5. Step Forward, Secret Talk.

Alooooo, akhirnya cerita ini bisa update lagi huhuu..

Seperti pertanyaan di lapak sebelah.

Adakah yg masih menunggu?

Please anybody say yess. Moga aja masih ada yang nunggu yak walaupun atu dua gpp dah

Maapin aku yg selalu selalu naik turun semangat ngetiknya. Padahal kalo dah ngetik seneng seneng aja sih akunya, tapi beda lagi buat mulai hehe

Rasa malas ini suka menggerogoti.

Yap pokoknya silahkan dibaca di waktu luang hehe, tinggalkan vote komen kalo berkenan juga gpp biar aku makin hwepii..

Okray hepy reading semuanyaa
-Uri

Ps. Maapin juga buat komen sebelumnya di book ini yang berakhir tidak ku blsin atu2.. Jgn kapok2 yak buat komen 😟😟
______________________________________

Ckrekk ... ckrekk ...

"Ha'i, tolong tetap seperti itu Riku-san," seru Tsumugi dari balik kamera memberi arahannya.

"Rasanya memalukan jika harus berpose sendirian seperti ini," gumam Riku tertawa canggung, "Apa ini baik-baik saja?" tanyanya lagi memastikan pose yang ia berikan cukup baik untuk di potret.

"Tentu! Ini sangat bagus Riku-san," balas Tsumugi tak kalah bersemangat. "Apakah ini cukup menakutkan?" tanya Riku saat memasang raut garang lengkap dengan kedua tangannya yang tengah memamerkan cakar hitamnya.

Graoo....

"I-itu ... sangat mengge—Menakutkan Nanase-san, kerja bagus,"ujar Iori hampir setengah bergumam, ia bahkan tak lagi memperhatikan pemotretan partnernya.

Sebelum itu, mari adegan kita tarik kembali ke beberapa minggu sebelumnya.

.

.

.

"Lagu untuk kami?!" seru Mitsuki bersemangat membuatnya hampir melompat dari kursi karena reflek.

"Ouh Lagu ku akhirnya tiba!!" imbuh Nagi tak kalah untuk ikut berteriak.

"Itu lagu kita semua Nagicchi," gerutu Tamaki memprotesnya.

Memperhatikan kedua membernya Yamato hanya bisa menghela nafasnya heran darimana asal semangat berlebih itu, "Terima kasih sudah mempercayakan kami dengan lagu ini, Manajer," ujar Sougo lebih tenang, bersikap selayaknya orang dewasa yang sopan.

Sementara ketiga member muda mereka, tampak sibuk menggigit bibirnya dengan cengiran yang tertahan karena perasaan senang yang meluap-luap. "Syukurlah kalian sangat bersemangat dengan ini," ujar Tsumugi tertawa kecil melihat masing-masing respon mereka.

"Mari kita dengarkan sama-sama lagu demonya,"

Senandung merdu mulai terdengar, nada yang terdengar riang serta bersemangat kini mengalun memenuhi ruangan rapat mereka, "Woah ...." Terperangah dengan lagunya, mereka menampilkan respon yang sama kali ini. Dengan mulut yang ternganga karena kagum juga perasaan senang yang membuncah mengingat lagu ini akan menjadi milik mereka.

"Lirik serta judulnya belum kami tentukan, mengingat ini lagu pertama kalian maka ini akan sangat penting. Maukah kalian menerima peran untuk menulis sendiri liriknya?" tanya Tsumugi tanpa menghilangkan senyum lembutnya.

"Kami ... Kami akan menulisnya sendiri?" tanya Sougo gugup mulai kehilangan rasa percaya dirinya.

Respon berkebalikan kini justru terdengar dari seseorang, "Bolehkah kami melakukan tugas sebesar itu?!" seru Riku hampir berteriak karena saking semangatnya.

"Menuliskan lirik lagu tidak semudah bayanganmu Nanase-san, jangan menyepelekannya. Jika kita gagal menyampaikan makna lagu yang sesungguhnya ingin disampaikan oleh composer, maka lagu itu akan gagal," jelas Iori memberikan pertimbangannya.

"Tapi ... bukankah kita melakukannya bersama-sama? Dua lebih baik dari satu, dan lagi kita bertujuh pasti akan jauh lebih baik bukan?" balas Riku mengepalkan kedua tangannya menatap Iori dengan alis yang bertaut menunjukkan tekadnya.

Mendengar penuturannya, semua tersadar hingga bisa membuat raut yang lebih baik, ekspresi kelegaan itulah yang mereka tunjukkan saat ini. "Sekarang sepertinya kalian bisa melakukannya dengan baik," ujar Tsumugi menatap semuanya dengan keyakinan yang sama.

"Waktu kalian satu minggu tepat sebelum konser Trigger dilanjutkan dengan pemotretan untuk membuat flyer, kalian juga bisa menentukan temanya setelah lagu selesai dibuat," imbuh Tsumugi.

"Heh?! Pemotretan?" Mitsuki tak bisa mengontrol lagi wajahnya karena terkejut.

"Flyer?" tanya Tamaki yang sepertinya ia satu-satunya yang tak mengerti apa itu flyer

"Pamflet atau selebaran Tamaki-kun, itu akan digunakan untuk mempromosikan sesuatu," jelas Sougo tenang.

