Violet memakai sandal dengan asal. Tak lupa meraih kamera kesayangan Grey yang berisi gambar-gambar yang diambil saat perjalanan. Ia ingin menunjukkan foto awan berbentuk kelinci yang mereka berdua temukan di puncak bukit.
"Awas jatuh, Vio!" ingat Grey melihat polah Violet yang mendugas.
"Iya."
Grey menatap punggung Violet mengecil, melesat ke arah tangga. Ia memegang dada, kemudian bernapas lega sebab adik cerobohnya itu bisa sampai di lantai dua dengan selamat wal afiat.
"Akhirnya pergi juga si bocil," gumam Grey sambil berkacak pinggang mengamati kasur berantakan.
Dalam waktu singkat, laki-laki itu melipat selimut dan menata bantal guling kembali ke tempatnya. Casa menguap bosan. Karakter Grey hampir serupa dengan Bas. Suka bersih-bersih. Saat Casa membuat selimut dari bijih awan yang penuh debu—kala itu bekas asap polutan kebakaran, Bas membersihkan partikel-partikel kotor yang menempel sehingga Casa dapat tidur dengan nyenyak. Ah, entah bagaimana kabar kakak-kakaknya di atas sana?
Grey pun membuka lemari pakaian sambil bersenandung kecil. Ia meraih handuk bersih, kemudian berjalan tenang ke kamar mandi. Dengan langkah gontai, Casa mengikuti laki-laki itu lagi ke neraka.
Sekilas ia memutar mata karena sepertinya manusia di bumi sangat menyukai tempat-tempat berair, yang mana meningkatkan kadar penyebab kematian makhluk awan. Casa masih parno kalau harus terciprat semprotan air dari shower mandi. Tidak lucu semisal dirinya nanti tiba-tiba menghilang. Ia belum mengetahui cara agar mendapatkan inti awan miliknya.
"Aduh!" keluh Casa sembari mengelus jidat yang benjol.
Kepalanya memantul saat ia berusaha menembus penghalang tersebut, yang sayangnya gagal. Kedua alis Casa tertaut, bingung. "Loh kok, nggak bisa masuk?"
Ia menarik napas dalam-dalam, mundur beberapa langkah. Kemudian dalam hitungan ketiga. Satu ... dua ... tiga, ia pun berlari dan menerjang pintu kamar mandi.
Duak!
Sekarang malah tubuhnya yang terpental. Casa tersungkur ke lantai. Rahangnya turun alias ternganga. Ternyata benar, dia tidak bisa lagi menembus benda padat.
Di dalam kamar mandi, Grey belum sempat masuk ke bathup. Pakaian yang dikenakan masih utuh. Ia justru berbalik menatap pintu dengan tatapan horor. Awalnya, ia pikir halusinasi saat mendengar bunyi 'duk' seperti seseorang terjedot pintu. Namun setelah mendengar bunyi 'duak' yang lebih keras, bibirnya mendadak kering.
Grey tertegun karena pintu masuk di kamar mandinya bergetar seolah seseorang dari luar hendak mendobraknya. Tapi, siapa? Violet tidak mungkin. Gadis cilik itu sedang di lantai dua. Ia sendiri melihat Violet naik melewati anak tangga. Kalau begitu, Jade? Malah semakin tidak mungkin.
"Siapa?" tanya Grey masih bergeming.
Sepi.
Tak ada jawaban.
Jangan-jangan ... hantu? Lelaki bermata abu-abu tersebut menggeleng, berusaha mengusir pikiran-pikiran negatif. Violet mengatakan, ada kuntilanak di dekat jendela. Nah, jendela yang dimaksud anak itu sangat dekat dengan pintu kamar mandi. Grey pun terkekeh karena hampir termakan omongan si bocil.
Dengan kesepuluh jari, Grey menyisir rambutnya ke belakang. Ia merasa frustrasi. Beberapa menit berjalan dan ia berdiam diri tanpa tahu harus apa. Sejak perpulangan, tujuannya ke kamar mandi hanya untuk melepas 'keinginan'. Namun, ada-ada saja yang membuat niatnya itu urung dilakukan.
Casa menunggu cukup lama di depan. Sembari memeluk kedua lutut, ia mengamati perubahan pada jari-jari kakinya yang kian terbentuk sempurna. Tentu saja ini kaki manusia.
"Ah ... kutukannya nyata," desahnya penuh sesal.
