4. Me, Myself, and I
"Syukurlah kalian baik-baik saja." Sang pemilik surai merah muda itu menghela nafasnya lega setelah kedatangan ketiga orang lainnya yang sedari tadi ia cari-cari keberadaannya.
"Kenapa lama sekali," keluh Tenn melemparkan tatapan tajamnya.
Menarik nafasnya sesaat, Anesagi selaku manajer dari Trigger turut merasa bersalah atas keteledorannya."Mobil agensi di cegat oleh fans, kami terpaksa mencari rute lain yang ternyata memerlukan waktu lebih lama untuk tiba," jelasnya tak menyembunyikan penyesalannya.
"Sudahlah Tenn, Ane-san pasti sudah berusaha yang terbaik," ujar Ryuu menepuk pelan pundaknya, berniat meredakan emosinya.
Saat suasana yang mulai terasa lebih ringan berkat Ryuu, Anesagi mulai melajukan mobilnya menuju tujuan semula mereka. "Ini semua dampak dari popularitas kalian yang melonjak, makin bersinar seorang Idol, maka semakin banyak pasang mata yang menyorotinya. Berbahagialah," ujar Anesagi tenang tanpa menurunkan fokusnya terhadap jalanan di depan.
"Itu artinya kita makin terkekang," dengus Gaku mencibir.
"Jika tidak siap menjadi seorang professional maka mundurlah sekarang Gaku," ketus Tenn tajam tak berniat melembutkan perkataannya.
Mendengar penuturan tajam darinya sontak Gaku memicingkan matanya geram, "Hahh?! Ada apa denganmu sebenarnya," sentaknya mengetatkan giginya geram.
"Jika moodmu sedang buruk jangan seret kami semua dengan emosimu yang meledak-ledak." Sentaknya lagi memalingkan wajahnya kesal menatap pemandangan melalui jendela di sampingnya yang saat ini jauh lebih menarik dari apa pun.
"Tau apa kau," dengus Tenn setengah menggerutu.
"Apa kau baik-baik saja Tenn?" tanya Ryuu khawatir membuat Tenn menolehkan kepala padanya, "Ah itu ... maksudku kau tampak marah sejak saat itu," imbuh Ryuu mencicit lirih.
Gaku yang mendengar topik menarik, teringat akan sesuatu yang mengganggunya sedari tadi, "Siapa anak-anak itu?" tanya Gaku
"Iie ... lebih tepatnya siapa Si rambut merah yang kau ajak bicara tadi?" ralatnya cepat.
Tak berniat membahasnya Tenn hanya mengalihkan kepalanya acuh tanpa buka suara, "Ada apa sebenarnya?" tanya Anesagi dari balik kemudi, mulai merasa penasaran.
"Kami bertemu tiga siswa SMA yang secara tak sengaja ikut terseret dengan keributan tadi," jelas Ryuu menggaruk belakang kepalanya secara reflek.
"Apa mereka menuntut sesuatu?" tanya Anesagi lagi tampak cemas
"Mereka segera pergi tanpa mengatakan apa pun," jelas Gaku.
"Tapi sepertinya, bocah landak satu ini mengenal salah satu dari mereka," imbuh Gaku lagi membuat Tenn menyipitkan matanya, "Otak kecilmu memang tak bisa melihat sesuatu dengan baik huh, aku masih tidak mengerti kau menyimpulkannya darimana," cibir Tenn
"Sebenarnya aku juga berpikiran sama dengan Gaku," sela Ryunosuke mencicit lirih.
"Apa itu benar Tenn?" tanya Anesagi mulai curiga.
"Tidak. Aku tidak mengenalnya." Elak Tenn cepat segera membungkam semuanya.
.
.
.
"Ossan ... apa kau sudah mendapat obatnya?!" teriak Mitsuki kencang dari kejauhan saat mendengar suara pintu dorm yang terbuka
"Aku segera datang, tidak perlu berteriak keras," gerutunya di akhir, meski nadanya terkesan malas, namun langkahnya cukup gesit yang berbanding terbalik dengan image malasnya selama ini.