Yamato yang sedari tadi mengamati kini ikut menimpali, "Promosi untuk apa manajer?"

"Live concert! Lagu ini akan menjadi lagu konser outdoor pertama kalian!"

"Woahh marveleous! Amazing desu!" seru Nagi yang kini kedua matanya tampak berbinar cerah.

"Bagaimana dengan larangan menyanyi dan menarinya?' tanya Sougo teringat akan peraturan mereka.

Dengan sumringah Tsumugi menjawabnya dengan ringan, "Tentu saja tetap berlaku, hanya seminggu lagi. Namun untuk larangan menyanyi akan menjadi pengecualian mengingat tugas kalian untuk menuliskan liriknya," jelasnya.

"Karena larangan itu dibuat agar kalian fokus dengan misi mengeratkan pertemanan tim, kurasa itu masih akan baik baik saja," imbuhnya lagi.

Menghela nafasnya lelah, Iori hanya bisa memijit pelipisnya untuk kejutan yang bertubi-tubi ini, "Kau benar-benar tidak kenal ampun untuk mengejutkan kami Manajer," gumam Iori lirih.

"Beruntung riwayat jantung Onii-san sehat selama ini," keluh Yamato mengelus dadanya lega.

Dilain sisi, si jingga tampak cemas memegang dadanya, "Kupikir aku mulai menunjukkan tanda-tanda jantungku bermasalah," gumam Mistuki pucat, "jantungku berdetak terlalu kencang bahkan terasa akan keluar," imbuhnya lagi.

"Mitsuki ... cepat tutup mulutmu, telan lagi jantungmu agar tidak keluar," seru Riku tak kalah panik, tampak jelas dengan gerakan tangannya yang mengibas-ngibaskan secara acak.

"Ambulans! Mikki jangan sampai mati!" seru Tamaki tak kalah panik.

"Ouh tenang guys, dokter yang handal sudah hadir disini. Kemarilah Mitsuki, biarkan aku memeriksamu," ujar Nagi ikut masuk kedalam peran dadakan ini.

"Ini konyol," gumam Yamato tertawa lepas, "Apa mereka berdua bodoh." Keluh Iori megernyitkan dahinya heran.

"Aku baru tahu gugup akan membuat jantungmu keluar, apa perkembangan dunia medis sudah sampai sana," gumam Sougo tampak menganalisis dengan serius.

"Sougo, tidak kau juga," keluh Mitsuki menghela nafasnya

"Eh?"

Gelak tawa kini tak bisa dibendung lagi, seolah lupa dengan rasa terkejut mereka, kini hanya tawa lepas yang terdengar di ruangan sederhana namun hangat itu, "Tim ini memang bagus," gumam Nagi tersenyum lembut menatap satu persatu wajah bahagia mereka.

"Yosha minna, karena tidak ada waktu lagi, kita harus bekerja keras!" ujar Mitsuki berdiri dari duduknya dengan satu tangannya yang mengepal dan terangkat tinggi ke atas. "Kita semua akan menyukseskan live konser pertama kita!" imbuhnya lagi dengan senyuman lebar.

"Ya!!"

---

"... Yahh, kita sangat bersemangat sebelumnya," ujar Yamato tertawa canggung melirik teman setimnya yang tengah duduk melingkar di sofa dorm mereka.

"Apa yang akan kita tulis," gumam Iori memilih untuk memainkan pena di tangannya hanya sekedar pengalih perhatian.

Tangan panjang yang telah ia lemparkan di sandarkan sofa, dengan kaki yang selonjoran dengan santai, ia menguap lebar, "Apa boleh ku tulis, Ousama pudding yang terbaik, Ousama pudding seumur hidupku?" tanyanya sambil menerawang jauh kehidupan masa depannya yang senantiasa bersanding dengan benda kenyal berbahan dasar susu dan telur itu.

"Itu mengerikan, aku tidak ingin menyanyikannya," seru Mitsuki bergidik, menggerakan tangannya buas untuk menghapus gumpalan awan imajinasi yang telah Tamaki buat.

"Lirik lagu, apa sebenarnya arti dari sebuah lirik?" tanya Riku kembali meluruskan topik.

"Itu adalah kalimat yang menggambarkan suara hati, suara yang ingin kita sampaikan," jelas Nagi tersenyum lembut, "Seseorang pernah mengajarkan sesuatu tentang ini, hati manusia sangat rumit. Terkadang banyak hal yang terpendam atau bahkan tidak kita sadari, melalui lagu kita mengkomunikasikannya pada dunia. Menyuarakan apa yang ada dalam hati kita, yang selama ini tersembunyi di dalam sana."

"Hati, apa yang ada dalam hati kita saat ini?" Sougo menimpalinya dengan pertanyaan yang ia pikirkan.

Dibalas keheningan, semuanya terlarut dalam pemikirannya masing-masing untuk beberapa waktu.

"Apa seseorang mendapatkan sesuatu?" tanya Yamato dengan kernyitan gugup.

