🔎Case 1

Kicauan burung bersenandung dengan riang menyambut pagi yang cerah, paruh mungilnya mengetuk secara konstan ke arah kaca jendela. Suara nyaring terus berdering cukup lama hingga membuat burung itu terbang menjauh karena terkejut.

Lenguhan kecil terdengar dari balik selimut tebal memperlihatkan sebuah tangan pucat keluar menggapai nakas di samping tempat tidurnya. Tangannya mendekatkan jam hingga ke depan wajahnya untuk mendapatkan pandangan lebih jelas. Menyadari waktu yang tertera matanya melotot sebal karena waktu tidurnya harus berakhir

Surai sewarna senja terlihat mencuat tak beraturan memperlihatkan sosok yang baru saja bangun dari balik selimutnya. Keduanya tangannya sibuk mengusap kelopak matanya agar dapat terbuka lebih lebar, tapi tetap saja lensa rubynya hanya menangkap bayangan blur di sekitarnya.

Hafal dengan peletakan barang-barang pribadinya ia mengambil kacamata bulat di sampingnya, hingga seulas senyum manis terlukis di bibirnya mendapati pandangannya lebih baik. Tak butuh waktu lama sejak ia terbangun, pintu kamarnya terbuka memperlihatkan sosok paling penting dalam hidupnya

"Kau sudah bangun?"suara lembut mengalun menyapanya penuh suka cita

'Pagi yang hangat seperti biasa'batinnya berujar penuh syukur

"Ohayou Kaa-chan," sapanya riang memunculkan senyum lima jarinya

Dengan gemas sosok yang dipanggil ibu mengacak lembut surai halusnya, hingga menimbulkan protes kesal karena rambutnya makin mencuat kemana-mana

"Kali ini apa perlu Kaa-chan bantu?" tanyanya masih dengan senyum menawan yang setia bertengger di bibirnya

Menggeleng keras ia membalasnya penuh semangat, "Aku bisa melakukannya sendiri.. "

"Apa menu sarapan kali ini?" imbuhnya lagi

Alis coklatnya bergerak naik turun menggoda putra satu-satunya, "Kurasa kau bisa menebaknya,"

"Yeayy omurice," serunya riang merenggangkan tangannya naik turun, yang tentu saja jauh dari sikap seorang anak 17 tahun pada umumnya

"Sampai bertemu di bawah.. Riku," ujarnya lagi mengecup dahinya lembut sebelum benar-benar pergi

Setelah pintu kamarnya benar-benar tertutup manik matanya bergerak melirik benda yang selalu menemaninya selama ini, tangan kurusnya bergerak menggapai kursi hitam di sampingnya menggerakkan tubuh dengan sikunya membuatnya berpindah. Meski kesulitan tangannya berhasil menopang tubuhnya hingga sedikit bergetar, nafasnya sedikit tersengal setelah ia berhasil mendudukkan tubuhnya.

Sejenak kepalanya menoleh keluar menatap hamparan langit cerah, "Apa rasanya berada diluar sana,"gumamnya lirih.

Beberapa tahun telah berlalu, semenjak kecelakaan yang menimpanya fungsi otot kakinya kian melemah, hingga membuatnya harus bertopang dengan kursi roda untuk bepergian. Beruntung kelumpuhannya tidaklah permanen, setidaknya untuk beberapa saat ia masih bisa berdiri sesekali.

"Kaa-chan berjanji akan mengijinkan ku keluar saat aku sembuh," ujarnya menyemangati diri sendiri berusaha menepis perasaan depresinya yang muncul walau sesaat. Dengan gesit tangannya memutar kedua roda disampingnya agar tubuhnya bergerak menuju kamar mandi.