"Apa Rikkun baik-baik saja?" tanya Tamaki menatap temannya yang kini terbaring di ranjang kamar bernuansa merah
"Perlukah kita menelepon dokter?" tanya Iori lirih
Kedua sosok yang lebih dewasa menggeleng lemah tampak tak menyetujuinya, "Riku-kun jelas-jelas menentang ide itu," jelas Sougo melirik tangannya yang masih di cengkram erat oleh Riku sedari tadi.
"Ouh kau akhirnya sampai Yamato," ujar Nagi memasang raut lega saat melihat pintu yang terbuka menampakkan Yamato yang cukup kacau dengan keringat yang membanjiri pelipisnya karena berlarian.
"Nagi bantu aku meluruskan punggung Riku," ujar Mitsuki cepat, bersiap membantu membernya untuk menelan obat
"Nafasnya masih memburu," gumam Iori mengamatinya.
"Tapi perlahan telah membaik," sela Sougo tersenyum tipis.
Semuanya kompak menghela nafas lega saat mengetahuinya, "Sebaiknya kita bergantian untuk menemaninya," ujar Mitsuki menatap sekelilingnya.
"Aku bisa menjaganya lebih dulu," ujar Iori mengajukan dirinya, "Aku akan menemanimu kalau begitu," ujar Mitsuki menyetujuinya.
"Onii-san dan Sougo akan berjaga setelah itu, dan untuk Nagi Tama kalian berikutnya,"
"Osu/Roger," seru keduanya kompak memasang gesture yang sama dengan mengangkat tangan di pelipisnya.
"Mohon bantuannya Yamato-san," ujar Sougo tenang, membuat Yamato mendengu kecil terhadap perbedaan yang cukup besar atas sikap setiap membernya.
---
Panas ... dan kenapa semuanya gelap dan sunyi
Aku tidak tau ada dimana sekarang
"Riku/Nanase-san!" seru keduanya saat melihat pergerakan kelopak mata di depannya.
Mengernyitkan dahinya, pandangannya masih kabur saat melihat langit-langit kamarnya yang kini dalam kondisi gelap.
"Syukurlah kau sudah sadar ... apa kau perlu sesuatu?" tanya Mitsuki menunjukkan kekhawatirannya.
Seruan cemas disampingnya membuat Riku menoleh panik ke sampingnya, di dalam cahaya ruangan yang cukup remang Izumi bersaudara tidak bisa melihat tatapan horror yang tertuju padanya.
"Apa kau baik-baik saja Nanase-san?" tanya Iori ikut cemas tak kunjung mendapati jawaban.
Riku yang masih tidak mengeluarkan sepatah kata pun hanya mengangguk kaku untuk meresponnya, diam-diam tubuhnya bergeser pelan mendekati dinding kamarnya membuat jarak aman baginya yang tak luput dari perhatian Iori.
"Riku, kau perlu makan. Seharian ini kau pingsan dan belum memakan apapun," ujar Mitsuki seramah mungkin sambil menyodorkan nampan berisikan mangkuk bubur yang masih mengepulkan uap panasnya.
Raut cemas kedua temannya tak mampu Riku lihat dengan jelas, dengan bantuan cahaya rembulan raut keduanya tampak gelap dimatanya dan tampak samar. Masih tak yakin dengan keadaan di sekitarnya, Riku menerima nampan dengan gamang.
Sebelum tangannya menyuapkan sesendok bubur pada mulutnya, ia mengangkat kembali wajahnya untuk melihat Izumi bersaudara.
"Makanlah Nanase-san ...." ujar Iori memberi persetujuannya merasa itu yang dibutuhkan partnernya barusan.
Mengangguk pelan, Riku menelannya cepat membuatnya terbatuk karena terkejut dengan suhu panasnya, "Berhati-hatilah Riku, tak perlu buru-buru," ujar Mitsuki berniat mengusap punggung membernya yang lebih muda untuk menenangkannya
Saat ia melihat punggung sempit di depannya bergetar pelan, Mitsuki mengurungkan niatnya dan manarik tangannya segera, "Habiskan sebisamu oke, jangan paksakan dirimu," ujar Mitsuki tampak setelah bertukar pikiran secara tersirat pada adiknya.
