2. Mereka yang Tepat Waktu

Mataku melirik ke arah jam yang melingkar pada pergelengan tangan kananku sebelum kembali mengarahkan pandangan pada buku yang tengah kubaca, sebuah novel dari salah satu penulis terkenal, aku selalu dibuat terpukau dengan tiap-tiap diksi yang tertulis dan bagaimana jalan ceritanya mengalir.

Aku tak tahu sudah berapa lama aku menyelami kata demi kata hingga akhirnya sesuatu mendarat di atas pundakku. Mendonggakkan kepala, aku mendapati Umi, cadar merah yang ia kenakan membuatku tak tahu pasti bagaimana ekspresinya sekarang, tapi semoga saja ia memberikanku sebuah senyuman.

"Hai, kamu udah lama di sini?" Umi bertanya, suaranya terdengar begitu lembut dan sangat pelan di telingaku, beruntung di sekitarku suasananya tak begitu ramai, jika iya, aku tak yakin bisa mendengar suaranya.

"Iya, sekitar ...," aku melirik ke arah jam tanganku sebelum berkata, "setengah jam lebih."

"Wah, kok dateng pagi banget? Kelasnya mulai jam 9 'kan?"

"Bosen di rumah," jawabku diikuti dengan tawa kecil, aku mendengar Umi ikut tertawa setelahnya.

Umi kemudian menanyaiku mengenai beberapa tugas yang dosen berikan beberapa waktu lalu. Aku dan Umi tak selalu berada di kelas yang sama, pun tak melulu mendapatkan dosen yang sama, tetapi kami selalu suka menanyai tugas satu sama lain kemudian membandingkannya. Aku tak yakin kami pernah membicarakan hal lain selain tugas. Aku dan Umi tidaklah terlalu dekat, dan aku juga selalu mencoba untuk menjaga pembicaraanku ketika berhadapan dengannya.

"Aku belum ngedapetin topik yang bagus buat--"

Ucapanku terhenti di tengah kalimat akibat mataku yang menemukan sosok familar tengah berlari di tengah koridor, tote bag di pundaknya, bajunya nampak acak-acakan, begitu pula dengan rambutnya yang mulai memanjang.

"Ngapain tuh Kak Adam?" aku bertanya.

Kak Adam adalah salah satu panitia saat osjur yang kuikuti setahun lalu, lebih spesifiknya, dia adalah seorang Komdis. Aku jarang sekali melihatnya, entah karena aku yang memang jarang mengeksplorasi kampus, atau karena Kak Adam memang bukan seseorang yang mudah dicari.

"Telat lagi mungkin," jawab Umi sembari mengedikkan bahunya.

"Telat?" tanyaku, aku bisa merasakan keningku membentuk sebuah kerutan horizontal.

Saat osjur dulu, sebagai seorang komdis, Kak Adam acap kali meneriaki kami, para maba saat itu, untuk berjalan lebih cepat--namun tidak lari--dia juga merupakan salah satu komdis yang ditugaskan untuk menghukum para mahasiswa baru yang telat saat pelaksanaan osjur.

"Aku kenal kating, katanya Kak Adam itu hobi telat, kadang malah sampai nggak masuk, tapi lagi nongkrong di warkop, beberapa kali dia dianggap absen soalnya telat lebih dari lima belas menit."

Mulutku terbuka lebar karena beberapa alasan. Satu, aku tidak tahu bahwa Umi memiliki kenalan seorang kating yang kemudian mengajaknya bergosip mengenai kating lainnya. Dua, aku masih tak percaya dengan fakta baru mengenai Kak Adam yang baru saja aku dengar.

Aku masih ingat, aku sempat terlambat datang ke kampus saat osjur, jika tidak salah, aku terlambat datang selama lima menit. Jika aku pikir-pikir lagi, pada saat itu aku tidaklah terlambat, aku datang tepat waktu, namun ternyata pihak panitia menginginkan para maba untuk datang lima belas menit sebelum acara dimulai, setelah itu dianggap sudah terlambat.

Saat itu yang menghukumku dan beberapa anak lainnya adalah Kak Adam dan beberapa komdis lainnya. Tak ada hukuman fisik yang diberikan, tapi kami harus puas berdiri di lapangan futsal yang membuat matahari dapat dengan bebas mengecup kulit kami. Selain itu, mereka terus berteriak-teriak mengenai pentingnya datang tepat waktu. Aku tak ingat sepenuhnya mengenai apa yang mereka katakan, tapi ada satu kalimat yang keluar dari mulut Kak Adam yang entah kenapa masih menempel pada kepalaku hingga saat ini.

"Mau jadi apa Indonesia jika mahasiswanya suka terlambat seperti kalian?!" Kak Adam saat itu berteriak, ia berdiri tepat di hadapanku sebelum ia kembali berjalan ke sana-ke mari, mencoba mengintimidasi kami semua dengan badan tegapnya.

"Beneran Kak Adam hobi telat?" kataku, masih tidak percaya, bagaimanapun juga Kak Adam sering membicarakan mengenai tepat waktu dulu.

"Iya, ngapain aku bohong," jawab Umi, "yang bilang ke aku itu yang sering sekelas sama Kak Adam."

Mataku melirik ke arah di mana Kak Adam tadi berlari.

"Mahasiswa itu harus disiplin." Perkataan Kak Adam setahun lalu kembali mampir dalam kepalaku.

---

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top