Tak butuh waktu lama untuk dirinya bersiap dan berpindah hingga tiba elevator sederhana yang membantunya menuruni tangga selama ini. "Ini sangat harum.."pujinya tulus mendekati sosok anggun dengan apron merah di tubuhnya yang sibuk di depan kompor

"Riku-chan.. kau tampak segar," sapanya tak kalah riang menundukkan tubuhnya menggesekkan hidung mereka hingga membuatnya terkikik geli, "kau tampak makin menggemaskan setelah mandi," imbuhnya lagi

"Kaa-chan.. putramu ini sudah besar," gerutu Riku menyuarakan protesnya

"Oh benarkah?" godanya tersenyum miring tampak meragukan ucapan putranya, "Bagiku kau tetaplah my cutie baby boy," imbuhnya lagi ringan membalikkan telur yang telah berwarna kuning keemasan membuat raut kesal Riku terabaikan sejanak

Hingga tiba di meja makan keheningan masih menyelimutinya, pipinya memerah menggembung besar hingga tampak hampir meledak membuat siapapun gemas ingin menggigitnya. Manik rubynya menatap tajam dari balik lensa bulatnya, membuat sang ibu terkekeh kecil terbiasa dengan sikap merajuknya

"Kau yakin masih marah dengan Kaa-chan?" tanyanya yang tak kunjung mendapati balasan

Mengedikkan bahunya ringan, tangannya terulur ke depannya, "Baiklah jika kau tidak ingin memakannya.."ujarnya seraya mengambil piring di depan Riku, "Padahal Kaa-chan sudah berusaha membuatnya terbaik,"imbuhnya lagi tampak murung hingga cengkraman lembut menahan pergerakannnya

"Ini karena Kaa-chan sudah membuatnya.. sayang jika tidak dimakan," ujarnya mengalihkan pandangannya masih berusaha mempertahankan omuricenya

Melihat sikap putranya yang makin menggemaskan ia berusaha keras menahan tawanya atau akan cukup merepotkan jika harus berurusan dengan kemarahan putranya.

...

Seorang pria yang sudah tak muda lagi, tampak memperhatikan papan nama di depan pagar kediaman 'Sakurai' memastikan namanya telah sesuai sekali lagi ia membenarkan letak topi birunya senada dengan setelan miliknya. Dengan tenang tangannya terulur memencet bel rumah di depannya.

Terdengar derap langkah tergesa mendekatinya, "Sakurai Anne-san?" tanyanya memastikan identitas sang pemilik rumah.

Wanita yang masih tampak cantik dengan surai coklatnya yang bergelombang indah menjawabnya dengan lugas membenarkan identitasnya

"Ini kiriman untuk anda," ujar sosok di depannya

Tersenyum ramah wanita itu menandatangani supucuk surat sebagai tanda terima, pendengarannya menangkap seruan lembut dari dalam rumahnya bergerak mendekatinya

"Terimakasih atas paketnya.." ujarnya segera mengakhiri pembicaraan

Tanpa menunggu balasan dari petugas paket, ia kembali menutup pintu rumahnya rapat bertepatan dengan sosok lain yang telah tiba

"Siapa yang Kaa-chan temui?" tanyanya menatap polos penuh keingin tahuan yang terpancar jelas dari manik rubynya

"Paket.. pesanan barang Kaa-chan telah tiba!!"serunya riang mengangkat tinggi-tinggi box di tangannya

Tatapan penuh curiga kembali Riku layangkan melihat kelakuan antik ibunya, "Kaa-chan pasti berbelanja lagi," tuduhnya menyipitkan matanya membuat sosok tertuduh di depannya tak berkutik seketika

"Eheheh.. ayolah aku tidak bisa menahan diri saat melihatnya"ujarnya terdengar merengek berusaha mendapatkan kepercayaan putranya

"Aku juga mendengar itu minggu lalu.. kau selalu membeli guci-guci aneh yang entah sudah berapa banyak di rumah ini," imbuhnya lagi makin menyipitkan matanya

Merasa tak bisa mengelak lagi dirinya mengerucutkan bibirnya setengah menggerutu, "Setidaknya kau cukup berperan besar untuk mengurangi koleksi guci Kaa-chan,"gerutunya mengingat tumpukan pecahan kaca di samping rumahnya

Mendengar perkataan ibunya tubuhnya sedikit tersentak ikut merasa bersalah, yang tak luput dari perhatian manik kecoklatan di depannya, "Kita impas bukan?!" ujarnya merasa menang

Dengan kesal Riku hanya membalik kursinya cepat berusaha mengabaikannya, "Heii Riku-chan.. kau mau kemana"tanyanya

"Aku ingin belajar.. jangan mengangguku,"balasnya tanpa berbalik

"Aww semangat belajar honey.. akan Kaa-chan bawakan donat kesukaanmu nanti," balas Anne menyemangatinya

Diam-diam senyum manis terukir di bibir Riku mendengar ucapan ibunya,

"Ya ya.. cepatlah pergi atau Kaa-chan akan terlambat,"

Setiba di kamarnya yang telah menjadi basecamp baginya ia bergegas menuju meja belajarnya menyalakan komputer miliknya. Kembali membuka web resmi universitas impiannya ia memperoleh semangatnya meningkat drastis.