Keheningan terus terjadi hingga Riku menyelesaikan makanannya, meski tampak jelas ia memaksakan diri namun Riku tetap berhasil menghabiskan semua makannya diiringi bulir bening yang selalu tertahan di pelupuk matanya, "Beristirahatlah kembali, dan katakan pada kami jika perlu sesuatu," ujar Iori berusaha menekan rasa penasarannya sekeras mungkin.
.
.
.
Dentum musik yang menggema di ruang kedap suara terhenti sejenak saat memasuki waktu istirahat, suara nafas terengah-engah yang saling bersahutan kini memenuhi ruangan dengan dinding kaca di sekelilingnya.
Surai berbagai warna tampak lepek karena dibanjiri keringat. Dering ponsel yang terdengar lirih cukup mengalihkan perhatian semuanya, layar pipihnya bersinar terang menunjukkan pop up notifikasi kecil menarik rasa ingin tahu dari ketiga orang lainnya. Sementara sang pemilik ponsel hanya melihatnya sekilas begitu menyadari notifikasi atas pembaruan game yang baru-baru ini ia mainkan.
"Kau masih memainkannya Isumi-san?" tanya pemuda dengan perawakan paling anggun diantara mereka semua.
"Yahh itu cukup bagus saat aku sedang bosan Minami," balas Sang Pemilik Ponsel, atau yang dikenal dengan Isumi Haruka.
"Bukankah kau selalu memainkannya kapan pun kau bisa," dengus surai merah gelap tampak tak percaya.
"Itu tandanya aku sedang bosan saat itu Touma," ketus Haruka kesal.
Berbeda dengan kedua orang lainnya, seseorang lainnya masih menelisik pada layar yang menyala hingga benar-benar mati lagi, "Foto siapa itu?" tanya pemuda paling kekar diantara mereka tampak penasaran dengan foto yang dipasang sebagai layar kunci membernya
"Ah dia ...," gumam Haruka tersenyum tipis teringat akan memorinya bersama orang itu.
"Siapa dia?" tanya Touma ikut larut dalam rasa penasarannya.
"Itu temanku Torao, kenapa kau menanyakannya?" tanya Haruka lagi
"Hanya penasaran, dia tampak manis," balas Torao acuh, "Mana perlihatkan padaku," seru Touma menyerobot langsung ponsel Haruka lepas kendali karena rasa penasarannya yang semakin kuat
"Dia orang yang penting bagimu ya Isumi-san," ujar Minami tenang menyadari raut tulus dari membernya yang terpancar jelas dari foto itu.
"Siapa namanya?" tanya Touma lagi
Menarik senyum lebih lebar, Haruka menjawabnya dengan tenang, "Hanae."
"Dia menjadi satu-satunya bunga yang mekar di musim semiku yang suram."
Mendapati jawaban yang terasa dalam, ketiganya tertegun menangkap makna yang tersirat.
---
Saat siang hari sebagian besar waktunya Riku habiskan untuk tidur, hanya sesekali Riku terjaga untuk makan dan meminum obatnya dengan tenang tanpa sepatah kata apa pun. Matahari kini berganti malam. Yamato dan Sougo kini berjaga bersama untuk menemani member bungsu mereka.
Suara gesekan kertas yang bergulir menemani keduanya dalam keheningan, meski fokus mereka terbagi mereka masih tak melupakan tugasnya, "Oh ..." gumam Yamato lirih menyadari pergerakan kecil dari membernya.
"Apa kau perlu sesuatu?" tanyanya lagi, sementara Sougo bergerak gesit membantu member mudanya untuk duduk bersandar di kepala ranjang.
Saat mendapati posisi yang nyaman, Riku menolehkan kepalanya dengan pelan yang tampak anggun dimata keduanya, "Arigatou Yamato-san, Sougo-san," balas Riku tersenyum manis menatap keduanya.