Menetapkan pandangannya ke langit-langit, Si Aquamarine membuka suaranya kembali, "Sejauh ini masih Ousama pudding yang mengisi hati dan pikiranku." Balasnya sambil menghela nafasnya lelah.

"Kembali lagi ke titik awal ya," gumam Yamato menghela nafasnya pasrah.

"Kita akan terkena undang-undang hak cipta jika menyebutkannya, menyerahlah," tegur Iori mendengus kesal.

"Hati manusia sangat kompleks, bukankah kita seharusnya memiliki sesuatu yang penting di hati kita. Hanya saja ...," gumam Riku mengeluarkan pendapatnya.

"Itu akan menjadi sangat beragam dan berbeda-beda," imbuh Mitsuki melengkapinya.

Menyadari poin penting itu, semuanya kembali menemui titik buntu. Sebagai seseorang yang paling dewasa, dengan gelar leader yang dimilikinya, ia akhirnya membuka suara. "Yosh, tiap orang renungkan satu hal yang penting dalam hati kalian. Dan akan kita kumpulkan di pertemuan berikutnya," ujar Yamato memutuskannya.

"Lagipula ini sudah larut, kalian para pelajar sebaiknya mulai tidur sekarang," Sougo ikut menimpalinya saat menyadari waktu yang kian larut.

"Ouh Good Night guys, oyasumi," seru Nagi sambil meregangkan tubuhnya dan menguap ngantuk.

Dengan perasaan mengganjal dan tugas yang harus mereka renungkan, mereka kembali ke tempat tidur berharap dapat memimpikan satu hal penting yang selama ini ada di lubuk hatinya.

.

.

.

" ... Harusnya aku memimpikannya semalam," keluh Riku merana saat duduk di bangku kelasnya dengan lesu.

"Kau akan bermimpi jika kau tidur, perhatikan tahapannya Nanase-san," cibir Iori menyindirnya saat mendengar keluhan Riku di belakang kursinya.

Mendengus kesal, Riku memutar bola matanya ke arah jendela, dengan pipi gembilnya yang kini tertekan di salah satu lengannya yang tertekuk di atas meja, "Katakan itu pada dirimu sendiri," balas Riku meledeknya, menyadari kantung hitam yang tercetak jelas di bawah mata Iori.

"Hoam ... jangan bersuara saat kalian bertengkar, aku ingin tidur," keluh Tamaki dari belakang Riku yang sudah memasang posisi untuk tidur di atas mejanya. "Jangan tidur di kelas Yotsuba-san/Tamaki!" sentak keduanya jengkel, meski hasutan untuk mengikuti tingkahnya sangat menggoda saat merasa kelopak matanya begitu berat untuk terbuka meski untuk beberapa menit saja.

"Meski kalian calon Idol, kalian harus memperhatikan sekolah dengan baik," tegur sebuah suara dari belakang mereka bertiga membuat ketiganya kompak menegakkan tubuhnya.

"Sial, aku lupa."

"Seseorang ditugaskan menjadi pengawas kita, bahkan saat di sekolah."

"Ahhh aku ingin tidur!!"

Tak mendapati jawaban apapun, ia hanya bisa menghela nafasnya lelah, sebelah tangan yang sudah berkacak pinggang menenteng sebuah kresek putih, tangan satunya mengibaskan surai blondenya yang dikepang longgar. "Kuharap ini bisa mengatasi kantuk kalian," ujarnya sembari meletakkan masing-masing kaleng hitam dengan embun yang mulai mencair di sekelilingnya.

'Black Coffee' Ramuan ampuh ciptaan para jenius di muka bumi ini yang bisa mengatasi kantuk tanpa kita harus tidur, mendapati benda mujarab yang sudah di kenal oleh para orang dewasa sebagai sahabat karibnya di meja kerja membuat mereka menatap wajahnya cerah.

"Manajer ... kau penyelamat," ujar mereka kompak dengan tatapan seolah memuja dewi di kayangan.

Tanpa pikir panjang, ketiganya membuka penutup kaleng dan segera menelan tegukan besar. Duduk dalam barisan yang sama, seolah memiliki sel otak yang sama ketiganya mendapati satu pemikiran yang sama, menahan tegukan besar di tenggorokannya, dengan mata yang telah melotot lucu. Namun jika di perhatikan warna wajah mereka mulai memucat dan agak kebiruan.

"Pahit!" keluh ketiganya masih menjaga kekompakan, tatapan memuja dewi yang mereka berikan sirna sudah, berubah seolah menatap iblis wanita dengan tanduk yang mencuat di atas kepalanya lengkap dengan backround api yang menyala nyala.

"Jika kalian tidak ingin merasakan pahitnya kopi, maka tidurlah teratur," balas Tsumugi tenang, menarik senyumannya lebar merasa terhibur dengan raut yang mereka buat.

"Dunia orang dewasa ternyata sangat berat," gumam Riku masih menatap ngeri kaleng hitam di ujung mejanya yang seolah memiliki senyum miring meledek ke arahnya 'Dasar bocah,' begitulah kira-kira suara imajiner yang Riku dengar dari si kaleng terkutuk.