Telinganya mendengar suara deru mesin yang menyala, melihat kepergian ibunya yang mulai berangkat kerja ia tersenyum lembut mengikutinya hingga benar-benar menghilang dari pandangannya.

Dengan telaten maniknya fokus bergerak mengikuti untaian tulisan kecil yang berjejer rapi, tangannya tak kalah sibuk membuat catatan-catatan kecil di bukunya yang telah di penuhi berbagai bookmark buatannya. Lembaran kertasanya yang tidak lagi rapi menandakan seberapa sering buku itu dibolak-balikkan oleh sang pemilik.

Meregangkan lehernya yang mulai terasa kaku, ia kembali melihat jam di nakasnya yang menunjukkan waktu siang hari.

Beristirahat sejenak, ia membuka laman baru yang kini ramai digunakan oleh remaja pada umumnya

'I-talk' web online yang membuat mereka dapat berkomunikasi dengan banyak orang lainnya darimana pun mereka berasal

Terpampang jelas profil miliknya dengan bertemakan bunga lily menghiasinya, 'Phoenix' itulah nama akun yang telah Riku putuskan untuk digunakan pada aplikasi itu.

Tanda bulatan merah dengan angka di tengahnya menandakan notifikasi jumlah pesan masuk dalam inboxnya, dengan foto profil burung gagak hitam menyertainya membuat Riku kian bersemangat.

'Raven' orang yang secara acak berkenalan dengannnya hingga obrolan-obrolan kecil mulai tumbuh di antaranya.

Tak butuh waktu lama mereka merasa cocok satu sama lain hingga membuat banyak obrolan menyenangkan akhir-akhir ini, maniknya mengamati sederet pesan darinya membacanya satu per satu .

'Phoenix-san'

Sapaan yang terkesan baku membuka percakapannya hari ini membuat Riku mendengus kecil, "Sudah kukatakan berapa kali agar tidak perlu terlalu formal," gerutunya kesal

'Bagaimana pagim? kuharap kau tidak lagi melototi jam yang tidak bersalah karena mengingatkan waktumu'

Kembali percakapan muncul di bawahnya yang entah kenapa terbaca dengan nada datar, "Apa dia peramal?" gerutu Riku lagi menautkan alisnya kesal.

'Hari kelulusan sebentar lagi tiba.. sampai bertemu di Tokyo'

Seringai tipis terukir di bibir Riku, kembali teringat akan obrolan mereka beberapa hari sebelumnya dimana mereka sama-sama memimpikan masuk ke Universitas Tokyo

Jemari lentiknya bergerak lincah di atas keyboard hitam mengetikkan balasan untuk Raven

"Raven berapa kali ku katakan agar tidak usah terlalu formal"

"Aku tidak setua itu, kita seumuran kalau kau lupa"

"Pagiku seperti biasanya.. ibuku kembali menambahkan koleksi gucinya"

"Ps. Berhentilah menjadi peramal, apa kau mematai-mataiku disini"

Balasan dengan cepat terkirim, hingga tanda bahwa pesannya telah terbaca segera tertera di pojok bawah pesannya

'Dan sudah berapa kali ku katakan berhenti mengeluh soal caraku berkomunikasi.. jangan kekanakan!'

Balasan pertama membuat Riku naik pitam seketika sebelum pesan lainnya segera muncul secara berurutan

'Guci yang ibumu beli kurasa setara dengan guci yang kau hancurkan.. bukankah itu seimbang'

'Soal pesanmu yang terakhir.. aku sama sekali tidak mengerti, aku bukan orang kurang kerjaan hingga harus memata-mataimu yang keberadaanya bahkan tidak ku ketahui ada dimana'

Menarik nafasnya dalam ia meregangkan jari-jarinya yang terasa kebas, dengan penuh perasaan gerakannya sangat bersemangat hingga menimbulkan suara yang kekanakan.