Seolah tersihir keduanya masih termenung di tempatnya, "Maaf karena merepotkan kalian hingga larut," ujar Riku lagi tampak menyesal membuat keduanya menggeleng pelan untuk mengembalikan kesadarannya.
"Apa kau ingin sesuatu Riku-kun?" tanya Sougo lembut.
Megulas senyum tipisnya, Riku menjawabnya dengan sama lembutnya memberikan aura yang berbeda, "Jika tidak keberatan, aku ingin chamomile tea hangat,"
"Onii-san hampir mengira kau ingin susu hangat dengan madu seperti biasanya Riku," ujar Yamato terkekeh geli, "apa demammu bertambah tinggi," imbuhnya lagi menempatkan punggung tangannya di dahi Riku hanya untuk memastikan
"Aku baik-baik saja Yamato-san, terima kasih atas perhatianmu," balas Riku lembut yang lagi-lagi berhasil membungkam Yamato untuk diam kembali di tempat
Selang beberapa waktu, Sougo tiba dengan cangkir kaca yang masih mengepulkan uap panasnya,"Harum bunga selalu menenangkanku," gumam Riku lirih setelah mengucapkan terima kasih atas minumannya.
Larut sejenak dalam pemikirannya, Riku mengalihkan pandangannya pada kaca jendelanya yang sebagian tidak tertutupi kelambu, matanya sedikit menyipit sendu mendapati ranting pohon sakura yang tampak polos
"Apa sesuatu menganggumu Riku?' tanya Yamato penasaran
Menggeleng lemah, Riku menjawabnya, "Tidak ada," jelasnya singkat.
---
Malam berikutnya tiba, demam yang dialami Riku masih tak kunjung mereda. Kini tiba giliran Tamaki dan juga Nagi yang menemani Riku di ruangannya. Menyadari telah tiba waktunya bagi Riku untuk minum obatnya, keduanya saling melemparkan kode tersembunyi untuk memutuskan siapa yang akan membangunkan Riku.
Merasa kalah pada adu tatap, Tamaki menghela nafasnya karena gagal menahan kedipannya. "Aku selalu buruk pada game ini," keluh Tamaki.
Diskusi tersirat diantara mereka entah sejak kapan telah berganti menjadi kontes adu tatap untuk menentukan siapa yang akan membangunkan Riku. "Rikkun ..., bangunlah. Kau harus minum obatmu," ujar Tamaki setengah merengek, menusuk-nusuk kecil lengan atas Riku.
Merasa tidurnya terusik, Riku membuka matanya cepat. Melemparkan tatapan tajam secara reflek pada pelaku yang kini duduk di sampingnya. "Woah jangan marah Rikkun, salahkan Nagicchi. Dia yang menyuruhku," ujar Tamaki membela dirinya dengan cepat saat radar bahanya berdenting cukup keras.
Tanpa membalas perkataannya, Riku mengalihkan tatapannya pada sosok lain yang kini tampak lebih maju karena Tamaki yang telah memundurkan tubuhnya secara naluri.
"Ah ternyata kalian," gumam Riku lirih seolah tersadar dari lamunannya.
"Maaf karena membangunkanmu tiba-tiba, Riku," ujar Nagi lembut, "Kami membawakanmu obat kali ini," imbuh Tamaki riang mulai menjalankan tugasnya.
Mendengar kata obat, Riku meliriknya tajam menahan dengusan kesal. "Aku tidak mau," ujarnya cepat. Mendapati penolakan tegas darinya, sontak keduanya memasang raut sedih, "Oh Riku, kau harus meminumnya," ujar Nagi mulai membujuknya.
"Itu benar! Yama-san dan Mikki akan membunuh kami jika gagal membuatmu minum obat," imbuh Tamaki mengangguk antusias sekaligus bersemangat untuk menyelematkan dirinya dari amukan kedua member tertua mereka.
"Itu tidak berguna bukan ... aku tidak mau," balas Riku lagi masih memicingkan matanya.
"Oh Riku ...," ujar Nagi lirih tampak simpatik, "Tapi kau tetap harus meminumnya, kami sudah mempersiapkannya," ujar Tamaki lebih lembut masih berusaha membujuknya.
