatu?" gumam Sougo tak bisa mengenyahkan perasaan cemasnya, ia tahu betul Tamaki adalah tipe orang-orang yang terkadang membuat masalah tanpa kita sadari.
"Yamato-san, apa yang terjadi?" tanya Riku sedikit berteriak agar mendapatkan perhatiannya.
"Eh Riku? Iie apa yang kalian semua lakukan disini?" tanyanya lagi menyadari ketiga sosok lainnya yang ikut menyusul Riku di belakangnya.
"Ouh minna, kalian semua kesini?" tanya Nagi yang sama terkejutnya.
"Apa kalian membuat masalah?" tanya Mitsuki menyelidik penuh curiga.
Mengernyitkan dahinya, Yamato mendengus kesal, "Kau tidak mempercayaiku untuk menjaga mereka bukan?" tuduhnya membalik pertanyaannya.
"Aku hanya bertanya," dengus Mitsuki memalingkan wajahnya masih mencoba mengelak.
"Ahh minnaa!! Kalian semua disini?!" teriakan penuh semangat kini terdengar, saat semuanya menoleh kini terlihat subjek yang sedari tadi menjadi sorotan utama tengah berjingkrak di tempat.
"Ah tolong tetap diam di tempat," seruan tak kalah panik segera menegurnya, berusaha menjaga Tamaki agar tetap diam di tempatnya tanpa melakukan pergerakan yang tidak perlu.
"Kenapa? Aku bosan. Aku hanya menyapa teman-temanku," gerutu Tamaki mengutarakan pembelaannya.
"Onee-san, yang terpenting ia harus tenang bukan?" tanya Yamato menoleh pada polisi wanita yang sedari tadi di sampingnya, "Dan kalian tetaplah disini, jangan mendekat," imbuhnya lagi melirik membernya
"Bisakah kau jelaskan dulu apa yang terjadi?" tanya Iori merasa ada yang janggal.
"Secara singkatnya, temanmu kini tengah membawa tas berisi bom," jelas salah seorang polisi yang tengah bertugas.
Sebelum mereka bisa membuka mulutnya, Yamato sudah maju lebih dulu menghampiri Tamaki bersama Nagi yang juga membawa tas yang kebetulan sama persis dengan yang ada di gendongan Tamaki. Namun bedanya isi di dalam tas itu hanyalah koleksi komik incarannya selama ini.
"I-ini sungguhan ...?" gumam Mitsuki masih belum bisa menghilangkan rasa terkejutnya.
Melihat raut Tamaki yang berubaha total, ia tampak memucat dan berjalan menuju petugas polisi di sekitarnya, "Kurasa iya," balas Sougo setelah menilai situasi di depannya.
Tak lama suara letupan terdengar keras, beberapa detik setelahnya Nagi dan Yamato berhasil menunduk dengan tepat hingga membuat kaca etalase toko di depannya pecah begitu saja.
"Nagi, Yamato-san," seru Riku merasa cemas dengan keadaan keduanya, meski Tamaki telah diamankan tapi kedua temannya kini terjebak dalam situasi yang berbahaya.
"Yamato tetaplah disini, aku akan memancingnya," ujar Nagi memasang wajah serius melirikkan matanya tajam ke arah datangnya tembakan.
"Jangan bodoh, Aku ikut juga." Sentak Yamato tak terbantahkan, membuat Nagi akhirnya mengangguk setuju.
"Dari arah barat daya, kalian akan segera menangkapnya bukan?" tanya Iori tegas menatap petugas polisi di dekatnya, setelah ia menyadari arah datangnya laser merah membongkar posisi sang penembak jitu.
"Tentu saja," balas Sang Polisi segera berlari kencang.
"Kita ikut menyusulnya, mereka berdua berniat menjadi umpannya," ujar Riku segera berlari setelah melihat keduanya temannya berlari menjauh.