"Kau yang berhenti mengataiku kekanakan"

"Kenapa kau selalu bisa menebak semuanya, aku benci itu"

Sungutnya kesal hingga ia luapkan dalam emoji-emoji marah sebagai tanda kekesalannya

Di sudut kota lainnya, semburat merah menyerabak di wajahnya. Manik obsidian yang sedari tadi mengamati layar komputernya membaca dengan seksama tulisan pesan untuknya bahkan terdapat imajinasi ekspresi dari sang pengirimnya.. 'kawai hito da na' pikirnya sembari tersenyum kecil yang dapat berekspresi sedikit bebas saat ia sendiri. Sebelum ia makin terlarut deheman keras ia keluarkan dan menggelengkan kepalanya agar kembali tersadar. Otak jeniusnya dipaksa bekerja cepat untuk mulai mengalihkan pembicaraan mereka

'Ha'i lupakan saja sekarang..'

'Ne Phoenix-san bagaimana dengan sekolahmu? aku belum banyak mendengar cerita soal kehidupan sekolahmu'

Balasan baru dari Raven segera terkirim secara instan, membaca balasannya Riku hanya bisa menampilkan senyum tipisnya

"Memang tidak banyak yang bisa ku ceritakan soal itu" balasnya memberi penjelasan soal kehidupan sekolahnya

"Dari kecil hingga sekarang aku menjalani home schooling.. Kaa-chan berjanji padaku jika aku berhasil masuk universitas, untuk pertama kalinya aku bisa menjalani sekolah normal"

Membaca pesan balasan Phoenix, perasaan tercekat datang menghampiri. Sebelum rasa bersalahnya kian menyeruak balasan lainnya muncul seketika

"Ah aku membayangkan bagaimana ekspresimu sekarang. Home schooling tidak buruk juga, bahkan aku makin dekat dengan sensei yang ada, Kaa-chan juga selalu memberikan yang terbaik untukku."

"Lebih baik ceritakan soal sekolahmu.. aku ingin tahu seperti apa sekolah yang kau jalanani"

Senyum lembut terbit dibibirnya menyadari lawan bicaranya saat ini adalah orang yang luar biasa

'Kurasa kau tidak akan puas dengan ceritaku'

Balasan pertama dari Raven muncul membuat Riku menaikkan alisnya bingung

'Para sensei melakukan pekerjaannya dengan baik, tapi entah kenapa banyak yang mengeluhkan akan tugas yang diberikannya. Meski kurasa itu bukan masalah yang besar'

Membaca pesan berikutnya Riku hanya bersweatdrop tertawa canggung, "Jadi dia tipe murid seperti itu huh, pasti banyak yang membencinya di sekolah" gumamnya merasa prihatin tiba-tiba

'Beberapa kegiatan club juga dilakukan dan itu melelahkan, jadi sering kali aku langsung pulang atau menghabiskan waktu di perpustakaan'

'Perpustakaannya sangat nyaman, aku memiliki tempat tersendiri dimana tidak ada seorang pun yang bisa menggangguku'

Tak tahan membaca cerita raven, Riku mulai mengetikkan balasan untukknya

"Membosankan!! Aku sudah menebak kau orang yang membosankan tapi tidak kusangka kau separah ini"

"Bagaimana bisa kau menyianyiakan waktumu begitu saja Hah!!"

"Dan sekarang waktu kelulusan akan segera tiba, kau menyedihkan Raven aku turut prihatin"

"Siapa sangka selain membosankan kau juga bukan tipe anak populer di sekolah'

Membaca pesannya secara berurutan, panah imajiner mulai bermunculan menusuknya tepat ke ulu hati satu persatu, kedutan di pelipisnya bahkan kian kuat seiring kekesalannya "Kenapa aku merasa sedang di marahi sekarang?!" gerutunya menahan geram.