"Apa kalian pelayanku? Kenapa repot-repot mempersiapkannya?" tanya Riku skeptis
"Yah kami pelayanmu untuk mala mini Riku," seru Nagi riang berharap dapat menghiburnya sedikit.
Mendengar penuturan Nagi, sebersit pemikiran muncul dibenaknya, "Hehh benarkah?" tanya Riku tersenyum miring.
"Tentu saja!" balas Nagi cepat.
"Kau tidak tampak seperti pelayan yang kutau," gumam Riku tampak berpikir serius menopang dagunya.
"Apa maksudnya itu Nagicchi?" tanya Tamaki berbisik pada Nagi selirih mungkin, tanpa menjelaskannya pada Tamaki, Nagi menjawab dengan perubahan sikapnya.
"Apa pun perintahmu Your Highness, kami akan melayanimu," ujar Nagi sopan dengan meletakkan tangan di depan dadanya serta menekuk salah satu lututnya di lantai sembari menundukkan kepalanya. Beruntung ia cukup tau sikap pelayan pada umumnya dari apa yang ia lihat selama ini.
Tersenyum puas, Riku mengangguk angguk menerima sikapnya. Bebeda dengan Tamaki yang masih megap-megap karena terkejut, "Jadi ada perlu apa kalian kesini?" tanya Riku tenang seolah menunjukkan wibawanya.
"Etto--- Kami membawakanmu obat yang harus kau minum Rikku- Ma-master," ujar Tamaki gelagapan karena panik dan tidak terbiasa berbicara sesopan mungkin.
"Apa itu benar obatku?' tanya Riku seolah curiga.
"Apa kita sedang bermain drama sekarang?!" seru Tamaki menjerit kesal yang segera mendapati tepukan keras dari Nagi"Ikuti alurnya dengan baik Tamaki," bisik Nagi memperingatkan, ia mengerti jika Riku bosan dan ingin memainkan sesuatu untuk menghiburnya.
Menghela nafasnya berat, Tamaki berusaha menepis keterkejutannya, "Ya—ah maksudku, Benar ini adalah obatmu, ... master," ujar Tamaki masih kesulitan di beberapa titik.
"Buktikan."
"Permisi?" tanya Nagi masih belum mengerti
"Bukankah tugas pelayan untuk mencicipi semua makanan dan minuman tuannya terlebih dahulu, jika ada sesuatu yang tidak beres maka tuanmu dapat selamat dari itu,"jelas Riku tersenyum manis
"Apa?! Tapi ini ... Obatmu Rikkun," sela Tamaki cepat lupa untuk memainkan perannya lagi sebagai pelayan
"Bukankah kalian pelayanku hari ini?" tanya Riku berkaca-kaca menatap sedih keduanya
Alih-alih berusaha mengalihkan pandangannya, mereka justru terjerat pada manik crimson yang tampak lebih lebar dan berkilauan. "Ughh ... ini curang," ujar keduanya dalam hati.
"Jadi siapa yang akan mencobanya untukku?" tanya Riku lagi kembali ceria saat menyadari keinginannya akan terpenuhi.
Lagi... keduanya saling melemparkan tatapan tersirat mengadukan kontes adu tatap secara spontan untuk menentukan siapa tumbalnya, "Baik aku yang akan memutuskannya," ujar Riku segera memutuskan kilat tajam di hadapannya yang masih sengit bersaing.
"Eh—Aku hampir menang padahal," ujar Tamaki mengeluh karena kemenangannya gagal ia raih.
"Kalau begitu, apa kau mau melakukannya untukku ... Tamaki." ujar Riku tersenyum lebar hingga matanya tertutup, gerakan polos yang biasanya tampak manis saat Riku menelengkan kepalanya justru kini terasa mematikan di mata Tamaki.
"Nagicchi ... jaga pudingku setelah ini jika aku mati karena racun," ujar Tamaki tampak putus asa.
"Aku akan menjaga wasiatmu dengan baik Tamaki, tenang saja," balas Nagi yang juga telah ikhlas, entah sejak kapan mereka makin serius mendalami perannya.