"Tunggu, aku juga ikut!" seru Mitsuki segera mengejar langkahnya.
"Kenapa kalian juga gegabah," gerutu Iori menghela nafasnya mau tak mau ikut menyusul keduanya setelah memastikan ada petugas yang mengikutnya.
"Beraninya dia," gumam Sougo tersenyum miring, tangannya mengepal erat tampak menahan emosi yang butuh untuk segera di lampiaskan. "Siapa pun yang mengusik temanku tidak akan lepas begitu saja," gumamnya lirih penuh ancaman membuat Iori yang tak sengaja mendengarnya ikut bergidik ngeri, mengirimkan doa pada Sang Penjahat secara diam-diam agar tidak menemui neraka di dunia ini.
Di persimpangan jalan, tembakan dari senapan laras pendek kembali meletup. Petugas polisi yang mengikutinya terlambar menghindar hingga menggores lengannya. "Sial," gerutunya mendecih kesal melihat kedua warga sipil yang menawarkan dirinya sebagai umpan berlari menjauh.
Mitsuki yang khawatir dengan temannya terus berlari diikuti Sougo setelah mengirimkan pesan tersirat agar Iori dan Riku tetap di tempat menunggu bala bantuan datang. Dengan tenang, Riku memperhatikan lengan Si Petugas yang mengeluarkan darah, "Beruntung tidak terlalu dalam," gumamnya segera membalutnya dengan sapu tangan yang ia bawa.
"Tanpa di duga kau cukup tenang menangani lukanya," ujar Iori terperangah.
"Ini tidak ada apa-apanya," gumam Riku tersenyum kecil.
Kembali ke pusat kejadian, Sang Teroris berhasil mengejar langkahnya menghadang Nagi dan Yamato di penghukjung jalan. Dengan bakat aktingnya yang terpendam, Yamato bertindak seolah panik saat menjadi sandera, "Tolong lepaskan aku," Yamato berteriak penuh permohonan dengan air mata yang siap meluncur.
Di depannya, Nagi tampak bersiap tetap menjaga agar temannya tetap aman. "Diamlah kau," seru Sang Teroris terdengar kejam, mengarahkan ujung senapanya tepat di pelipis Yamato.
"Sekarang berikan tasnya, atau temanmu akan mati disini?" ujarnya lagi menyeringai puas, mengalihkan perhatiannya pada Nagi yang masih menggendong tas serupa dengan tas yang berisi bom.
Merasa ada kesempatan, Yamato segera menyikut tajam orang di belakangnya hingga membuatnya menunduk kesakitan. Sang Teroris reflek melepaskan senjata di genggamannya hingga terlepas.
"Yamato pistolnya," seru Nagi mengingatkan, membuat Yamato cepat-cepat menendang jauh pistolnya.
Sang Teroris yang mulai kehilangan kesabarannya kini mengalihkan emosinya dan berniat melawan Nagi, "Sialan kau." Serunya jengkel, Nagi yang telah bersiap dengan tas beratnya hanya menunggu waktu yang tepat sebelum mengeluarkan serangannya.
Secara lambat tas digendongannya sudah mengudara berniat meluncur, sebelum dua tendangan mau menghantam Sang Teroris dari kedua sisi, "Beraninya kau!" sentak keduanya melampiaskan kekesalannya.
Seolah membatu, Nagi dan Yamato hanya bisa memucat pasi di tempatnya. Memperhatikan nasib Sang Teroris yang seharusnya kejam tengah dihabisi tanpa ampun oleh kedua membernya.
"Kau menghambat, kami perlu berangkat cepat untuk menonton konser." Sentak Sougo yang sudah lepas kendali.
"Ouh jadi itu yang membuatmu marah," gumam Nagi terkejut.
"Karena melihatnya hampir mati aku bahkan tidak bisa memarahinya sekarang." Sentak Mitsuki jengkel sambil menunjuk Yamato di kejauhan.