'Aku sudah mengatakannya, kenapa kau protes sekarang'

'Memangnya apa yang kau harapkan dariku hah'

'Padahal aku berniat membawamu mengunjungi perpustakaan itu suatu saat nanti'

'Dan maaf saja, aku tidak tertarik dengan popularitas. Wanita menyeramkan saat mereka bertindak, lebih baik aku menghindarinya sebisa mungkin'

Manik rubynya tertarik pada salah satu pesannya, hingga membuatnya bersemangat mengetikkan balasan.

"Kau mau mengajakku?! Berjanjilah kau akan melakukannya!!"

"Aku benar-benar ingin kesana"

Secara ajaib kekesalannya menguap entah kemana begitu melihat balasannya

'Tentu saja aku berjanji'

'Jika kau ingin cerita lebih menarik.. mungkin kau bisa mengobrol bersama kakakku. Kalian akan cocok bersama ,' tanpa sadar Raven mulai menceritakan kakakknya, meski biasanya ia tidak rela jika harus membagikan waktu dengan kakaknya

"Arigatou Raven.. kau yang terbaik"

"Kakak? Kau memilikinya?" tanya Riku penasaran

'Apa terlalu mengejutkan jika aku memiliki kakak' balas Raven datar

"Tidak juga ehehe.. kurasa akan menyenangkan jika memiliki saudara di dekatmu"

'Kenapa kau kedengaran iri sekarang.. apa kau anak tunggal'tanya Raven penasaran

"Yang ku tahu seperti itu"

'yang kau tahu?kau sendiri ragu dengan itu'tanya Raven merasa aneh dengan balasan Phoenix

"Kaa-chan selalu mengatakan aku anak tunggal, tapi.. hatiku selalu mengatakan sebaliknya. Seolah aku memilikinya, setidaknya satu."

Tak kunjung mendapati balasan, Riku menggigit bibirnya sejenak

"jangan menertawaiku. Aku tahu ini aneh jika hanya bergantung pada firasat. Tidak ada bukti kuat yang kumiliki"

'Tidak, aku tidak tertawa' balas Raven apa adanya

'Aku percaya dengan firasat, aku juga mempercayaimu.. tapi ada sesuatu yang mengangguku sejenak'

"Apa maksudmu?"

'Iie lupakan saja..'

Sebelum obrolan menjadi lebih jauh lagi, deru mesin terdengar memasuki pelataran rumahnya

"Gomen Raven.. ibuku sudah kembali, aku tidak bisa melanjutkan obrolan ini"

'Kenapa?' pertanyaan spontan langsung terkirim

'Aku melakukan obrolan ini secara diam-diam.. Jaa sampai bertemu nanti Raven"

Jari-jarinya masih terhenti di atas keyboardnya tercenung membaca pesan-pesan teman onlinenya, 'Phoenix' aku makin ingin bertemu dengannya,

Tangannya kini memegang dagunya serius, mengingat obrolannya barusan, jari-jarinya menuliskan catatan-catatan kecil tentang Phoenix tanpa sadar, 'Hidup seperti apa yang ia jalani?' pertanyaan besar dalam lubuk hatinya tertulis di buku catatannya yang ia lingkari.

Terlalu larut dalam pemikirannya hingga ia tak sadar sosok lain yang telah berada di sampingnya sedari tadi, "Phoenix.. siapa itu?" tanyanya penasaran membuat pemilik surai gelap itu hampir melompat dari kursinya.

"Nii-san!! kenapa tidak mengetuk pintunya dulu?" sentaknya masih terkejut segera menutup bukunya

Cengiran jail kian terpampang di wajah pemilik surai jingga itu, "Heh.. apa yang kau sembunyikan Iori?" godanya terkikik geli

"Jadi.. siapa itu Phoenix?" tanyanya lagi, "Apa dia laki-laki atau perempuan? Atau jangan-jangan dia kekasihmu??"

Mendapati pertanyaan kakaknya ia makin memerah padam, "Dia laki-laki.. dan dia temanku!!" sergahnya cepat

"heh kau tidak perlu sepanik itu Iori.." ujar Mitsuki masih ingin menggodanya, "Jadi dimana dia.. kenapa kau tidak pernah mengajakknya kemari?"

"Aku bahkan tidak tahu dimana dia.."ujar Iori lirih, "Dia selalu menolak mengatakan keberadaannya," imbuhnya lagi

Melihat adiknya yang tampak lesu, Mitsuki menepuk punggungnya menguatkan, "Kuharap kalian akan segera bertemu."