"Bukankah kalian mengatakan itu hanya obat," ujar Riku menatap datar keduanya, tak sadar bahwa ia yang memulai drama picisan ini di tempat pertama.
.
.
.
Keesokan harinya, penghuni dorm bangun lebih awal dan secara kebetulan berkumpul di sofa ruang tengah mereka. Dalam keheningan semuanya tampak larut dalam lamunannya masing-masing.
"Hahh ...." menghela nafasnya lelah, mereka melakukannya secara serempak membuat mereka saling melemparkan tatapan terkejut sebelum terkikik geli pada akhirnya.
"Jadi apa yang menganggu kalian akhir-akhir ini?' tanya Yamato setelah berhasil meredakan tawanya.
Seolah saling mengucapkan jawabannya secara tersirat, semuanya menangkap bahwa apa yang mereka pikirkan itu sama. "Bagaimana keadaan Riku?" tanya Mitsuki kembali memecah keheningan.
"Onii-san baru saja memeriksanya, ia sudah membaik. Kurasa kita bisa melihatnya nanti saat ia terbangun," ujar Yamato menjelaskan.
"Apa ... kalian merasa ada sesuatu yang salah dengannya?" tanya Iori sedikit bergumam karena tak yakin tentang pengaturan kosa katanya.
Sebelum ada yang menjawab, Tamaki berseru lebih dulu "Yaa! Rikkun sangat sangat aneh." ujarnya penuh semangat, "dia sangat mengerikan," imbuhnya lagi teringat akan malam itu, dimana ia harus terpaksa meminum obat yang diperuntukkan untuk Riku.
"Aku bahkan masih belum menghilangkan rasanya meski telah menghabiskan seluruh stok pudingku," ujarnya lagi membayangkan botol-botol kaca koleksinya kini sudah kosong.
"Ouh Tamaki, kau menghabiskan seluruh wasiatmu sendiri," ujar Nagi tampak sedih.
"Aku belum mati Nagicchi!!" sentak Tamaki cepat
Sementara keduanya saling beradu argumen, sisa member disana hanya saling melemparkan tatapan bingung.
"Riku-kun tampak baik-baik saja dengan kami, terakhir kali," ujar Sougo mengingat-ingat waktunya saat ia berjaga dengan Yamato.
"Yahh meski Onii-san sedikit merasa gugup di hadapannya," imbuh Yamato melirih.
"Apa maksudnya itu?' tanya Mitsuki penasaran.
"Apa Rikkun menyuruh kalian menjadi pelayannya juga?" tanya Tamaki tampak syok
"Apa?! Tidak—tidak seperti itu," elak Yamato cepat menggeleng ribut, ia masih tak habis pikir jika member polosnya akan memerintahkannya layaknya pelayan.
"Nanase-san pasti hanya mengerjaimu Yotsuba-san, itu bagus juga untuk penyegaran," ujar Iori tenang begitu mendapat benang lurus dari pertikaian Nagi dan Tamaki sebelumnya.
"Kau harus merasakannya sendiri Iorin, aku tidak akan menyelamatkanmu jika Rikkun menargetkanmu nanti," balas Tamaki memicingkan matanya sengit.
Merasa obrolan mereka akan melebar keluar dari topic, Iori segera berdehem meluruskan niatnya, "Saat aku dan Nii-san menjaganya, Nanase-san tampak sangat pendiam dan ketakutan," ujar Iori yang kini mengejutkan mereka semua kecuali Mitsuki yang telah melihatnya
"Aku bahkan tidak yakin Riku melihat kami tepat di mata, seolah-olah ia sedang berada di tempat yang berbeda," imbuh Mitsuki tampak prihatin.
"Tapi Riku-kun tampak tenang saat kami menjaganya ...," ujar Sougo masih tak mengerti.
"Kudengar demam tinggi cukup mempengaruhi kesadaran seseorang, kurasa itulah yang terjadi pada Nanase-san saat itu," ujar Iori setelah berpikir mendalam.
"Yah aku sependapat dengan Iori," ujar Nagi tenang, "mungkin saja Riku masih belum tersadar dari mimpi buruknya saat kalian berjaga," imbuhnya menatap Izumi bersaudara.