"Ugh, aku berjanji akan tidur pukul 9 kalau begitu," ujar Tamaki membulatkan tekadnya, yang tentu mereka yakini hanya ucapan kosong. Karena saat ia menyentuh gamenya, ia tak akan berhenti sebelum menyelesaikan quest game yang ia tagetkan.

"Melihat kalian seperti ini, aku yakin kalian serius dengan lagu itu. Tapi tetap ingat akan tanggung jawab kalian yang lain, karena hidup kalian tidak hanya berpusat di lagu itu saja," ujar Tsumugi lembut sebelum ia melenggang pergi kembali ke tempat duduknya.

---

"Oii ossan, 2 mangkok tempura soba!" seru Mitsuki sambil memeriksa catatannya memastikan pesanannya sudah benar. Dengan seruan tak kalah lantang, Yamato menjawabnya dari dalam dapur yang sedari tadi berkutat dengan panci rebusan dan penggorengan bersama Kakek Yamamura. Sementara Sougo tengah sibuk menghitung harga pesanan tiap pengunjung yang datang di balik meja kasir.

Hari kerja di jam makan siang, menjadi kebiasaan untuk kedai Yamamura untuk sibuk di jam-jam tersebut. Pengunjung yang terus datang silih berganti membuat para pekerja terus bergerak kesana kemari.

"Ahh, Mitsuu ... langkah itu!" seru Yamato memperhatikan langkah Mitsuki yang tampak aneh ketika keluar dari dapur bersamaan dengan nampan berisikan mangkok soba yang mengepul panas.

"Apa?" tanya Mitsuki ogah-ogahan menolehkan kepalanya, 'Yang benar saja di waktu sibuk seperti ini tidakkah ossan itu bisa melihat keadaan untuk tidak mengajaknya mengobrol,' dengusnya dalam hati.

"Mitsuki-san, kau tetap melatih langkah kakimu. Itu curang," gerutu Sougo dari tempat kasir ikut memperhatikan arah pembicaraan mereka.

Tertangkap basah oleh membernya wajahnya mulai memerah, Mitsuki berusaha mengelaknya, "Kau salah lihat mungkin," balasnya sambil menandai pesanan yang telah selesai.

"Lagipula aku tidak benar-benar menari, jadi aku tetap mengikuti aturannya," imbuhnya lagi memberi pembelaan.

"Oh benar juga," gumam Sougo mengangkat alisnya terkejut.

"Meski kita belum debut, tapi live konser ada di depan mata. Terakhir kali kita berlatih, aku masih kesulitan mengejar tempoku. Itu sebabnya ...,"

"Setidaknya saat kita terlepas dari aturan itu lagi, aku bisa memulai dari titik yang sama dengan kalian," jelasnya tersenyum kecil kembali mengingat momen saat mereka berlatih.

Menghela nafasnya kasar, Yamato mengacak rambut belakangnya, "Kau ini ... Bukan berarti aku akan melarangmu, atau bahkan melaporkannya pada manajer. Setidaknya ajak kami juga untuk diam-diam melakukannya," dengusnya sambil sesekali menarik senyum ramah serta obrolan singkat pada para pengunjung.

"Hahh?! Bukankah Sougo juga sedari tadi mendengarkan demo lagu kita," balas Mitsuki sambil menunjuk Sougo yang sedari tadi sudah memasang earphone di telinganya.

"Dasar, jadi hanya Onii-san yang bermalas-malasan disini," keluh Yamato menatap datar Sougo yang tertawa canggung berusaha mengalihkan pandangannya.

"Kau sibuk dengan asap dan minyak, sebaiknya kembalilah berkencan dengan mereka." Dengus Mitsuki meledeknya, ia segera menghampiri pengunjung yang baru tiba tak lupa mempertahankan tempo kakinya yang mungkin akan terlihat aneh bagi orang lain.

"Mau bagaimana lagi, kalian terlalu serius untuk menghadapinya. Onii-san jadi malu jika hanya biasa-biasa saja dan tertinggal di belakang.".

"Ganbatte leader!" seru Mitsuki menepuk keras pundaknya. Dilihatnya Sougo yang tersenyum lembut ikut menyemangatinya, "Mari bekerja keras, Yamato-san." .

"Haruki ... bisakah aku menyampaikan dengan baik apa yang ingin kau sampaikan," gumamnya menatap sendu gedung pertunjukkan lama yang di kelilingi danau buatan, 'Zero Arena' begitulah orang-orang menyebut tempat itu. Mengingat tempat itu menjadi tempat untuk pertunjukkan terakhir Zero sebelum menghilang.

"Sesuatu di dalam hatiku ...," gumamnya kembali tenggelam dalam pikirannya sendiri, menatap bayangannya yang bergoyang di permukaan danau.

"Mungkin dulu hanya kau Haruki, dan sekarang sepertinya mereka turut mengisi hatiku yang lama kesepian sejak dulu," imbuhnya lagi tersenyum kecil.

Mendapatkan motivasinya kembali, rautnya kembali cerah. Manik saphirrenya menatap langit yang saat itu menampakkan warna serupa, "Apa sebaiknya aku berkeliling sebentar, aku yakin mereka juga berjuangan dengan caranya sendiri."

