8. Hidup yang Singkat
"Jantung sang inang? Apakah itu artinya Casa harus memakan jantung manusia yang ditempati oleh inti awan miliknya?" Bas bertanya untuk memastikan.
"Tepat," jawab Tetua dengan tatapan misterius.
Alula merasa ada sesuatu yang ditutup-tutupi. "Tetua, bagaimana cara agar kami mendapatkan jantung manusia tersebut?"
"Sepertinya kamu sudah tahu jawaban dari pertanyaanmu, Alula. Aku tahu kamu muridku yang paling cerdik. Jadi, berpikirlah dengan cerdas."
"Jangan bilang," Alula menggigit bibir, "kami harus membelah dadanya, kemudian menarik jantungnya dengan paksa dan memberikan jantung tersebut kepada Casa? Bukankah ... ini sama saja dengan membunuh? Tetua sendiri mengajarkan kami agar saling menjaga sesama makhluk. Meskipun berbeda jenis, penghuni awan dan penghuni bumi sama-sama makhluk ciptaan-Nya."
"Dari awal aku sudah mengatakan bawah bukan kalian yang seharusnya melakukan ini, melainkan anak itu sendiri. Saat dia mencapai fase kutukan terakhir, dia akan berubah menjadi manusia seutuhnya. Saat itulah dia harus melakukan apa yang barusan kamu katakan," ucap Tetua memandang Alula.
Kedua makhluk awan tersebut tertegun. Membayangkan Casa yang harus melakukan pembunuhan, seketika membuat hati Bas tersayat-sayat. Ia khawatir Casa tidak akan mampu menanggung beban sedemikian berat. Apalagi, Casa itu anak yang sangat manja dan malas. Haruskah Bas saja yang bertindak diam-diam tanpa sepengetahuan orang lain? Baik Tetua maupun Alula pasti tidak akan membiarkannya membantu Casa.
"Tetua, kapan fase terakhir itu datang?" Alula bertanya lagi, membuyarkan bayangan Bas.
"Satu malam. Yakni pada waktu sama di keesokkan harinya, dia mungkin sudah berubah menjadi manusia. Atau bahkan lebih cepat."
Alula mengangguk. "Terima kasih, Tetua."
"Sama-sama."
"Kalau begitu, kami izin pamit. Saya dan Bas akan mengunjungi Anda lagi kalau suatu saat muncul pertanyaan."
"Baiklah, hati-hati."
Tetua menatap kedua anak di depannya, yaitu Alula dan Bas yang kini membungkuk hormat. Mereka lekas mengundurkan diri sambil menyimpan sekelumit masalah di benak masing-masing.
Di sisi lain, Casa saat ini menopang dagu sambil menatap ke sosok lelaki yang baru saja keluar dari kamar mandi. Tubuhnya terbalut kain yang tampak lembut seperti awan, menurut Casa, dan tangan satunya juga memegang kain lembut namun lebih kecil. Ia belum tahu kalau itu bernama handuk.
'Wah, kalau dilihat-lihat bentuknya indah sekali,' batin Casa memandangi wajah Grey. Alis tebal, iris mata abu-abu, hidung proporsional, bibir tipis, rahang kuat, dan jakun naik-turun. Casa tak bisa berkedip.
Grey mendekati jendela dengan perasaan was-was. Masih terngiang wajah kuntilanak di kaca jendela, tetapi segera ia hapus pikiran tersebut. Rambut Grey sedikit basah karena belum dikeringkan sepenuhnya. Ia lalu menggeleng-geleng seperti kucing, yang mana membuat air menyiprat ke arah tak menentu.
Tes!
Casa mengerjapkan mata dua kali. Ia merasakan benda sejuk menyentuh sebagaian wajahnya. Refleks, ia mengusap pipi dan memperhatikan telapak tangannya mengkilap bekas air. Pupil matanya menyusut drastis. Apakah ini yang manusia sebut dengan basah?
'G-gawat!' Casa ternganga lebar. Sampai-sampai dia berdiri menepuk jidat cukup keras, kemudian berputar-putar untuk mengecek bagian tubuhnya sebelah mana yang akan menghilang duluan.
'Eh?'
Alisnya mengernyit. Daripada menghilang, kini di tubuhnya malah ketambahan atribut baru. Sebuah pakaian berlengan panjang yang ukuran kainnya menutup leher sampai atas mata kaki. Casa pun menyentuh kerah baju untuk pertama kalinya, terasa sangat hangat dan lembut.