Andai saja saat terbangun di atas bukit, Casa langsung terbang ke langit. Mungkin hal seperti ini tidak akan terjadi padanya. Kalau dia tidak terkena kutukan, dia bisa ikut berpartisipasi dalam acara bulanan, mempersiapkan festival purnama, dan terbang ke mana saja.
Kepalanya menoleh ke samping, memandang rintik-rintik hujan di luar yang berusaha menembus kaca jendela. Di musim hujan seperti ini, ia jadi teringat masa-masa sulit yang mengharuskan seluruh penghuni Negeri Awan pindah ke tempat awan yang lebih solid. Biasanya Casa berebut tempat dengan Dede. Meski pada akhirnya, selalu Dede yang mengalah biarpun dia masih kecil.
Casa tersenyum, memutar kembali ingatannya saat berada di Negeri Awan. "Aku kangen kalian."
***
"Apa?!" teriak Tetua usai mendengar penjelasan Bas. Bersamaan dengan itu, petir menyambar-nyambar di langit yang mana seolah ikut mengekspresikan kemarahan Tetua.
"Ini salah saya karena kurang memperhatikan Casa. Saya pantas dihukum!"
"Kamu nggak salah, Bas," bisik Alula dari samping. Gadis itu kemudian mendongak, menatap sosok Tetua yang agung. "Bas tidak tahu menahu soal adiknya yang menghilang. Ia baru sadar setelah kamar Casa benar-benar meleleh. Ini murni kesalahan Casa sendiri yang tidak mematuhi peraturan."
Aturannya, apabila awan tempat berpijak sudah tidak layak, penghuni di atasnya harus cepat-cepat mencari tempat baru yang lebih layak.
Tetua menarik napas berat. "Orang berbuat salah sudah sepantasnya dihukum. Apalagi melanggar aturan ...."
"I-ini juga salah saya karena lalai menjaga anggota keluarga. Tolong jangan hukum Casa, Tetua, di bawah sana dia sangat kesulitan." Lelaki itu melirik raut wajah Tetua yang hampir tidak terbaca.
"Hah, yang aku khawatirkan akhirnya terjadi juga," ucap Tetua. Nadanya terselip kesedihan yang dalam.
"Tetua, kedatangan kami kemari bukan untuk pengakuan dosa. Tolong tunda hukumannya. Sekarang, kami ingin menyelamatkan Casa lebih dulu. Apa yang harus kami lakukan agar Casa bisa kembali mendapatkan inti awan?" tanya Alula meminta solusi.
"Itu bukan kalian yang harus melakukannya," jawab Tetua.
Alula mengernyit tidak paham. "Apa maksud Anda, Tetua?"
"Iya, Tetua, apa maksud Anda?" sambung Bas. "Kenapa bukan kami? Sedangkan kondisi Casa saat ini tidak memiliki kemampuan apa-apa. Jangankan terbang, melayang saja sudah tidak bisa."
"Itu kondisi normal untuk makhluk awan yang kehilangan inti awan miliknya. Dia sedang menjalani kutukan. Lalu, akan membutuhkan waktu cukup lama bagi Casa melewati fase kutukan."
"Fase kutukan?" Bas menatap bingung.
Tetua mengangguk. "Kalian berdua pasti sudah sering mendengar kutukan yang melegenda di Negeri Awan, bahwa setiap makhluk awan yang bersentuhan dengan makhluk di bumi, maka ia akan berubah wujud menjadi makhluk bumi tersebut."
"Iya, Tetua. Kami sering mendengarnya meskipun setengah percaya dan setengah tidak, tapi kami harap kutukan itu tidak benar-benar ada," aku Alula.
"Kutukannya bukan kebohongan," tegas Tetua.
Alula dan Bas saling berpandangan. Masing-masing memiliki kekhawatiran yang sama. "Apakah artinya Casa akan berubah menjadi manusia?" tebak Alula.
Tetua terdiam, menandakan bahwa tebakan tersebut benar adanya. Sontak membuat kedua makhluk awan itu terhenyak.
"Apa yang harus kami lakukan?" tanya Alula lagi, membuyarkan lamunan Bas. Seluruh keluarganya pasti cemas jika mendengar berita ini.
"Sudah kubilang, kalian tidak perlu melakukan apa-apa! Casa-lah yang akan berusaha sendiri mendapatkan inti awan miliknya. Setelah fase kutukannya selesai dan dia menjadi manusia bumi seutuhnya, dia harus memakan jantung sang inang."
.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top