"Gomen Cocona-chan, kurasa pertemuan kita harus ditunda dulu," gumamnya lagi menatap tiket meet and greet perkumpulan pemuja cocona. "Lagu ini menyangkut mimpi dan teman-temanku."

"Kurasa malam ini akan indah jika kita menghabiskannya bersama mereka semua," gumamnya menarik senyumannya saat melihat notifikasi berita harian melalui ponselnya, 'Penghilang Stress, Berkemah Menjadi Populer di Kalangan Masyarakat Perkotaan' kira-kira begitulah headline yang tertulis dari berita karya jurnalis lepas di internet.

.

.

.

"Uhuk ... Uhuk ...," suara batuk terdengar cukup sering di ruang kelas yang saat ini lengang, suasana sekolah yang sepi menandakan sekolah telah berakhir. Pengecualian untuk beberapa siswa petugas piket di masing-masing kelas tentunya

"Nanase-san, sebaiknya kau tunggu diluar," tegur Iori yang sedari tadi merasa ada yang janggal.

"Aku baik-baik saja, aku hanya perlu menggunakan masker," balasnya dengan tenang mengambil stok masker yang selalu ia bawa, dengan beberapa siswa yang sedang menyapu serta membersihkan papan tulis hingga jendela kelas membuat debu berterbangan di sekitarnya.

"Apa kau masih sakit Rikkun?" tanya Tamaki menghentikan sejenak fokusnya dari ventilasi jendela, mengingat tubuhnya yang tinggi ia bisa meraihnya dengan mudah.

Tertawa pelan, Riku membalasnya "Aku hanya sensitif dengan debu, tenang saja," balasnya menenangkan.

"Apa kau yakin?" tanya Iori skeptis, yang masih tidak mempercayainya begitu saja.

"Cepat selesaikan ini, dan cepat kembali. Ada hal penting yang harus kita pikirkan bukan?" ujar Riku menatap keduanya bergantian.

"Sesuatu yang ada di hati kita saat ini," gumam Iori lirih memandang ke warna senja yang mulai menghiasi kaca jendela kelasnya. "Jika mengungkapkan apa yang ada di hati kita saat ini, bukankah itu artinya kita akan melangkah ke tahap yang lebih jauh tentang hubungan ini," balas Riku tersenyum lembut.

"Jangan katakan hal-hal yang rumit, aku tidak mengerti. Aku masih di bawah umur," keluh Tamaki mulai mengomel.

"Apa kau lupa kalau kita seumuran," dengus Riku mencibirnya.

"Bahkan kau lebih tua beberapa bulan dari Nanase-san," imbuh Iori menatap Tamaki datar.

"Setelah ini apa kalian siap mengatakan apa yang selama ini ada di hati kalian? Bahkan yang selama ini kita sembunyikan?" tanya Riku tenang dengan tatapan yang terpaku pada warna senja.

"Apa kalian siap membongkar rahasia kalian selama ini?" tanyanya lagi menoleh pada keduanya yang ikut terpaku pada pemandangan di depannya.

"Aku sudah memutuskan untuk berjalan bersama kalian sejak awal," dengus Iori menatapnya lembut, 'Ah ini dia, orang yang selama ini ku cari,'

"Aku tidak pandai dengan hal-hal yang rumit, itu sebabnya aku butuh orang lain untuk terus di sampingku," balas Tamaki mendengus geli, 'Aku tidak sendirian, mereka akan berada disampingku mulai sekarang,'

"Begitu ya ... kalau begitu aku juga siap mengungkapkannya. Aku akan mempercayakan mimpiku pada kalian juga," balas Riku tersenyum lebih lebar, senyum yang memancarkan kelegaan. 'Aku memiliki teman-teman yang berharga,'

---

"Dan ada apa ini?" gumam Iori masih tercengang dengan pemandangan di depannya. Atau lebih tepatnya di halaman dorm mereka yang tampak kacau dengan berbagai bahan nylon yang tampak berantakan tercerai berai belum menampakan bentuk kokohnya.

"Apa seseorang menyusup kesini?" tanya Tamaki mulai panik.

"Ouh you're back!" surai kuning menyembul dari balik tumpukan kain nylon yang acak-acakan, jika diperhatikan lebih seksama ia tampak terbelit dan terjebak di dalamnya.

"Woah Nagi keluar dari sana! Apa ini trik sulap baru?" tanya Riku terkekeh geli melihatnya.

"Help me guys!" seru Nagi merana menatap ketiganya yang masih tercengang di tempat masing-masing.

"Aku baru melihat orang sekonyol ini berusaha mendirikan tenda sendirian, dan berakhir terjebak di dalamnya," dengus Iori mau tak mau melangkah maju ikut membantunya dengan Riku dan Tamaki yang sudah meraih masing-masing tangan Nagi untuk menariknya keluar.

"Heh apa ini?" seruan kaget kini terdengar dari belakang mereka, kembali mengulang momen keterkejutan serta penjelasan asal muasal peristiwa mengenaskan Nagi yang berakhir terjebak di dalam sana untuk waktu yang cukup lama.

"Pfft ... kenapa memberku sangat konyol akhir-akhir ini," gumam Yamato tak bisa menahan tawanya hingga perutnya yang mulai kram, "Aduh perutku," ia meringis kecil sambil menghapus air mata di sudut matanya karena lelah tertawa.