"Kau masih ingin menyalahkanku?" ujar Yamato tak percaya.
Beruntung adegan kekerasan itu segera dihentikan berkat bala bantuan yang dibawa Riku dan Iori, "Syukurlah kalian aman," ujar keduanya lega.
"Iie iie, bersyukurlah karena keduanya tidak jadi membunuh seseorang,"sela Yamato melirik Mitsuki dan Sougo.
"Heii kami hanya ingin menyelamatkan kalian," sentak Mitsuki tak terima.
Tak menanggapinya serius, mereka tertawa renyah. Bagaimana pun mereka berhasil melalui situasi ini dengan selamat, itulah yang mereka syukuri saat ini. "Jadi ini sungguhan terjadi ya," gumam Riku masih tak bisa menghilangkan keterkejutannya.
"Kupikir kita tinggal di negara yang aman selama ini," Iori menimpalinya dengan keterkejutan yang sama.
"Yahh seumur hidup Onii-san juga tidak pernah terbayangkan untuk berada di situasi seperti tadi," ujar Yamato.
"Sepertinya kita melupakan sesuatu," gumam Sougo tampak berpikir.
Untuk sesaat semuanya terdiam sejenak, "Ah Tama/Tamaki." Sentak semuanya tersadar.
"Anak itu pasti sedang kebosanan sekarang," dengus Mitsuki tertawa kecil teringat rengekannya tadi.
"Iie iie, ia sedang ketakutan sekarang," bantah Yamato menggeleng lemah, "ia masih anak-anak kalau kau lupa," imbuhnya lagi memberikan pencerahan.
"Yah meski ia seharusnya tidak disebut anak-anak, tapi wajar jika ia ketakukan." Iori menimpalinya dengan tenang.
---
"Ahh kita akhirnya sampai," ujar Mitsuki mengatur nafasnya yang terengah-engah setelah berlarian.
"Tepat waktu," gumam Riku meneguk ludahnya sejenak melihat gedung besar di depannya.
Waktu yang mendekati dimulainya konser membuat antrian sudah hampir habis, dan hanya tersisa beberapa penonton yang baru tiba, termasuk mereka.
"Kalian darimana saja," seru Tsumugi menyilangkan tangannya di depan dada menahan emosi.
"Kami habis menyelamatkan dunia," seru Nagi dengan bangganya.
"Aku berhasil bertahan hidup," imbuh Tamaki tak kalah bangga.
Dengan tatapan tak percaya, Tsumugi terdiam sejenak, "Baik aku mengerti jika kalian ada urusan, kalian tidak perlu membuat alasan tak masuk akal lagi," ujar Tsumugi mengalah dengan cepat.
"Yahh, ku yakin kau tidak akan percaya," ujar Yamato menggaruk pelan belakang kepalanya.
"Apapun itu cepatlah masuk sebelum terlambat," Mitsuki menimpalinya dengan cepat, membiarkan cerita kepahlawanan mereka berlalu begitu saja. Yah bagaimana pun tujuan mereka adalah mengunjungi konser bukan? Melakukan misi penyelamatan bom biarlah menjadi pengalaman untuk mengisi waktu luang sebelum mengunjungi konser. Dengan pemikiran seperti itu ia mengangguk puas.
"Heii kau harus percaya manajer!" tidak mendapati kepercayaan dari manajernya membuat harga diri Tamaki sedikit terluka.
"Ha'i ha'i aku percaya Tamaki-san," balas Tsumugi tenang tak ingin perdebatan berlarut-larut makin panjang.
Selama 3 jam lamanya konser Trigger berlangsung spektakuler, mereka tak bisa mengalihkan pandangannya dari panggung. Mendapati pemandangan di depannya, mereka tersadar apa itu dunia professional, dan kemilau cahaya bintang di depannya.
"Aku ingin seperti itu," gumam Riku tanpa sadar.