Mendengar perkataan Mitsuki, semangatnya kembali membara, "kami sudah berjanji akan bertemu di Tokyo University."

"Itu janji yang bagus.. aku tunggu kedatangan kalian disana," balas Mitsuki

"tentu saja.. kurasa dia juga tidak begitu tau tentang dunia luar, jadi aku ingin menunjukkannya"

"Dia mengatakan padaku tentang menyianyiakan waktu.. tapi kurasa dia juga melakukan hal yang sama karena keadaannya, aku hanya ingin menebusnya bersama suatu saat nanti"

Mendengar perkataan adiknya yang terasa berbeda dari biasanya, Mitsuki membelalak kaget di tempatnya, "Iori.. sejak kapan kau seperti ini?" gumam Mitsuki lirih

"Phoenix.. aku jadi makin ingin bertemu dengannya"

"Ya aku sudah mengatakan akan mempertemukan kalian Nii-san," balas Iori tersenyum kecil, "kalau begitu aku harus belajar lagi," imbuhnya lagi

Mendengar penuturan terakhir Iori, alis Mitsuki saling bertautan dalam, "Tidak ada belajar lagi.. aku kemari untuk mengingatkan makan malam. Sekarang juga ikut denganku," ujarnya tak ingin di bantah

Sebelum Iori memberikan protesnya, tangan kecil kakaknya telah menyeretnya bangun keluar kamarnya. Meski tubuh Iori lebih tinggi, Mitsuki sama sekali tidak kesulitan menariknya pergi.

....

-Di kediaman Sakurai

"Bagaimana pekerjaanmu Kaa-chan?" tanya Riku memulai obrolan ringan di meja saat makan malam tiba

Tanpa menghentikan kegiatan makannya, Anne mulai berceloteh mengenai peristiwa di kantornya hari ini. Mulai dari bosnya yang menyebalkan, atau seniornya yang suka menyuruhnya ini itu, bahkan makanan di kantin yang terasa hambar karena curhatan teman-temannya yang tidak kunjung habis. Keluhan ibunya yang selalu terdengar menyenangkan membuat Riku menannggapinya dengan tawa renyah atau bahkan omelan singkat untuk menegur kesalahan ibunya

Tak terasa makan malam keduanya selesai, Riku bertugas merapikan meja makan sementara sang ibu sibuk mencuci piring. Sejenak ia teringat obrolan siang tadi bersama Raven,

"Ne Kaa-chan," panggil Riku membuka suaranya yang secara spontan mendapat sahutan lembut dari sang ibu

"Apa.. aku memiliki seorang saudara?" tanyanya hati-hati

Mendengar pertanyaan yang lolos dari bibir putranya, ia menjatuhkan piring di tangannya karena terkejut. "Kaa-chan apa kakimu terluka?" dengan panik Riku menggerakkan kursi rodanya mendekati ibunya.

Berusaha menyapu dengan hati-hati pecahan kaca di lantai, Riku tidak memperhatikan ibunya yang masih setia menunduk , helaian rambut panjangnya benar-benar menutupi wajahnya saat ini

"Riku apa yang kau tanyakan tadi?" tanya Anne datar

Terkejut dengan nada suara ibunya, Riku menghentikan sejenak kegiatannya dan mendongak ke atas, "A-apa aku memiliki saudara?" tanya Riku sangat lirih menggerakkan bola matanya gelisah merasa gugup mendapati tatapan intens dari ibunya.

"maksudku.. apa mungkin saudara jauh, bahkan aku tidak pernah tau kerabat kita lainnya," imbuhnya lagi masih takut-takut

"Apa yang baru saja kau tanyakan?" ujarnya masih dengan nada dingin, merendahkan tubuhnya agar sejajar dengan putranya, "Kaa-chan.." ujar Riku mulai merasa tak nyaman

"Bukankah sudah ku katakan berkali kali.. hanya ada kita berdua, dan selamanya seperti itu,"

"Kau tidak memiliki satu pun saudara.. hanya aku yang kau miliki, begitu juga denganku hanya Riku yang Kaa-chan miliki," ujarnya mengusap lembut pipinya