"Horaa ossan, sudah ku bilang banyak efek samping bir selain membuat perutmu buncit," tegur Mitsuki tajam.

"Jadi apa yang akan kau lakukan sebenarnya Nagi-kun?" tanya Sougo menatapnya iba.

Dengan mata yang berbinar ia tampak lebih baik setelah terbebas dari jeratan kain parasit serta tiang penyangga, "Ayo camping!! Aku ingin camping bersama kalian, lihat ini masih populer sekarang," serunya lengkap dengan ulasan berita di telepon genggamnya yang tunjukkan pada teman-temannya.

"Jadi kau ingin mengikuti tren saat ini ya," balas Yamato terkekeh pelan.

"Yess! Ayo lihat bintang juga, oh lalu api unggun dan barbeque!!" serunya lagi dengan semangat membara mulai mempengaruhi beberapa orang dengan iman lemah jika menyangkut hal-hal seperti ini.

"Kita akan ditegur tetangga jika membuat api unggun Nagi!" sentak Mitsuki memberinya jurus Mitsuki Kick andalannya yang tepat menusuk pinggang Nagi.

"Apa ramen bisa menggantikannya?" tanya Yamato yang tak tega memberikan penawaran lain saat melihat telinga imajiner Nagi yang tertunduk lesu. "Dia benar-benar tampak seperti anjing terbuang," gumam Iori berdehem pelan menyadari wajahnya memanas.

Mendengar solusi cerdas darinya, telinga imajiner itu terangkat tegak serasi dengan matanya yang berbinar cerah, "Ouh ide bagus Yamato, ayo bangun tendanya sekarang!"

"Ayo lakukan setelah mandi, ku yakin beberapa dari kita perlu membersihkan diri," ujar Sougo lembut menyadari ketiga pelajar di antara mereka juga baru pulang dari sekolahnya.

"Ayo masuk dulu, kita juga perlu memasak ramen dulu," imbuh Mitsuki membantunya berdiri, terbesit sedikit rasa bersalah melihatnya berjalan terseok-seok setelah menerima serangan pamungkasnya.

"Okay!" seru Nagi tersenyum cerah mendapati jawaban positif dari teman-temannya akan ide berkemah ini.

"Hah ini sangat hangat," gumam Riku saat menerima coklat panasnya yang masih mengepul, duduk melingkar di dalam tenda, kini mereka semua tengah menikmati langit malam bertabur bintang yang tampak lebih jelas malam itu.

Menarik senyumnya Yamato meluruskan tangannya di belakang punggungnya sebagai penyangga tubuhnya saat ini, "Ini bagus juga, ku yakin tidak hanya berkemah yang ingin kau lakukan bukan?" tanya Yamato tenang menyadari niat tersembunyi di baliknya.

"Oh aku memang ingin berkemah, dan membangun obrolan mendalam juga menjadi bagian dalam camping. Bukankah begitu?" balas Nagi melemparkan kembali pertanyaan yang sudah pasti jawabannya.

"Apa yang ada di hati kita, bukankah ini tenggat waktu untuk kita memutuskan jawabannya?" ujar Iori menimpali obrolan mereka.

"Yosh jadi akan dimulai dari siapa?" seru Mitsuki menatap sekelilingnya.

"Mari kita balik urutannya," ujar Yamato menyeringai jahil. Membuat salah seorang yang sadar posisinya menggembungkan pipinya kesal, "Mou, kau curang Yamato-san. Aku baru saja ingin mengusulkan sebaliknya," gerutu Riku menatapnya.

"Ma ma ... jangan tatap Onii-san seperti itu," balas Yamato berusaha agar tidak mengalah.

"Heh, bukankah kau sudah memutuskannya tadi? Apa kau akan mundur Nanase-san?" imbuh Iori mengompori yang tentu mendapati acungan jempol Yamato secara sembunyi-sembunyi.

"Apa?! Tentu saja tidak!" seru Riku cepat.

"Ahaha kau menggunakan trik yang cerdik Iori-kun," ujar Sougo tertawa renyah.

Menarik nafasnya dalam, Riku mengalihkan pandangannya ke atas pada hamburan bintang di angkasa sekedar untuk menghindari tatapan teman-temannya yang saat ini membuatnya makin gugup, "Yang ada di hatiku saat ini ya ... jika hanya satu hal yang bisa ku pilih maka jawabannya mungkin adalah ini," ujarnya tersenyum lembut memulai pembicaraan.

"Panggung, aku hanya ingin berada di panggung." Imbuhnya menatap sekelilingnya yang tengah memperhatikan dengan seksama

"Aku ingin melihat pemandangan dari atas sana,"

"... Apa yang kau lihat dari posisi itu?"

"Apa yang kau dapat dari sana?"

"Apa yang kau rasakan saat bernyanyi disana?"

"... Apa yang kau dapatkan hingga kau rela mengorbankan apapun?" suasana terasa agak berat saat tiba di penghujung pertanyaan yang Riku utarakan sedari tadi.