"Ya kita akan membawakan lagu kita sendiri nanti," Iori menimpalinya sambil tersenyum lembut.
"Dengan penggemar kita sendiri, seseorang yang akan memperhatikan kita," gumam Mitsuki menahan degub jantungnya yang berdetak keras.
"Kalian akan menunjukkan cahaya milik kalian sendiri, cahaya yang tak kalah indah dan bersinar terang," mendengar perkataan Idolnya yang penuh tekad Tsumugi menimpalinya dengan tenang ia hanya menyampaikan apa yang ia harapkan dari mereka.
Nagi tak bisa menahan cengirannya, dengan berkedip genit ia berujar penuh semangat "Ouh aku akan membuatmu silau manajer, persiapkan dirimu."
"Dan kau harus meneriakkan namaku nanti manajer," imbuh Tamaki membanggakan dirinya.
"Ahahaha kita kembali bersemangat dengan ini ya, kurasa rencamu berhasil manajer," Yamato dengan tenang melirik manajer di sampingnya.
"Ah Aku tidak merencakan apapun," gumam Tsumugi lirih.
"Kau tidak pandai berbohong, menyerahlah."
.
.
.
"Hah ini melegakan," gumamnya setelah keluar dari pintu toilet. Ia berhenti sejenak untuk memeriksa pesan dari teman-temannya dimana mereka menunggunya.
Kepalanya yang masih menunduk menatap ponsel kini terangkat saat menyadari sepasang kaki yang berdiri di dekatnya. "Jadi kau datang menonton," nada yang terkesan datar keluar dari mulutnya. Rautnya juga tak kalah berbeda karena tidak menunjukkan ekspresi apapun.
Bagaimana pun pertemuan ini tidak ada yang menduga akan terjadi, mungkinkah takdir Si Kembar yang membuat segalanya jadi serba kebetulan? Hatinya masih tak siap, otaknya tiba-tiba berhenti harus memikirkan apa, dan kini lidahnya terasa kelu untuk mengeluarkan sepatah dua kata. Untuk sejenak Riku menutup matanya sebelum mengalihkan perhatian sepenuhnya pada sosok di sampingnya.
"Temanku memintaku untuk datang menonton," balas Riku tak kalah datar. Matanya kini bisa menatapnya lurus tepat di manik sewarna delima, mengingat tinggi badan mereka yang sama. Lagi lagi pertumbuhan anak kembar berperan besar untuk itu terjadi.
"Kau berbeda," gumam Tenn tak bisa menutupi keterkejutannya lagi, sejak kapan adiknya memiliki keberanian seperti ini, sejak kapan ia bisa menatapnya lurus tanpa emosi. Adiknya yang ia kenal tidak akan menunjukkan tatapan datar yang terkesan dingin seperti itu.
"5 tahun bisa merubah seseorang bukan," balas Riku terkekeh pelan, membuat Tenn makin mengernyitkan alisnya dalam.
"Seperti kau yang berubah, aku juga bisa. Kujo Tenn."
"Siapa kau?" tanya Tenn kini menatapnya tajam, ia tak lagi bisa menemukan sosok adiknya. Seolah sosok di depannya adalah eksistensi baru yang berbeda.
Tersenyum miring, Riku mendengus pelan, "Ternyata kau memang tajam huh," gumamnya.
"Siapa kau?" tanya Tenn masih konsisten tak menurunkan ketegasannya.
"... Ren."
Seketika Tenn terpaku di tempatnya, ia bisa merasakan keringat dingin meluncur di punggungnya. Tanpa bisa mengatakan apapun lagi, ia hanya bisa terdiam menatap kosong adiknya yang membalikkan punggungnya melangkah pergi.
Sekilas mimpi buruknya kembali terputar di ingatannya.
"Aku bukan Riku."
'Apa yang sebenarnya terjadi padamu Riku' hanya itu pertanyaan besar yang mendominasi di benaknya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top