"Dan ia mulai mendapatkan kesadarannya dengan lebih baik saat Sougo dan Yamato mulai berjaga." Mengingat mereka berdua mendapati urutan berjaga yang kedua itu menjadi masuk akal,"Lalu ... puncak kejenuhannya saat aku dan Tamaki berjaga, ia menjadi sedikit jail untuk mencari penghiburan," pungkasnya
"Itu menjadi masuk akal sekarang," ujar Iori mengangguk puas, "Onii-san sependapat, kurasa Riku memang memiliki mimpi buruk yang cukup menganggunya. Aku pernah melihatnya pagi itu," imbuh Yamato
"Apa aku perlu menghiburnya lagi?" tanya Tamaki kini tampak sedih, "kali ini aku akan bersikap sebagai pelayan yang baik," imbuhnya lagi mulai bertekad.
"Ahahah kau benar-benar anak yang baik Tamaki-kun," ujar Sougo tertawa ringan.
"Kau ingin jadi pelayan siapa Tamaki? Apa kau kalah bermain game?"
Pertanyaan yang tiba-tiba terlontar membungkam semuanya, bukan karena pertanyaannya namun karena Si Penanya yang mengejutkan mereka semua.
"Eh—apa aku mengganggu kalian?" tanya Riku panik saat mendapati seluruh pasang mata tertuju padanya
"Kau sudah bangun? Apa kau sudah baikan?" cerocos Mitsuki segera memeriksa keningnya
"Kenapa kau keluar dari tempat tidurmu?!" ujar Yamato tampak tak setuju melihat kedatangannya.
"Oh Strict Parent mulai beraksi," ujar Nagi memutar bola matanya, "Kalian berdua membuatnya bingung," ujar Sougo terkekeh geli.
"Apa kau sudah sembuh Nanase-san?" tanya Iori tenang.
Memasang senyuman cerahnya, Riku mengangguk mantap, "Heem, aku super healthy sekarang, arigatou minna," serunya riang.
"Huwaa Rikkun, kau kembalii!!!!" seru Tamaki segera memeluknya erat, "jangan sakit lagi oke, aku tidak mau meminum obat lagi," imbuhnya masih berderai air mata.
"Bukankah seharusnya aku yang meminum obatnya jika aku sakit," ujar Riku mengernyitkan dahinya bingung.
"Yahh orang normal pada umumnya seperti itu," dengus Iori menahan geli.
"Kau tidak ingat?" tanya Tamaki menarik wajahnya untuk sesaat dari pundak Riku.
"Tentang apa?" tanya Riku berbalik menanyainya.
"Itu wajar terjadi Tamaki-kun, jangan mendesaknya lebih jauh," tgeur Sougo tenang.
"Apa yang ingin kau makan pagi ini Riku?" tanya Mitsuki yang sudah bersiap dengan celemek jingganya.
"Kehormatan ada padamu hari ini, kau yang menentukan menunya goshujinsama," imbuh Nagi menyadari raut kebingungan.
Merasa gelenyar perasaan hangat yang tulus, Riku tak bisa menahan dirinya untuk terus tersenyum hingga pipinya sakit, "Aku ingin omurice jika kalian tidak keberatan," serunya riang.
"Yahh kurasa pancake bisa ditunda buat besok," dengus Iori menahan pipinya yang bersemu merah.
"Aku sudah kehabisan pudding, jadi aku akan makan apa pun itu," ujar Tamaki mengedikkan bahunya acuh.
Melihat sikap member muda mereka yang menggemaskan Yamato tak bisa menahan tawanya, "Ahahaha senang menjadi muda, kalian benar-benar bebas," ujarnya sambil menahan perutnya
"Mereka sudah makin akrab kurasa," ujar Sougo tersenyum lembut menatap trio juniornya.