"Sebelum kita menghadiri konser Trigger ada sesuatu yang ingin ku bicarakan," ujar Riku lagi sontak membuat semuanya memasang wajah penasaran.

"Apa ini sesuatu yang kau sembunyikan?" tanya Iori yang tengah mengamatinya sejak lama.

Mengangguk pelan, Riku mengusap lembut gelang merah yang sudah terpasang di tangan kanannya sejak dulu membuat semuanya ikut menggerakkan manik mereka mengikuti arah pandang Riku, "Keluargaku terdiri dari 4 orang anggota keluarga pada awalnya," jelas Riku

"Pada awalnya?" tanya Sougo mengernyit pada penggunaan kalimat yang Riku ucapkan.

"Ya, aku adalah si bungsu meski hanya selisih beberapa menit. Tetap saja, aku mendapati posisi adik karena itu,"

"Kau punya kembaran?" tanya Mitsuki terpekik kaget saat menyadari kemana arah pembicaraan ini.

"Kembar fraternal, kami tidak identik jadi wajar orang tidak akan menyadarinya. 5 tahun lalu, usaha keluargaku di ambang kebangkrutan. Perekonomian kami sulit kala itu, desakan seseorang juga turut memojokkan kami. Hingga akhirnya orang itu memberikan penawarannya," jelas Riku mengepalkan tangannya erat, ia mengetatkan rahangnya sejenak menahan emosi yang membuncah.

"Orang itu menginginkan kakakku sebagai jalan keluar untuk masalah kami," seolah mendapati jawaban yang sudah mereka duga, semuanya menyadari emosi Riku yang tengah berkecamuk.

"Kami menikmati musik sejak kecil, dan sesekali melakukan pertunjukkan di klub hiburan keluarga kami. Dan orang itu mengatakan bahwa kakakku adalah jenius abad ini, sosok yang terlahir dengan bakat besar yang hanya muncul sekali di waktu tertentu."

"Menjadi idol adalah mimpinya, dan jika nama Nanase menghalanginya, maka ia rela melepasnya untuk itu. Itu adalah perkataannya sebelum ia pergi." Kesedihan yang terpancar jelas di manik krimsonnya membuat tatapan mereka ikut menyendu

"Kini ia menjadi idol besar, bintang yang lebih bersinar." Imbuh Riku tersenyum kecut, membuat mereka ikut bertanya-tanya siapa idol yang ia maksud.

"Center Trigger, adalah kakakku. Ia sekarang dikenal dengan Kujo Tenn." Jawaban yang mereka tunggu membuatnya makin terkejut.

"Itu sebabnya kau ...," gumam Iori mengingat pertemuan mereka dengan Trigger.

"Rikkun," ujar Tamaki lirih, bohong jika ia tak terpengaruh dengan yang Riku alami.

"Aku ingin mengetahui apa yang membuatnya rela meninggalkan keluarga untuk posisi itu, aku ingin mengetahui apa yang Ten-nii lihat selama ini. Aku ingin meraihnya, tangan yang saat itu gagal aku raih, aku ingin menggenggamnya kali ini. Itulah mimpiku, itulah tujuanku, itulah ada yang ada di hatiku selama ini," pungkasnya menatap sekelilingnya dengan air mata yang tanpa sadar mengalir di pipinya.

"Aku, akan mewujudkannya. Akan kupastikan kau mencapai tujuanmu," balas Iori yang telah membulatkan tekadnya juga.

"Apa boleh jika aku mengacak urutannya sekarang?" tanya Iori memastikan

"Kehh anak muda memang suka seenaknya," dengus Yamato yang sebenarnya tidak keberatan sama sekali.

"Kau makin terdengar seperti pak tua yang sudah sangat berumur," ketus Mitsuki mengernyitkan dahinya., "Ouh kau selalu membalasnya dengan tajam Mitsuki," ujar Nagi memperagakan hati Yamato yang tengah tersakiti.

"Aku tidak butuh belas kasihanmu Nagi," ketus Yamato sadar betul maksud Nagi yang berniat meledeknya.

"Berhenti menyela pembicaraan. Silahkan lanjutkan Iori-kun, aku tidak keberatan," ujar Sougo mengubah nadanya lebih lembut saat menatap Iori.

"Sougo selalu punya sweet spotnya pada member muda huh," gumam Mitsuki lirih tak ingin kena amukan Sougo lebih jauh lagi.

Mengangguk pelan, Iori sama sekali tak terpengaruh dengan keributan sebelumnya. "Hidup sebagai siswa sempurna selama ini sangat membosankan, aku tidak bermaksud untuk sombong atau apapun. Hanya saja, aku mencari seseorang untuk ku dukung," ujarnya tersenyum tipis.

Mitsuki yang mengerti peristiwa di baliknya hanya tersenyum kecil menanggapi perkataan adiknya, "Kau lemah, kau ceroboh, dan kau memiliki sesuatu yang menarik perhatianku. Saat kau memulai obrolan di kelas tadi, aku sudah memutuskannya sejak saat itu."

"Apa kau harus menyebutnya seperti itu? Entah kenapa aku sebal jadinya," gerutu Riku lirih, membuat Sougo yang menyadarinya menepuk pelan punggungnya hanya untuk menenangkan tingkahnya yang menggemaskan.