'Ini pasti gaun,' batin Casa, menjawab sendiri berbagai pertanyaan yang muncul di kepala kecilnya.
Violet juga mengenakannya, tetapi lebih pendek. Hanya sebatas lutut dengan leher terbuka dan tanpa lengan. Setelah sang kakak membuka koper, Violet merengek meminta Grey mengambilkan gaun berwarna ungu.
"Kak Gre! Jangan yang di koper."
"Kenapa?"
"Vio mau pakai gaun di lemari yang sempat ketinggalan waktu itu."
"Hah, yang mana?"
"Gaun ungu yang hadiah ultah tahun kemarin."
"Bukannya sudah nggak muat?"
"Ih, dicoba dulu!" sungutnya.
"Iya, iya ... sebentar. Ini lagi dicari."
Violet pun bercermin usai Grey membantunya memakai gaun. Pengait di punggung membuat Violet kesulitan kalau harus memakainya sendiri. Ia melihat pantulan dirinya sendiri, sedangkan laki-laki di belakang tampak telentang di kasur sebab kelelahan mendandani sang adik. Senyum puas terukir di wajah polos Vio.
"Tuh, kan, masih muat."
Tanpa sadar Grey ikut tersenyum. Tidak sia-sia menjadi pelayan si bocil. Gaun itu memang terlihat cantik seperti orang yang memakai.
Casa juga terpukau melihat keindahan Violet saat gaun tersebut melekat di tubuhnya. Dengan gaun ungu serta mata hijau yang jernih, dia tampak seperti peri hutan di taman lavender.
Casa menghampiri cermin. Ia bersikap selayaknya manusia yang ingin melihat bagaimana penampilannya sekarang. Detik berikutnya, Casa menunduk meremas gaun putih dengan kecewa. Ia lupa bahwa bayangan tubuhnya tidak akan dipantulkan oleh cermin. Entah kenapa di sisi lain ia berharap bisa menjadi manusia dan melihat gaun cantik yang dikenakan.
Sejenak, Casa masih tidak menyangka akan dapat memakai gaun juga. Di Negeri Awan, tidak ada pakaian. Lalu ... kenapa manusia berpakaian?
Casa mengangkat kepala, di belakangnya terpantul bayangan Grey yang sedang melepas handuk mandi. Dia hendak berganti baju sambil membelakangi. Gadis itu mengeryit saat melihat punggung Grey terdapat garis cokelat serupa ranting kayu.
Karena penasaran, Casa pun berbalik dan menatap instens permukaan kulit yang tampak bercabang tersebut. Perlahan gadis itu mendekat, lalu tangannya terulur menyentuh punggung Grey.
"Ah ...."
Grey merasakan panas di area bekas luka. Laki-laki bermata abu tersebut menoleh, menatap cermin yang memperlihatkan bekas luka mengerikan di punggungnya. Ia terdiam agak lama sampai setidaknya sentuhan Casa membuat dia kembali mendesah.
"Sial." Grey merinding di sekujur tubuh. Ia dengan cepat memakai kaos jersey, membuat Casa tersentak. Dia baru saja menyadari bahwa sentuhannya terhadap manusia terasa panas.
Kemudian, Grey membuka koper lagi untuk memilih boxer. Casa yang kehilangan daya tarik segera berpindah posisi ke hadapan Grey. Ia berjongkok dan saling menghadap satu sama lain, tetapi tentu saja lelaki itu tak bisa melihatnya. Casa cukup pusing melihat begitu banyak tumpukan pakaian di dalam koper yang berwarna-warni.
Grey menarik salah satu celana dalam di antara lipatan baju yang lain. Namun entah kenapa, saat hendak memakai celana dalam, tangannya kaku. Ia merasakan ada sepasang mana yang sedang mengawasinya di ruangan ini. Grey melirik tirai kerang yang diam tak berputar. Ia lalu menggeleng, berusaha mengusir pikiran dan memutuskan berganti di kamar mandi.
Casa hanya bisa menatap bingung tatkala laki-laki tersebut kembali masuk ke bathroom. Pandangannya pun teralihkan oleh kondisi langit di luar. Dari kaca jendela yang cukup besar, ia bisa melihat bahwa hujan semakin deras. Petir menyambar-nyambar ke bawah seakan menembus langit, kilatan cahayanya cukup tajam dan menerangi bumi yang semakin redup.
.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top