Maniknya mulai bergetar mendengar penuturan ibunya, "Kaa-chan.. kau berbeda dari biasanya," gumam Riku yang suaranya ikut bergetar karena tubuhnya menggigil secara tiba-tiba

"Lupakan saja soal pertanyaanmu tadi.. jangan pernah membahasnya atau aku akan marah"

"Kaa-chan.." sentak Riku menepis tangan di pipinya, berusaha mundur menjauh, "Kau menakutiku.." ujarnya lagi menahan tangisnya yang hampir pecah

"Gomen aku akan langsung tidur sekarang," imbuhnya segera menuju elevator untuk kembali ke kamarnya

Masih menatap kepergiaannya, tangannya mengepal erat melihat tubuhnya yang benar-benar menghilang memasuki kamarnya. Kembali menarik nafasnya dalam Anne membasuh wajahnya dengan air, "Tenangkan dirimu.. kau membuatnya ketakutan," ujarnya lirih berusaha mengendalikan emosinya

Setelah membersihkan pecahan kaca di lantai, kakinya melangkah menuju kamarnya sendiri. Di dalam ia hanya duduk menatak kosong kotak paket di depannya. Hingga jam wekernya berdering mengingatkan jadwal minum obat putranya. Mempersiapkan beberapa butir pil di piring kecil, beserta air minum ia berjalan menaiki tangga

Hingga tepat di depan kamarnya, ia kembali menarik nafasnya dalam berniat mengambil kesempatan untuk berbaikan. Tampak gumpalan selimut yang menyembunyikan tubuh kecil putranya yang kini tengah bergelung

"Riku-chan.. gomen," ujar Anne lembut, membuat punggung sempit putranya sedikit menegang

"Maafkan Kaa-chan.. aku tidak bermaksud memarahimu,"imbuhnya lagi penuh sesal

Mulai terpengaruh, Riku membalikkan tubuhnya melihat ibunya secara langsung. "Aku tidak akan bertanya lagi.. hanya kita berdua itu sudah cukup," ujar Riku menggigit bibirnya menahan isakannya

Merasa terenyuh, Anne segera memeluknya erat, "Ya.. Kaa-chan sangat menyanyangimu, hanya itu yang perlu kau ingat,"

"Sekarang kita berbaikan?" tanyanya lagi mengusap lembut hidung putranya yang memerah

Anggukan kecil Riku berikan sebagai balasan, membuat senyum cerah terbit di wajah Anne.. "Saa.. sekarang waktunya minum obatmum," ujarnya riang tanpa beban membuat Riku mengerang kesal

"Ahh tidak lagi," keluhnya

"Gomen.. saat kau sembuh kau tidak perlu meminumnya lagi," ujar Anne berusaha menghiburnya, menunggu Riku menelan satu persatu pil miliknya, mulai dari pil bulat berwarna putih beberapa butir, hingga kapsul berwarna hijau di tangannya berhasil habis di telan

Rasa kantuk datang menyerangnya hingga membuatnya menguap lebar, "Tidurlah yang nyenyak sayang.." ujarnya mengecup lembut dahinya

Tanpa bisa memberi balasan, kelopak matanya benar-benar tertutup menandakan pemiliknya telah tertidur pulas, "Lupakan semua kejadian hari ini.. Kaa-chan menyanyangimu selalu," ujarnya lirih sebelum beranjak pergi

Melihat nafas teratur putranya sekali lagi, ia menutup rapat pintu kamarnya berjalan kembali menuju kamar pribadinya. Kembali ia melirik bungkusan paket siang tadi yang masih tersegel rapi.

Dengan penuh kehati-hatian ia membuka bungkusan satu persatu, senyum lebar terukir di bibirnya melihat guci kecil berwarna putih dengan ukiran biru yang indah. Namun perhatiannya bukan pada keindahan guci itu, hafal dengan barang pesanannya tangannya merogoh ke dalam guci mengambil sebuah benda kecil di dalamnya

"persediaanku tiba tepat waktu," ujarnya merasa senang mengangkat tabung kecil di tangannya mengarahkannya pada lampu tidurnya untuk mendapatkan gamabaran lebih jelas.

.
.
.
.

"My biggest fear is being alone.."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top