Tanpa terpengaruh dengan gerutuan temannya, Iori melanjutkan perkataannya, "Ah ini dia orang yang ku cari selama ini, ini dia orang yang ingin ku dukung. Tentu saja aku tidak akan mengabaikan member lainnya, karena kita sudah menetapkannya tekad sebagai bertujuh. Namun Nanase-san membuatku menyadarinya, bahwa ikatan ini akan berjalan ke tahap lebih jauh. Aku ingin berguna untuk orang lain, aku ingin memanfaatkan apa yang selama ini kumiliki untuk mendukung mereka. Aku ingin mendorong bakat seseorang dan membantu mewujudkan mimpinya."

"Ini adalah hasratku yang terpendam selama ini," pungkasnya Iori merasakan hatinya lebih ringan.

"Kau keren Iorin," ujar Tamaki mengacungkan jempolnya bangga.

"Aku percayakan mimpiku padamu Iori," balas Riku tersenyum lembut, membuat Iori mau tak mau ikut menarik kedua sudut bibirnya menjauh.

Tak bisa menahan tawanya si surai jingga memegang perutnya, "Sasuga otouto!" serunya kagum, "Jika Iori sudah membuka dirinya, kurasa seharusnya giliran ku untuk meneruskannya. Karena bagaimana pun, itu akan berkaitan," jelasnya melemparkan kesepatkan tersembunyi melalui tatapan matanya pada Iori.

Setelah mendapati anggukan positif, Mitsuki membuka suaranya untuk melanjutkan ceritanya, "Zero adalah Idolaku, dari situ aku mulai tergerak untuk menjadi idol," ujarnya membuka pembicaraan.

"Berkali kali aku mengikuti audisi idol, dan berkali-kali pula aku pulang dengan kegagalan."

"Aku pendek, suaraku juga tidak begitu bagus, dan aku tidak terlalu pandai menari."

"Adikku yang jenius tentu tidak akan tinggal diam karenanya ...."

"Ia menawarkan perencanaan ideal untuk jalan mulusku sebagai idol, maaf atas penolakanku yang terdengar kejam saat itu."

"Hanya saja, aku ingin menjadi idol dengan diriku apa adanya, tanpa membuat citra semu untuk kebutuhan kamera dan tren penggemar. Aku ingin menampilkan diriku apa adanya, dan berdiri sebagai idol. Itulah mimpiku selama ini," jelasnya menutup pembicaraan

"Dan mungkin itu yang mendorongmu untuk mencari orang lain Iori," imbuhnya lagi melirik Iori.

"Aku belum menyerah untuk mendukungmu Nii-san," dengus Iori tersenyum lembut, "Dari dulu hingga sekarang, aku masih ingin mendukung seseorang dengan kemampuanku," jelasnya.

"Oh tentu saja dengan cara yang lebih baik," imbuhnya lagi tertawa pelan.

"Ahhh minna ini gawat!!" seru Tamaki berteriak panik.

"Ada apa Tamaki?"

"Ramenkuuuu! Ini mengembang!!" serunya lagi mengangkat mangkoknya dengan wajah merana.

"Hanya itu?" tanya Iori memastikan.

"Apanya yang hanya itu?! Ini ramen yang kita bicarakan!!" sentak Tamaki kesal.

"Ahh entah sejak kapan pembicaraan serius kita beralih ke ramen," ujar Yamato tertawa hambar.

"Ouh Tamaki punyaku juga sama," balas Nagi menatap sendu ramennya.

"Yoshh ikou minna, kita harus memakannya dengan cepat," seru Riku mengaba-aba.

"Jangan sampai tersedak minna," tegur Sougo dengan tenang ikut masuk dalam keributan yang ada.

"Satu ... duaa ...," ujar Mitsuki mulai mengangkat sumpitnya memberi komando

"Dan sekarang menjadi lomba makan ramen dengan cepat," ujar Iori sweatdrop

"Heii tunggu, kita bahkan belum mencapai hitungan ketiga!" seru Yamato mengingatkan saat melihat Tamaki dan Nagi yang sudah menyeruput mie nya dengan penuh semangat.

"Oii kalian curang," seru Riku tak mau kalah.

"Apa aku perlu melanjutkan hitungan ketiga?" tanya Mitsuki terkekeh pelan.

"Lakukan sesukamu, Onii-san akan menyelematkan ramenku sebelum makin menggembung," gerutu Yamato kini fokus pada mangkoknya.

"Dan sekarang menjadi misi penyelamatan ramen," keluh Iori yang batinnya ikut panik menyeruput ramennya sebelum makin melar.

"Ahahha entah kenapa meski mengembang, ramennya terasa makin enak." Ujar Riku tertawa riang.

"Jangan berbicara sambil makan Nanase-san," tegur Iori.

"Ouh Iori, kau juga bicara," Nagi menimpali dengan polosnya.

"Ada baiknya kau mulai belajar, kapan harus berpura-pura tidak tahu," gumam Sougo menyadari Iori yang tengah melirik Nagi tajam.

"Malam ini terasa lebih hangat dari biasanya, meski kita sedang di luar ...."


To be continued ...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top