---
Dalam ruangan yang gelap, ia berdiri seorang diri. Sejauh matanya memandang, hanya gelap yang mampu ia tangkap. Hingga setitik cahaya mulai berkedip dari kejauhan, kakinya melangkah menghampirinya tanpa dikomando. Semakin ia mendekat,cahaya itu kian menyilaukan. Hingga kilauannya membesar dan tak terbendung lagi, ia hanya bisa menyipitkan matanya karena silau.
Merasa situasinya sudah aman, kelopak matanya bergerak memisahkan diri. Dan kini ia berada di pelataran rumah sederhana. Sebuah tempat yang sangat ia kenali, bahkan harum udara di sekelilingnya tak pernah berubah masih sama persis seperti di ingatannya.
Sayup-sayup suara gelak tawa, mengalihkan perhatiannya. Kepalanya menoleh menuju sumber suara, dimana salah satu jendela kayu itu terbuka lebar membiarkan udara sore hari masuk ke dalam rumah. Semerbak harum wangi donat yang manis dapat tercium olehnya. Meja kecil yang tepat berada di depan jendela, kini telah terisi penuh setelah kedatangan wanita cantik bersurai delima. Senyum ceria dari kedua sosok serupa menyambutnya antusias, sementara sosok pria dewasa di antara mereka tampak tersenyum lembut mengintip dari balik Koran di tangannya.
'Ah ... pemandangan ini,' gumamnya lirih merasa kelopak matanya memanas tiba-tiba.
Saat ia berkedip, setitik air matanya meleleh begitu saja. Dan selanjutnya sudut pandangnya berubah, kini ia tepat berada di depan sosok yang mirip dengannya. Kelopak matanya kembali berkedip untuk memastikan, dan menatap kedua tangannya yang kini jauh lebih kecil.
"Ten- nii ...," seruan lembut penuh ke khawatiran membuatnya mendongak cepat.
'"Apa kau baik-baik saja Tenn?" sosok yang ia kenali sebagai ibunya kini ikut menatapnya khawatir.
Belum bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk membalasnya, tepukan lembut di pundaknya ia rasakan berusaha untuk menenangkannya. "Kau melamun?" tanya Sang ayah melipat korannya segera.
"Gomen Kaa-san, Tou-san," gumam Tenn setelah berhasil menemukan suaranya yang sedari tadi tertahan di tenggorokannya.
"Syukurlah kau baik-baik saja Ten-nii," kini sang adik tampak lebih lega, memberikan senyuman tulusnya. Senyuman yang selalui ia kenali.
'Jika ini memang mimpi, aku tidak ingin terbangun lagi,'
"Maaf membuatmu khawatir ... Riku," ujar Tenn membalas senyumannya.
Mendengar penuturannya barusan, ketiga sosok lainnya kini menatap Tenn bingung. "Siapa ... Riku?" tanya sang adik menelengkan kepalanya bingung.
"Apa?" gumam Tenn lirih masih tak mengerti
"Apa itu teman barumu di kelas Tenn?" kini sang Ibu ikut bersuara
"Kalian bercanda kan?" kini Tenn mengeraskan suaranya diliputi emosi
"Tenn, jaga nada suaramu." Tegur sang ayah tegas, "siapa Riku yang kau bicarakan ini?" imbuhnya lagi.
'Ini mimpi terburuk yang pernah ku alami.'
"Ini tidak lucu jika kalian sedang bercanda. Kau Riku!" sentaknya lagi menunjuk lurus ke arah adiknya, "Riku adikku!" imbuhnya lagi tegas.
"Aku adikmu. Tapi aku bukan Riku," balas sang adik dingin.
"Lalu siapa kau?" gumam Tenn menatap syok orang di depannya. Sebelum ia berhasil mendapatkan jawaban, kegelapan kembali menariknya. Sesaat sebelum ia kembali tertelan dalam gelap, raut sendu dari sosok di depannya berhasil ia tangkap.
Dengan nafas memburu, Tenn terbangun dari tidurnya. Ia mendudukkan tubuhnya untuk menstabilkan degub jantungnya yang tak beraturan, "Apa sesuatu terjadi denganmu?" gumamnya lirih mengigit bibirnya kesal karena ketidak berdayaannya.
"Riku ... ini sangat menyakitkan."
To be continued ...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top